Masakannya membuatku berpikir, kenapa manusia suka
sekali dipermainkan rasa? Mengeluh pada kecutnya rasa asam, namun selalu
mengulang-ulang mengolah makanan yang sama. Kenapa kita tak bersabar
dengan satu rasa hambar saja?
“Rasa asamnya membangkitkan selera makan, Nai,” kilah Bu Ros.
“Makan ditemani sambal pedas ini, Ibu bisa habis dua piring nasi, lho,” imbuhnya, tertawa mengelap keringat.
Tak menolak, lidahku pun mengakuinya. Beberapa hari tinggal
dengannya lidahku dibuat buta pada rasa masakan selainnya. Bu Ros
seperti dianugerahi keahlian memasak dari langit. Pernah kubuntuti ia
saat sedang masak. Dengan halus wanita lima puluh tahun itu mengusirku
dari dapur mungilnya.
“Tamu tak boleh kena arang,” ujarnya, mendorongku ke ruang tengah.
Dapur semipermanen yang menempel di belakang rumah, hanya ia
pakai sesekali saja. Bu Ros tinggal sendirian di rumah tepian barat
Pulau Sumatra itu.
“Hari ini aku indak ke mana-mana, Bu. Laut sedang pasang. Aku mau bantu Ibu masak saja. Boleh, ‘kan?” bujukku di hari berikutnya.
“Bapak minta dibawakan masakan apa, Bu?” tanyaku, menggiringnya ke dapur.
Sekali dua hari Bu Ros mengirim bekal untuk suaminya. Padahal, ia tak perlu repot lagi melakukan itu semua.
Di dapur, kulihat sekeranjang ikan, hasil pancinganku.
Persisnya, ikan itu kubeli dari pemancing di dermaga yang kuajak
bercakap-cakap menggali informasi.
“Suami Ibu suka sekali ikan maco ini,” berkaca-kaca matanya
memandangi ikan pari kecil-kecil di meja kayu, “Akan kubuatkan Uda gulai
ambacang,” ujarnya lirih, seakan lelaki yang terpisah ruang dengannya
itu ada di hadapannya.
Rumah putih digerayangi lumut itu terletak di tengah
perkampungan nelayan. Tiap sore pekik anak-anak berenang terdengar
jelas. Kepala mereka seperti buah kelapa mengapung di lautan, timbul
tenggelam. Puas berenang, mereka berkeliling palak, ladang kelapa.
Namun, begitu melihat Bu Ros muncul, anak-anak itu seperti melihat hantu
di siang bolong, berlarian pulang ke ketiak ibu mereka.
“Adik ini siapanya si Ros?” tanya wanita paruh baya di warung tepi laut.
Kulayangkan senyum ringan padanya, lalu lanjut menyortir bawang
merah. Tiga wanita lainnya muncul. Mereka menyelisik dari
kepala hingga tumit sepatu ketsku.
“Suaminya dipenjara, lho, Dik,” bisiknya mengernyit,
seakan habis menelan daun kina, “Kabarnya, tiap berkunjung ke penjara,
dia meraung-raung minta ikut dipenjara pula. Kasihan ambo sama si Ros itu,” sambungnya, berdecak.
Rumah Bu Ros tak berjarak jauh dari rumah tetangga. Namun, aku
harus memutari palak kelapa untuk sampai ke sana. Mereka mengurung Bu
Ros di luar pagar, menutupi jalan dengan seng berkarat.
“Kau jawab apa tadi?” berondong Bu Ros seolah bisa menerawang.
Bergegas ia tanggalkan mukena, melipatnya. Tak menunggu
jawabanku, ia beranjak ke dapur. Ia keluarkan kuali besi yang satu
telinganya sompeng.
“Apa kau ndak takut tinggal dengan keluarga penjahat ini, Nai?” tanya Bu Ros.
Tak ada raut gelisah, cemas di wajahnya. Sesaat, kekosongan
menguasaiku. Aroma ambacang, entah di mana letak pohon itu, mengambil
alih, berebut menyesaki penciumanku.
“Semua manusia punya kesempatan berbuat salah. Juga punya kesempatan memperbaiki kesalahannya,” jawabku, datar.
Bu Ros membuang muka ke jajaran pohon kelapa di ladang belakang dapur.
Kedua tangannya cekatan menarik insang, memotong moncong, lalu
mengikis sirip. Kulit ikan maco berlinang keperakan begitu ditimpai
cahaya dari atap yang tiris. Bau anyir mencemari udara. Bu Ros lalu
menyalin santan. Cairan putih itu kontras dengan hitamnya kuali yang
digenanginya. Jahe, lengkuas, beserta kunyit selesai dikupas, menyisakan
ruam kekuningan di jari-jarinya.
Bu Ros lanjut menguliti bawang merah dalam diam. Aku tak berniat
mengusik heningnya. Ada iba yang tiba-tiba merambah dadaku pada
keterkucilannya. Namun, cepat-cepat kutepis. Aku tak butuh semua
warna-warni rasa itu. Yang kubutuh hanya hambar, sebuah rasa netral,
seperti sebelum-sebelumnya.
“Bapak itu orang baik. Dia nelayan, sama dengan pria-pria di
kampung ini,” ujar Bu Ros tiba-tiba bersuara, kontras dengan berita yang
menghampiriku.
Dari para pemancing di dermaga, kudengar suami Bu Ros sering
tergolek teler di perahunya ketika melaut. Bahkan pernah ia nyaris
tenggelam karena tak bisa membedakan mana lautan, mana permukaan tanah.
“Empat tahun lalu ada pemilihan kepala desa. Bapak terpilih.
Entah sebab apa, tiba-tiba saja polisi datang menjemputnya,” Bu Ros
berujar dengan raut gelisah. “Cuma gara-gara air seninya berwarna keruh,
ia tak boleh pulang lagi hingga sekarang,” sambungnya menekur, suaranya
sengau.
Ia sapui wajah dengan lengan. Matanya berair. Namun, sekilas
senyum yang terbit menggugurkan tekanan di dadaku akan arti air matanya.
Dan itu cukup membantuku menetralkan rasa, ia menangis karena irisan
bawang merah.
Beberapa kejap, keheningan mengisi dapur mungil Bu Ros. Aku tak
berselera menanggapi lebih jauh. Kukeluarkan batu giling dari bawah
meja. Kubiarkan Bu Ros menggiling semua bumbu rempah itu hingga lumat.
Aroma hangat jahe, lengkuas, dan bawang merah bergantian menjajah
hidung. Santan putih di kuali berubah kuning kemerahan sehabis dicampuri
gilingan cabai. Usai dimemarkan, setangkai batang serai turut mendarat
ke lautan santan. Juga sejumput garam kasar.
*
“Aku rindu masakanmu, Rinai.”
Tiga tahun lebih kuhabiskan hidup bersamanya. Namun yang
kusisakan hanya lelah di ujung hari. Lalu kudapati bubur kampiun,
makanan favoritku, terhidang bersama secangkir kopi hitam pekat di pagi
hari. Selembar kertas warna pink jadi pengganti kecup paginya.
“Seragammu ada di lemari nomor.2,” bunyi tulisan di kertas itu. “Ayesha
hari ini kutitip di rumah Ibu,” bunyi kertas lainnya tertempel di pintu
kulkas. Kertas-kertas pink itu tak pernah kubalas. Bukankah sesuatu yang berulang-ulang akan melahirkan kehambaran demi kehambaran belaka?
Berlapis anak tangga kudaki. Semua karena dorongan mereka, suami
dan buah hatiku. Namun, itu pula yang membuatku tercerabut dari
kebersamaan. Rendy, kapan terakhir kali aku memasak untuknya? Ayesha,
sudah bisa apa anakku itu sekarang? Dan surat permohonan yang
beralasankan bosan itu, haruskah kuteruskan?
“Nai?” sapa Bu Ros, mencerabutku dari lamunan.
Kulihat api mengebul melalap ranting kayu di kolong tungku. Di
atasnya, kuali berisi genangan santan mulai memanas. Permukaannya
mengeluarkan asap putih tipis. Bu Ros dengan spatula kayunya terus
mengaduk-aduk.
“Selama tinggal di kampung ini, Ibu baru sekali ini bertemu
penyelam wanita. Kau hebat, Nai,” ujarnya, tersenyum. “Apa di bawah laut
sana ikan-ikannya banyak?” tanya Bu Ros, antusias.
“Menyelam?” refleks aku mengernyitkan muka.
“Oh, iya, di bawah sana banyak sekali ikan cantik-cantik, Bu.
Hanya saja terumbu karangnya banyak yang memutih, rusak karena ulah
pencari ikan,” ulasku, teringat statusku sebagai konservator terumbu
karang.
Bu Ros mengangguk-angguk ringan.
“Nai, tolong gantikan Ibu sebentar, ya? Ibu mau memungut ambacang. Santan ini bisa pecah jika ndak dikacau,” tawar Bu Ros, menanyakan kesediaanku.
Kuanggukkan kepala, lalu mengaduk genangan santan yang mulai
berubah jadi gulai itu perlahan. Aroma gurih menguar. Iseng, kuteteskan
gulai ke telapak tangan, menjilatnya. Cairan kuning itu terasa gurih,
pedasnya menjalari lidahku.
Ambacang? Kata itu tiba-tiba menggaung di benakku. Sejak awal, Bu Ros tak pernah mau membawaku ke sana.
“Kau nanti bisa sakit, jangan pernah lewat sana, Nai,” cegah Bu Ros saat itu.
Dari cerita warga, pohon ambacang tua itu angker. Terlarang bagi
wanita lewat di bawahnya. Letaknya jauh di dalam palak. Buahnya pun
banyak yang berulat. Tak ada untungnya mendatangi tempat itu, ujar
mereka tak tertarik.
Kuraih ponsel di saku jaket. Jariku bersiap menekan satu nomor
tujuan. Namun, tiba-tiba saja dadaku rasanya berat. Kejadian di hari
sebelumnya kembali terulang. Setelah sejauh ini, aku kehilangan
keyakinan. Sesuatu muncul di hatiku, dalam kabut tergelap sekali pun,
kadang kau masih bisa menemukan secercah cahaya, bisiknya lembut.
Lagi-lagi kuputuskan menunda. Ini di luar kebiasaan.
Di hadapan, genangan gulai mengeluarkan gelembung kecil-kecil.
Aroma gurih terserak di udara. Panas dari tungku menerpa wajah.
Kumasukkan satu persatu ikan maco ke dalam gulai. Gelembung-gelembung
yang tadinya naik, kembali susut. Isi kuali itu kembali kuaduk tanpa
menyentuh dasarnya.
“Sudah menggelegak, ya, Nai?” suara Bu Ros mengagetkanku.
Bergegas ia mengupas kulit ambacang. Saudara tua keluarga mangga
itu terlihat tebal sekali kulitnya. Kuat sekali aroma masamnya. Liurku
menggenang mencium wangi segarnya.
“Ibu ambil banyak ambacang?” tanyaku tergiur melirik sayatan
daging ambacang menguning, airnya menetes di sela jari Bu Ros.
“Lumayan, Nai. Daripada busuk dimakan kelelawar,” sahutnya tanpa menoleh.
Sayatan-sayatan ambacang meluncur ke dalam gulai. Terapung
seperti gelondongan kayu dihanyutkan para penebang liar dari hulu
sungai. Aroma gurih bercampur segarnya ambacang menjajah hidung. Perutku
berontak, mulai lapar.
Selesai menuang ambacang, Bu Ros mengiris daun sayur, lalu
cepat-cepat menuangnya ke dalam gulai. Sejenak mengaduk, Bu Ros
mengangkat kuali dari tungku api. Gulai ambacang selesai sudah.
*
Suara empasan pintu memaksaku membuka mata.
“Bu Rinai sudah sadar?” sapa seseorang berseragam di sampingku.
Aku berusaha bangkit. Namun, impitan berat di kelapa membuatku
kembali limbung. Pandanganku melayang-layang di ruang serba putih itu.
“Bu Ros, di mana dia?” tanyaku, memegangi kepala.
“Siap. Target berhasil dilumpuhkan. Maaf, Bu, kami terpaksa
bertindak sebelum ada perintah dari Ibu. Kami menangkap basah buronan
bersama istrinya sewaktu memanen ganja di bawah pohon ambacang,” ujar
pria berseragam itu, menyisakan rasa aneh di dadaku.
“Bu Ros, apa dia paham yang dilakukannya?” rasa penasaran
mendesakku untuk tahu keadaan Bu Ros, ia berbeda dengan target-target
operasi sebelumnya.
“Sementara ini, dia mengaku hanya melaksanakan perintah suaminya,” jawab bawahanku itu.
Bu Ros yang polos, kenapa begitu setia pada suami buronnya itu? Aku tak habis pikir.
“Lalu, kenapa saya bisa teler begini?” tanyaku memegangi kepala,
coba mengingat-ingat kejadian setelah menyantap gulai ambacang segar Bu
Ros.
“Bu Rinai dicekoki narkoba,” jawabnya, melunak.
“Tak mungkin ia sengaja membuatku teler. Ia terlalu lugu untuk itu,” bantahku.
“Target sengaja menyelipkan daun ganja tiap hari dalam makanan
Ibu. Instruksi dari komandan, untuk sementara Ibu diistirahatkan dari
tugas,” jelasnya, membuatku makin berkunang-kunang.
“Istirahat?” ulangku, seakan baru saja menemukan satu kosakata baru dalam hidupku.
Jeda. Mungkinkah aku butuh jeda, berjarak dengan rutinitas yang kugilai ini?
“Oh, ya, wanita itu menitipkan ini untuk Bu Rinai.” Ia serahkan secarik kertas.
“Terima kasih, Rinai. Kau sudah membantuku bersatu dengan suamiku kembali. Di penjara ini, Ibu sudah tak sendirian lagi,” tulisan di kertas itu.
Tiba-tiba aroma masam menjajah penciumanku. Rasa, bukankah rasa
hanyalah permainan indrawi saja? Asam, asin, manis, pahit, bahkan
hambar, semua bisa diubah.
Entah sebab apa, sebuah rasa menyerangku. Rindu berpulun-pulun
menderaku pada pemilik kertas-kertas pink tiap pagi itu. Dengan tubuh
linglung, kupaksa diri keluar dari klinik markas kepolisian. Terkadang,
dalam gelap terpekat sekalipun, ada saja seberkas cahaya yang ‘kan
menuntun langkah. Gulai ambacang Bu Ros, akan kumasaki ia gulai rasa
masam itu. (f)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar