Translate

cerpen jempol kakiku

Written By iqbal_editing on Kamis, 04 Mei 2017 | 03.43

Jempol Kakiku…

[cerpen tanpa dialog]
By: -Ra

Titik hitam di sela kuku jempol kakiku…Aku selalu membencinya, muak melihatnya, dan sebel tiap kali ia selalu muncul kembali, tak aneh jika membersihkan titik hitam itu kuanggap salah satu hal utama yang harus aku lakukan. Biar kecil tapi bikin bete. Aku tak pernah membayangkan, bagaimana jadinya ketika aku memperagakan sepatu atau sandal keluaran terbaru disainer terkenal, lalu ada seseorang atau mungkin beberapa orang yang akan melihatnya. Annelies, Seorang model kondang, ternyata kuku jempol kakinya hitam, bernoda, kotor, dan tentu saja jorok. Bisa turun pasaranku. Bahkan karena kaki saja aku pernah mendapatkan kontrak sebesar tiga puluh lima juta sebulan hanya untuk dipajang sebagai iklan produk sandal wanita sebuah rumah fashion kelas dunia. Jadi, kurasa tidak salah kalau aku begitu memperhatikan keindahan dan kebersihan kuku kakiku yang tak mungkin kubiarkan kaku-kaku karena panas hingga menjadi pecah-pecah, kering, bau dan mengelupas. Amit-amit…
Sebuah cermin terpasang di dinding kamarku. Cermin berukuran satu setengah kali tinggi tubuhku. Kulihat seorang gadis sedang melipat kakinya, badan yang membungkuk, dan rambut panjang yang tergerai. Itu aku, sedang membersihkan titik hitam yang lagi-lagi nyelip di kuku kakiku. Sudah bersih. Aku tersenyum puas. Titik hitam itu untuk sementara menghilang, dan akan kembali lagi dua atau tiga hari lagi. bukannya aku jorok, tapi itu memang tak bisa kuhindari. Aku tak biasa kemana-mana memakai kaos kaki. Lagi pula, sayang sekali jika harus mengenakan kaos kaki sementara aku memakai sandal dan sepatu feminim dengan model keluaran terbaru, memperjelek fashion. Aku jarang membeli sepatu-sepatu yang biasa dikenakan dengan kaos kaki, tidak hobi. Maka aku hanya memakai kaos kaki ketika joging, tenis, atau mungkin memang diperlukan untuk acara sporty.
Udara malam, dingin. Badanku menggigil. Kulihat lagi ada bayangan ribuan bintang yang menempel di cermin kamarku. Tapi tak ada bulan. Hanya bintang yang merekah meredup ribuan kali. Lalu seorang gadis berdiri. Mengenakan gaun berwarna biru tipis dengan kain yang pastinya terasa sangat lembut di kulit. Aku menyentuh pipiku, gadis itu melakukan hal yang sama. Aku tersenyum dan melambai padanya, ia pun melakukan hal yang sama. Matanya coklat, rambutnya diwarnai dengan warna coklat senada dengan warna matanya, style yang sangat kusuka. Aku mendekat ke cermin, gadis itu makin terlihat jelas dan dekat denganku. Aku tersenyum lagi. betapa cantik dan sempurnanya aku. Kakiku panjang, banyak yang bilang seksi, kulitku bersih, pipiku kemerahan sejak lahir, dengan bentuk badan yang selalu diimpi-impikan setiap wanita. Aku tersenyum, gadis itu juga tersenyum. Ah, andai semua wanita tahu tentang perjuanganku mendapatkan nama besar di dunia modelling.
Annelies. Siapa yang tak mengenalku. Tak ada, oh mungkin ada, seperti tukang becak, tukang jualan nasi goreng, tukan tambal ban, dan beberapa orang lain yang tak memperdulikan ada tidaknya diriku. Aku tak peduli, toh aku juga tak terlalu membutuhkan mereka. Aku membutuhkan tubuh indahku untuk tetap eksis. Kurasa gejala-gejala aneh yang kualami untuk mendapatkannya pun tak terlalu berlebihan. Dulu, aku selalu memuntahkan apapun yang kumasukkan dalam tubuhku. Aku menyebutnya aksi in and out. Masuk dan keluar. Makan sebanyak-banyaknya apa yang ingin kumakan, lalu mengeluarkannya untuk menjaga berat badan. Memuntahkannya, membiarkannya mengalir dan mengambang di kloset. Walau harus beberapa kali di rawat, setidaknya aku mendapat imbalan setimpal dengan semua usahaku. Aku benar-benar kurus. Tubuh yang dibutuhkan di dunia model, lambat laun namaku melambung di cat walk, di papan iklan, di layar tivi, di majalah fashion, di butik-butik para disainer terkenal. Sekarang aku bukan Annelies yang biasa saja, Annelies yang gendut dan tak menarik. Aku adalah itik jelek yang berubah menjadi angsa. Impianku sejak lahir telah kugenggam. Jadi, tak kubiarkan titik hitam, si debu jelek itu, si kotoran menyebalkan itu menempel dengan gembiranya sekalipun di sela kaki jempol kakiku.
 ooOoo
 Sore yang cerah.. tak terasa sudah berjam-jam aku berjalan di dalam gedung tinggi itu. Sekedar cuci mata dan membeli beberapa barang ‘menarik’. Tidak sendiri tentunya. Ada seorang gadis bersamaku. Seumuran denganku, hanya beda dua tahun, aku lebih tua, sedih sekali tiap kali jalan dengan teman yang lebih muda aku merasa seperti nenek-nenek. Nama aslinya Sri Widya Ayuning Bestari. Di dunia model ia terkenal dengan nama Ayes. Koruspsi huruf nama yang lumayan panjang. Kalau aku jadi dia mungkin aku juga aka melakukan hal sama, karena tak mungkin menggunakan nama bangsawan jawa dalam dunia model, tidak komersil. Tapi yang yang pasti aku tak akan menggunakan nama Ayes, banyak nama yang lebih menarik, seperti WB yang dibaca wibi, atau estar, mungkin. Apapun itu, tak peduli siapa namanya, Ayes adalah sahabat tercintaku. Meskipun harus kuakui aku tak terlalu suka dengan namanya. Untung saja orang tuaku memberi nama yang singkat dan lumayan menarik didengar, Annelies, hanya Annelies. Itu nama asli. Kembali ke Ayes, gadis tinggi dan kurus, semua model juga seperti itu, berambut cepak dengan cat glossy hitam keunguan. Wajahnya cantik, sedikit berbau jepang. Dia laku karena wajah uniknya. Sahabatku sejak masuk dunia modelling, kami ikut audisi bersama, menangis bersama ketika ditolak, dan tersenyum bahagia bersama ketika kami terima kontrak.
Di tempat parkir, lumayan gelap karena letaknya di bawah gedung. Ayes tampak terburu-buru, hari ini ada pemotretan, satu jam lagi, dan ia merasa kesal karena lupa diri. Tempat pemotretan yang harus kami tempuh selama empat puluh lima menit perjalanan mobil, belum persiapan tetek bengek ini itu. Ayes benar-benar gelisah. Ia berjalan di sampingku, tetapi menjorok ke depan, mendahuluiku sambil menggandeng tanganku. Tiba-tiba sebuah mobil dengan kecepatan menggila mendekat. Membiarkan lampu depannya menyorot kami. Ayes melepas genggamannya padaku, menutupi matanya, akupun begitu. Kami berteriak bersama. Lalu entah apa yang terjadi. Aku merasakan jempol kakiku sakit. Teramat sakit. Hanya dalam hitungan detik mobil itu menghilang. Ayes tak ada di sampingku, tapi jatuh lunglai di kakiku. Dari mulutnya keluar darah segar, tangan dan kakinya memerah. Basah oleh darah. Aku terpaku, lalu kerumunan orang mengelilingi kami, dan tiba-tiba hanya terlihat langit-langit hitam.
Ayes meninggal seketika. Setelah keadaan membaik aku baru tahu bahwa sopir mobil yang menabrak Ayes adalah laki-laki mabuk yang sama sekali tak sadar telah menabrak seseorang di depannya. Ia hanya berhenti sesaat lalu kembali mengendarai mobilnya dengan ketakutan. Tabrak lari di tempat parkir yang lumayan remang. Sedangkan aku, hanya jempol kakiku yang terinjak oleh ban mobil sialan itu. jempol kaki yang kubangga-banggakan. Luka yang lumayan parah. Kukunya hancur, tapi dokter bilang kukunya bisa pulih dan tumbuh kembali. Aku bernafas lega. Suatu keajaiban. Ayes kehilangan nyawanya, masa mudanya, dan karirnya. Sedangkan aku hanya kehilangan kuku jempol kaki yang bisa tumbuh lagi dalam beberapa bulan.
Baru saja Ayes tertawa-tawa denganku, jalan-jalan, dan menjalani kehidupannya seperti biasa. Sekarang ia tak lebih hanya sebuah nama. Nama yang belum tentu diingat orang sebagai model. Nama yang tak dipedulikan orang lain keculai aku, keluarga, dan teman-temannya. Tuhan menjatuhkan kebanggaanku pada jempol kaki dengan ketiadaan Ayes. Aku menunduk. Menatap jempol kakiku yang diperban. Terlihat tampak besar, dan…berair. Aku menangis.
ooOoo
Titik hitam di sela kuku jempol kaki ku. Aku tetap membencinya, tetap muak padanya, dan akan selalu begitu. Aku membersihkannya. Bukan karena agar kakiku tetap terlihat indah ketika memakai sendal di waktu meliuk-liuk di cat walk atau dipajang di papan iklan. Tapi aku membersihkannya karena alasan yang menurutku lebih dari sekedar dilihat manusia ketika di cat walk atau di papan iklan. Aku membersihkannya untuk ‘sesuatu’ yang kucintai. Sesuatu yang mencintaiku, sesuatu yang membuatku ada, sesuatu yang…ah tak bisa terucap. Terlalu sulit. Terlalu megah untuk diungkapkan. Dia. Aku membersihkan titik hitam itu karena akan bertemu dengannya, tak kan kubiarkan ia melihat titik jelek itu ketika aku bercengkrama dengannya. Tak pantas rasanya bertemu dengan sesuatu yang sebesar itu dengan jempol kaki yang jorok. iuuuuhhh….
Aku menatap ke cermin kamarku. Seorang gadis, gadis yang sama. Ya, aku. Annelies. Bukan lagi seorang model kondang. Bukan lagi seorang bintang iklan yang karena kaki saja dibayar tiga puluh lima juta sebulan. Sekarang, meskipun ada yang membayarku dengan tiga puluh lima milyar untuk mengambil gambar kakiku, bukan, bukan kaki, tapi hanya gambar jempol saja untuk dipampang di papan iklan, butik-butik, etalase, layar tivi, majalah atau apapun itu, tak akan kuijinkan, tak akan kubiarkan. Aku mengundurkan diri, dari kemegahanku, dari dunia yang membuat kakiku teramat berharga untuk dipamer dimana-mana. Sekarang, aku tetap Annelies. Tubuh yang sama, wajah yang sama, rambut yang sama, rona pipi yang sama, mata coklat yang sama. Gadis itu menatapku dengan senyum bahagia, menatap jari kakinya yang sudah bersih, lalu bayangan gadis itu menghilang seiring aku beranjak ke kamar mandi untuk mengambil wudlu.

METAMORFOSE ANNELIES.
Modal kondang, Annelies. Setelah hilang dari peredaran dunia show biz, muncul kembali di jalanan. Sekian lama tak nampak dan raib begitu saja, kini model kenamaan nasional dan kebanggaan Indonesia di dunia internasional muncul kembali. Dengan perubahan yang mencolok terlalu mencolok. Jum’at (15/9) Annelies turun ke jalan rela berpanas-panas bersama teman-temannya melakukan aksi long march memprotes tentang aborsi. Model kebanggaan kita kini tenggelam dalam kerudung putihnya yang panjang dan pakaian longgarnya yang sama sekali tak memperlihatkan tubuh seksinya. Metamorfose seorang bintang….
Aku tersenyum membaca berita di surat kabar. Metamorfose seorang bintang. Kata bintang yang sejak lahir kuimpikan, lalu kugenggam, dan sekarang kulepas begitu saja. Kini aku sedang berjuang untuk menjadi bintang di Surga yang dimiliki oleh sesuatu yang kucintai. Mengutip kata-kata spidey (di Spiderman 2 -pernah nonton kan?-) “kadang untuk melakukan sesuatu yang benar, kita harus tabah dan merelakan apa yang kita inginkan, termasuk impian kita”.
Seandainya mereka tahu, dunia tahu, bahwa aku teramat bahagia…[]
PS: Annelies, mengutip sebuah tokoh dalam novel bumi manusia Pramodya Ananta Toer.

Tentang penulis
-Ra. Lahir 2 September 1984 di Sidoarjo. Alumnus Universitas Negeri Malang jurusan Fisika. Hidup bahagia dengan sahabat, keluarga dan suaminya di Malang. Sekarang masih sibuk dengan aktivitas sehari-hari seorang ibu muda, belajar memasak, mencuci, setrika, dan menulis tentunya. Novel pertamanya Insekta Langit telah berhasil dengan selamat sentausa diterbitkan oleh Mizan tahun 2005 ini.

0 komentar:

Posting Komentar

 
berita unik