Penyebaran teater tradisional Kondobuléng memang sangat lamban, karena
hanya diketahui pada saat dipertunjukkan. Itu pun hanya oleh
penontonnya. Selain itu, sifatnya yang tradisional merupakan bentuk
standar atau pola tertentu, dalam pengertian cerita tidak berubah,
meskipun di tempat-tempat lain dikenal sebagai tarian, seperti di
Kepulauan Barrang Lompo dan Barrang Ca’di, Kabupaten Pangkajene,
Sulawesi Selatan.
Kondobuléng di Makassar sejak 60 tahun lalu berbentuk teater, terungkap
melalui gerak, vokal, musik, dan aspek seni pertunjukan lainnya. Berikut
ini teater tradisional Kondobuléng versi I Lolo Gading.
1. Durasi pertunjukan: antara 30-45 menit.
2. Tempat pertunjukan: di mana saja (panggung tertutup atau arena terbuka).
3. Waktu pertunjukan: kapan saja (siang atau malam).
4. Tokoh: laki-laki.
5. Musik:
5.1 jumlah musisi: antara 5-7 orang.
5.2 instrumen musik:
a. biola.
b. rebana.
c. gendang.
d. kecapi.
e. gong.
f. kannong-kannong.
g. lea-lea/parappasa’.
6. Lirik:
6.1 Papparapa’ Empo.
6.2 Ma’-rencong-rencong.
6.3 Daeng Camummu.
6.4 Mala-mala Hatte.
(Khusus lirik Daeng Camummu, dapat ditemukan di dalam Makassarsche
Crestomathie oleh BF Matthes (1860). Penulisannya beraksara lontara’ dan
bertipografi naratif. Aksara lontara’ ini ditransliterasi ke aksara
Latin, tipografinya diubah menjadi tipografi sajak (Terlampir).
Perubahan itu sengaja dilakukan dengan tujuan mempermudah akses menuju
pemahaman).
7. Kostum:
7.1 Pemain: pakaian sehari-hari.
7.2 Musisi: pakaian adat tradisional Bugis-Makassar.
8. Rias: para pemain tidak berrias sedangkan musisi berrias segagah mungkin.
9. Perlengkapan/property:
9.1 pancing,
9.2 jaring,
9.3 sodo’/sungkup bambu,
9.4 senapan,
9.5 dayung.
10. Gerak pemain: gabungan antara gerak keseharian dan stilisasi, spontan, improvisatif.
11. Penonton: sebagian besar masyarakat kelas menengah ke bawah. Jika
dipertunjukkan pada acara-acara kenegaraan, disaksikan oleh masyarakat
kelas atas (pejabat).
Kajian Singkat atas Kondobuléng sebagai Teater
Jika kita kembali pada ciri-ciri teater tradisional, agaknya sulit
diterima jika Kondobuléng memiliki konsep kerja (lazim disebut konsep
teater) sebagaimana yang dikenakan pada teater modern sekarang ini.
Sihombing menegaskan:
“Konsep kerja itu dalam garis besarnya adalah mempermasalahkan proses
penteateran sebuah naskah, sebuah sinopsis, atau bahkan sebuah ide,
mulai dari persiapannya sampai rampung menjadi sebuah pertunjukan yang
utuh. Bagaimanakah naskah, sinopsis, atau ide-ide dipersiapkan? Apakah
diadakan penafsiran atau diskusi terlebih dahulu? Apakah sutradara
melibatkan seluruh pemain dalam penafsiran diskusi ini, atau mendiktekan
segala-galanya kepada pemainnya? (1980: vii).
Mencermati materi awal pertunjukannya yang berulang kali serta hasil
wawancara dengan para pendukungnya, kita diperhadapkan hanya pada ide
dalam bentuk lisan, dan tidak pernah dalam bentuk tulisan, semacam
sinopsis apalagi naskah. Hal ini disadari sepenuhnya karena suku
Bugis-Makassar tidak pernah menuliskan seni pertunjukannya.
Diakui oleh para anggota I Lolo Gading sebagai pemelihara satu-satunya
teater tradisional itu, bahwa pengetahuan mereka hanya melalui
pertunjukan yang selalu mereka saksikan. Ceritanya yang memang tunggal.
Gerak, suara, bahasa, lirik lagu, musik, kostum, dan elemen pertunjukan
lainnya, berpindah hanya pada saat pertunjukan. Pola demikian itu
menyebabkan terjadinya penghilangan, perubahan, dan penambahan adegan
tanpa disadari.
Pertunjukannya yang tidak memilih tempat, apakah di panggung prosenium
atau di arena terbuka. Semua berlangsung sangat santai, tanpa
formalitas. Dalam penelitian bersama dengan Dr. Endo Suanda dan Taufik
Rahzen dari MSPI (Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia), ada hal yang
merupakan salah satu identitas pendukungnya. Dalam perjanjian dengan
kelompok itu sehari sebelumnya, disepakai pertunjukan pukul 09.00 pagi.
Tetapi pertunjukan itu tertunda karena salah seorang pemainnya belum
muncul. Lewat pukul 11.00 siang baru dimulai. Ternyata keterlambatan itu
disebabkan pemain dimaksud yang penjual sayur keliling, dagangannya
kurang laris meskipun sudah dijajakan sejak pagi.
Dalam pertunjukan istilah stage happening (kecelakaan pentas) tidak
dikenal. Bahkan jika misalnya hal itu terjadi, pertunjukan justru
berkembang tanpa memperhitungkan waktu dan efeknya pada penonton. Dalam
Festival Galigo dan Seminar Internasiomal Sawerigading, tgl. 10-14
Desember 2003 di Masamba, Luwu Utara (sekitar 400 km. dari Makassar),
hal itu terjadi. Kondobuléng tampil pada malam terakhir (14 Desember
2003). Oleh karena hujan turun sore harinya, panggung terbuka di
sana-sini digenangi air. Dalam pertunjukan pada malam harinya, tiba-tiba
seorang pemain jatuh karena panggung licin. Para penonton pun tertawa
ramai. Reaksi penonton itu menyebabkan semua pemain “ikut-ikutan jatuh”.
Tujuan mereka tentu saja untuk menarik perhatian. Akan tetapi satu hal
yang mereka lupakan, bahwa lakon yang dilakukan berulang-ulang dalam
pertunjukan yang sama, akan membosankan penonton. Bisa diduga efeknya.
Pertunjukan yang seharusnya hanya berkisar 45 menit, berkembang menjadi
satu jam lebih.
Napas Kondobuléng adalah komedi. Dengan demikian para pemain berlumba
melakukan gerak-gerak, diksi-diksi, dan gaya bahasa komikal. Bila kita
mengacu pada komedi yang disebut the ladder of comedy oleh Alan R.
Thompson dalam Wright (1972: 50) sebanyak enam tingkat, Kondobuléng
menyajikan tiga tingkat komedi:
1) physical mishap, kelucuan yang disebabkan oleh kecelakaan fisik (tingkat ke-2);
2) verbal wit, kelucuan yang ditimbulkan oleh gaya bahasa dan cara pengucapan (tingkat ke-4) ; dan
3) comedy of ideas, kelucuan yang bisa dinikmati melalui pemahaman
intelektual (tingkat ke-6). Komedi tingkat ini disebutnya high comedy.
Para pemainnya kaya imajinasi dan kuat berimprovisasi. Penonton
“dipaksa” kagum bila disadari bahwa mereka tidak pernah memperoleh
pendidikan dan pelatihan teori dan praktik teknik bermain di akademi
teater atau institut kesenian, misalnya. Mereka mampu meyakinkan
penonton bahwa mereka berjalan di daratan kering, di pinggir pantai,
atau di lumpur. Lokasi tidak dipermasalahkan. Pada detik ini mereka di
pinggir pantai, tetapi pada detik-detik berikutnya mereka berenang di
laut lepas tanpa berpindah. the three unities (Hukum 3 Kesatuan/H3K)
yang dirumuskan oleh Aristoteles: keatuan waktu, kesatuan tempat, dan
kesatuan lakuan, diberontaki, atau tepatnya, tidak berlaku bagi mereka.
Ketika tak seorang pun yang mampu sampai ke seberang dengan berenang
meskipun dalam berbagai gaya (dada, punggung, kupu-kupu, bebas), muncul
inisiatif dari seseorang membuat jembatan. Jembatan pun selesai dalam
beberapa detik dengan menggunakan bambu, yang sebelumnya justru sebagai
instrumen musik Ganrang Bulo. Mereka lalu naik ke jembatan, tetapi
jembatan itu runtuh tak lama kemudian karena terlalu banyak orang yang
naik pada waktu yang bersamaan. Muncul lagi inisiatif lain, yaitu
membuat perahu. Mereka lantas membuat perahu, yaitu dua orang pemain
berhadapan, saling menduduki punggung kaki masing-masing karena lutut
ditegakkan. Seorang lagi berdiri di belakang mereka sambil memegang
dayung. Dia mulai mendayung, perahu pun mulai bergerak meninggalkan
tempat, naik turun. Pada saat itulah ketiga orang itu bercakap dengan
bebas sambil terus bergerak. Mereka adalah perahu tapi pada saat yang
sama mereka adalah orang yang mendayung dan naik perahu.
Improvisasi-improvisasi tersebut di atas menunjukkan bahwa dalam teater
tradisional Kondobuléng tidak ada batas antara tokoh (characters) dengan
perlengkapan (properties). Di sini penonton “dipaksa” lagi mengakui
bahwa mereka adalah manusia (tokoh cerita yang mendayung dan menumpang
perahu), tetapi pada saat yang sama mereka adalah perahu (perlengkapan
pertunjukan yang ditumpangi manusia). Keduanya lebur menjadi satu
kesatuan yang utuh. Dalam Seminar Ekologi Teater Indonesia di
Tirtagangga, Bali, tahun 1999 oleh MSPI (Masyarakat Seni Pertunjukan
Indonesia), saya mengemukakan kasus “satunya tokoh dengan perlengkapan”
dalam teater tradisional seperti Kondobuléng, tak seorang pun di antara
peserta yang memberikan contoh bandingan.
Dari aspek penentuan pemeran pun teater tradisional ini pun tidak mau
repot. Ketika sang Pemburu itu terbenam setelah menembak Kondobuléng,
seseorang melapor pada Pemerintah (imajinatif) melalui tuturan: “Lapor
pada Pemerintah,” tapi setelah Pemburu diselamatkan, yang melapor tadi
kembali melapor pada Pemerintah. Namun, yang dilapori adalah sang
Pemburu itu sendiri.
Kenyataan di atas menunjukkan bahwa segala sesuatunya diserahkan
sepenuhnya kepada kemampuan individual pendukung-pendukungnya (pemain
dan musisi). Latihan pun bisa dikatakan tidak dilakukan, kecuali musik.
Latihan adalah pertunjukan, sedangkan pertunjukan adalah latihan. Bahkan
kalau mereka pernah berlatih untuk bermain, yang mereka lakukan justru
tidak pernah dilakukan dalam latihan. Secara formal tidak ada sutradara,
sehingga pemain berlaku sebebas mungkin.
Penafsiran
Makna lahir dari penafsiran, sedangkan penafsiran merupakan pertemuan
antara penafsir dan objek yang ditafsirkan. Hasil penafsiran seseorang
terhadap sebuah pertunjukan bisa saja tidak sama, dalam pengertian
penafsiran terhadap pertunjukan teater tradisional Kondobuléng,
misalnya, sebagai objek ditentukan oleh visi, wawasan, daya pikir,
daya rasa, dan lingkungan, seorang penonton sebagai subjek. Ini berarti
bahwa makna yang sampai kepada seseorang tidak akan selalu sama.
Kondobuléng sebagai teater tradisional, dapat memberikan berbagai makna melalui penafsiran. Holt, misalnya, mengatakan:
“... When he is gone (Pemburu, Pen.) the white figure suddenly detached
itself from the wall, and stiffy, with “closed wings,” glides off in
small smooth steps, describing semi-circle, as is hovering. One gets the
impression that it the hero’s ghost flying off to heaven. In fact, this
episode his surrection.” (1939: 20).
(“... Ketika dia pergi (Pemburu, Pen.) bangau putih itu mendadak
melepaskan dirinya dari dinding, mengembangkan sayap, meluncur dengan
langkah-langkah pendek, memutar setengah lingkaran seperti melayang.
Gerak itu memberi kesan arwah tokoh ini melayang ke surga).
Penegasan Holt sebagaimana kutipan di atas menjelaskan pada kita
wawasannya atas seni pertunjukan (simbolis) dan visi religius
(perhatikan kata: heaven (surga) dan surrection (kebangkitan).
Muhamad Jusuf Junus (almarhum), seorang teaterawan dan pensiunan Pegawai
Taman Budaya Sulawesi Selatan menafsirkan, bahwa sesungguhnya
Kondobuléng itu merupakan simbol kesucian, kehormatan, kemurnian dalam
hidup ini, yang akan dilenyapkan oleh kejahatan (Pemburu). Akan tetapi
karena kesucian, kehormatan, dan kemurnian tidak bisa dilenyapkan sampai
kapan pun, maka pada saat Kondobuléng itu tertembak, Pemburu ikut
ditimpa bencana (tenggelam). Hidupnya kembali Kondobuléng merupakan
manifestasi bahwa kesucian dan semacamnya tidak dapat dikalahkan oleh
kejahatan, tetapi kejahatan itulah yang justru tak terelakkan.
Dua penafsiran lainnya bertolak dari dua periode dalam sejarah politik
di Indonesia, dan satu penafsiran lainnya berdasarkan adat istiadat suku
Bugis-Makassar. Penafsiran pertama dilatarbelakangi oleh periode
penjajahan Belanda di Indonesia. Dalam pertunjukan pada periode itu
Kondobuléng tidak hidup kembali. Kenyataan pentas itu memberi penafsiran
bahwa tokoh Kondobuléng adalah Belanda, sedangkan yang menembaknya
adalah gerilya. Itulah sebabnya pada masa itu Kondobuléng tidak hidup
kembali karena dia adalah Belanda yang tidak boleh ada di bumi
Indonesia.
Penafsiran kedua adalah masa melebarnya sayap PKI (Partai Komunis
Indonesia). Dalam pertunjukan ditampilkan Kondobuléng hidup kembali dan
Pemburu justru menembak dirinya sendiri. Kenyataan pentas ini memberi
penafsiran bahwa anggota komunis yang tidak mampu menyelesaikan tugas
partai dengan baik, dianggap melanggar perintah partai, dan karena itu
harus mati, bunuh diri.
Penafsiran lain lagi bertitik tolak dari adat istiadat Bugis-Makassar
sebagai budaya etnis pendukungnya. Hal yang dimaksudkan adalah sistem
nilai yang disebut siri’ na paccé (bahasa Makassar) atau siri’ na pessé
(bahasa Bugis). Sistem nilai ini diterjemahkan: kehormatan/harga diri
dan pedih (bukan sedih). Pertunjukkan ditafsirkan, bahwa sesungguhnya
Kondobuléng adalah gadis yang mempermalukan keluarga karena silariang
(lari bersama untuk kawin tanpa persetujuan orang tua) yang menyebabkan
siri’ (harga diri/kehormatan ternoda). Karena itu Kondobuléng (gadis)
mati oleh ayah sendiri (Pemburu). Akan tetapi bagaimanapun juga,
kematian gadis menimbulkan paccé (pessé), pedih bagi kalangan keluarga.
Karena itu Kondobuléng hidup kembali dalam hati keluarga.
Kondobuléng sebagai Institusi Sosial
Menelusuri kelahiran teater tradisional Kondobuléng, sulit diakui bahwa
jenis teater ini pada awalnya telah terbebani fungsi sosial. Pendapat
ini didasarkan pada awal kemunculannya yang tidak “di-ada-kan”
sebagaimana seni pertunjukan sekarang ini. Kondobuléng “meng-ada” dengan
sendirinya, bebas dari beban fungsi yang “di-ada-ada-kan”: “sekelompok
masyarakat mencari ikan. Muncul Bangau sebagai saingan. Bangau ditembak.
Bangau tenggelam. Pemburu ikut tenggelam. Atas kesepakatan bersama
keduanya dicari. Pemburu ditemukan. Bangau ditemukan. Bangau hidup
kembali. Bangau melayang pergi.”
Kondobuléng adalah permainan ciptaan masyarakat zamannya. Akan tetapi
menyaksikannya sebagai pertunjukan pada masa sekarang ini, seorang
penonton diantar untuk menafsirkannya sebagai sebagai pranata
(institusi) sosial. Hal ini didasarkan atas penafsiran atasnya yang akan
menunjukkan fungsinya. Setidak-tidaknya ada 2 fungsi yang terkandung di
dalamnya, yaitu hiburan dan pendidikan. Kedua fungsi ini mampu
mewujudkan kreativitas baru melalui pengolahan sebagai konsep untuk
karya teater modern.
Saya belum pernah menyaksikan pertunjukan teater modern yang memakai
judul La Galigo karya Robert Wilson, karena tidak pernah dimainkan di
Makassar. Akan tetapi mendengar penuturan seorang pemainnya yang orang
teater di Makassar bernama Aco Zulsafri sebagai tokoh Kondobuléng,
sangat disayangkan, sutradara tingkat internasional itu tidak mampu
menangkap hakikat teater tradisional Kondobuléng yang dipinjamnya. Dalam
wawancara dengannya, Aco Zulsafri, tgl. 11 April 2009 di Gedung
Kesenian Societeit de Harmonie, dikatakannya bahwa dalam latihan Robert
Wilson akan menokohkan Kondobuleng sebagai burung milik Sawerigading
(dalam mitos La Galigo, burung dimaksud bernama La Dunrung) untuk
melihat dunia luar. “Tetapi setelah saya menjelaskan tentang teater
tradisional Kondobuleng, Robert Wilson menggantinya sebagaimana yang
dimainkan dalam pertunjukan teater La Galigo.”
Penuturan tersebut menegaskan bahwa di sini tidak ada eksplorasi. Robert
Wilson hanya meminjam nama Kondobuléng sebagai teater tradisional
Bugis-Makassar untuk mengesahkan teaternya yang menurut Yudiaryani:
interkulturalisme dan eksplorasi klasik. Dikatakan Yudiaryani, Wilson
meminjam beberapa media, budaya-budaya dari beberapa negara dan periode
kesejarahan (2002: 338). Yang dilakukan oleh Robert Wilson hanya
mem-foto copy aspek visual, sehingga hakikat yang sesungguhnya tidak
mampu dia tangkap. Dengan demikian makna yang dikandung Kondobuléng,
hilang.
Dari penelitian terhadap pertunjukan Kondobuléng yang berulang kali pada
waktu dan tempat yang berbeda, lahir semacam makna yang secara tidak
langsung menegaskan fungsinya sebagai institusi sosial. Sebagai hiburan
dapat dinikmati pada semua elemen teaterikalnya, yakni gerak dan vokal
tokoh, permainan musik, lirik lagu, dan irama lagu itu sendiri. Dari
elemen teaterikal yang berpadu menjadi satu pertunjukan yang utuh itu,
beberapa fungsi sosial dapat dipetik, antara lain, seperti berikut: a)
kesatuan dalam hidup bermasyarakat: adegan bersama-sama mencari nafkah,
kesepakatan untuk saling menyelamatkan, b) rintangan dalam hidup: adegan
bangau sebagai saingan mendapatkan ikan dengan mudah, c. optimisme
dalam hidup: adegan membuat jembatan karena gagal berenang, membuat
perahu karena jembatan runtuh, dan d) penyimpangan sosial: cacat fisik
dalam adegan permainan Ganrang Bulo.
Catatan Akhir
Teater tradisional Kondobuléng yang telah berusia sekitar 300 tahun yang
merupakan warisan dari masa lampau di Sulawesi Selatan, memiliki fungsi
edukasi dan rekreasi, dan secara tidak langsung sekaligus berfungsi
sebagai institusi sosial. Kedua fungsi yang memancing fungsi re-kreatif
itu, sangat menarik untuk dijadikan konsep teater modern.
Kondobuléng terungkap melalui gerak, vokal, dan musik. Semua pemain dan
musisinya laki-laki. Pertunjukannya tidak memilih waktu dan tempat.
Keunikan yang tidak dimiliki oleh teater tradisional lainnya di
Indonesia, adalah tidak adanya batas antara tokoh (characters) dan
perlengkapan (properties). Ceritanya tunggal, tapi ide-ide baru bisa
saja dimasukkan pada setiap pertunjukan. Irama musik dan lirik lagunya
ada empat: Papparapa’ Empo, Daéng Camummu’, Ma’-réncong-réncong, dan
Mala-mala Hatté. Daéng Camummu’ yang merupakan latar belakang
pertunjukan, dapat ditemukan di dalam Makassarsche Christomathie oleh BF
Matthes dalam aksara lontara’.
Oleh karena penyebarannya sangat lamban karena hanya boleh dimainkan
oleh kalangann keluarga, dikhawatirkan teater tradisional warisan dari
masa lampau itu akan punah. Untuk mencegah kepunahan itu, sebagai upaya
awal adalah mentranskripsikannya dalam bentuk naskah pertunjukan.
Pentranskripsian ini bukan untuk menjadikannya sebagai karya sastra
drama yang bertujuan untuk dipertunjukkan.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar