Sayangnya kita sama sekali tidak bisa merasakan apa yang orang lain rasakan.
Itulah yang ada dalam benakku ketika laki-laki ini duduk di depanku,
memakan pisang bakar coklat keju yang tidak bisa dinikmatinya. Aku kenal
sekali ekspresi itu, dan itu adalah ekspresi khasnya ketika sedang
tertekan memikirkan sesuatu. dan akulah yang membuatnya tertekan. tapi
bukan berarti aku tidak merasakan atmosfir yang sama. yang kulakukan 20
menit terakhir ini hanyalah mengaduk-aduk es batu yang mengapung dalam
es jerukku, dan aku berpikir apa lagi yang bisa aku aduk 10 menit lagi
karena es batu ini sudah terlampau tipis.
Aku ingin memulai pembicaraan, tapi tidak tau harus bilang apa. Aku bahkan tak yakin dia ingin berbicara atau hanya ingin mengintimidasiku dengan diamnya.
Aku bahkan tak berani menatapnya.
Bukan karena sangat menawanlah aku memandangi es batu yang ada dalam
gelasku. aku tak tau lagi apa yang harus kupandang, dan tiba-tiba ini
membuatku kesal. Apa aku layak berada dalam posisi terintimidasi
seperti ini?
Ya. Mungkin. Pikirku beberapa saat.
Mungkin salahku karena aku tergoda padanya. dia, sahabatku, kekasih
sahabatku, aku seharusnya tidak boleh menyentuhnya. Tapi aku sendiri
juga tak bisa menjelaskan perasaan menggelora yang ada dalam dadaku
setiap kali kita bersentuhan. perasaan yang membuatku melupakan bahwa
laki-laki yang sedang kusentuh ini memiliki seorang kekasih, Lina, yang
juga temanku.
Dan layaknya screen saver komputer yang sedang idle, seluruh layar
pikiranku dipenuhi ingatan tentang kita bertiga. dari awal bertemu,
ketika statusku berubah menjadi obat nyamuk, sampai pandangan mata Lina
yang membuatku merasa bersalah ketika aku resmi menghancurkan arti
pertemanan yang telah kita jalani lebih dari 8 tahun ini.
Ya, aku mungkin layak mendapatkannya.
“Aku mencintaimu” suaranya tampak bergetar. dan aku berusaha untuk tidak menampakkan ekspresi apa pun.
Aku sudah berusaha tapi kata-kata itu tampak sangat keterlaluan
bagiku. aku memandangnya, marah. Aku tau air mataku akan segera
mengalir. Ada yang terluka dan dia berani katakan cinta padaku?
tapi tak satu kataku keluar dari mulutku. inilah aku ketika aku kelewat marah, atau bingung.
“aku dan Lina mungkin akan putus” suaranya semakin bergetar
“Aku akan membunuhmu jika kau putus dengan Lina.” akhirnya kata-kata
itu berhasil keluar dari mulutku. “bahkan jika bukan karena aku, aku
akan membunuhmu” tambahku sebelum dia sempat memotongnya.
Aku tau betul seberapa banyak Lina mencintai laki-laki ini. Lebih
dari hidupnya sendiri. dia akan kehilangan hidupnya juga ketika
kehilangan laki-laki ini.
Dia mendorong tubuhnya kebelakang, bersandar pada kursi. Sebenarnya,
tidak perlu sekeras itu. Tapi aku mengerti, dia mungkin sama kesalnya
seperti aku.
“Aku harusnya bisa menahan diriku sendiri”
Aku berpikir kemanakah pembicaraannya melaju
“aku seharusnya tak melakukan itu. menciummu.”
Adegan saat wajahnya mendekati wajahku dengan canggungnya muncul dalam ingatanku.
Aku masih ingat betul saat aku bisa merasakan nafasnya semakin hangat
menimpa wajahku. Saat bibir kami dengan lembut bersentuhan, aku tak bisa
mengendalikan diriku sendiri. Saat itu, walau dengan jelas aku bisa
mengingat wajah lina yang tersenyum imut dari kejauhan, aku tetap tak
bisa mengendalikan diriku sendiri dan membalas ciumannya. Lina
menyaksikan kami dalam pikiranku saat itu. dan ini membuatku merasa
sangat bersalah setiap kali aku menatap matanya. Merasa sangat bersalah
sampai pada tahap aku tak sanggup melihat senyumnya.
dan aku belum bisa menemukan kata-kata yang ingin aku keluarkan.
ekspresi blank-ku saat ini mungkin adalah ekspresi terbaik yang bisa aku
berikan padanya. Aku takut akan kemungkinan kearah mana kami akan
melaju, dan aku tidak memiliki cukup keberanian untuk menentukan arah
saat ini.
“tidakkah harusnya kita membicarakan ini?” Aku mendengar kemarahan
dalam suaranya. Aku ingin berkata, ‘kita tidak seharusnya membicarakan
ini, you stupid fool’ tapi semua tercekat ditenggorokanku, dan ini
membuatku mual.
“ok..” dia menghela nafas. “salahkulah karena aku mengira kita
harusnya membicarakan ini. karena kamu sepertinya tidak tertarik. aku
akan menyelesaikannya sendiri..”
sepersekian detik saat itu aku merasa otakku bekerja sangat cepat dan
aku hampir berteriak ketika menahannya pergi “apa?” aku menahan
tangannya “apa yang sebenarnya ingin kau selesaikan?” aku hampir
menangis saat mengatakknya. aku seharusnya tidak mengatakan apapun. tapi
entah kenapa mulutku sudah tidak bisa ditahan lagi “lupakan kejadian
itu” aku melepaskan tangannya. berharap dia duduk tenang kembali dan
benar2 menyelesaikan ini. tapi dia malah berdiri dan menjawab dengan
tenang “OKE” sebelum akhirnya melangkah keluar.
Air mataku benar2 keluar sekarang. ketika dia menjawab oke, hatiku
seperti teriris. Padahal aku ingin menyelesaikan ini dengan tenang,
dengan hati lapang, bahwa dia benar2 bukan milikku saat ini. apa aku
mengharapkan jawaban lain saat itu, aku pun tidak jelas. Tapi aku tidak
pernah membayangkan rasanya akan sesakit ini ketika hal ini terjadi.
Entah apa yang terjadi. aku mungkin mencintainya. mungkin juga tidak.
mungkin hanya harga diriku yang terluka, aku juga tidak yakin. tapi
siapalah yang dapat mendefenisikan apa itu cinta. dan ini mengejutkan
bahwa rasanya menyakitkankan mengetahui bahwa mulai saat ini aku tetap
harus menjadi saksi yang tersakiti atas hubungan Lina dengannya.
Tadinya aku benar2 percaya bahwa aku bisa menyelesaikan ini dengan
cool. tapi aku percaya rasa sakit ini tidak akan bertahan selamanya. Aku
mungkin telah patah hati, mungkin juga tidak. aku benar2 tidak tau…
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar