ondobuleng, sejenis teater tradisional suku Bugis-Makassar, Sulawesi
Selatan. Catatan tertua menegaskan, teater tradisional ini milik orang
Bajo, sekelompok masyarakat pantai yng berdiam di wilayah Teluk Bone,
Sulawesi Selatan (Holt, 1939). Teater ini terungkap melalui gerak,
vokal, dan musik. Kondobuleng sebagai teater tradisional dapat ditemukan
di Paropo’ di tengah-tegah Kota Makassar, ibu kota Provinsi Sulawesi
Selatan. Selain itu, juga di pulau-pulau dalam wilayah Kabupaten
Pangkajene Kepulauan, tetapi dikenal sebagai tarian.
Teater tradisional Kondobuleng mempunyai keunikan yang tidak dipunyai
oleh teater tradisional lainnya di Indonesia. Keunikan dimaksud yaitu
tidak adanya batas antara pemain (characters) dengan perlengkapan
(properties) pada adegan tertentu. Mereka adalah pemain, tetapi pada
adegan yang sama, mereka adalah perlengkapan pemain. Mereka perahu yang
sedang menyeberangi samudra, tetapi pada sat itu pula, mereka adalah
manusia yang sedang menumpangi perahu itu.
Sebagai warisan dari masa lampau, Kondobuleng yang telah berusia sekitar 300 tahun
itu, mengandung fungsi-fungsi sosial yang memiliki 3 nilai yaitu nilai
pendidikan (educational value), nilai hiburan (recreational value), dan
nilai penciptaan (re-creative value). Nilai-nilai tersebut dapat
ditemukan sepanjang pertunjukanya yang sederhana tapi sangat simbolis
melalui tiga jenis komedi, yakni kecelakaan fisik (physical mishap),
kejenakaan verbal (verbal wit), dan komedi ide (comedy of idea).
Berbagai perubahan dan karena itu berbagai penafsiran muncul dalam
perjalanannya. Ada yang berpendapat bahwa Kondobuleng adalah simbol
kesucian, kemurnian; dan karena itu meskipun tokoh kondo (bangau) sudah
mati karena ditembak, dia hidup kembali. Pada masa penajajahan Belanda,
tokoh Bangau ditafsirkan sebagai Belanda, dan karena itu tidak hidup
kembali setelah tertembak oleh gerilya. Ketika PKI (Partai Komunis
Indonesia) masih bercokol di Indonesia, tokoh Bangau hidup kembali
setalah ditembak oleh PKI, dan karena itu sang penembak harus menembak
dirinya sendiri, karena dianggap dia tidak mampu melaksanakan tugas
partai dengan baik. Hal ini mengingatkan kita tentang prinsip PKI, bahwa
segala sesuatunya ada di bawah telapak kaki politik. Ada pula yang
menafsirkannya sebagai prwujudan siri na pacce (Makassar), siri’ na
pessệ (Bugis) seagai sitem nilai suku Bugis-Makassar, sehingga hidupnya
kembali tokoh Bangau (sang kondobuleng), ditafsirkan buka secra fisik,
melaikan dalam hati keluarga. Salah satu sebab perbedaan penafsiran itu
disebabkan oleh adanya perubahan tertentu, tetapi tidak mengubah pola.
Salah satu upaya sebagai tujuan pelestarian Kondobuleng, adalah
pentranskripsian dalam bentuk naskah pertunjukan. Tujuan lainnya agar
awal penyosialisasiannya bisa lebih menyebar dalam bentuk tulisan, dan
sebagai pengenalan awal bagi mahasiswa Universitas Hasanuddin yang
megambil mata kuliah Seni Pertunjukan Tradisional yang bernomor kode
259F5102.
Sebagai kelengkapan, terlampir transkripsi naskah Kondobuleng (Lampiran
1), transliterasi ke aksara Latin syair Daeng Camummu sebagai lagu latar
belakang pertunjukan (Lampiran 2), dan trasliterasi syair Daeng Camummu
dalam tipografi sajak (Lampiran 3).
***
Pengantar
Sebagai karya kreatif, teater dan drama berada pada wilayah
masing-masing. Drama pada wilayah seni sastra yang ditulis untuk
dipertunjukkan, sedangkan teater pada wilayah seni pertunjukan.
Pernyataan ini tidak berarti bahwa, puisi dan cerpen sebagai karya
sastra, tidak memungkinkan untuk dipertunjukkan. Bahkan dalam
perkembangan seni pertunjukan dewasa ini, karya seni rupa bisa menjadi
salah satu jenis seni pertunjukan. Salah satu di antaranya adalah Seni
Rupa Petunjukan: Kolaborasi dan Penciptaan dalam Festival dan Temu
Ilmiah & Festival Budaya Nusantara (9-23 September 1999) di
Tirtagangga, Bali. Lebih dari itu, Seni Rupa Pertunjukan di workshop-kan
pada hari terakhir. Konsep tertulis dan tidak tertulis itulah yang
menjadi pembeda paling utama antarkeduanya.
Secara historis seni pertunjukan di Indonesia tidak bertolak dari teks
berbentuk naskah tertulis. Seni pertunjukan macam itu dikenal dengan
teater tradisional. Pola penyebarannya dari wilayah ke wilayah, dari
generasi ke generasi hanya pada saat pertunjukannya. Oleh karena
eksistensi seni pertunjukan di Indonesia tidak tertulis, tanpa ragu-ragu
Djajakusuma (1972) mengatakan bahwa sebelum abad ke-19 di Indonesia
tidak ada drama. Yang ada adalah teater. Alasan utamanya karena
Indonesia tidak memiliki tradisi menuliskan konsep seni pertunjukannya.
Sehubungan dengan pendapat Djajakusuma tersebut, Sumardjo menegaskan:
“Salah satu aspek teater Barat yang membedakannya dengan teater
tradisional Indonesia adalah tersedianya naskah drama. Teater
tradisional Indonesia tidak pernah menuliskan naskah pementasannya......
Naskah sastra drama tertua yang tercatat di Indonesia adalah karya F.
Wiggers, Lelakon Raden Beij Surio Retno yang diterbitkan tahun 1901.
Sedangkan rombongan drama tertua di Indonesia muncul tahun 1891 dengan
nama Komedie Stamboel (1992: 236).
Sulawesi Selatan yang secara geografis terletak di wilayah bagian timur
Indonesia, teater tradisionalnya memang amat sangat terbatas jika
dibandingkan dengan Jawa dan Bali. Jenis-jenis yang telah
diidentifikasikan ada 6 (secara alfabetis):
1) Anngaruwe’. 2) Koa-koayang. 3) Kondobuléng. 4) Maccampong. 5)
Mappennyu, 6) Songko’-songko’ Jangang. Empat jenis di antara teater
tradisional tersebut di atas: Anngaruwe’, Maccampong, Mappennyu, dan
Songko’-songko’ Jangang pada akhir dasa warsa pertama abad ke-21 ini,
tidak pernah lagi dipertunjukkan. Dua jenis lainnya: Koa-koayang dan
Kondobuléng pertunjukannya hanya karena diundang oleh sebuah panitia.
Dalam berbagai diskusi, teknologi seni audio visual (televisi, VCD, dan
semacamnya) dituding sebagai penyebab tersisihnya teater tradisional
Indonesia dari masyarakatnya. Pendapat itu di satu sisi bisa dibenarkan.
Kampung-kampung sebagai wilayah konsumen terbesar seni pertunjukan
tradisional, sejak awal dasa warsa pertama abad ke-21, sudah dimasuki
VCD dengan film-film yang mereka anggap “modern”. Para pemuda
mengikutinya, bahkan dirasuki oleh gaya (style) berpakaian, berjalan,
atau cara berbicara tokoh yang disaksikannya. Di sisi lain penyebab
terisihnya ialah penampilannya yang sangat terbatas dan hanya di
lingkungan pendukungnya. Dan, yang lebih dari itu, mereka masih
menerapkan pendapat bahwa para pemainnya harus yang ada hubungan darah
dengan leluhurnya.
Dalam Festival Teluk Bone awal tahun 2000-an yang diselenggarakan di
wilayah Bajoé, Teluk Bone, panitia menampilkan Anngaruwe’, sejenis
teater tradisional etnis Bugis yang nirkata, tanpa kata atau tanpa
dialog dan monolog. Para pemainnya semua laki-laki, berusia sekitar 40
tahun ke atas. Dalam wawancara esok paginya sehubungan tidak adanya
seorang pun pemuda (usia 20 tahun ke bawah) dalam pertunjukan itu,
pimpinan kelompok Anngaruwe’ menjawab: “De’ gaga élo’. Kuno garé’.”
(bahasa Bugis: “Tak ada yang mau. Kuno menurut mereka.”). Sejak tahun
1970 Anngaruwe’ belum pernah diikutkan dalam festival atau acara apapun
di luar wilayahnya.
Dalam Festival dan Seminar Internasional La Galigo tahun 2002 di
Kabupaten Barru (sekitar 100 km dari Makassar) yang diketuai oleh Dr.
Nurhayati Rahman (kini Prof.), kelompok seni pertunjukan tradisional
Anngaruwe’ menyatakan persetujuannya sebagai salah satu acara pada malam
harinya. Biaya akomodasi, konsumsi, dan honorarium disiapkan oleh
panitia. “Tetapi kami batal ikut, karena sebagai anggota masyarakat yang
hidupnya pas-pasan, kami tidak mampu membayar biaya transportasi
walaupun saya selaku Pimpinan Rombongan sudah berusaha, termasuk kepada
pemerintah” (wawancara dengan A. Muskamal Bare, teaterawan Bone, 2002).
Demikian pula dengan Koa-koayang dari Mandar, batal ke Festival
Internasional La Galigo karena masalah yang sama.
Kondobuléng satu-satunya teater tradisional yang tampil dalam festival
internasional itu. Seni pertunjukan tradisional inilah yang sampai
sekarang, 2009, bisa disaksikan, baik dalam kota Makassar maupun di
daerah-daerah lain. Kini, di wilayah yang sama, Paropo, terdapat
beberapa grup/kelompok yang bisa memainkan Kondobuleng, seperti Sanggar I
Lolo Gading, Sanggar Remaja Paropo, dll.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar