DEDAK rendang itu dijumputnya dengan tiga ujung jari, dibenamkannya
ke dalam nasi. Lalu pelan dan hati-hati dua jari itu mengoyak serat
daging sambil menekannya agar tidak menggelincir, menaruhnya bersama
dedak rendang tadi. Daging dan dedak rendang terbenam dalam suapan nasi
hangat, masuk pelan ke dalam mulutnya. Ia makan begitu nikmat seolah
baru pertama merasakan rendang Padang. Ia makan tak ubahnya anak bujang
di hadapan keluarga calon istrinya.
Rendang dan sambal cabai
hijau. Itu selalu yang dimintanya, tanpa rebus daun singkong, kuah
gulai, atau ulam irisan mentimun. Ia tak pernah tertarik pada dendeng
balado, gulai usus, kikil, cincang, paru, atau gulai kepala kakap.
Tampaknya ia memang datang ke kedai nasi kami hanya untuk makan dengan
rendang. Lelaki itu sangat pendiam. Kukira umurnya lebih muda barang
lima atau tujuh tahun dari suamiku.
“Rendangnya enak sekali,
seperti buatan ibu saya.” Sambil menyodorkan uang ia selalu berkata
begitu. Caranya mengucapkan seolah sebelumnya kata-kata itu tak pernah
diucapkannya setiap kali singgah makan di kedai nasi kami. Selain
perkataan itu tak ada lagi yang dikatakannya. Ketika beberapa kali aku
atau suamiku bertanya, “Ibunya orang Padang juga? Padangnya di mana?” Ia
hanya sedikit tersenyum sambil berjalan ke luar.
Mulanya aku
merasa dia orang aneh, tapi lama-kelamaan aku tak punya waktu
memikirkannya. Akhirnya aku selalu hanya membalas perkataannya dengan
senyum, mengucapkan terima kasih sambil menerima uang yang
disorongkannya atau menyodorkan uang kembalian.
Tetapi, dari
perkataannya aku menduga itulah alasan mengapa ia tidak memilih makan di
restoran Padang besar yang baru dibuka, tepat di seberang jalan di
depan kedai nasi kami. Pemiliknya Uda Salim, masih sanak dekat keluarga
suamiku. Selain membuka restoran, Uda Salim juga punya lima toko kain di
Pasar Baru.
Walau tak datang tiap hari, tapi ia seorang dari
sedikit langganan kami yang kebanyakan supir angkot. Pernah ia lama tak
muncul sehingga suamiku berkata, “Mungkin dia sudah dapat kiriman
rendang dari ibunya di kampung, dan kiriman itu belum habis, karena itu
mengapa pula dia harus makan rendang yang rasanya hanya mirip rendang
buatan ibunya itu?”
“Kemana saja, lama tak tampak?” tanya suamiku ketika ia akhirnya muncul kembali.
“Ada
saja.” Ia hanya menjawab pelan. Jawaban seorang pendiam yang tak
terlalu suka bila harus menjawab pertanyaan berikutnya. Tiap ia datang,
karena menduga kami sudah tahu apa yang diinginkannya. Ia tak pernah
melongok ke arah hidangan, menyebutkan dengan lauk apa ia ingin makan.
Ia langsung masuk ke dalam kedai, duduk menunggu makanannya datang. Aku,
suamiku, atau Si Ujang pelayan kami pun sudah tahu, sepiring nasi putih
hangat, rendang dengan sedikit dedak dan kuah minyaknya yang
kekuningan, butiran kentang mungil, dan tentunya sambal hijau, lalu teh
tawar hangat.
Ada juga sekali, atau mungkin beberapa kali, setelah
makan ia minta dibungkuskan beberapa potong daging rendang, lengkap
dengan dedak dan minyaknya yang kekuning-kuningan, dengan beberapa
kentang mungil.
**
Pengetahuannya soal rendang Padang mungkin
hanya sedikit di bawah pengetahuannya tentang seni kontemporer. Tak
perlu dengan lidah, dengan matanya saja, dari warnanya, Sal sudah tahu
kalau rendang itu dimasak dengan santan kelapa yang terlalu tua, adukan
santan yang kurang lama, kayu manisnya kurang bagus, dagingnya bukan
daging segar, atau sudah berapa kali rendang itu dihangatkan, atau api
yang terlalu besar. Sal pernah berkata, semua proses memasak rendang
Padang itu adalah kesabaran.
“Kesabaran yang cuma dimiliki oleh
perempuan, Nina. Oleh kesabaran ibu.” Aku merasa bukanlah golongan
perempuan yang ia maksud. Aku kurang pandai memasak, bukan orang yang
sabar, dan belum menjadi ibu. Kata Sal, rendang Padang di rumah makan
itu hanya namanya saja yang rendang. Setiap hari dibuat untuk mengejar
waktu orang makan siang.
Kalau ia sedang bercerita tentang rendang
Padang, Sal seakan sedang mengajakku melancong ke kampungnya, melihat
perempuan yang membuat rendang. “Beberapa hari sebelum hari raya, di
halaman samping setiap rumah, para ibu dan anak gadisnya sibuk membuat
tungku, menyiapkan kayu bakar, meminta sanak lelakinya memasang kuali
besar, lalu meracik semua bumbu. Pada hari setelah mereka memasukkan
daging ke dalam santan dan bumbu, pelan-pelan akan tercium harum rendang
di seluruh udara kampung. Bahkan, Nina, kita bisa mencium bau harum
rendang itu dari kejauhan.”
Mata Sal berbinar-binar, dan aku tahu,
cerita itu selalu akan diakhirinya dengan suara pelan, “Tapi rendang
yang paling enak adalah rendang buatan ibu, Nina.”
Sejak kecil
Sal selalu dengan ibu. Mungkin karena itu juga kupikir Sal banyak tahu
tentang masakan Padang, apalagi mereka dulu keluarga rumah makan. Sal
sesekali suka memasak juga, masakannya enak meski lagi-lagi ia akan
berkata, “Seandainya ibu yang memasak pasti lebih enak, Nina.”
Buat
Sal segalanya adalah ibu. Di mata ibu, apa yang tak boleh buat
anak-anak yang lain selalu boleh untuk Sal. Hanya ibu satu-satunya
manusia di dunia ini yang cegahannya tak berani ditentang Sal. Tidak
juga bapak. Karena itulah kecil dulu Sal sering harus membersihkan kamar
mandi, hukuman dari bapak karena kenakalannya.
“Sesudah aku
membersihkan kamar mandi, ibu selalu membuatkanku teh manis, atau
setidaknya memelukku. Karena itu, sebelum bapak menghukumku atau sebelum
bapak tahu kenakalanku, aku akan cepat-cepat membersihkan kamar mandi.
Bahkan lama kelamaan aku melakukannya bukan lagi karena aku sudah
berbuat salah, tapi karena aku ingin menikmati teh manis buatan ibu dan
pelukannnya,” cerita Sal.
Suatu kali ketika kukatakan bahwa aku
ingin belajar masak pada ibu, Sal hanya tersenyum. Katanya, kenapa aku
harus repot-repot ingin seperti ibu agar bisa menjadi istrinya. Tapi aku
tetap ingin melakukannya, sebelum ibu jatuh sakit dan Sal tiba-tiba
sepagi itu menerima telepon. Sal tak mengatakan apapun selain diam dan
menjawab, “Iya, iya.” Lalu ia memandang padaku. “Nina, Ibu meninggal.”
Ketika
aku bersiap hendak ke rumah ibu, Sal malah membuat kesibukan lain dan
berulang kali menolak ajakanku. Sepanjang hari itu Sal membersihkan
kamar mandi. Ia tetap menolak datang ke rumah ibu, mematikan
handphone-nya, meski semua kerabat sudah menunggu sebelum jenazah ibu
dimakamkan. Akhirnya ibu dimakamkan tanpa kehadiran Sal, anak
kesayangannya.
Sepulang dari rumah ibu malam itu, aku menemukan
Sal masih membersihkan kamar mandi. Aku berdiri di pintu kamar mandi, ia
memandang ke arahku, “Kalau aku datang artinya ibu meninggal, Nina.”
Sejak itu suara Sal selalu pelan, dan ia menjadi lebih pendiam.
Dan
malam itu di meja makan Sal membuka sebuah bungkusan, enam potong
rendang Padang. Aku memandangnya heran. Sejak ibu meninggal Sal tak
pernah menolak masakan apapun, kecuali masakan Padang. Ketika aku
membeli dendeng batokok dan rendang Padang, ia bahkan tak menyentuhnya.
Buatnya sejak ibu meninggal tak ada lagi rendang Padang di dunia ini.
Sejarah rendang Padang sudah selesai dengan kepergian ibu.
“Cobalah, Nina, rendangnya enak sekali, seperti buatan ibu,” katanya.
Aku
tidak tahu, mengapa Sal berpikir seperti itu padahal rendang Padang itu
dibelinya di rumah makan. Rendang yang dimasak bukan dengan kesabaran
tapi untuk mengejar waktu orang makan siang. Tetapi aku tidak ingin
menanyakan hal itu pada Sal. Pelan-pelan aku tahu apa yang sebenarnya
sedang terjadi.
**
Tak lama setelah Haji Warman wafat, seorang
anaknya mengatakan tidak akan lagi mengontrakkan kedua bangunan yang
selama ini salah satunya kami kontrak untuk kedai nasi. Beberapa hari
kemudan suamiku tahu apa sebabnya. Anak Haji Warman berteman baik dengan
Uda Salim, sanak suamiku pemilik rumah makan Padang besar di seberang
kedai nasi kami.
Pada Uda Salim anak Haji Warman berkata ingin
menjual warisannya, dan ia berharap Uda Salim mau membelinya. Tapi Uda
Salim mencegahnya, sebab tidak baik menjual harta hasil jerih payah
orangtua. Uda Salim lalu mengajak anak Haji Warman berkongsi, mengubah
bangunan itu menjadi toko kain, dan anak Haji Warman setuju.
Aku
terkejut saat suamiku mengatakan bahwa ia tahu semua itu dari cerita Uda
Salim. Ketika kubilang bukankah dia tahu bahwa di bangunan itu sanaknya
mengontrak membuka kedai nasi, suamiku hanya tersenyum sinis, “Dia
memang bersanak denganku, tapi uang tidak!”
Urusan kongsi anak
Haji Warman dan Uda Salim bukanlah urusan kami. Sekarang kami sibuk
mengemasi semua isi kedai dan perabotan, pindah secepatnya ke tempat
yang belum kami ketahui. Aku ingin menangis saat memandang bangunan
bekas kedai, ketika kami pergi meninggalkannya.
**
Malam itu tak
ada rendang Padang di meja makan. Sal sibuk membersihkan kamar mandi,
bahkan sejak sore pulang kantor. Kupandangi punggung Sal yang sedang
menyikat dinding kamar mandi. Entah sudah berapa lama ia melakukannya.
Lalu ia berbalik dan memandangku. “Aku tadi pergi ke makam ibu, Nina,”
katanya, lalu meneruskan kembali kesibukannya.
Aku tidak tahu apa yang terjadi dengan Sal. Tetapi aku tahu apa yang harus kulakukan; membuatkannya teh manis...
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar