Tukang Jahit
Agus Noor
Tukang jahit itu selalu muncul setiap kali menjelang Lebaran. Seolah
muncul begitu saja ke kota ini. Kata orang, ia tak hanya bisa menjahit
pakaian. Ia juga bisa menjahit kebahagiaan. Tukang jahit itu punya jarum
dan benang ajaib yang bisa menjahit hatimu yang sakit. Jarum dan
benang, yang konon, diberikan Nabi Khidir dalam mimpinya.
Ibu pernah bercerita, betapa dulu, setiap menjelang Lebaran, kota ini
selalu didatangi banyak sekali tukang jahit. Kemunculan mereka selalu
menjadi pemandangan yang menakjubkan, Nak. Ketika cahaya matahari pagi
yang masih lembut kekuningan menyepuh perbukitan dan halimun
perlahan-lahan menyingkap, kau bisa menyaksikan serombongan tukang jahit
yang masing-masing memikul dua kotak kayu berbaris muncul dari balik
lekuk bukit. Kanak-kanak akan berlarian senang menyambut kemunculan
mereka, “Tukang jahit datang! Asyiik! Lebaran jadi datang!” Seakan-akan
bila para tukang jahit itu tak muncul, maka Lebaran tidak jadi datang ke
kota ini.
Di
hari-hari menjelang Lebaran itulah, Nak, kota akan terlihat penuh tukang
jahit yang berkeliling menawarkan menjahitkan pakaian. Mereka menggelar
dasaran di trotoar, di pojokan jalan, di keteduhan pepohonan, di emper
pertokoan. Mereka mengeluarkan mesin jahit lipat dari dalam kotak yang
dibawanya; menata bundelan-bundelan benang, jarum dondom dan jarum
pentul, gunting, silet, mangkuk-mangkuk berisi kancing warna-warni,
meletakkannya di atas kotak kayu yang digunakan sebagai meja. Para
penduduk antre menjahitkan pakaian dan hiruk dalam keramaian menyambut
Lebaran. Anak-anak berceloteh riang tentang baju baru yang akan mereka
kenakan.
Selalu menyenangkan memperhatikan tukang jahit itu bekerja, Nak. Seperti
menyaksikan tukang sulap, yang mampu mengubah kain-kain warna-warni
menjadi baju-baju indah dalam sekejap. Mereka duduk bersila menggerakkan
engkol mesin jahit dengan tangan kanannya, sementara tangan kirinya
lincah dan cepat mengarahkan pola potongan kain yang dijahit. Kau akan
mendengar gema mesin jahit yang terus bergemeretak hingga larut malam.
Serasa ada gema burung pelatuk di mana-mana. Karena para tukang jahit
itu mesti menyelesaikan semua jahitan sebelum hari Lebaran. Dan di malam
takbiran, para tukang jahit itu tampak bergegas keluar kota. Seperti
kemunculannya yang entah dari mana, para tukang jahit itu pun menghilang
entah ke mana. Begitulah, Nak, selalu, dari tahun ke tahun, para tukang
jahit itu muncul setiap kali menjelang Lebaran dan menghilang di malam
takbiran.
Tapi semakin lama kian menyusut tukang jahit yang muncul ke kota ini.
Entahlah, Nak. Mungkin banyak dari tukang jahit itu yang mati. Mungkin
juga mereka memilih berhenti jadi tukang jahit. Atau mereka tak mau lagi
datang, karena makin lama makin banyak warga yang malas menjahitkan
pakaian pada tukang jahit-tukang jahit itu. Sejak banyak toko fashion,
factory outlet, butik dan pusat perbelanjaan di kota ini, orang-orang
lebih suka membeli pakaian jadi. Tak ada lagi keriuhan suara mesin jahit
di kota ini setiap menjelang lebaran. Zaman, barangkali, memang
mengubah selera, Nak. Maka, para tukang jahit yang masih muncul pun
lebih banyak menghabiskan waktu mereka dengan melinting dan mengisap
tembakau. Mereka hanya duduk-duduk tanpa mengerjakan jahitan, memandangi
orang-orang yang lalu lalang keluar masuk pusat perbelanjaan menenteng
tas-tas belanjaan berisi pakaian. Mungkin para tukang jahit itu merasa
betapa kota ini tak lagi membutuhkan mereka, lalu mereka memilih
mendatangi kota-kota lain yang masih mau menerima kedatangannya.
