Translate

syair dan puisi madihin

Written By iqbal_editing on Senin, 26 September 2016 | 16.29

Madihin nang kesenian tradisional masyarakat Banjar, prupinsi Kalimantan Selatan. Madihin dapat digolongkan kepada jenis sastra lama yang babantuk puisi atawa pantun. Akan tetapi walaupun demikian madihin sendiri mempunyai karakteristik yang mayu unik, sebab ia merupakan perpaduan dari tiga unsur seni, yakni seni suara (syair/lagu), seni musik dan seni gerak (mimik).[1]
Seni madihin termasuk salah satu puisi lama dalam kesustraan banjar, tumbuhnya kesenian madihin baimbai-sama dengan pantun, syair, lambut, mamanda dan lain-lain. Madihin pun merupakan hiburan segar bagi masyarakat di Kalimantan Selatan, baik kaum bawah, menengah, maupun kaum atas, karena syair yang dinyanyikan sarat dengan nasehat yang bermanfaat dan humor-humor segar.[1]
Kesenian ini bisa ditampilkan oleh seorang diri dengan diiringi sebuah musik rebana. Bisa pula dua atau tiga orang di atas pentas sekaligus. Jika dibawakan dengan dua orang atau lebih, pantun yang disampaikan ke hadapan publik biasanya saling bersahut-sahutan. Jika disimak, merupakan satu untaian kata-kata tersusun apik menjadi rangkaian kalimat yang sarat dengan muatan nasihat.[2]
Tapi, bukan berarti jika dibawakan sendiri lantas menjadi monoton. Kualitasnya pun tak kalah dengan yang dibawakan dua atau tiga orang. Cuma saja, gayanya monolog dengan tetap mempertahankan kualitas rangkaian kata menyerupai pantun yang meluncur dari sang pembawa kesenian Madihin, atau bisa pula disebut pemadihin.[2]

Sejarah

Madihin itu berasal dari kata bahasa Arab, "madah", yaitu jenis puisi lama atau syair yang kalimat akhirnya memiliki persamaan bunyi. Buktinya, ciri utama tersebut juga melekat erat pada seni madihin. Bedanya, kalau syair sekadar disenandungkan, sementara madihin diiringi dengan tabuhan rebana atau tarbang. Sebagian lagi menyebutkan, istilah madihin berasal dari “madahi” alias menasihati. Pendapat ini pun bisa diterima, karena isi madihin sarat dengan berbagai petuah.[3]
Sementara itu, budayawan Banjar Anggraini Antemas dalam Majalah Warnasari Jakarta yang terbit tahun 1981 menyatakan bahwa diperkirakan tradisi bamadihinan sudah ada sejak masuknya agama Islam ke wilayah Kerajaan Banjar pada tahun 1526.
Awalnya madihin gasan menghibur raja dan pejabat istana Kerajaan Banjar. Dalam perkembangan berikutnya, madihin menjadi hiburan (karasmin) masyarakat. Misalnya, gasan memeriahkan acara pengantinan, baramian setelah panen, memperingati hari besar daerah dan nasional. Madihin sering pula digelar karena tuan rumah punya nazar atau hajat tertentu, seperti khitanan anak.[3] Kesenian ini juga kadang dijadikan sebagai alat penyuluh pertanian dan keluarga berencana. Karena pesan yang disampaikan melalui pantun dan kalimat-kalimat jenaka, religius dan sarat nasihat.[2]

Struktur

Dalam pertunjukannya, madihin mempunyai struktur baku bagi semua pemadihin, yaitu:
  • Pembukaan, dengan menyanyikan sampiran sebuah pantun yang diawali dengan pukulan tarbang yang disebut pukulan membuka. Pada sampiran ini biasanya menyangkut tema yang akan dibawakan pemadihin.
  • Memasang tabi, yakni membawakan syair-syair atau pantun yang isinya menghormati penonton, memberikan pengantar, terima kasih atau permohonan maaf jika nanti ada salah kata dalam membawakan madihin.
  • Menyampaikan isi (manguran), yaitu menyampaikan syair atau pantun yang isinya sesuai dengan tema acara atau permintaan panitia. Sebelum isi dari tema madihin dikupas oleh pamadihinan, sampiran pantun di awal harus disampaikan isinya terlebih dahulu (mamacah bunga).
  • Penutup, yakni menyampaikan kesimpulan, sambil menghormati penonton, mohon pamit, dan ditutup dengan pantun penutup

0 komentar:

Posting Komentar

 
berita unik