Translate

cerpen kisah ayah dan rokoknya

Written By iqbal_editing on Jumat, 23 Desember 2016 | 05.26

Kisah Ayah dan Rokoknya
Karya : Runari
Aku melihat ayah menghisap benda itu. Asap putih menyembul keluar dari hidungnya. Matanya menerawang sembari menghisap rokoknya lagi. Satu batang, dua batang, tiga batang, empat batang. Kali ini asap benar benar memenuhi ruang tempat ayah duduk. Mengalahkan semua oksigen di ruangan itu. Polusi asap mulai terasa menghampiriku yang duduk menonton tv. Ayah terbatuk keras. Suara batuknya terdengar memenuhi ruangan. Sejenak beliau memandangku, Lalu kembali menghisap rokok kelimanya. Ayah memang seorang perokok berat. Kemanapun ia pergi, rokok tak pernah lepas darinya. Ayah dan rokok, bagai gula dengan semut.
Aku semakin takut akan kesehatan ayah. Rokok membuat pola hidupnya tidak sehat. Ayah yang sehari-hari berprofesi sebagai tukang ojek, hanya berpenghasilan pas-pasan. “Pengahasilan mengojekku hanya untuk menghidupimu dan membeli rokok”. Ucap ayah padaku waktu itu. Aku yang sudah duduk di kelas VI sekolah dasar sudah mengetahui dan mempelajari tentang bahaya merokok. Kerap kali aku memberi tahu ayah, bahwa rokok itu menyebabkan kanker dan mengundang berbagai penyakit pernafasan. Tapi ayah seperti tutup telinga. Ayah selalu menganggap bahwa aku hanyalah anak kecil yang belum mengerti apa-apa.
Bel pulang sekolah telah berbunyi. Kulangkahkan kaki dengan cepat, berharap segera sampai di rumah. Dari kejauhan kulihat rumah tempatku tinggal. Rumah yang tak seindah rumah-rumah disekelilingnya. Kata nenek, rumah itu dibangun saat ibu masih mengandungku. Sudah sepuluh tahun umurnya, sama seperti umurku sekarang. Sepuluh tahun  berlalu, tapi rumah itu tak pernah berubah sejak aku kecil. Dindingnya masih belum disemen, dan alasnya pun belum diberi ubin. Ahh.. seandainya ayah tak merokok. Mungkin kini dinding rumah sudah dilapisi semen, lebih-lebih dicat dengan warna kesukaan ibu. Atau  mungkin kini alas rumah sudah di ubin, lebih lebih dikeramik sehingga aku bisa bermain dengan nyaman diatasnya.
Kubuka pintu rumah yang tertutup itu. Kakiku langsung membawa ku menuju dapur, Berharap ada makanan yang bisa aku makan disana. Aku kecewa, Seperti biasa tak ada satupun makanan di ruangan ini. Ahh...seandainya ibu masih ada, mungkin sekarang aku sedang makan masakannya yang sangat lezat itu. Sehingga perutku pun kenyang tidak seperti sekarang. Dua tahun lalu, ibu pergi meninggalkan aku dan ayah untuk selamanya. Kata dokter, ibu terkena penyakit emfisema. Sebuah penyakit paru-paru yang terjadi karena kerusakan pada alveolus. Penyakit itu seringkali mengganggu sistem pernafasan ibu sewaktu beliau masih hidup. Saat itu, aku sering melihat ibu memegang dadanya sambil merintih. Tuhan aku tak tega jika harus melihat ibu kesakitan seperti itu.
Kata nenek, ibu meninggal karena paru-parunya bocor. Hal itu menyebabkan oksigen tidak bisa mengisi paru-paru dengan sempurna. Penyakit ini disebabkan karena ibu sering menghisap zat zat berbahaya dari asap rokok yang selalu ayah hisap. Terhitung sejak SMA mereka bersama dan akhirnya menikah. Ahh.. seandainya ayah tak merokok. Mungkin kini aku masih punya sosok ibu yang selalu memberiku perhatian. Pengisi ruang sepi dalam hidupku. Ibu, kini kau sudah bahagia di surga. Aku yakin, di surga tidak ada asap rokok yang akan mengganggu pernafasanmu.
Kurasa, umurku belum cukup matang untuk berpisah dengan ibu. Seandainya ayah tak merokok, mungkin semua ini tidak akan terjadi padaku. Kemiskinan, kesendirian akibat ditinggal ibu, dan rasa kesepian ini. Entah mengapa aku selalu menyalahkan ayah dan rokoknya dalam hal ini. Secara tidak langsung aku juga korban dari rokok itu, walaupun kutahu korban sebenarnya yang kini telah tiada adalah ibu.
Setelah ibu pergi, ku pikir ayah dan rokoknya akan berpisah. Namun dugaanku salah. Bahkan sebaliknya, ayah dan rokoknya makin menjadi. Aku selalu bertanya dalam benakku, apakah ayah tidak merasa kehilangan ibu? Bukankah ibu adalah salah satu orang terkasih dalam hidupnya? Atau mungkin hati ayah telah mati, pergi terkubur bersama jasad ibu yang membawa kenangan-kenangan indah ayah? Apa karena hal itu ayah menjadi seperti tidak punya hati dan selalu bersikap dingin padaku. Ayah, aku rindu engkau yang dulu. Yang tetap memberiku senyuman hangat bukan kediaman yang kurasa dingin.
Kudengar suara pintu terbuka, membuyarkan semua lamunanku dan menghilangkan semua opiniku. Ternyata ayah pulang untuk beristirahat sejenak. Beliau membawa sebungkus nasi yang dibeli di warteg sepulangnya menarik penumpang. Sebatang rokok yang menyala dan berasap terselip di jemari tangannya. Ayah memberikan nasi itu padaku untuk mengisi perutku yang sedari tadi berbunyi. Aku memakan nasi itu dengan lahap. Ayah duduk sembari menghisap rokoknya lagi. “Ayah, bolehkah aku bertanya?” tanyaku pada ayah. “Bicara saja apa yang akan kau tanyakan itu?” jawab ayah.”Kata nenek, ibu meninggal karena penyakit yang disebabkan oleh asap rokok ayah. Jika itu benar, mengapa ayah masih merokok? Apa ayah tidak kehilangan ibu? Ayah, aku ingin seperti teman-temanku yang selalu membicarakan masakan ibu dengan senangnya. Aku rindu ibu, yah.” ucapku sambil menahan air mata.
Ayah terdiam. Rokok ditangannya sudah habis. Tangannya merogoh saku di celananya dan kembali menyalakan rokoknya. Ayah kembali menghisap rokoknya. Sepertinya ayah tidak ingin menjawab pertanyaanku. Tiba-tiba ayah terbatuk keras. Beliau segera berlari ke kamar mandi. Rokoknya terjatuh, tergeletak di lantai yang tak berubin. Lima menit kemudian ayah keluar dari kamar mandi dan langsung pergi dengan motornya. Masih kuingat jelas mukanya yang pucat.
 Mataku terasa berat, sepertinya aku ingin tidur siang. Aku terkantuk, sayup-sayup ku dengar suara orang memanggil namaku dari luar. Aku beranjak dari tempat tidurku dan segera menuju sumber suara itu. Ternyata suara Mang Karim, teman mengojek ayah. “Ada apa Mang Karim?” tanyaku pada Mang Karim. “Jamal, ayah kamu sekarang lagi dirawat di Rumah Sakit Pekalangan. Lebih baik sekarang kamu ikut Mang Karim pergi ke rumah sakit.” jawab Mang Karim. Aku terkejut. Berarti benar dugaanku. Ayah tidak baik-baik saja, dan kini sedang terjadi sesuatu dengan kesehatannya.
Sesampainya kami di rumah sakit, kami segera menuju ruangan bernomor 16A. “Ayahmu dirawat disini.” Kata Mang Karim sembari membuka pintu ruangan itu. Ada empat tempat tidur di ruangan ini. Dua tempat tidur kosong dan dipojok ruangan  kulihat nenek beserta saudara-saudara ayah sedang mengerubungi sebuah tempat tidur. Disitu ayah terbaring lemah, matanya tertutup dengan muka yang sangat pucat. “Jamal, sini dekat dengan nenek.” Kata nenek padaku. Aku sedih, aku kebingungan. Air mataku rasanya ingin menetes, tapi entah mengapa ada suatu kekuatan yang membuatnya tidak bisa jatuh mengalir. “Nenek, ayah kenapa?” Tanyaku pada nenek.
Kulihat mata nenek sembab. ”Penyakit bronkitis yang sangat kronis menyebabkan peradangan pada paru-paru ayahmu. Rupanya ayah kamu ini telah menyembunyikan penyakitnya sejak lama.” Kata nenek. Apakah itu berarti aku akan kehilangan ayah dan akan menjadi anak yatim piatu? tanyaku pada diriku sendiri. Kini hari-hari yang ayah lalui semakin berat. Demikian pula hari-hariku yang mulai kehilangan warna. Bagiku matahari tidak bersinar secerah dulu lagi. Terhitung sudah satu minggu ayah dirawat, dan selama itu perkembangan kesehatan ayah semakin menurun. Seandainya ayah tak merokok, mungkin kini ayah masih bisa mengojek. Masih bisa tersenyum. Dan masih bisa memberikan kasih sayang dan perhatiannya untukku. Selama ayah dirawat, biaya pengobatannya yang sangat mahal meminjam uang tabungan nenek. Ayah, andai engkau tahu. Rokok itu murah tapi obatnya yang mahal.
Adzan maghrib berkumandang. Aku segera sholat dan berdoa. Tuhan, sembuhkanlah ayah. Sehatkanlah tubuhnya dan angkatlah semua penyakitnya. Hilangkan rasa sakit yang kini beliau rasakan. Mungkin hanya itu doa dan harapanku saat ini. Kami segera kembali ke ruangan ayah. Aku melihat ayah  tersenyum padaku. Beliau menyuruhku mendekat padanya. “Jamal, maafkan ayah tidak bisa menjadi ayah yang baik untukmu. Mungkin ayah tidak bisa melihatmu sukses, nak.” kata ayah lemah. Aku terdiam. Air mata ini turun dengan sendirinya. Perasaan takut kehilangan dan rasa kesepian kembali terlintas di pikiranku. Hal yang sama terulang lagi, perasaan seperti dua tahun yang lalu saat ibu meninggal. Ayah kemudian memelukku sebentar lalu melepaskannya lagi. Kutatap ayah. Kulihat butiran air mata mengalir lembut di pipinya yang pucat.
Nenek mengajakku keluar untuk membeli makan. Tapi berat langkahku untuk meninggalkan ruangan ini. Sepertinya nenek tidak ingin aku menangis lebih keras di ruangan ini. Aku takut, jika aku pergi meninggalkannya sekarang lalu ayah akan pergi meninggalkanku selamanya. Tapi nenek terus menarikku keluar meninggalkan ruangan. Mungkin nenek merasa jika umurku ini belum cukup untuk melihat peristiwa apa yang akan terjadi selanjutnya.
Aku mendengar kalimat itu menyambut kedatangan aku dan nenek di ruangan ayah dirawat. Kalimat inna lillahi wa inna lillahi raji’un. Saat aku mendengarnya aku rasa kini dunia tidak  lagi bersamaku. Ingin kumaki Tuhan yang telah bersikap tidak adil pada hidupku. Tapi aku tidak bisa melawan takdir Tuhan. Takdir yang tidak akan pernah lepas dari kita. Nenek mengajakku pulang, dan berkata agar sesampainya di rumah aku harus mengaji surat Yasiin agar ayah dan ibu bahagia disana. Sesampainya di rumah, para tetangga telah berdatangan. Rupanya berita kematian ayah sudah menyebar.

Rasanya ini seperti mimpi. Di usiaku yang beranjak remaja ini, aku harus kehilangan kedua orang yang sangat berarti dalam hidupku. Kedua orang yang sangat kubutuhkan dalam pertumbuhanku. Kutabur bunga diatas pusara ayah sambil mendoakannya. Aku berjanji pada diriku, bahwa aku tidak akan seperti ayah. Aku akan menjauhi benda beracun yang tak bermanfaat itu. Aku tidak ingin kisahku berakhir seperti kisah ayah. Ayah, seandainya engkau tak merokok. Mungkin kini aku masih memilikimu dan ibu. Mungkin rumah kita akan terlihat indah seperti rumah-rumah yang lain. Dan mungkin kita akan menjadi keluarga kecil yang bahagia. Ayah, walau kini kau telah tiada namun ragamu masih kurasa ada bersama jiwaku.

0 komentar:

Posting Komentar

 
berita unik