SURABAYA. Saya tinggal di Oro-Oro Gang I di daerah Pacarkeling.
Tinggal di sebuah rumah terbuat dari kayu dan bambu dan terletak di
samping kuburan. Maklum, orang tua saya bukan orang kaya. Ayah bekerja
sebagai pengantar surat di kantor pos.
Pas, ketika saya lulus SMP, ayah meninggal karena sakit. Saya hanya
bisa meneteskan air mata karena itu berarti saya tidak bisa melanjutkan
sekolah ke SMA. Padahal, di SMP saya termasuk murid ranking kedua.
Untuk memenuhi kebutuhan makan sehari-hari, terpaksa ibu saya
berjualan goreng-gorengan. Ubi goreng, ketela goreng, kacang goreng,
sukun goreng dan pisang goreng. Hasilnya pas-pasan saja.
Karena saya tidak betah tinggal di rumah dan tidak betah menganggur,
maka sayapun pergi ke Pasar Pacarkeling. Sisa uang peninggalan ayah,
saya belikan gitar dan buku-buku pedoman main gitar.
Selama seminggu, saya belajar main gitar. Saat itu lagu-lagu yang
sedang ngetop yaitu ciptaan Rinto Harahap. Atas seijin ibu, sayapun
mulai ngamen. Hari pertama memang agak rikuh , malu dan putus asa.
Untunglah ayah dan ibu taat beragama sehingga cukup banyak bekal agama
yang saya miliki. Artinya, saya harus mau menerima kenyataan.
Sebulan kemudian, saya punya tabungan yang cukup. Sayapun pamit ke
ibu saya untuk ngamen dan mencari kerja yang layak di Jakarta.
“Hati-hati di Jakarta. Jangan lupa sebulan sekali pulang ke Surabaya, ” begitu pesan ibu.
Sayapun menuju ke stasiun Pasarturi. Tak berapa lama, kereta api
kelas ekonomipun berangkat. Ini adalah pertama kalinya saya ke Jakarta.
Cuma membawa pakaian secukupnya, gitar dan uang seadanya.
Sampai di Stasiun Senen, saya tidak tahu harus berbuat apa. Sayapun
duduk-duduk di kursi tunggu. Tiba-tiba pandangan saya tertuju ke cowok
yang sedang ngamen di luar stasiun. Selesai dia ngamen, sayapun segera
mendekati.
“Boleh kenalan, Mas? Saya baru datang dari Surabaya”
Ternyata dia orang yang ramah.
“O, sama dong. Saya dari Jawa Timur juga, dari Mojokerto”
“Nama saya, Harry. ” Saya memperkenalkan
“Saya, Achmad, ” dia menyalami saya.
Tahu kalau saya belum sarapan, sayapun diajak ke sebuah warung yang
murah meriah. Di situlah saya dan Achmad saling bertukar cerita.
Ternyata nasibnya sama. Sama-sama lulusan SMP dan sama-sama anak tunggal
dan juga sama-sama tidak punya ayah lagi.
Mungkin karena banyak persamaan itulah, maka sayapun diajak ke rumah
sewanya. Sebuah rumah petak. Tapi, saya acungkan jempol. Walaupun rumah
sewanya kecil, tetapi rapi dan bersih. Bahkan ada sebuah televisi yang
dibelinya secara menabung. Juga ada beberapa sajadah. Maklum, ayahnya
dulu seorang kiai.
Begitulah, mulai hari itu saya ngamen berdua. Ngamen di mana saja,
baik di bus maupun dari rumah ke rumah. Yang saya suka, Achmad tidak
pernah meninggalkan shalat. Juga, kalau hari Minggupun tidak ngamen.
Tidak lupa, tiap akhir bulan saya mengirim uang untuk ibu di Surabaya.
Bahkan dua bulan sekali, pulang ke Surabaya.
“Waktunya libur ya libur, ” begitu katanya.
Kebetulan, Minggu itu Achmad akan mengajak saya jalan-jalan ke Taman
Mini Indonesia Indah (TMII). Ternyata, dia juga mengajak temannya,
pengamen cewek yang tinggal di rumah petak itu juga tapi selisih
beberapa rumah petak.
Sayapun diperkenalkan.
“Kenalkan, ini masih keponakan saya, ” ujar Achmad.
Sayapun bersalaman dengan cewek itu yang akhirnya saya ketahui
bernama Pratiwi. Sebagai seorang cowok, sayapun tertarik dengan Pratiwi
yang menurut ukuran saya, cukup cantiklah. Kulitnya putih dan rambutnya
pendek.
Saya, Achmad dan Pratiwi atau Tiwikpun berangkat ke TMII naik
Metromini. Saya yang baru pertamakalinya melihat TMII-pun kagum. Hebat
sekali. Anjungan demi anjungan saya kunjungi.
Yang paling berkesan yaitu ketika Tiwik mengajak saya naik kereta
gantung. Hanya berdua. Achmad tidak ikut karena tidak suka. Nah, di
kereta gantung itulah kesempatan ngobrol-ngobrol dengan Tiwik. Ternyata
enak diajak bicara
Tanpa terasa, sudah enam bulan saya berpacaran. Atas dorongan Tiwik,
maka saya dan Tiwikpun melanjutkan sekolah ke SMA Swasta yang biayanya
cukup terjangkau. Biaya saya kumpulkan dari hasil ngamen. Achmadpun satu
kelas dengan saya.
Dan ketika lulus SMA, maka saya dan Tiwik melanjutkan kuliah di
Akademi Perbankan. Sedangkan Achmad memilih kuliah di Akademi Pariwisata
dan Perhotelan. Semua biaya murni dari hasil ngamen.
Dan ketika kuliah sudah tamat, maka sayapun berniat melamar Tiwik.
Sayapun ke rumah orang tuanya di Sukabumi dan disambut dengan baik
sekali. Esok harinya, sayapun mengajak Tiwik ke Surabaya.
Sampai di rumah, saya terkejut karena di rumah banyak orang
berkerumun di rumah saya. Tak berapa lama, saya lihat Pak Ramelan,
tetangga sebelah rumah, mendekati saya.
“Harry. Tabahkan hatimu. Ibumu tadi pagi meninggal karena sakit, ” begitu katanya.
Sayapun terkejut campur sedih. Segera saya menuju ke jenasah ibu
saya. Untuk terakhir kalinya saya melihat wajah ibu. Dialah yang
melahirkan saya, membesarkan saya, namun sayang, , , ibu telah pergi.
Setetes demi setetes air mata saya membasahi pipi.
Untunglah saya punya Tiwik. Sebulan kemudian saya menikah. Saya
bekerja di Bank BCA Cabang Matraman sedangkan Tiwik di Bank BNI Cabang
Kebayoran Baru. Sedangkan Achmad bekerja di sebuah hotel di kawasan
Menteng. Hidup memang perjuangan, antara keinginan, harapan dan
kenyataan.
Sumber foto: sidedy.blogspot.com
Hariyanto Imadha
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar