Hari dimana aku mati
Dihari itu ruhku melayang sebelum digiring malaikat. Pergi ke
rumah, menatap rupa istri untuk terakhir kali. Ternyata ia sedang tidur
di kamar dan ada laki-laki di balik selimut. Di hari itu aku bersyukur
telah mati. Setidaknya ragaku tak merasakan sakit hati.
Depan-Belakang
Setahun sudah aku duduk di belakangnya
Setiap hari aku menatap punggungnya
Ingin sekali kurangkul dengan lembut
Setiap saat aku melihat rambutnya
Ingin kucium kubelai dan cium wangi rambutnya
Tahun-tahun ini aku selalu semangat sekolah
Sengaja untuk selalu datang terlambat
Agar bisa menatap wajahnya ketika aku menuju bangku
Selepas itu aku hanya menunduk malu hingga pelajaran usai
Dan hari ini bangku di depanku telah kosong
Dia meninggalkan sekolah ini
Meninggalkan bumi ini
Sedihku sangat mendalam, tanganku senantiasa gemetar
Bilamana teringat kembali sosok penyemangat hidup
Jasadnya ditemukan mengambang di sungai belakang sekolah
Dengan tangan gemetar ini aku mendorongnya
Ketika mulut kecilnya menghinati semua inginku
Lupa Diri
Bulan berdiri tepat di atas kepala
Dingin telah menusukan belatinya yang tajam
Ramai hanya diisi para makhluk nokturnal
Kita masih berdiri
Enggan untuk berpisah, masih berhasrat untuk bercakap
Tak sadar, fajar tiba-tiba saja datang
Embun membasahi diri
Dan kita masih saja berdiri
Membeku, seperti dikutuk menjadi batu
Entahlah, mungkin kita sejatinya hanyalah patung
Yang memiliki jiwa, memiliki cinta
Bandung, 21 September 2014
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar