ecara etimologis kata kondobuléng adalah bahasa Bugis dan Makassar,
terbentuk dari dua kata. Kondo berarti bangau, sejenis burung yang
berkaki, berleher, dan berparuh panjang. Burung ini pemangsa ikan, hidup
di rawa-rawa atau di tempat berair, seperti tepi pantai atau sawah.
Kata buléng ada yang mengartikannya “putih”, tapi dalam percakapan
sehari-hari, kata “putih” berarti kébo’ dalam bahasa Makassar. Dalam
Kamus Indonesia-Makassar (Arif, dkk: 1992), kata “putih” diterjemahkan
kébo’.
Holt (1939: 18) menulis, “we were to see a dance-pantomine (pantomime?,
Pen.) by Kondobuléng, which means “white heroen”. Arti lain kata buléng
dapat dilihat di dalam Cense dan Abdoerrahim, “BULENG (Mal. bulai) wit v
huidskleur, albino; tau-buleng albino; tedong buleng roze karbouw;
djarang buleng wit paard (= djarang balanda)...” (1979: 140).
Dari kutipan di atas dapat ditarik kesimpulan, bahwa kata “putih” yang
ditafsirkan dengan kata buléng bukanlah putih murni, melainkan lebih
terarah pada warna putih yang kepirang-pirangan. Dalam konteks ini
mengacu pada tubuh dan rambut yang kekurangan zat pigmen. Cense dan
Abdoerrahim selanjutnya menulis sbb.:
“...kondobuléng witte reiger met gele poten en zwarte snavel; ook en
spel; warbij iem zich als witte reiger vermont en een ander person als
jager optreedt... warsa pertama abad ke-21 ini, tidak pernah lagi
dipertunjukkan. Dua jenis lainnya: Koa-koayang dan Kondobuléng
pertunjukannya hanya karena diundang oleh sebuah
Akkondo-buléng het spel v.d witte reiger spelen (men hecht hieeran een
religieuze betek; henspel wordt dikwijs omstreeks middlenacht gespeeld).
Pakondo-kondo-buléng een kondo-buleng speler. (1979: 333).
Dengan demikian Kondobuléng adalah sejenis permainan yang sering
dilaksanakan pada malam hari, dimainkan oleh seseorang yang berperan
sebagai Bangau dan yang seorang lagi sebagai Pemburu, sedangkan para
pemainnya disebut pakondo-kondo-buléng.
Awal munculnya permainan Kondobuléng diperkirakan 300 tahun lampau.
Angka ini merupakan hasil perkalian lima dengan salah seorang pemainnya
yang berusia 60 tahun bernama Muhamad Arsjad. Dalam wawancara tanggal 29
Maret 2009 dengannya, pimpinan grup pemelihara teater tradisional ini
mengaku sebagai lapisan kelima dari leluhurnya yang secara turun-temurun
mewariskan permainan tersebut pada anak cucunya. Menurut Muhamad
Arsyad, Kondobuléng hanya boleh dimainkan oleh mereka yang ada hubungan
darah dengannya.
Pada mulanya permainan Kondobuléng hanya dikenal oleh masyarakat pesisir
pantai Sulawesi Selatan yang disebut masyarakat Bajo, yaitu sekelompok
masyarakat yang hidup dan mengarungi kehidupannya di laut. Dengan
demikian, permainan Kondobuléng diciptakan oleh masyarakat Bajo. Mereka
dikenal dengan sebutan to ri jé’né’ (bahasa Makassar, to = tau: orang,
ri: di, jé’né’: air). Masyarakat ini tergolong masyarakat yang segan
melepaskan peradaban aslinya meskipun sudah akrab dengan masyarakat
tempatnya bermukim untuk sementara. Mata pencahariannya, menangkap ikan
dan berburu penyu. Holt menyatakan, “beberapa penulis menyebutnya gypsy,
masyarakat pengembara, dan dengan demikian tidak menetap di satu
tempat” (1939: 18-19). Dalam peta geografi Provinsi Sulawesi Selatan,
wilayah masyarakat Bajo terletak di pesisir pantai Teluk Bone, bagian
timur-laut Provinsi Sulawesi Selatan.
Pada awalnya Kondobuléng berbentuk permainan yang nirkata, tanpa kata
atau tanpa tuturan, baik dialog maupun monolog. Segala sesuatuya
terungkap melalui gerak dan musik. Vokal manusia terwujud dalam
nyanyian, tawa, dan teriakan. Penyebarannya sangat lamban karena hanya
ada melalui permainan pengisi waktu.
Dalam perjalanannya yang sangat lamban, status Kondobuléng berubah dari
permainan menjadi pertunjukan. Bentuk ini rupanya memberi efek yang
sangat kuat, terutama untuk mendatangkan orang banyak. Itulah sebabnya
dalam masyarakat tradisional Bugis-Makassar, permainan masyarakat yang
telah berubah menjadi pertunjukan itu dijadikan salah satu mata acara
keramaian, misalnya dalam pesta perkawinan, naik rumah baru, khitanan,
dll.
Masuknya agama Islam ke wilayah Kondobuléng, menjadi dasar bertambahnya
materi pertunjukannya yang disebut Pépé’-pépéka ri Makka (bahasa
Makassar, pépé’: api, ka: yang, ri: di, Makka: Mekah). Akan tetapi jika
pertunjukannya diamat-amati secara lebih dalam, tampak sama sekali tak
ada kaitannya dengan Kondobuléng, episode tersendiri tanpa alur (plot).
Dalam pertunjukan itu sekelompok laki-laki dalam pakaian khas Bugis
Makassar: ikat kepala passapu, baju kantiu (jas tanpa kerah), celana
barocci’, dan sarung digulung sampai lutut; tampil menari-nari sambil
memegang sumbu besar yang menyala yang dilekatkan ke lengan,
sekali-sekali mengobarkan api dengan minyak tanah yang disemburkan dri
mulut. Kesan yang tertinggal, mereka kebal terhadap api.
Pertunjukan di antara Kondobuléng dengan Pépé’-pépéka ri Makka,
ditampilkan selingan yang disebut Ganrang Bulo (bahasa Makassar,
ganrang: gendang, bulo: bambu). Pimpinan I Lolo Gading, M. Arsyad, dalam
wawancara (29 Maret 2009) mengatakan bahwa Pépé’-pépéka ri Makka,
Ganrang Bulo, dan Kondobuléng itu sendiri sejak setengah abad lalu
dijadikan satu paket dalam setiap pertunjukan.
Struktur Kondobuléng
Dalam catatan Holt, tokoh dalam Kondobuléng terdiri atas dua. Tokoh
pertama, Bangau. Untuk memberi kesan bangau, pemain yang memerankannya
mengenakan kain putih polos yang diselimutkan mulai dari pundak sampai
ke kaki. Selain itu, secarik kain yang juga berwarna putih diikatkan di
bagian leher, diputar ke atas menutupi kepala termasuk wajah. Di bagian
mulut, tertonjol runcing oleh bentukan bambu. Itulah paruhnya. Inilah
Kondobuléng-nya. Tokoh kedua, Pemburu, laki-laki dengan sebatang tongkat
yang berfungsi sebagai senapan.
Sebagai eksposisi dalam alur (plot), Pemburu bergerak bersamaan dengan
Kondobuléng ke tengah arena. Si Pemburu berjalan terpincang-pincang,
sedangkan Kondobuléng melayang dengan ringan, lalu berhenti
sekali-sekali sambil memaling-malingkan kepala dan menggerak-gerakkan
sayap. Demikian berlangsung beberapa lama dengan gerak-gerak tertentu
yaitu mencari ikan. Tetapi dengan naluri hewannya, Kondobuléng memberi
kesan diintai oleh Pemburu.
Pada satu saat Pemburu memutuskan untuk menembak. Dia lalu membidikkan
senapannya. Kondobuléng mengembangkan sayap lalu berpindah empat. Sekali
lagi Pemburu membidik lalu menembak. Tetapi tembakannya meleset.
Berikutnya, Pemburu mengisi senapannya dengan peluru (improvisatif). Dia
membidik agak lama, dan pada detik tertentu, dia menembak. Kondobuléng
jatuh.
Tetapi pada detik itu pula, terjadi sesuatu pada diri Pemburu. Dia
mengosok-gosok mata, dan ternyata dia buta. Karena itu dia berusaha
mendekati tempat jatuhnya Kondobuléng dengan meraba-raba. Dia lantas
melengking gembira ketika tangannya menyentuh tubuh Kondobuléng yang
tergeletak.
Namun, musibah lain terjadi lagi berikutnya. Tubuh Pemburu terbenam.
Setelah berhasil naik, dia memotong-motong tubuh Kondobuléng dengan
gergaji (improvisatif). Pertama leher, lalu sayap. Ketika sampai pada
bagian kaki, terjadi lagi keajaiban. Kaki Kondobuléng teracung ke udara.
Pemburu kaget dan terloncat ke samping. Beberapa saat berikutnya, pelan
dan hati-hati Pemburu mendekat lagi. Kondobuléng ditegakkan,
disandarkannya ke dinding. Pemburu kemudian pergi. Sepeninggal Pemburu,
Kondobuléng bergerak, kemudian melayang pergi.
Demikian alur permainan Kondobuléng sebagaimana catatan Holt (1939:
18-19), satu-satunya data tertulis dan tertua yang bisa diperoleh.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar