Translate

perkembangan dan pendahuluan kondobuleleng

Written By iqbal_editing on Sabtu, 15 Oktober 2016 | 21.25

Penyebaran teater tradisional Kondobuléng memang sangat lamban, karena hanya diketahui pada saat dipertunjukkan. Itu pun hanya oleh penontonnya. Selain itu, sifatnya yang tradisional merupakan bentuk standar atau pola tertentu, dalam pengertian cerita tidak berubah, meskipun di tempat-tempat lain dikenal sebagai tarian, seperti di Kepulauan Barrang Lompo dan Barrang Ca’di, Kabupaten Pangkajene, Sulawesi Selatan.

Kondobuléng di Makassar sejak 60 tahun lalu berbentuk teater, terungkap melalui gerak, vokal, musik, dan aspek seni pertunjukan lainnya. Berikut ini teater tradisional Kondobuléng versi I Lolo Gading.
1. Durasi pertunjukan: antara 30-45 menit.
2. Tempat pertunjukan: di mana saja (panggung tertutup atau arena terbuka).
3. Waktu pertunjukan: kapan saja (siang atau malam).
4. Tokoh: laki-laki.
5. Musik:
5.1 jumlah musisi: antara 5-7 orang.
5.2 instrumen musik:
a. biola.
b. rebana.
c. gendang.
d. kecapi.
e. gong.
f. kannong-kannong.
g. lea-lea/parappasa’.
6. Lirik:
6.1 Papparapa’ Empo.
6.2 Ma’-rencong-rencong.
6.3 Daeng Camummu.
6.4 Mala-mala Hatte.
(Khusus lirik Daeng Camummu, dapat ditemukan di dalam Makassarsche Crestomathie oleh BF Matthes (1860). Penulisannya beraksara lontara’ dan bertipografi naratif. Aksara lontara’ ini ditransliterasi ke aksara Latin, tipografinya diubah menjadi tipografi sajak (Terlampir). Perubahan itu sengaja dilakukan dengan tujuan mempermudah akses menuju pemahaman).
7. Kostum:
7.1 Pemain: pakaian sehari-hari.
7.2 Musisi: pakaian adat tradisional Bugis-Makassar.
8. Rias: para pemain tidak berrias sedangkan musisi berrias segagah mungkin.
9. Perlengkapan/property:
9.1 pancing,
9.2 jaring,
9.3 sodo’/sungkup bambu,
9.4 senapan,
9.5 dayung.
10. Gerak pemain: gabungan antara gerak keseharian dan stilisasi, spontan, improvisatif.
11. Penonton: sebagian besar masyarakat kelas menengah ke bawah. Jika dipertunjukkan pada acara-acara kenegaraan, disaksikan oleh masyarakat kelas atas (pejabat).

Kajian Singkat atas Kondobuléng sebagai Teater
Jika kita kembali pada ciri-ciri teater tradisional, agaknya sulit diterima jika Kondobuléng memiliki konsep kerja (lazim disebut konsep teater) sebagaimana yang dikenakan pada teater modern sekarang ini. Sihombing menegaskan:
“Konsep kerja itu dalam garis besarnya adalah mempermasalahkan proses penteateran sebuah naskah, sebuah sinopsis, atau bahkan sebuah ide, mulai dari persiapannya sampai rampung menjadi sebuah pertunjukan yang utuh. Bagaimanakah naskah, sinopsis, atau ide-ide dipersiapkan? Apakah diadakan penafsiran atau diskusi terlebih dahulu? Apakah sutradara melibatkan seluruh pemain dalam penafsiran diskusi ini, atau mendiktekan segala-galanya kepada pemainnya? (1980: vii).

Mencermati materi awal pertunjukannya yang berulang kali serta hasil wawancara dengan para pendukungnya, kita diperhadapkan hanya pada ide dalam bentuk lisan, dan tidak pernah dalam bentuk tulisan, semacam sinopsis apalagi naskah. Hal ini disadari sepenuhnya karena suku Bugis-Makassar tidak pernah menuliskan seni pertunjukannya.

Diakui oleh para anggota I Lolo Gading sebagai pemelihara satu-satunya teater tradisional itu, bahwa pengetahuan mereka hanya melalui pertunjukan yang selalu mereka saksikan. Ceritanya yang memang tunggal. Gerak, suara, bahasa, lirik lagu, musik, kostum, dan elemen pertunjukan lainnya, berpindah hanya pada saat pertunjukan. Pola demikian itu menyebabkan terjadinya penghilangan, perubahan, dan penambahan adegan tanpa disadari.

Pertunjukannya yang tidak memilih tempat, apakah di panggung prosenium atau di arena terbuka. Semua berlangsung sangat santai, tanpa formalitas. Dalam penelitian bersama dengan Dr. Endo Suanda dan Taufik Rahzen dari MSPI (Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia), ada hal yang merupakan salah satu identitas pendukungnya. Dalam perjanjian dengan kelompok itu sehari sebelumnya, disepakai pertunjukan pukul 09.00 pagi. Tetapi pertunjukan itu tertunda karena salah seorang pemainnya belum muncul. Lewat pukul 11.00 siang baru dimulai. Ternyata keterlambatan itu disebabkan pemain dimaksud yang penjual sayur keliling, dagangannya kurang laris meskipun sudah dijajakan sejak pagi.

Dalam pertunjukan istilah stage happening (kecelakaan pentas) tidak dikenal. Bahkan jika misalnya hal itu terjadi, pertunjukan justru berkembang tanpa memperhitungkan waktu dan efeknya pada penonton. Dalam Festival Galigo dan Seminar Internasiomal Sawerigading, tgl. 10-14 Desember 2003 di Masamba, Luwu Utara (sekitar 400 km. dari Makassar), hal itu terjadi. Kondobuléng tampil pada malam terakhir (14 Desember 2003). Oleh karena hujan turun sore harinya, panggung terbuka di sana-sini digenangi air. Dalam pertunjukan pada malam harinya, tiba-tiba seorang pemain jatuh karena panggung licin. Para penonton pun tertawa ramai. Reaksi penonton itu menyebabkan semua pemain “ikut-ikutan jatuh”. Tujuan mereka tentu saja untuk menarik perhatian. Akan tetapi satu hal yang mereka lupakan, bahwa lakon yang dilakukan berulang-ulang dalam pertunjukan yang sama, akan membosankan penonton. Bisa diduga efeknya. Pertunjukan yang seharusnya hanya berkisar 45 menit, berkembang menjadi satu jam lebih.

Napas Kondobuléng adalah komedi. Dengan demikian para pemain berlumba melakukan gerak-gerak, diksi-diksi, dan gaya bahasa komikal. Bila kita mengacu pada komedi yang disebut the ladder of comedy oleh Alan R. Thompson dalam Wright (1972: 50) sebanyak enam tingkat, Kondobuléng menyajikan tiga tingkat komedi:
1) physical mishap, kelucuan yang disebabkan oleh kecelakaan fisik (tingkat ke-2);
2) verbal wit, kelucuan yang ditimbulkan oleh gaya bahasa dan cara pengucapan (tingkat ke-4) ; dan
3) comedy of ideas, kelucuan yang bisa dinikmati melalui pemahaman intelektual (tingkat ke-6). Komedi tingkat ini disebutnya high comedy.

Para pemainnya kaya imajinasi dan kuat berimprovisasi. Penonton “dipaksa” kagum bila disadari bahwa mereka tidak pernah memperoleh pendidikan dan pelatihan teori dan praktik teknik bermain di akademi teater atau institut kesenian, misalnya. Mereka mampu meyakinkan penonton bahwa mereka berjalan di daratan kering, di pinggir pantai, atau di lumpur. Lokasi tidak dipermasalahkan. Pada detik ini mereka di pinggir pantai, tetapi pada detik-detik berikutnya mereka berenang di laut lepas tanpa berpindah. the three unities (Hukum 3 Kesatuan/H3K) yang dirumuskan oleh Aristoteles: keatuan waktu, kesatuan tempat, dan kesatuan lakuan, diberontaki, atau tepatnya, tidak berlaku bagi mereka.

Ketika tak seorang pun yang mampu sampai ke seberang dengan berenang meskipun dalam berbagai gaya (dada, punggung, kupu-kupu, bebas), muncul inisiatif dari seseorang membuat jembatan. Jembatan pun selesai dalam beberapa detik dengan menggunakan bambu, yang sebelumnya justru sebagai instrumen musik Ganrang Bulo. Mereka lalu naik ke jembatan, tetapi jembatan itu runtuh tak lama kemudian karena terlalu banyak orang yang naik pada waktu yang bersamaan. Muncul lagi inisiatif lain, yaitu membuat perahu. Mereka lantas membuat perahu, yaitu dua orang pemain berhadapan, saling menduduki punggung kaki masing-masing karena lutut ditegakkan. Seorang lagi berdiri di belakang mereka sambil memegang dayung. Dia mulai mendayung, perahu pun mulai bergerak meninggalkan tempat, naik turun. Pada saat itulah ketiga orang itu bercakap dengan bebas sambil terus bergerak. Mereka adalah perahu tapi pada saat yang sama mereka adalah orang yang mendayung dan naik perahu.

Improvisasi-improvisasi tersebut di atas menunjukkan bahwa dalam teater tradisional Kondobuléng tidak ada batas antara tokoh (characters) dengan perlengkapan (properties). Di sini penonton “dipaksa” lagi mengakui bahwa mereka adalah manusia (tokoh cerita yang mendayung dan menumpang perahu), tetapi pada saat yang sama mereka adalah perahu (perlengkapan pertunjukan yang ditumpangi manusia). Keduanya lebur menjadi satu kesatuan yang utuh. Dalam Seminar Ekologi Teater Indonesia di Tirtagangga, Bali, tahun 1999 oleh MSPI (Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia), saya mengemukakan kasus “satunya tokoh dengan perlengkapan” dalam teater tradisional seperti Kondobuléng, tak seorang pun di antara peserta yang memberikan contoh bandingan.

Dari aspek penentuan pemeran pun teater tradisional ini pun tidak mau repot. Ketika sang Pemburu itu terbenam setelah menembak Kondobuléng, seseorang melapor pada Pemerintah (imajinatif) melalui tuturan: “Lapor pada Pemerintah,” tapi setelah Pemburu diselamatkan, yang melapor tadi kembali melapor pada Pemerintah. Namun, yang dilapori adalah sang Pemburu itu sendiri.

Kenyataan di atas menunjukkan bahwa segala sesuatunya diserahkan sepenuhnya kepada kemampuan individual pendukung-pendukungnya (pemain dan musisi). Latihan pun bisa dikatakan tidak dilakukan, kecuali musik. Latihan adalah pertunjukan, sedangkan pertunjukan adalah latihan. Bahkan kalau mereka pernah berlatih untuk bermain, yang mereka lakukan justru tidak pernah dilakukan dalam latihan. Secara formal tidak ada sutradara, sehingga pemain berlaku sebebas mungkin.

Penafsiran
Makna lahir dari penafsiran, sedangkan penafsiran merupakan pertemuan antara penafsir dan objek yang ditafsirkan. Hasil penafsiran seseorang terhadap sebuah pertunjukan bisa saja tidak sama, dalam pengertian penafsiran terhadap pertunjukan teater tradisional Kondobuléng, misalnya, sebagai objek ditentukan oleh visi, wawasan, daya pikir, daya rasa, dan lingkungan, seorang penonton sebagai subjek. Ini berarti bahwa makna yang sampai kepada seseorang tidak akan selalu sama.

Kondobuléng sebagai teater tradisional, dapat memberikan berbagai makna melalui penafsiran. Holt, misalnya, mengatakan:
“... When he is gone (Pemburu, Pen.) the white figure suddenly detached itself from the wall, and stiffy, with “closed wings,” glides off in small smooth steps, describing semi-circle, as is hovering. One gets the impression that it the hero’s ghost flying off to heaven. In fact, this episode his surrection.” (1939: 20).

(“... Ketika dia pergi (Pemburu, Pen.) bangau putih itu mendadak melepaskan dirinya dari dinding, mengembangkan sayap, meluncur dengan langkah-langkah pendek, memutar setengah lingkaran seperti melayang. Gerak itu memberi kesan arwah tokoh ini melayang ke surga).
Penegasan Holt sebagaimana kutipan di atas menjelaskan pada kita wawasannya atas seni pertunjukan (simbolis) dan visi religius (perhatikan kata: heaven (surga) dan surrection (kebangkitan).

Muhamad Jusuf Junus (almarhum), seorang teaterawan dan pensiunan Pegawai Taman Budaya Sulawesi Selatan menafsirkan, bahwa sesungguhnya Kondobuléng itu merupakan simbol kesucian, kehormatan, kemurnian dalam hidup ini, yang akan dilenyapkan oleh kejahatan (Pemburu). Akan tetapi karena kesucian, kehormatan, dan kemurnian tidak bisa dilenyapkan sampai kapan pun, maka pada saat Kondobuléng itu tertembak, Pemburu ikut ditimpa bencana (tenggelam). Hidupnya kembali Kondobuléng merupakan manifestasi bahwa kesucian dan semacamnya tidak dapat dikalahkan oleh kejahatan, tetapi kejahatan itulah yang justru tak terelakkan.

Dua penafsiran lainnya bertolak dari dua periode dalam sejarah politik di Indonesia, dan satu penafsiran lainnya berdasarkan adat istiadat suku Bugis-Makassar. Penafsiran pertama dilatarbelakangi oleh periode penjajahan Belanda di Indonesia. Dalam pertunjukan pada periode itu Kondobuléng tidak hidup kembali. Kenyataan pentas itu memberi penafsiran bahwa tokoh Kondobuléng adalah Belanda, sedangkan yang menembaknya adalah gerilya. Itulah sebabnya pada masa itu Kondobuléng tidak hidup kembali karena dia adalah Belanda yang tidak boleh ada di bumi Indonesia.

Penafsiran kedua adalah masa melebarnya sayap PKI (Partai Komunis Indonesia). Dalam pertunjukan ditampilkan Kondobuléng hidup kembali dan Pemburu justru menembak dirinya sendiri. Kenyataan pentas ini memberi penafsiran bahwa anggota komunis yang tidak mampu menyelesaikan tugas partai dengan baik, dianggap melanggar perintah partai, dan karena itu harus mati, bunuh diri.

Penafsiran lain lagi bertitik tolak dari adat istiadat Bugis-Makassar sebagai budaya etnis pendukungnya. Hal yang dimaksudkan adalah sistem nilai yang disebut siri’ na paccé (bahasa Makassar) atau siri’ na pessé (bahasa Bugis). Sistem nilai ini diterjemahkan: kehormatan/harga diri dan pedih (bukan sedih). Pertunjukkan ditafsirkan, bahwa sesungguhnya Kondobuléng adalah gadis yang mempermalukan keluarga karena silariang (lari bersama untuk kawin tanpa persetujuan orang tua) yang menyebabkan siri’ (harga diri/kehormatan ternoda). Karena itu Kondobuléng (gadis) mati oleh ayah sendiri (Pemburu). Akan tetapi bagaimanapun juga, kematian gadis menimbulkan paccé (pessé), pedih bagi kalangan keluarga. Karena itu Kondobuléng hidup kembali dalam hati keluarga.

Kondobuléng sebagai Institusi Sosial
Menelusuri kelahiran teater tradisional Kondobuléng, sulit diakui bahwa jenis teater ini pada awalnya telah terbebani fungsi sosial. Pendapat ini didasarkan pada awal kemunculannya yang tidak “di-ada-kan” sebagaimana seni pertunjukan sekarang ini. Kondobuléng “meng-ada” dengan sendirinya, bebas dari beban fungsi yang “di-ada-ada-kan”: “sekelompok masyarakat mencari ikan. Muncul Bangau sebagai saingan. Bangau ditembak. Bangau tenggelam. Pemburu ikut tenggelam. Atas kesepakatan bersama keduanya dicari. Pemburu ditemukan. Bangau ditemukan. Bangau hidup kembali. Bangau melayang pergi.”
Kondobuléng adalah permainan ciptaan masyarakat zamannya. Akan tetapi menyaksikannya sebagai pertunjukan pada masa sekarang ini, seorang penonton diantar untuk menafsirkannya sebagai sebagai pranata (institusi) sosial. Hal ini didasarkan atas penafsiran atasnya yang akan menunjukkan fungsinya. Setidak-tidaknya ada 2 fungsi yang terkandung di dalamnya, yaitu hiburan dan pendidikan. Kedua fungsi ini mampu mewujudkan kreativitas baru melalui pengolahan sebagai konsep untuk karya teater modern.

Saya belum pernah menyaksikan pertunjukan teater modern yang memakai judul La Galigo karya Robert Wilson, karena tidak pernah dimainkan di Makassar. Akan tetapi mendengar penuturan seorang pemainnya yang orang teater di Makassar bernama Aco Zulsafri sebagai tokoh Kondobuléng, sangat disayangkan, sutradara tingkat internasional itu tidak mampu menangkap hakikat teater tradisional Kondobuléng yang dipinjamnya. Dalam wawancara dengannya, Aco Zulsafri, tgl. 11 April 2009 di Gedung Kesenian Societeit de Harmonie, dikatakannya bahwa dalam latihan Robert Wilson akan menokohkan Kondobuleng sebagai burung milik Sawerigading (dalam mitos La Galigo, burung dimaksud bernama La Dunrung) untuk melihat dunia luar. “Tetapi setelah saya menjelaskan tentang teater tradisional Kondobuleng, Robert Wilson menggantinya sebagaimana yang dimainkan dalam pertunjukan teater La Galigo.”

Penuturan tersebut menegaskan bahwa di sini tidak ada eksplorasi. Robert Wilson hanya meminjam nama Kondobuléng sebagai teater tradisional Bugis-Makassar untuk mengesahkan teaternya yang menurut Yudiaryani: interkulturalisme dan eksplorasi klasik. Dikatakan Yudiaryani, Wilson meminjam beberapa media, budaya-budaya dari beberapa negara dan periode kesejarahan (2002: 338). Yang dilakukan oleh Robert Wilson hanya mem-foto copy aspek visual, sehingga hakikat yang sesungguhnya tidak mampu dia tangkap. Dengan demikian makna yang dikandung Kondobuléng, hilang.

Dari penelitian terhadap pertunjukan Kondobuléng yang berulang kali pada waktu dan tempat yang berbeda, lahir semacam makna yang secara tidak langsung menegaskan fungsinya sebagai institusi sosial. Sebagai hiburan dapat dinikmati pada semua elemen teaterikalnya, yakni gerak dan vokal tokoh, permainan musik, lirik lagu, dan irama lagu itu sendiri. Dari elemen teaterikal yang berpadu menjadi satu pertunjukan yang utuh itu, beberapa fungsi sosial dapat dipetik, antara lain, seperti berikut: a) kesatuan dalam hidup bermasyarakat: adegan bersama-sama mencari nafkah, kesepakatan untuk saling menyelamatkan, b) rintangan dalam hidup: adegan bangau sebagai saingan mendapatkan ikan dengan mudah, c. optimisme dalam hidup: adegan membuat jembatan karena gagal berenang, membuat perahu karena jembatan runtuh, dan d) penyimpangan sosial: cacat fisik dalam adegan permainan Ganrang Bulo.

Catatan Akhir
Teater tradisional Kondobuléng yang telah berusia sekitar 300 tahun yang merupakan warisan dari masa lampau di Sulawesi Selatan, memiliki fungsi edukasi dan rekreasi, dan secara tidak langsung sekaligus berfungsi sebagai institusi sosial. Kedua fungsi yang memancing fungsi re-kreatif itu, sangat menarik untuk dijadikan konsep teater modern.
Kondobuléng terungkap melalui gerak, vokal, dan musik. Semua pemain dan musisinya laki-laki. Pertunjukannya tidak memilih waktu dan tempat. Keunikan yang tidak dimiliki oleh teater tradisional lainnya di Indonesia, adalah tidak adanya batas antara tokoh (characters) dan perlengkapan (properties). Ceritanya tunggal, tapi ide-ide baru bisa saja dimasukkan pada setiap pertunjukan. Irama musik dan lirik lagunya ada empat: Papparapa’ Empo, Daéng Camummu’, Ma’-réncong-réncong, dan Mala-mala Hatté. Daéng Camummu’ yang merupakan latar belakang pertunjukan, dapat ditemukan di dalam Makassarsche Christomathie oleh BF Matthes dalam aksara lontara’.

Oleh karena penyebarannya sangat lamban karena hanya boleh dimainkan oleh kalangann keluarga, dikhawatirkan teater tradisional warisan dari masa lampau itu akan punah. Untuk mencegah kepunahan itu, sebagai upaya awal adalah mentranskripsikannya dalam bentuk naskah pertunjukan. Pentranskripsian ini bukan untuk menjadikannya sebagai karya sastra drama yang bertujuan untuk dipertunjukkan.

0 komentar:

Posting Komentar

 
berita unik