Ketika tatapan sinis itu..
seperti mengisyaratkan..
mengisyaratkan agar aku mati..
Ketika tatapan sinis itu..
tatapan yang sangat tajam..
membuatku murka dan benci..
Akulah psycho..
Aku lahir dengan ketidakmampuanku..
Akankah aku selamanya seperti ini?
Kematian..
Dengan apapun itu..
Dengan Cara apapun itu..
aku ingin kematian menjemputku..
Aku terlalu benci jika tatapan sinis itu datang..
Aku ingin sekali memotong..
membunuhun orang dengan tatapan sinis itu..
Lihatlah diriku..
Aku terlalu mematikan bagi sebagian orang..
Tidak ada yang menerima keberadaanku..
Tuhan...
Tolong Bunuh aku dengan cara apapun..
Agar aku bisa merasakan hidup yang benar benar hidup..
Sebagian Diriku
Kita saling memandang dari kejauhan. Aku melirikmu dari balik
batang pohon dan kamu memantauku dengan kamera berlensa besar. Ketika
masing-masing diri berpisah berlawanan arah. Ada sebagian dari diriku
yang masih berada di balik pohon itu. Menunggu bayang-bayangmu hilang di
ujung jalan.
Dan ketika tengah malam, sebagian diriku itu datang.
Menghempaskan diri, menghembuskan nafas panjang dan berujar. Langkah
kakinya masih jelas terdengar, bayang tubuhnya masih terang diingatan.
Sebagian dari diriku tengah kasmaran, sebagiannya lagi mati membusuk
dalam pengharapan.
Satu yang akan selalu menerima
Setidaknya masih ada yang menerimaku
Ketika hidup telah habis oleh hina dan olokan Hidupku tak dipandang ada oleh siapa saja Aku masih terbilang waras Menginginkan wanita, tak perduli seperti apa wujudnya Tapi rupa yang mengerikan sekalipun telah enggan mendekat Layaknya diriku dedemit yang paling buruk rupa Banyak sekali manusia yang elok akan wajah Tapi busuk akan moral Mulut dijadikannya slang tanpa saringan. Disemburkannya segala cibiran tepat di wajah Mata mereka telah menjadi godam Ditempanya diriku, sehingga berada di serendah-rendahnya tempat Setidaknya masih ada yang berbaik hati menyambutku datang Sesuatu yang tak pernah membeda-bedakan Tak pernah melihat, membandingkan dan menghitung untung-rugi Masih ada tangan yang mau terbuka menerimaku Dan aku memilih ke sana Untuk dipeluknya, untuk istirahat dari segala lelah menjadi orang hina Biarlah aku membusuk dalam pelukannya Bumi yang akan selalu menerima Hari dimana aku mati Dihari itu ruhku melayang sebelum digiring malaikat. Pergi ke rumah, menatap rupa istri untuk terakhir kali. Ternyata ia sedang tidur di kamar dan ada laki-laki di balik selimut. Di hari itu aku bersyukur telah mati. Setidaknya ragaku tak merasakan sakit hati.
Ketika hidup telah habis oleh hina dan olokan Hidupku tak dipandang ada oleh siapa saja Aku masih terbilang waras Menginginkan wanita, tak perduli seperti apa wujudnya Tapi rupa yang mengerikan sekalipun telah enggan mendekat Layaknya diriku dedemit yang paling buruk rupa Banyak sekali manusia yang elok akan wajah Tapi busuk akan moral Mulut dijadikannya slang tanpa saringan. Disemburkannya segala cibiran tepat di wajah Mata mereka telah menjadi godam Ditempanya diriku, sehingga berada di serendah-rendahnya tempat Setidaknya masih ada yang berbaik hati menyambutku datang Sesuatu yang tak pernah membeda-bedakan Tak pernah melihat, membandingkan dan menghitung untung-rugi Masih ada tangan yang mau terbuka menerimaku Dan aku memilih ke sana Untuk dipeluknya, untuk istirahat dari segala lelah menjadi orang hina Biarlah aku membusuk dalam pelukannya Bumi yang akan selalu menerima Hari dimana aku mati Dihari itu ruhku melayang sebelum digiring malaikat. Pergi ke rumah, menatap rupa istri untuk terakhir kali. Ternyata ia sedang tidur di kamar dan ada laki-laki di balik selimut. Di hari itu aku bersyukur telah mati. Setidaknya ragaku tak merasakan sakit hati.
0 komentar:
Posting Komentar