Cerpen Karangan: Rianna Andayani
Kategori: Cerpen Cinta, Cerpen Remaja
Lolos moderasi pada: 20 May 2014
Aku mengenal Daniel sejak satu bulan yang lalu, ketika aku hampir tertabrak motor saat hendak menyeberang menuju warung mie ayam. Daniel pun menyelamatkanku. Setelah itu dia meminta nomor handphone-ku dan mengantarkanku pulang sampai ke depan gang.
Setelah sebulan berkomunikasi dengan Daniel lewat SMS, telepon dan sosial media, aku tahu bahwa aku dan dia memiliki banyak kesamaan. Terutama dalam hal percintaan. Ternyata nasib kami berdua sama, istilah gaul sekarang adalah “sumo”, kependekan dari susah move on. Kami saling curhat, saling mengerti, saling berbagi satu sama lain. Hingga kurasakan chemistry di antara hubungan kami ini.
Drrtt.. drrt.. drrt.. Mungkin semua cinta takkan hilang dan terlupa.. drrt.. drrt drrt.. Lagu Dantha feat. Lindhut – Saat Ku Nanti yang berdering di handphone ku menandakan panggilan masuk dari Daniel.
“Hah? Apa? Ketemuan? Minggu depan? Di Marko?” aku ternganga.
“Iya. Kenapa, Dhe?”
“Masalahnya, aku susah keluar. Aku nggak kayak kamu, aku nggak kayak cewek-cewek lain, aku belum tentu diizinkan pergi, apalagi sama cowok.”
“Tapi, aku pengen banget ketemu kamu lagi setelah pertemuan pertama kita yang begitu singkat.”
“Beri aku waktu untuk berfikir, Dan.”
“Besok jalan-jalan yok!” ajak Mitha ketika kami sedang menikmati soto.
“Gimana kalau ke rumah Nisa?” usul Via.
“Rumah Nisa dimana?” tanyaku.
“Di deket Tamansari itu lho.”
“Oh.. Iya, ke rumah Nisa aja! Aku juga belum pernah ke sana.” Dekat Tamansari? Bagaimana jika aku mengajak Daniel bertemu di sana?
“Oke, besok pulang sekolah langsung ke rumah Nisa ya!” Fani pun setuju.
Setelah sampai di rumah, seperti biasa aku langsung mengecek handphone-ku dan pasti ada satu SMS dari Daniel. Aku langsung menawarkan rencana untuk besok, ke Tamansari. Daniel setuju. Rasanya tak sabar menunggu datangnya esok hari.
Alarm di handphone¬-ku telah berbunyi. Pertanda aku harus menyambut hari yang baru ini. Hari yang kunanti-nantikan. Hari pertemuan kedua antara aku dengan Daniel. Seperti biasa, aku, Via, Mitha, Sabrina, Fani dan Nisa berkumpul di area perpustakaan sebelum bel masuk berbunyi. Ternyata, Nisa hari ini ada acara keluarga, sehingga aku dan teman-teman tidak bisa berkunjung ke rumahnya. Awalnya aku kecewa mendengar berita itu, tetapi Fani mengusulkan agar nanti sepulang sekolah kami ke Marko. Marko? Tepat sekali, itulah tempat yang Daniel ingin kunjungi bersamaku.
Selesai berdoa, aku segera menghambur keluar dari kelas dan menghampiri Via, Mitha dan Fani yang telah berkumpul di depan ruang piket. Via yang rumahnya dekat dari sekolah, pulang untuk mengambil motor. Via membonceng Fani, aku membonceng Mitha dengan sepeda.
Sesampainya di sana, kami segera memesan makanan dan minuman. Sambil menunggu pesanan datang, tanpa menunda-nunda aku mengirim pesan singkat untuk Daniel yang intinya aku menyuruh dia datang ke Marko. Pesan itu sudah kukirim dua kali, namun masih pending. Mungkin belum pulang sekolah. Akhirnya saat jam menunjukkan pukul setengah dua belas, ada panggilan masuk dari Daniel.
“Halo Dhea? Maaf, aku nggak bisa. Aku habis pulang sekolah ini ada pendalaman iman.”
“Oh. Iya, nggak papa,” jawabku berusaha menyembunyikan rasa kecewaku.
“Kamu nggak marah, kan? Gimana kalau besok habis pulang sekolah kita ketemuan di warung mie ayam tempat pertama kali kita ketemu?”
“Hah? Oh, iya iya, oke Dan.” Aku pun teringat saat Daniel menyelamatkanku di tempat itu.
Arlojiku menunjukkan pukul 11.40. 10 menit lagi pelajaran bahasa Inggris ini berakhir dan aku segera bertemu dengan Daniel. Aku pun menceritakan kegagalan pertemuanku dengan Daniel kemarin kepada teman sebangkuku, Sabrina. Aku berharap tak ada kegagalan lagi pada hari ini.
Bel pulang sekolah berbunyi. Seperti kemarin, aku segera menghambur keluar kelas dan menghampiri Via, Mitha, dan Fani. Sementara menunggu kabar dari Daniel, kami nongkrong di warung soto Bu Idris. Akhirnya pesan singkat yang kunanti-nanti tiba. Aku segera melangkahkan kaki menuju warung mie ayam itu. Via, Mitha dan Fani berjalan di belakangku. Setelah sampai, aku duduk di tempat paling belakang. Sedangkan Via, Mitha, dan Fani duduk di bangku yang terletak di depan warung itu. Tak lama kemudian terdengar suara motor yang sepertinya berhenti di depan warung ini. Via menoleh ke arahku. Datanglah seorang laki-laki berkaos coklat, bercelana panjang jeans hitam. Ya, dialah yang kutunggu-tunggu. Kami bertemu pandang beberapa detik. Tanpa ada sepatah kata pun yang terucap, Daniel duduk di kursi yang berhadapan denganku.
“Kami pulang dulu ya, Dhe,” pamit Via. Aku melotot ke arahnya. Padahal tadi mereka sudah kupesani agar tak meninggalkan aku sebelum acara pertemuan kedua ini selesai. Aku pun semakin mati gaya.
Saat pelayan datang memberikan pilihan menu ke meja kami, kalimat pertama terucap dari bibir lelaki di depanku, “Mau pesen apa?”
“Minum aja. Kamu?”
“Susu coklat,” jawabnya sambil menuliskan pesanannya. Aku pun juga menuliskan pesananku, teh hangat.
“Pinjem HP-nya.” Ia pun langsung mengambil handphone-ku dari tanganku. Aku tak berkata apa-apa, walau sebenarnya hati ini berkata “kau kurang ajar, Dan”. Kutundukkan kepalaku. Bibirku terkunci, ku tak tahu apa yang harus kukatakan.
“Kamu masih sering SMS-an sama Allam, Dhe?”
“Enggak. Itu SMS yang dulu masih aku simpen.”
“Masih kepo sama mantan, ya?”
“Enggak kok. Kamu sendiri?”
“Enggak juga.”
Sesaat aku memandang wajahnya, sepertinya dia pun juga melakukan hal yang sama. Saat kami bertemu pandang, salah tingkah menyerangku. Aku segera mengambil handphone-ku dan berpura-pura sibuk dengannya.
45 menit sudah berlalu. Daniel berdehem, lalu bertanya, “Kamu mau nggak jadi pacarku?”
“Apa?” responku dengan refleks. Deg! Jantungku berdetak kencang. Aku tak menyangka akan ada pertanyaan seperti ini, meskipun mungkin inilah yang kuharapkan.
“Mau nggak jadi pacarku?”
“Emm..” Aku menganggukkan kepalaku.
Tiba-tiba ada pesan masuk. Ternyata dari ibuku, beliau menanyakan keberadaanku sekarang.
“Dan, aku pulang dulu ya. Udah di-SMS, nih!” pamitku terburu-buru.
“Oh, oke. Hati-hati ya!” ucapnya sambil melontarkan senyuman.
“Iya.” Aku segera berlari keluar dari warung mie ayam itu ketika Daniel masih membayar di kasir.
Seperti dikejar-kejar waktu, lariku semakin cepat sehingga handphone yang ada di saku rokku hampir jatuh.
Terima kasih untuk satu jam yang berkesan ini. Cinta kita telah bersemi di warung mie ayam, saksi bisu kenangan kita berdua.
Cerpen Karangan: Rianna Andayani
0 komentar:
Posting Komentar