Kisah Ayah dan Rokoknya
Karya : Runari
Aku
melihat ayah menghisap benda itu. Asap
putih menyembul keluar dari hidungnya. Matanya menerawang sembari menghisap
rokoknya lagi. Satu batang, dua batang, tiga batang, empat batang. Kali ini
asap benar benar memenuhi ruang tempat ayah duduk. Mengalahkan semua oksigen di
ruangan itu. Polusi asap mulai terasa
menghampiriku yang duduk menonton tv. Ayah terbatuk keras. Suara batuknya
terdengar memenuhi ruangan. Sejenak beliau memandangku, Lalu kembali menghisap
rokok kelimanya. Ayah memang seorang perokok berat. Kemanapun ia pergi, rokok
tak pernah lepas darinya. Ayah dan rokok, bagai gula dengan semut.
Aku
semakin takut akan kesehatan ayah. Rokok membuat pola hidupnya tidak sehat.
Ayah yang sehari-hari berprofesi sebagai tukang ojek, hanya berpenghasilan
pas-pasan. “Pengahasilan mengojekku hanya untuk menghidupimu dan membeli
rokok”. Ucap ayah padaku waktu itu. Aku
yang sudah duduk di kelas VI
sekolah dasar sudah mengetahui dan mempelajari tentang bahaya merokok. Kerap
kali aku memberi tahu ayah, bahwa rokok itu menyebabkan kanker dan mengundang
berbagai penyakit pernafasan. Tapi ayah seperti tutup telinga. Ayah selalu
menganggap bahwa aku hanyalah anak kecil yang belum mengerti apa-apa.
Bel
pulang sekolah telah berbunyi. Kulangkahkan kaki dengan cepat, berharap segera
sampai di rumah. Dari kejauhan kulihat rumah tempatku tinggal. Rumah yang tak
seindah rumah-rumah disekelilingnya. Kata nenek, rumah itu dibangun saat ibu
masih mengandungku. Sudah sepuluh tahun umurnya, sama seperti umurku sekarang.
Sepuluh tahun berlalu, tapi rumah itu
tak pernah berubah sejak aku kecil. Dindingnya masih belum disemen, dan alasnya
pun belum diberi ubin. Ahh.. seandainya ayah tak merokok. Mungkin kini dinding
rumah sudah dilapisi semen, lebih-lebih dicat dengan warna kesukaan ibu.
Atau mungkin kini alas rumah sudah di
ubin, lebih lebih dikeramik sehingga aku
bisa
bermain dengan nyaman diatasnya.
Kubuka pintu rumah yang tertutup itu.
Kakiku langsung membawa ku menuju dapur, Berharap
ada makanan yang bisa aku makan disana. Aku kecewa, Seperti biasa tak ada satupun makanan di
ruangan ini. Ahh...seandainya
ibu masih ada,
mungkin sekarang aku sedang makan masakannya yang sangat lezat itu. Sehingga
perutku pun kenyang tidak seperti sekarang. Dua
tahun lalu, ibu pergi meninggalkan aku dan ayah untuk selamanya. Kata dokter,
ibu terkena penyakit emfisema. Sebuah
penyakit paru-paru yang terjadi karena kerusakan pada alveolus. Penyakit itu seringkali mengganggu sistem
pernafasan ibu sewaktu beliau masih hidup. Saat itu, aku sering melihat ibu
memegang dadanya sambil merintih. Tuhan aku tak tega jika harus melihat ibu
kesakitan
seperti itu.
Kata
nenek, ibu meninggal karena paru-parunya bocor. Hal itu menyebabkan oksigen tidak bisa
mengisi paru-paru dengan sempurna. Penyakit ini disebabkan karena ibu sering
menghisap zat zat berbahaya dari asap rokok yang selalu ayah hisap. Terhitung
sejak SMA mereka bersama dan akhirnya menikah. Ahh.. seandainya ayah tak
merokok. Mungkin kini aku masih punya sosok ibu yang selalu memberiku
perhatian. Pengisi ruang sepi dalam hidupku. Ibu, kini kau sudah bahagia di
surga. Aku yakin, di surga tidak ada asap rokok yang akan mengganggu
pernafasanmu.
Kurasa, umurku belum cukup matang untuk berpisah dengan
ibu. Seandainya ayah tak merokok, mungkin semua ini tidak akan terjadi padaku.
Kemiskinan, kesendirian akibat ditinggal ibu, dan rasa kesepian ini. Entah
mengapa aku selalu menyalahkan ayah dan rokoknya dalam hal ini. Secara tidak
langsung aku juga korban dari rokok itu, walaupun kutahu korban sebenarnya yang
kini telah tiada adalah ibu.
Setelah ibu pergi, ku pikir ayah dan rokoknya akan
berpisah. Namun dugaanku salah. Bahkan sebaliknya, ayah dan rokoknya makin
menjadi. Aku selalu bertanya dalam benakku, apakah ayah tidak merasa kehilangan
ibu? Bukankah ibu adalah salah satu orang terkasih dalam hidupnya? Atau mungkin
hati ayah telah mati, pergi terkubur bersama jasad ibu yang membawa
kenangan-kenangan indah ayah? Apa karena hal itu ayah menjadi seperti tidak
punya hati dan selalu bersikap dingin padaku. Ayah, aku rindu engkau yang dulu.
Yang tetap memberiku senyuman hangat bukan kediaman yang kurasa dingin.
Kudengar suara pintu terbuka, membuyarkan semua lamunanku
dan menghilangkan semua opiniku. Ternyata ayah pulang untuk beristirahat
sejenak. Beliau membawa sebungkus nasi yang dibeli di warteg sepulangnya
menarik penumpang. Sebatang rokok yang menyala dan berasap terselip di jemari
tangannya. Ayah memberikan nasi itu padaku untuk mengisi perutku yang sedari
tadi berbunyi. Aku memakan nasi itu dengan lahap. Ayah duduk sembari menghisap
rokoknya lagi. “Ayah, bolehkah aku bertanya?” tanyaku pada ayah. “Bicara saja
apa yang akan kau tanyakan itu?” jawab ayah.”Kata nenek, ibu meninggal karena
penyakit yang disebabkan oleh asap rokok ayah. Jika itu benar, mengapa ayah
masih merokok? Apa ayah tidak kehilangan ibu? Ayah, aku ingin seperti
teman-temanku yang selalu membicarakan masakan ibu dengan senangnya. Aku rindu
ibu, yah.” ucapku sambil menahan air mata.
Ayah terdiam. Rokok ditangannya sudah habis. Tangannya
merogoh saku di celananya dan kembali menyalakan rokoknya. Ayah kembali
menghisap rokoknya. Sepertinya ayah tidak ingin menjawab pertanyaanku.
Tiba-tiba ayah terbatuk keras. Beliau segera berlari ke kamar mandi. Rokoknya
terjatuh, tergeletak di lantai yang tak berubin. Lima menit kemudian ayah
keluar dari kamar mandi dan langsung pergi dengan motornya. Masih kuingat jelas
mukanya
yang pucat.
Mataku terasa
berat, sepertinya aku ingin tidur siang. Aku terkantuk, sayup-sayup ku dengar
suara orang memanggil namaku dari luar. Aku beranjak dari tempat tidurku dan
segera menuju sumber suara itu. Ternyata suara Mang Karim, teman mengojek ayah.
“Ada apa Mang Karim?” tanyaku pada Mang Karim. “Jamal, ayah kamu sekarang lagi
dirawat di Rumah Sakit Pekalangan. Lebih baik sekarang kamu ikut Mang Karim
pergi ke rumah sakit.” jawab Mang Karim. Aku terkejut. Berarti benar dugaanku.
Ayah tidak baik-baik saja, dan kini sedang terjadi sesuatu dengan kesehatannya.
Sesampainya kami di rumah sakit, kami segera menuju
ruangan bernomor 16A. “Ayahmu dirawat disini.” Kata Mang Karim sembari membuka
pintu ruangan itu. Ada empat tempat tidur di ruangan ini. Dua tempat tidur
kosong dan dipojok ruangan kulihat nenek
beserta saudara-saudara ayah sedang mengerubungi sebuah tempat tidur. Disitu
ayah terbaring lemah, matanya tertutup dengan muka yang sangat pucat. “Jamal,
sini dekat dengan nenek.” Kata nenek padaku. Aku sedih, aku kebingungan. Air
mataku rasanya ingin menetes, tapi entah mengapa ada suatu kekuatan yang
membuatnya tidak bisa jatuh mengalir. “Nenek, ayah kenapa?” Tanyaku pada nenek.
Kulihat mata nenek sembab. ”Penyakit bronkitis yang
sangat kronis menyebabkan peradangan pada paru-paru ayahmu. Rupanya ayah kamu
ini telah menyembunyikan penyakitnya sejak lama.” Kata nenek. Apakah itu
berarti aku akan kehilangan ayah dan akan menjadi anak yatim piatu? tanyaku pada diriku sendiri. Kini hari-hari yang ayah lalui semakin berat. Demikian
pula hari-hariku yang mulai kehilangan warna. Bagiku matahari tidak bersinar secerah dulu lagi. Terhitung
sudah satu minggu ayah dirawat, dan selama itu perkembangan kesehatan ayah
semakin menurun. Seandainya ayah tak merokok, mungkin kini ayah masih bisa
mengojek. Masih bisa tersenyum. Dan masih bisa memberikan kasih sayang dan
perhatiannya untukku. Selama ayah dirawat, biaya pengobatannya yang sangat mahal
meminjam uang tabungan nenek. Ayah, andai engkau tahu. Rokok itu murah tapi
obatnya yang mahal.
Adzan maghrib berkumandang. Aku segera sholat dan berdoa.
Tuhan, sembuhkanlah ayah. Sehatkanlah tubuhnya dan angkatlah semua penyakitnya.
Hilangkan rasa sakit yang kini beliau rasakan. Mungkin hanya itu doa dan
harapanku saat ini. Kami segera kembali ke ruangan ayah. Aku melihat ayah tersenyum padaku. Beliau menyuruhku mendekat
padanya. “Jamal, maafkan ayah tidak bisa menjadi ayah yang baik untukmu.
Mungkin ayah tidak bisa melihatmu sukses, nak.” kata ayah lemah. Aku terdiam.
Air mata ini turun dengan sendirinya. Perasaan takut kehilangan dan rasa
kesepian kembali terlintas di pikiranku. Hal yang sama terulang lagi, perasaan
seperti dua tahun yang lalu saat ibu meninggal. Ayah kemudian memelukku sebentar
lalu melepaskannya lagi. Kutatap ayah. Kulihat butiran air mata mengalir lembut
di pipinya yang pucat.
Nenek mengajakku keluar untuk membeli makan. Tapi berat
langkahku untuk meninggalkan ruangan ini. Sepertinya nenek tidak ingin aku
menangis lebih keras di ruangan ini. Aku takut, jika aku pergi meninggalkannya
sekarang lalu ayah akan pergi meninggalkanku selamanya. Tapi nenek terus
menarikku keluar meninggalkan ruangan. Mungkin nenek merasa jika umurku ini
belum cukup untuk melihat peristiwa apa yang akan terjadi selanjutnya.
Aku mendengar kalimat itu menyambut kedatangan aku dan
nenek di ruangan ayah dirawat. Kalimat inna
lillahi wa inna lillahi raji’un. Saat aku mendengarnya aku rasa kini dunia
tidak lagi bersamaku. Ingin kumaki Tuhan
yang telah bersikap tidak adil pada hidupku. Tapi aku tidak bisa melawan takdir
Tuhan. Takdir yang tidak akan pernah lepas dari kita. Nenek mengajakku pulang,
dan berkata agar sesampainya di rumah aku harus mengaji surat Yasiin agar ayah
dan ibu bahagia disana. Sesampainya di rumah, para tetangga telah berdatangan.
Rupanya berita kematian ayah sudah menyebar.
Rasanya ini seperti mimpi. Di usiaku yang beranjak remaja ini, aku harus kehilangan kedua orang yang sangat berarti dalam hidupku. Kedua orang yang sangat kubutuhkan dalam pertumbuhanku. Kutabur bunga diatas pusara ayah sambil mendoakannya. Aku berjanji pada diriku, bahwa aku tidak akan seperti ayah. Aku akan menjauhi benda beracun yang tak bermanfaat itu. Aku tidak ingin kisahku berakhir seperti kisah ayah. Ayah, seandainya engkau tak merokok. Mungkin kini aku masih memilikimu dan ibu. Mungkin rumah kita akan terlihat indah seperti rumah-rumah yang lain. Dan mungkin kita akan menjadi keluarga kecil yang bahagia. Ayah, walau kini kau telah tiada namun ragamu masih kurasa ada bersama jiwaku.
0 komentar:
Posting Komentar