SYAIR DADENTATE
Written By iqbal_editing on Selasa, 27 September 2016 | 18.44
Masyarakat pemakai dadendate berasal dari Kecamatan Sindue. Kurang lebih
36 kilometer sebelah utara Kota Palu, tepatnya di Desa Taripa yang
berjarak kurang lebih 6 kilometer arah timur Ibu Kota Kecamatan. Desa
ini sekaligus merupakan sampel penelitian.
Photo By Ola
A. Keadaan Geografis
Desa Taripa tepat berada di lereng gunung. Penduduk setempat menamakan
gunung-gunung yang mengitari pemukiman mereka sebagai berikut:
* Sebelah utara Gunung Simanggole
* Sebelah barat Gunung Simoaya
* Sebelah timur Gunung Toposo
* Sebelah selatan Gunung Toampana
Hampir seratus persen penduduk Desa Taripa mempunyai sumber penghidupan
di bidang perkebunan coklat dan palawija. Hal ini didukung oleh iklim
dan hawa pegunungan. Hanya 2% yang bekerja sebagai pegawai negeri. Luas
wilayah Desa Taripa adalah 21 km persegi, dengan batas wilayah sebagai
berikut :
* Sebelah utara dengan Desa Saloya
* Sebelah timur dengan gunung yang disebelahnya wilayah kecamatan
Ampibabo
* Sebelah selatan dengan kuala (sungai) Lero
* Sebelah barat dengan Desa Sumari
B. Keadaan Demografis
Desa ini adalah desa yang paling sedikit jumlah penduduknya. Taripa
berarti pohon mangga. Dari hasil penelitian, penduduk desa ini berasal
dari Orang Kori pedalaman. Sampai saat ini daerah pemukiman Orang Kori
masih dapat ditemukam. Yakni sebuah daerah apa yang mereka namakan
Sitabo. Kurang lebih 5 kilometer naik ke daerah pegunungan sebelah
Timur.
Sitabo sendiri berarti pohon yang bundar. Babasa yang digunakan orang
Taripa adalah bahasa Kaili dengan memakai dialek Rai yang terkadang
tercampur dengan bahasa Kori.
C. Kondisi Sosial Budaya
Masyarakat di desa ini mayoritas memeluk agama Islam sisanya memeluk
agama Kristen. Dalam sektor pendidikan penduduk desa ini umumnya masih
rendah.
Taraf pendidikan ini masih dapat dilihat lagi dari presentasi penduduk
desa yang mengecap pendidikan. Menurut nara sumber, orang Taripa atau
Kori termasuk Kaili pedalaman. Hal ini dapat dilihat dari bentuk fisik
mereka yang berbeda dengan desa-desa Pesisir Kecamatan Sindue. Jarak
antara Desa Taripa dan daerah pesisir pantai sekitar 8 km.
Beberapa kesenian yang ada, selain Dadendate dapat disebutkan seperti
Kayori ( Musik Vokal berbentuk syair-syair) dan Dondi ( Upacara syukuran
panen).
DADENDATE, NYANYIAN PEMBAWA BERITA
A. Pengertian Dadendate
Dadendate terdiri dari dua kata yakni dade dan ndate. Dade berarti lagu,
sedankan Ndate dalam pengertian bahasa Kori seperti berikut ini :
Misalkan seseorang berada di kaki bukit atau gunung. Ketika ditanyakan
hendak kemana, maka bila dijawab Ndate berarti di atas bukit sana atau
ia akan melakukan perjalanan dengan menaiki atau mendaki bukit itu
sampai tujuan. Jadi Dadendate artinya lagu yang mengisahkan suatu dari
bawah ke atas. Apa yang diuraikan dalam syair lagu Dadendate sifatnya
menanjak dan menuju ke puncak. Bila dia menceritakan sesuatu, selalu
dari awal sampai akhir cerita tersebut.
Jadi Dadendate menurut nara sumber adalah sebuah kesenian yang paling
komunikatif di komunitas To Sindue atau daerah sekitar desa Taripa atau
daerah disekitar desa Taripa. Dadendate bisa menceritakan apa saja,
mulai dari sejarah, romantisme muda-mudi, silsilah, perjuangan, dan
lain-lain. Contohnya paling sederhana adalah proses seseorang dalam
mencapai pendidikan mulai dari Taman Kanak-kanak sampai perguruan tinggi
bahkan acara wisuda.
Banyak para pemerhati seni, budayawan, pengamat seni memberikan
pengertian mengenai Dadendate ini. Tergantung dari perspektif mana orang
memandang. Sebagian menyebut dadendate sebagai embrio teater daerah
ini. Ada yang berpendapat bahwa Dadendate adalah sebuah seni sastra
tutur, karena syairnya yang dilagukan secara spontan, puitis, tanpa teks
maupun naskah. Karena mengandalkan improvisasi syair yang dilakukan
senimannya.
Penulis sendiri memandang Dadendate sebagai nyanyian pembawa berita atau
nyanyian berceritera. Dan pada literatur sejarah musik seperti nyanyian
Troubadour di Perancis beberapa abad yang lalu.
B. Sejarah Dadendate
Dadendate, berawal dari Kimba a yang masih berupa doa-doa / syair-syair
ritual orang tua dulu, berbentuk uraian dan masih bersifat individual.
Dalam kurun yang cukup jauh berubah lagi menjadi dulua. Dibanding Kimba
a, dulua sudah berbentuk lagu / nyanyian semisal Nopalongga (nyanyian
menidurkan anak yang dilagukan ibunya dimana terkandung doa dan
keselamatan yang ditujukan kepada wajah sang anak yang sedang berlayar
mencari ikan). Kimba a dan Dulua belum menggunakan alat kecapi, masih
berbentuk musik vokal semata. Dari dalua, bentuk kesenian ini berubah
lagi menjadi bola-bola.
Perubahan yang menonjol adalah syair yang dibawakan tidak lagi berupa
syair ritual, tetapi sudah menjadi syair yang profan. Semisal syair
muda-mudi dalam acara memetik padi dan telah menggunakan kecapi.
Tepatnya ketika orang mengambil waktu untuk istirahat. Kecapi digunakan
sebagai pengantar dan perantara syair-syair yang digunakan (biasanya
antara dua kelompok muda-mudi yang menggunakan sebagai lagu sebagai
sarana komunikasi). Bola-bola dimulai oleh solo vokal dan didiikuti
lainya. Ketiga bentuk kesenian ini masih bahasa Kori, induk dari bahasa
Kaili Rai dan Bare’e.
Rampamole (pengenduran senor/tuning) adalah bentuk selanjutnya dari
kesenian ini. Mulai dari Rampamole dan seterusnya sudah menggunakan
bahasa Rai. Pada fase ini telah menggunakan kecapi bersamaan dengan
nyanyian yang hampir mendekati Dadendate. Rampamole sendiri berarti
dikendurkan, berarti diperkecil suaranya. Tidak terlalu lama dalam fase
ini berubah lagi menjadi ciri-ciri yang ciri utamanya menjadi lebih
panjang.
Pada fase ini, kesenian ini menyebar ke wilayah-wilayah lain sampai ke
Toli-Toli. Ei-ei pada zamannya amat disukai oleh para muda-mudi.
Kurang lebih sekitar tahun 1952-1953 berubah menjadi Dadendate. Inilah
bentuk terakhir dari kesenian ini. Menjadi sangat populer dan ciri khas
kesenian dari daerah Sindue sekaligus kebanggaan mereka.
Orang Kori merasa kesenian ini adalah asli dari mereka. Tidak ada
pengaruh Bugis, meskipun instrumen kecapinya mirip (bahkan dengan kecapi
di Sulawesi Utara) dan lokasi sampel penelitian termasuk daerah
pesisir. Kesenian ini menurut mereka tidak ditemukan di daerah lain.
Argumen yang mereka kemukakan adalah kata ndate buat To-Biromaru,
To-Palu dan To-Tawaeli misalmya, berarti panjang. Sedangkan bagi
To-Sindue bentuk menjadi panjang digunakan istilah nalonggo.
Namun hal ini menurut hemat penulis perlu di kaji lebih jauh karena
menurut informan bentuk kecapi yang mirip perahu berkaitan dengan
legenda Sawerigading. Selain dari itu perlu penelitian yang lebih
mendalam apakah Dadendate benar-benar merupakan proses evolusi dari
nyanyian ritual seperti Dulua dan Kimba a.
C. Pelaksanaan Dadendate
Dadendate dulunya adalah musik vokal individu yang kemudian berkembang
ditambah dengan kecapi dan mbasi-mbasi, yang terkadang memainkan satu
melodi yang sama.
Dadendate dapat dimainkan kapan saja dan dimana saja. Tidak ada batasan
waktu yang pasti. Bisa sampai berhari-hari. Demikian juga dengan jumlah
pemain tidak ada batasan pasti. Namun kecenderungan saat ini adalah,
terdiri dari 3 orang pemain kecapi, 2 pria dan 1 wanita serta mbasi –
mbasi. Pemain kecapi merangkap sebagi vokalis.
Dadendate bisa bercerita tentang apa saja, sesuai situasi atau pesanan
dari orang. Syair-syair yang terlontar sangat spontan dan bisa
berdasarkan apa yang nampak pada saat terselenggaranya Dadendate.
Misalnya ketika permainan berlangsung ada suguhan teh, maka bisa saja
momen penyuguhan teh itu terlontar dalam nyanyian tersebut.
Dadendate dimulai dengan penyeteman sederhana antara mbasi-mbasi dan
senar kecapi. Kemudian Kecapi dan mbasi-mbasi memainkan satu tema
sebagai pengantar atau intro dan kemudian disusul oleh vokal. Setiap
permainan dadendate dimulai dan diakhiri dengan salam.
Dadendate terbagi dalam 12 (dua belas) jenis lagu:
1. Andi Anona
2. Dadendate
3. Andi – andi
4. Inalele
5. Tabe la laindo
6. 1 Gani
7. Malaeka (dimainkan pada waktu subuh)
8. Padang Masyhar
9. Janda Muda
10. Gunung Ladisayo
11. Lanja ea Nona
12. Rugi Temba mo aku e
Dalam sebuah permainan dadendate tidak harus kedua belas jenis lagu
tersebut dimainkan dan urutan dimainkan lagu-lagu tersebut pun tidak
mengikat.
Sebelum memulai permainanya, biasanya pemain dadendate akan menanyakan
beberapa hal kepada yang punya hajat tentang tema yang mereka bawakan.
Kalau dari pihak sang pengundang mengadakan syukuran atas kesuksesan
salah seorang keluarganya menyelesaikan sekolahnya sampai sarjana, maka
syair yang akan terlontar nantinya berkisar mengenai kisah pendidikan
orang yang dimaksud. Mulai dari SD, SMP, SMA, merantau untuk kuliah, pun
sampai wisuda.
D. Bentuk Fisik Kecapi Dadendate
Kecapi dadendate terbuat dari kayu lengo / Balaroa. Sedang senarnya
dulunya menggunakan tali enau. Dan sekarang banyak yang berasal dari
kawat kecil yang terbuat dari baja dan tali labrang rem sepeda.
Seperti yang telah diuraikan di depan bahwa bentuk kecapi pada permainan
Dadendate menyerupai sebuah perahu. 0leh nara sumber hal ini
berbubungan dengan legenda Sawerigading.
Sebuah kecapi terbagi atas bagian-bagian yang penamaannya diserupakan
atau disamakan denga organ tubuh manusia. Seperti berikut ini:
* Lelona : Bagian ekor dari kecapi
* Pusena : Pusat / Penampang senar (Bridge)
* Taina : Perut / Badan bagian belakang Kecapi / Resonansi belakang
* Bombarana : Dada / Badan bagian depan Kecapi / Resonansi depan
* Koyampalona : Papan jari terdiri dari lima bidang bundar sama
besar (Fingerboard)
* Ongena : Hidung / Penampang senar bagian depan (Nut)
* Potoro : Telinga / Penyetem senar / Tunning head. Terdiri atas 2
potoro kiri dan kanan
* Irana, : Daun / Kepala Kecapi / Head
* Tutugo : Leher / Bagian penghubung antara badab dan kepala kecapi
* Bengona : Bagian belakang Kecapi
* Bolona : Lobang pada bagian belakang Kecapi. Terdiri 3 bagian
dengan
diameter yang berbeda
* Lelona berukuran panjang 8 c, tinggi 10 cm, dan Lebar 1 cm
* Pusena berukuran tinggi 5,5 cm, diameter 3,5 cm
* Taina Panjang 20 cm, lebar 14 cm, dan tebal 9 cm
* Bombarana Panjang 39 cm, lebar 11 cm, dan tebal 7 cm
* Koyampalona Diameter 2 cm, Tinggi 5 cm, Panjang 17 cm
* Ongena Panjang 3 cm, tinggi 0.5 cm, lebar 2 cm .
* Potoro berukuran panjang 3 cm
* Irana panjang 25 cm, tinggi 7cm, lebar 0.5 cm
* Bengona berukuran panjang 58 cm lebar 20 cm
* Bolona 1 berdiameter 2 cm, bolona 2 berdiameter 3,5 cm, dan bolona
3 berdiameter 5 cm.
Papan jari pada kecapi yang terdiri dari 5 bagian mempunyai kandungan
pengertian akan 5 unsur dalam kehidupan, Masing-masing :
1. Sirih menggambarkan urat yang mengelilingi tabuh manusia
2. Pinang menggambarkan jantung
3. Tembakau menggambarkan empedu
4. Kapur menggambarkan tulang
5. Gambir menggambarkan paru-paru
Penggambaran ini apabila digabungkan akan menjadi warna merah yang
menggambarkan darah yang ada dan dibutuhkan oleh tabuh manusia. Ini
merupakan ketentuan adat yang dalam bahasa lokal disebut Sambulugana.
Kecapi terdiri dari dua senar berukuran panjang 39 cm dengan diameter
0,5 cm.
Dua senar kecapi menggambarkan orang tua (senar bawah) menyayangi yang
muda (senar atas). 2 senar itu juga menggambarkan keselarasan dan
keseimbangan alam. Seperti juga atas-bawah, bumi – langit,
perempuan-Iaki-laki, dan seterusnya.
E. Tehnik Bermain Kecapi
Pada bagian ini, untuk menguraikan tehnik bermain pada permainan kecapi
dibagi atas tangan kanan dan kiri. Tehnik tangan kiri menggunakan teknik
slur yang terbagi atas hammer on (menekan, memukul senar) dan pull off
(menarik senar).
Tangan kanan menggunakan tehnik petik (picking) yang menggunakan batang
kecil yang terbuat dari kayu yang berukuran seperti batang korek api.
Kayu tersebut dijepit oleh ibu jadri telunjuk dan jari tengah.
Kecapi dimainkan dalam posisi duduk di kursi dan diletakkan pada pangkal
paha. Bagian belakang kecapi diusahakan sedemikian rupa sejajar dengan
bagian perut pemain. Hal ini berfungsi mengatur keras lembutnya suara
kecapi. Apabila ingin menghasilkan suara yang keras, maka lubang bagian
belakang kecapi dijauhkm dari perut. Sedangkan bila ingin menghasilkan
suara yang lembul maka dua lubang kecapi dirapatkan ke perut.
F. Musik Dadendate
Dua senar kecapi pada permainan dadendate, masing-masing terdiri dari
nada c’ untuk senar atas dan g untuk senar bawah. Penyeteman ini akan
berubah apabila yang dimainkan adalah Rampamole dan ei – ei , dimana
untak senar bawah menjadi c’ dan senar atas menjadi nada g. Atau
mudahnya kebalikan dari Dadendate.
Melodi yang dihasilkan oleh baik kecapi, vokal dan mbasi-mbasi walaupun
mempunyai garis melodi yang mirip, namun tidak persis sama. Fungsi
kecapi selain sebagai pengiring juga akan mengikuti garis melodi bila
mbasi-mbasi dan kemudian diikuti vokal.
Pada bagian ini diupayakan untuk melakukan penotasian dengan menggunakan
not balok secara bersama-sama (full score). Namun untuk kecapi tidak
dirinci menjadi kecapi 1, kecapi 2 dan kecapi 3 sesuai dengan jumlah
kecapi yang dimainkan. Namun cukup satu kecapi saja dengan alasan untuk
mempermudah penotasian dan diantara ketiga kecapi itu tidak terlalu
mencolok perbedaanya.
Penotasian dilakukan pada awal permainan dan satu lagu yang utuh. Yakni
pada saat penulis meminta mereka untuk bermain secara khusus untuk
kepentingan penotasian. Dan pemain dadendate mengira bahwa pengulangan
perekaman karena, sebelumnya mereka bermain kasar. Hal ini nampak pada
syair yang mereka bawakan.
Yang dimaksud satu lagu yang utuh adalah sebuah pengulangan 1 bagian
yang terdiri dari intro, kalimat melodi 1 (pembuka) vokal , interlude,
kalimat melodi 2 (isi) vokal, interlude, kalimat melodi 3 (penutup)
masing-masing untuk vokal pria dan wanita.
Sangat mungkin terjadi perubahan dan varian-varian pada
pengulangan-pengulangan lainnya. Hal ini terutama nampak pada vokal yang
sering kali menyesuaikan melodi dan syair. Baik silabis ataupun
melismatis. Artinya penyanyi bebas untuk menambah atau mengurangi gerak
melodi dengan syair yang spontanitas. Yang justru merupakan kekuatan
musik Dadendate.
Musik dadendate dimulai dengan petikan kecapi sebagai pengantar (tidak
dinotasikan). Untuk kemudian disusul dengan mbasi-mbasi yang akan
bersama-sama membuat intro atau pengantar. Mbasi-mbasi akan memainkan
melodi yang menyerupai vokal mulai pada birama 1 sampai birama 61.
Melodi mbasi-mbasi dimainkan dengan tehnik pogantainosa (tehnik untuk
membuat melodi yang dihasilkan tidak terasa terputus atau berhenti untuk
mengambil napas).
Melodi vokal untuk pria dan wanita berbeda. Perbedam sangat menonjol
terdapat pada potongan melodi pembuka birama 61 – 74. Vokal pria
mendahului vokal wanita. Kalimat melodi 1 vokal pria mulai dari birama
61 – 80.
Kalimat melodi 1 berisi syair-syair pembuka tentang isi syair yang akan
disampaikan nantinya. Pada birama 81 vokal pria berhenti selama beberapa
saat yang diisi oleh kecapi dan mbasi-mbasi. Pada saat ini vokalis
agaknya diberi kesempatan untuk beristirahat dan menyusun syair-syair
yang akan dinyanyikannya. Dalam penotasian dituliskan birama yang
dibutuhkan untuk istirahat. Namun sesungguhnya berubah-ubah untak setiap
pengulangan. Vokalislah yang menentukan kapan dia akan mulai.
Vokal akan memulai kalimat isi (kalimat kedua) pada birama 85 ketukan 2 –
109. Birama 90 ketukan 2 – 109 berisi melodi pendek yang diulang-ulang
beberapa kali dan berisi inti syair yang dikemukakan. Syair pada
potongan melodi ini bersajak a – a – a – a.
Kalimat penutup (kalimat ketiga) dimulai pada birama 110 – 117.
Setelah penyanyi pria menyelesaikan lagunya maka akan disusul penyanyi
wanita yang diantarai oleh permainan mbasi-mbasi dan kecapi 118 – 120.
Kalimat melodi pembuka dimulai dari birama 122 – 141. Pada birama 142 –
145 ada interlude yang diisi oleh mbasi-mbasi dan kecapi untuk
memberikan kesempatan penyanyi istirahat dan menyusun syair-syair
berikutnya.
Kalimat kedua (Kalimat isi) dimulai pada birama 146 – 160. Potongan
melodi pada birama 150 – 153 diuIang-ulang beberapa kali dan berisi inti
syair yang ingin dikemukakan. Jumlah pengulangan berubah-ubah untuk
setiap pengulangan lagu. Namun dalam penotasian tanda ulang ditulis
hanya satu kali untuk mempermudah penotasian syair pada potongan melodi
ini bersajak a – a – a – a.
Kalimat ke tiga (Penutup) dimulai pada birama 161- 167.
G. Prospek Dadendate Mendatang
Dadendate sebagai nyanyian bercerita, pembawa kabar, bertutur, atau
apapun julukan buat dia, sangat layak untuk mendapat perhatian dalam
perkembangan selaanjutnya. Berbagai upaya untuk pengembangan kesenian
tradisi sebenarnya lebih diupayakan untuk terjadinya seleksi alami.
Kesenian tradisi yang memang mati secara alami tergilas oleh perputaran
zaman tidak perlu ditangisi. Yang dapat kita lakukan adalah mencegah
kepunahan kesenian-kesenian tradisi yang mati tidak secara alamiah.
Artinya punah sebelum waktunya. Penotasian yang dilakukan ini adalah
salah satu cara mengatasi kepunahan yang tidak alami.
Dengan penotasian seperti ini akan terbuka kemungkinan untuk analisa
modus, melodi, harmoni, beberapa elemen musik yang ada dalam dadendate,
syair atau apa saja yang terdapat dalam dadendate. Analisa seperti ini
penting untuk dapat merumuskan apa yang dapat kita lakukan untuk
pemanfaatan idiom-idiom musik dadendate.
Kalau lanngkah yang kita ambil adalah memanfaatkan idiom tradisi menjadi
sebuah garapan pertunjukan, maka keseringan kita untuk membuat
karya-karya tanpa proses analisis terlebih dahulu dapat tedihindari.
Untak seniman tradisi dan kesenian dadendate itu sendiri, menurut
pengamatan penulis tidaklah nieng-khawatirkan. Dari pergaulan dengan
seniman tradisi itu sendiri selama penelitian berlangsung nampak bahwa
mereka sebagai seniman sadar akan hak dan tanggungjawab mereka sebagai
seniman.
Frekwensi pertunjukan mereka untuk mengisi acara-acara hajatan sedikit
banyak mampu untuk menjaga mereka tetap berkesenian. Proses regenerasi
yang mereka lakukan dengan menurunkan kemampuan tersebut kepada
anak-anak juga berlangsung.
Hanya saja masalah syair memang menjadi kendala. Para maestro Dadendate
umumnya, tidak mempunyai kemampuan bahasa Indonesia yang baik. Sehingga
kekuatan syair pada musik ini akan mempunyai hambatan pada masalah
komunikasi apabila dipresentasikan pada komunitas non Kaili yang
berdialek Rai. Lain dengan apa yang terjadi pada kesenian Madihin pada
suku Banjar di Kalimantan Selatan. Pemain-pemainnya mempunyai kemampuan
bahasa Indonesia yang baik sehingga masalah diatas tidak terjadi.
Dalam sebuah diskusi seorang pengamat membayangkan apabila para pelaku
Dadendate ini mempunyai kebiasaan membaca koran atau apa saja sehingga
syair-syair yang mereka bawakan benar-benar masalah aktual yang terjadi
pada masa dewasa ini. Hal ini dapat diatasi dengan seringnya megajak
mereka berdialog tentang kondisi-kondisi terkini yang terjadi pada
masyarakat Sesuai tradisi lisan yang mereka punyai.
Sumber: Perpustakaan Taman Budaya Sulawesi Tengah
Jl. Abd. Raqie Glr. Dato Karama No1 Palu. Telp. (0451) 423092
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar