Translate

pengertian dan struktur kondobuleleng

Written By iqbal_editing on Sabtu, 15 Oktober 2016 | 21.25

ecara etimologis kata kondobuléng adalah bahasa Bugis dan Makassar, terbentuk dari dua kata. Kondo berarti bangau, sejenis burung yang berkaki, berleher, dan berparuh panjang. Burung ini pemangsa ikan, hidup di rawa-rawa atau di tempat berair, seperti tepi pantai atau sawah. Kata buléng ada yang mengartikannya “putih”, tapi dalam percakapan sehari-hari, kata “putih” berarti kébo’ dalam bahasa Makassar. Dalam Kamus Indonesia-Makassar (Arif, dkk: 1992), kata “putih” diterjemahkan kébo’.

Holt (1939: 18) menulis, “we were to see a dance-pantomine (pantomime?, Pen.) by Kondobuléng, which means “white heroen”. Arti lain kata buléng dapat dilihat di dalam Cense dan Abdoerrahim, “BULENG (Mal. bulai) wit v huidskleur, albino; tau-buleng albino; tedong buleng roze karbouw; djarang buleng wit paard (= djarang balanda)...” (1979: 140).

Dari kutipan di atas dapat ditarik kesimpulan, bahwa kata “putih” yang ditafsirkan dengan kata buléng bukanlah putih murni, melainkan lebih terarah pada warna putih yang kepirang-pirangan. Dalam konteks ini mengacu pada tubuh dan rambut yang kekurangan zat pigmen. Cense dan Abdoerrahim selanjutnya menulis sbb.:
“...kondobuléng witte reiger met gele poten en zwarte snavel; ook en spel; warbij iem zich als witte reiger vermont en een ander person als jager optreedt... warsa pertama abad ke-21 ini, tidak pernah lagi dipertunjukkan. Dua jenis lainnya: Koa-koayang dan Kondobuléng pertunjukannya hanya karena diundang oleh sebuah
Akkondo-buléng het spel v.d witte reiger spelen (men hecht hieeran een religieuze betek; henspel wordt dikwijs omstreeks middlenacht gespeeld). Pakondo-kondo-buléng een kondo-buleng speler. (1979: 333).

Dengan demikian Kondobuléng adalah sejenis permainan yang sering dilaksanakan pada malam hari, dimainkan oleh seseorang yang berperan sebagai Bangau dan yang seorang lagi sebagai Pemburu, sedangkan para pemainnya disebut pakondo-kondo-buléng.

Awal munculnya permainan Kondobuléng diperkirakan 300 tahun lampau. Angka ini merupakan hasil perkalian lima dengan salah seorang pemainnya yang berusia 60 tahun bernama Muhamad Arsjad. Dalam wawancara tanggal 29 Maret 2009 dengannya, pimpinan grup pemelihara teater tradisional ini mengaku sebagai lapisan kelima dari leluhurnya yang secara turun-temurun mewariskan permainan tersebut pada anak cucunya. Menurut Muhamad Arsyad, Kondobuléng hanya boleh dimainkan oleh mereka yang ada hubungan darah dengannya.

Pada mulanya permainan Kondobuléng hanya dikenal oleh masyarakat pesisir pantai Sulawesi Selatan yang disebut masyarakat Bajo, yaitu sekelompok masyarakat yang hidup dan mengarungi kehidupannya di laut. Dengan demikian, permainan Kondobuléng diciptakan oleh masyarakat Bajo. Mereka dikenal dengan sebutan to ri jé’né’ (bahasa Makassar, to = tau: orang, ri: di, jé’né’: air). Masyarakat ini tergolong masyarakat yang segan melepaskan peradaban aslinya meskipun sudah akrab dengan masyarakat tempatnya bermukim untuk sementara. Mata pencahariannya, menangkap ikan dan berburu penyu. Holt menyatakan, “beberapa penulis menyebutnya gypsy, masyarakat pengembara, dan dengan demikian tidak menetap di satu tempat” (1939: 18-19). Dalam peta geografi Provinsi Sulawesi Selatan, wilayah masyarakat Bajo terletak di pesisir pantai Teluk Bone, bagian timur-laut Provinsi Sulawesi Selatan.

Pada awalnya Kondobuléng berbentuk permainan yang nirkata, tanpa kata atau tanpa tuturan, baik dialog maupun monolog. Segala sesuatuya terungkap melalui gerak dan musik. Vokal manusia terwujud dalam nyanyian, tawa, dan teriakan. Penyebarannya sangat lamban karena hanya ada melalui permainan pengisi waktu.

Dalam perjalanannya yang sangat lamban, status Kondobuléng berubah dari permainan menjadi pertunjukan. Bentuk ini rupanya memberi efek yang sangat kuat, terutama untuk mendatangkan orang banyak. Itulah sebabnya dalam masyarakat tradisional Bugis-Makassar, permainan masyarakat yang telah berubah menjadi pertunjukan itu dijadikan salah satu mata acara keramaian, misalnya dalam pesta perkawinan, naik rumah baru, khitanan, dll.

Masuknya agama Islam ke wilayah Kondobuléng, menjadi dasar bertambahnya materi pertunjukannya yang disebut Pépé’-pépéka ri Makka (bahasa Makassar, pépé’: api, ka: yang, ri: di, Makka: Mekah). Akan tetapi jika pertunjukannya diamat-amati secara lebih dalam, tampak sama sekali tak ada kaitannya dengan Kondobuléng, episode tersendiri tanpa alur (plot). Dalam pertunjukan itu sekelompok laki-laki dalam pakaian khas Bugis Makassar: ikat kepala passapu, baju kantiu (jas tanpa kerah), celana barocci’, dan sarung digulung sampai lutut; tampil menari-nari sambil memegang sumbu besar yang menyala yang dilekatkan ke lengan, sekali-sekali mengobarkan api dengan minyak tanah yang disemburkan dri mulut. Kesan yang tertinggal, mereka kebal terhadap api.

Pertunjukan di antara Kondobuléng dengan Pépé’-pépéka ri Makka, ditampilkan selingan yang disebut Ganrang Bulo (bahasa Makassar, ganrang: gendang, bulo: bambu). Pimpinan I Lolo Gading, M. Arsyad, dalam wawancara (29 Maret 2009) mengatakan bahwa Pépé’-pépéka ri Makka, Ganrang Bulo, dan Kondobuléng itu sendiri sejak setengah abad lalu dijadikan satu paket dalam setiap pertunjukan.

Struktur Kondobuléng
Dalam catatan Holt, tokoh dalam Kondobuléng terdiri atas dua. Tokoh pertama, Bangau. Untuk memberi kesan bangau, pemain yang memerankannya mengenakan kain putih polos yang diselimutkan mulai dari pundak sampai ke kaki. Selain itu, secarik kain yang juga berwarna putih diikatkan di bagian leher, diputar ke atas menutupi kepala termasuk wajah. Di bagian mulut, tertonjol runcing oleh bentukan bambu. Itulah paruhnya. Inilah Kondobuléng-nya. Tokoh kedua, Pemburu, laki-laki dengan sebatang tongkat yang berfungsi sebagai senapan.

Sebagai eksposisi dalam alur (plot), Pemburu bergerak bersamaan dengan Kondobuléng ke tengah arena. Si Pemburu berjalan terpincang-pincang, sedangkan Kondobuléng melayang dengan ringan, lalu berhenti sekali-sekali sambil memaling-malingkan kepala dan menggerak-gerakkan sayap. Demikian berlangsung beberapa lama dengan gerak-gerak tertentu yaitu mencari ikan. Tetapi dengan naluri hewannya, Kondobuléng memberi kesan diintai oleh Pemburu.

Pada satu saat Pemburu memutuskan untuk menembak. Dia lalu membidikkan senapannya. Kondobuléng mengembangkan sayap lalu berpindah empat. Sekali lagi Pemburu membidik lalu menembak. Tetapi tembakannya meleset. Berikutnya, Pemburu mengisi senapannya dengan peluru (improvisatif). Dia membidik agak lama, dan pada detik tertentu, dia menembak. Kondobuléng jatuh.

Tetapi pada detik itu pula, terjadi sesuatu pada diri Pemburu. Dia mengosok-gosok mata, dan ternyata dia buta. Karena itu dia berusaha mendekati tempat jatuhnya Kondobuléng dengan meraba-raba. Dia lantas melengking gembira ketika tangannya menyentuh tubuh Kondobuléng yang tergeletak.

Namun, musibah lain terjadi lagi berikutnya. Tubuh Pemburu terbenam. Setelah berhasil naik, dia memotong-motong tubuh Kondobuléng dengan gergaji (improvisatif). Pertama leher, lalu sayap. Ketika sampai pada bagian kaki, terjadi lagi keajaiban. Kaki Kondobuléng teracung ke udara. Pemburu kaget dan terloncat ke samping. Beberapa saat berikutnya, pelan dan hati-hati Pemburu mendekat lagi. Kondobuléng ditegakkan, disandarkannya ke dinding. Pemburu kemudian pergi. Sepeninggal Pemburu, Kondobuléng bergerak, kemudian melayang pergi.

Demikian alur permainan Kondobuléng sebagaimana catatan Holt (1939: 18-19), satu-satunya data tertulis dan tertua yang bisa diperoleh.

0 komentar:

Posting Komentar

 
berita unik