Translate

pendahuluan drama kondobuleleng

Written By iqbal_editing on Sabtu, 15 Oktober 2016 | 21.24

ondobuleng, sejenis teater tradisional suku Bugis-Makassar, Sulawesi Selatan. Catatan tertua menegaskan, teater tradisional ini milik orang Bajo, sekelompok masyarakat pantai yng berdiam di wilayah Teluk Bone, Sulawesi Selatan (Holt, 1939). Teater ini terungkap melalui gerak, vokal, dan musik. Kondobuleng sebagai teater tradisional dapat ditemukan di Paropo’ di tengah-tegah Kota Makassar, ibu kota Provinsi Sulawesi Selatan. Selain itu, juga di pulau-pulau dalam wilayah Kabupaten Pangkajene Kepulauan, tetapi dikenal sebagai tarian.

Teater tradisional Kondobuleng mempunyai keunikan yang tidak dipunyai oleh teater tradisional lainnya di Indonesia. Keunikan dimaksud yaitu tidak adanya batas antara pemain (characters) dengan perlengkapan (properties) pada adegan tertentu. Mereka adalah pemain, tetapi pada adegan yang sama, mereka adalah perlengkapan pemain. Mereka perahu yang sedang menyeberangi samudra, tetapi pada sat itu pula, mereka adalah manusia yang sedang menumpangi perahu itu.


Sebagai warisan dari masa lampau, Kondobuleng yang telah berusia sekitar 300 tahun
itu, mengandung fungsi-fungsi sosial yang memiliki 3 nilai yaitu nilai pendidikan (educational value), nilai hiburan (recreational value), dan nilai penciptaan (re-creative value). Nilai-nilai tersebut dapat ditemukan sepanjang pertunjukanya yang sederhana tapi sangat simbolis melalui tiga jenis komedi, yakni kecelakaan fisik (physical mishap), kejenakaan verbal (verbal wit), dan komedi ide (comedy of idea).
Berbagai perubahan dan karena itu berbagai penafsiran muncul dalam perjalanannya. Ada yang berpendapat bahwa Kondobuleng adalah simbol kesucian, kemurnian; dan karena itu meskipun tokoh kondo (bangau) sudah mati karena ditembak, dia hidup kembali. Pada masa penajajahan Belanda, tokoh Bangau ditafsirkan sebagai Belanda, dan karena itu tidak hidup kembali setelah tertembak oleh gerilya. Ketika PKI (Partai Komunis Indonesia) masih bercokol di Indonesia, tokoh Bangau hidup kembali setalah ditembak oleh PKI, dan karena itu sang penembak harus menembak dirinya sendiri, karena dianggap dia tidak mampu melaksanakan tugas partai dengan baik. Hal ini mengingatkan kita tentang prinsip PKI, bahwa segala sesuatunya ada di bawah telapak kaki politik. Ada pula yang menafsirkannya sebagai prwujudan siri na pacce (Makassar), siri’ na pessệ (Bugis) seagai sitem nilai suku Bugis-Makassar, sehingga hidupnya kembali tokoh Bangau (sang kondobuleng), ditafsirkan buka secra fisik, melaikan dalam hati keluarga. Salah satu sebab perbedaan penafsiran itu disebabkan oleh adanya perubahan tertentu, tetapi tidak mengubah pola.
Salah satu upaya sebagai tujuan pelestarian Kondobuleng, adalah pentranskripsian dalam bentuk naskah pertunjukan. Tujuan lainnya agar awal penyosialisasiannya bisa lebih menyebar dalam bentuk tulisan, dan sebagai pengenalan awal bagi mahasiswa Universitas Hasanuddin yang megambil mata kuliah Seni Pertunjukan Tradisional yang bernomor kode 259F5102.
Sebagai kelengkapan, terlampir transkripsi naskah Kondobuleng (Lampiran 1), transliterasi ke aksara Latin syair Daeng Camummu sebagai lagu latar belakang pertunjukan (Lampiran 2), dan trasliterasi syair Daeng Camummu dalam tipografi sajak (Lampiran 3).

***

Pengantar
Sebagai karya kreatif, teater dan drama berada pada wilayah masing-masing. Drama pada wilayah seni sastra yang ditulis untuk dipertunjukkan, sedangkan teater pada wilayah seni pertunjukan. Pernyataan ini tidak berarti bahwa, puisi dan cerpen sebagai karya sastra, tidak memungkinkan untuk dipertunjukkan. Bahkan dalam perkembangan seni pertunjukan dewasa ini, karya seni rupa bisa menjadi salah satu jenis seni pertunjukan. Salah satu di antaranya adalah Seni Rupa Petunjukan: Kolaborasi dan Penciptaan dalam Festival dan Temu Ilmiah & Festival Budaya Nusantara (9-23 September 1999) di Tirtagangga, Bali. Lebih dari itu, Seni Rupa Pertunjukan di workshop-kan pada hari terakhir. Konsep tertulis dan tidak tertulis itulah yang menjadi pembeda paling utama antarkeduanya.

Secara historis seni pertunjukan di Indonesia tidak bertolak dari teks berbentuk naskah tertulis. Seni pertunjukan macam itu dikenal dengan teater tradisional. Pola penyebarannya dari wilayah ke wilayah, dari generasi ke generasi hanya pada saat pertunjukannya. Oleh karena eksistensi seni pertunjukan di Indonesia tidak tertulis, tanpa ragu-ragu Djajakusuma (1972) mengatakan bahwa sebelum abad ke-19 di Indonesia tidak ada drama. Yang ada adalah teater. Alasan utamanya karena Indonesia tidak memiliki tradisi menuliskan konsep seni pertunjukannya.

Sehubungan dengan pendapat Djajakusuma tersebut, Sumardjo menegaskan:
“Salah satu aspek teater Barat yang membedakannya dengan teater tradisional Indonesia adalah tersedianya naskah drama. Teater tradisional Indonesia tidak pernah menuliskan naskah pementasannya...... Naskah sastra drama tertua yang tercatat di Indonesia adalah karya F. Wiggers, Lelakon Raden Beij Surio Retno yang diterbitkan tahun 1901. Sedangkan rombongan drama tertua di Indonesia muncul tahun 1891 dengan nama Komedie Stamboel (1992: 236).

Sulawesi Selatan yang secara geografis terletak di wilayah bagian timur Indonesia, teater tradisionalnya memang amat sangat terbatas jika dibandingkan dengan Jawa dan Bali. Jenis-jenis yang telah diidentifikasikan ada 6 (secara alfabetis):
1) Anngaruwe’. 2) Koa-koayang. 3) Kondobuléng. 4) Maccampong. 5) Mappennyu, 6) Songko’-songko’ Jangang. Empat jenis di antara teater tradisional tersebut di atas: Anngaruwe’, Maccampong, Mappennyu, dan Songko’-songko’ Jangang pada akhir dasa warsa pertama abad ke-21 ini, tidak pernah lagi dipertunjukkan. Dua jenis lainnya: Koa-koayang dan Kondobuléng pertunjukannya hanya karena diundang oleh sebuah panitia.

Dalam berbagai diskusi, teknologi seni audio visual (televisi, VCD, dan semacamnya) dituding sebagai penyebab tersisihnya teater tradisional Indonesia dari masyarakatnya. Pendapat itu di satu sisi bisa dibenarkan. Kampung-kampung sebagai wilayah konsumen terbesar seni pertunjukan tradisional, sejak awal dasa warsa pertama abad ke-21, sudah dimasuki VCD dengan film-film yang mereka anggap “modern”. Para pemuda mengikutinya, bahkan dirasuki oleh gaya (style) berpakaian, berjalan, atau cara berbicara tokoh yang disaksikannya. Di sisi lain penyebab terisihnya ialah penampilannya yang sangat terbatas dan hanya di lingkungan pendukungnya. Dan, yang lebih dari itu, mereka masih menerapkan pendapat bahwa para pemainnya harus yang ada hubungan darah dengan leluhurnya.

Dalam Festival Teluk Bone awal tahun 2000-an yang diselenggarakan di wilayah Bajoé, Teluk Bone, panitia menampilkan Anngaruwe’, sejenis teater tradisional etnis Bugis yang nirkata, tanpa kata atau tanpa dialog dan monolog. Para pemainnya semua laki-laki, berusia sekitar 40 tahun ke atas. Dalam wawancara esok paginya sehubungan tidak adanya seorang pun pemuda (usia 20 tahun ke bawah) dalam pertunjukan itu, pimpinan kelompok Anngaruwe’ menjawab: “De’ gaga élo’. Kuno garé’.” (bahasa Bugis: “Tak ada yang mau. Kuno menurut mereka.”). Sejak tahun 1970 Anngaruwe’ belum pernah diikutkan dalam festival atau acara apapun di luar wilayahnya.

Dalam Festival dan Seminar Internasional La Galigo tahun 2002 di Kabupaten Barru (sekitar 100 km dari Makassar) yang diketuai oleh Dr. Nurhayati Rahman (kini Prof.), kelompok seni pertunjukan tradisional Anngaruwe’ menyatakan persetujuannya sebagai salah satu acara pada malam harinya. Biaya akomodasi, konsumsi, dan honorarium disiapkan oleh panitia. “Tetapi kami batal ikut, karena sebagai anggota masyarakat yang hidupnya pas-pasan, kami tidak mampu membayar biaya transportasi walaupun saya selaku Pimpinan Rombongan sudah berusaha, termasuk kepada pemerintah” (wawancara dengan A. Muskamal Bare, teaterawan Bone, 2002). Demikian pula dengan Koa-koayang dari Mandar, batal ke Festival Internasional La Galigo karena masalah yang sama.

Kondobuléng satu-satunya teater tradisional yang tampil dalam festival internasional itu. Seni pertunjukan tradisional inilah yang sampai sekarang, 2009, bisa disaksikan, baik dalam kota Makassar maupun di daerah-daerah lain. Kini, di wilayah yang sama, Paropo, terdapat beberapa grup/kelompok yang bisa memainkan Kondobuleng, seperti Sanggar I Lolo Gading, Sanggar Remaja Paropo, dll.

0 komentar:

Posting Komentar

 
berita unik