Entahlah, Nak. Yang jelas sudah sejak lama, setiap menjelang Lebaran,
tak ada lagi pemandangan menakjubkan arak-arakan serombongan tukang
jahit yang muncul di kota ini.
Tinggal tukang jahit itu, satu-satunya tukang jahit, yang masih muncul
di kota ini. Ia seperti laskar terakhir prajurit yang terusir. Berjalan
keliling kota menawarkan jahitan. Tapi ia lebih sering terlihat di sudut
dekat gang kecil agak di pinggiran kota. Menisik dan menjahit.
Perawakannya kurus, kulitnya seperti kulit mahoni yang menua, tak banyak
bicara, dan wajahnya seperti rahasia yang tak mau dibuka. Memang tak
banyak lagi orang yang mau menjahitkan pakaian padanya, Nak, tapi kau
lihat, selalu saja ada orang yang datang padanya. Dan itu karena ia tak
hanya pintar menjahit pakaian, tetapi juga kebahagiaan. Orang tak hanya
menginginkan baju baru saat Lebaran, Nak. Tapi juga ingin bahagia di
saat Lebaran. Bila ada orang sedih yang datang padanya, maka tukang
jahit itu akan menjahit hati orang yang lagi sedih itu. Kau tahu, Nak,
di tangan tukang jahit itu, kebahagiaan yang robek dan koyak menjadi
seperti selembar kain lembut yang bisa dijahit kembali. Ia menjahitnya
dengan rapi, halus, dan membuat orang-orang itu merasa tenteram.
Ibu pernah menggendongmu datang ke tukang jahit itu, Nak. Delapan
Lebaran lampau. Kau masih empat tahun saat itu. Mungkin kau tak ingat.
Saat itu Ayahmu baru meninggal, tiga bulan sebelum Lebaran. Ibu merasa
kesepian dan sedih membayangkan Lebaran tanpa Ayahmu. Lalu diantar
Pamanmu, Ibu mendatangi tukang jahit itu. Ia sempat mengelus rambutmu.
Ia menjahit luka hati ibu, Nak. Di dada sebelah sini. Rabalah, begitu
halus. Tak bertilas. Tak berbekas.
Lalu Ibu bercerita tentang jarum dan benang yang dimiliki tukang jahit
itu. Kau tahu, Nak, Nabi Khidir muncul dalam mimpinya suatu kali.
Memberi tukang jahit itu segulung benang dan jarum. Benang itu tipis dan
bening, seperti senar, tetapi lebih lembut dan halus. Kau bisa
melihatnya, tetapi tak bisa menyentuhnya. Benang yang tak akan habis
bila dipakai untuk menjahit seluruh pakaian yang ada di dunia ini. Dan
jarum itu, Nak, kadang tampak memancarkan cahaya lembut ketika dipegangi
tukang jahit itu. Dengan jarum dan benang itulah tukang jahit itu
menjahit kembali kebahagiaan orang-orang….
Begitulah, dari tahun ke tahun, selalu kulihat tukang jahit itu muncul
di kota ini setiap kali menjelang lebaran. Cerita Ibu hanyalah salah
satu cerita dari banyak cerita yang kudengar tentang tukang jahit itu.
Ada yang mengatakan, ia sebenarnya tinggal di balik bukit itu. Tapi
cerita lain membantahnya. Kisah tentang kampung para penjahit juga
pernah aku dengar. Sebuah kampung, yang seluruh penghuninya adalah
tukang jahit. Di kampung itulah ia tinggal. Namun sudah berpuluh tahun
lalu kampung itu lenyap. Seluruh tukang jahit yang tinggal di kampung
itu mati oleh wabah yang tak pernah diketahui apa. Hanya ia, tukang
jahit itu, satu-satunya yang selamat. Itulah sebabnya, kini ia
satu-satunya tukang jahit yang masih muncul ke kota ini. Yang lain
bilang kalau ia memang sempat bertemu Nabi Khidir dan menjadi muridnya.
Ia tinggal di sebalik cakrawala, di sebuah perbatasan antara hidup dan
kematian. Ia tinggal di sana, sepanjang hari memintal benang kesabaran.
Benang yang dipintal dari bulu-bulu sayap malaikat. Dengan benang itulah
ia ditugaskan oleh Nabi Khidir untuk menjahit hati orang-orang yang
sedih menjelang Lebaran.
Semua cerita itu sesungguhnya tak pernah menjelaskan tentang tukang
jahit itu, malah makin menyelimutinya dengan misteri. Ia sendiri tak
pernah mau bercerita tentang dirinya. Kemunculannya selalu dalam diam.
Nyaris tanpa suara berkeliling memikul dua kotak kayu yang membuat
jalanya jadi agak membungkuk. Aku ingat, sewaktu kanak, aku dan
kawan-kawan sepermainan kerap mengikuti di belakangnya sambil
berteriak-teriak, seakan meledek tukang topeng monyet keliling. Dan
tukang jahit itu tetap saja diam.
Agak di pinggiran kota ada gang buntu kecil yang letaknya di tikungan
jalan. Gang yang rindang dan lengang meski ada juga beberapa lapak
penjual barang loakan. Di pojokan gang itulah tukang jahit itu selalu
menggelar dasaran dan istirahat. Menjahit dan tidur di situ selama
hari-hari menjelang Lebaran. Tak pernah bercakap ia dengan para penjual
loakan di situ. Tak banyak juga orang yang mendatanginya.
Tapi dari Lebaran ke Lebaran semakin banyak saja orang-orang yang datang
ke tukang jahit itu. Cerita tentang jarum dan benang ajaib itu mungkin
membuat banyak orang penasaran. Tapi barangkali pula karena dari Lebaran
ke Lebaran memang semakin banyak orang yang kian tenggelam dalam
kekecewaan. Mereka ingin menjahitkan kekecewaan mereka pada tukang jahit
itu. Mereka antre agar bisa menikmati kebahagiaan Lebaran.
Menjelang Lebaran ini, kulihat antrean itu sudah sedemikian mengular
panjang memacetkan jalanan. Rasanya, inilah antrean terpanjang yang
pernah kulihat di kota ini. Padahal tukang jahit itu belum lagi muncul!
Mereka tampak sudah tak sabar menunggu kemunculan tukang jahit itu.
Mereka sudah menunggu sejak dini hari, bahkan ada yang sudah menunggu
berhari-hari.
Saat melintas sepulang belanja kue penganan dan pakaian buat Lebaran,
anakku memandang heran antrean itu. Karena banyaknya antrean yang
meluber hingga ke tengah jalan, aku menjalankan mobil pelan-pelan. Dari
radio terdengar nyanyian riang: Lebaran sebentar lagi….
“Sedang antre apakah orang-orang itu, Ayah?”
“Mau menjahitkan…”
“Menjahitkan pakaian?”
“Bukan. Menjahitkan kebahagiaan.”
“Kok kayak mau ngantre minyak tanah?”
Barangkali, sekarang ini kebahagiaan memang seperti minyak tanah. Tidak
semua orang dengan gampang mendapatkannya. Bahkan untuk sekadar bisa
menikmati kebahagiaan di hari Lebaran pun kini orang mesti antre
berdesak-desakan.
“Kenapa menjelang Lebaran begini mereka kok tidak bahagia, Ayah?”
“Mungkin mereka tak punya uang buat pulang kampung. Tak bisa membelikan
baju baru. Bingung karena masih nganggur. Pusing karena semuanya makin
mahal. Mungkin juga mereka hanya merasa makin sedih saja….”
Lalu kuceritakan apa yang dulu pernah diceritakan Ibu padaku.
Kuceritakan tentang tukang jahit itu. Tentang jarum dan benang yang bisa
menjahit kesedihan.
“Jadi mereka menunggu tukang jahit itu, Ayah?”
“Ya.”
“Bagaimana kalau tukang jahit itu tak muncul, Ayah?”
Aku menatap matanya yang menunggu jawaban, kemudian memandang gamang ke
arah orang-orang yang antre itu. Kulihat antrean itu sudah sedemikian
panjangnya, hingga menyentuh ujung terjauh cakrawala yang mulai
menggelap.