Cerpen Karangan: Izzatus 'Adilla Ahda
Kategori: Cerpen Anak, Cerpen Keluarga
Lolos moderasi pada: 12 October 2016
“Naya…!” Seru bunda melengking, mulai nih, baru saja melangkahkan satu kaki ke dalam kamar, huh… selalu saja, ngatur ngatur!, gerutu Naya dalam hati.
“Iya bundaku yang cantik… ada apa?” gerutu Naya sambil mengehentakkan kakinya.
“Sepatunya dikembalikan ke rak dulu dong…” kata bunda sambil sedikit tersenyum melihat putrinya memanyunkan bibirnya beberapa senti.
Setelah Naya meletakkan sepatunya, ia bergegas menuju kamarnya, dan meletakkan tas setelah itu ia langsung mencari ponsel yang biasa ia letakkan di atas meja belajarnya,
“Bunda… hpnya dimana sih?” teriak Naya dari kamar…
“Bunda…!!” hening… Naya berteriak setengah keras.
“Udah dibilangin kalau mau bicara itu ya dari dekat dong.. masa’ sama bundanya teriak teriak!” Bunda mulai kesal melihat tingkah Naya.
“Iya, maaf bunda… bunda lihat ponselku nggak?” jawab Naya mendekat ke bunda.
“Dasar anak jaman sekarang, abis pulang sekolah langsung megang ponsel, seharusnya selesaikan urusanmu dulu, lagian kalo naruh barang itu jangan sembarangan, teledor namanya, taruh barang itu yang rapi pada tempatnya.. mengerti? sudah sana mandi dulu..” omel bunda, Naya beranjak sambil memanyunkan bibirnya, menyebalkan, gerutu Naya dalam hati.
Malam ini, Naya benar benar kesal pada bunda, bisa nggak sih satu hari aja tanpa omelan bunda, Naya berharap dalam hati. Lalu ia pergi ke meja makan untuk bergabung makan malam.
“Kakak, kakak, adek mau digambarin mobiy ya” Ciko menarik narik baju Naya.
“Apaan sih, Ciko ganggu kakak aja deh…!” bentak Naya, Ciko terkejut lalu menangis.
“Kakak kok gitu sih sama adeknya? Adek kan masih kecil..” Omel bunda.
“Iya iya… sini mana kertasnya?” Naya mengelus pelan rambut Ciko yang mulai berhenti menangis.
“Ni mobilnya… lucu nggak? Lucu kan? Dah sana pergi!” Naya bicara dengan nada ketus, Ciko menurut.
“Kakak makasih ya… kaka baik..” Ciko tersenyum.
“Iya…”
“Na… gitu dong rukun…” senyum bunda lalu memasukkan sesuap nasi ke mulit Ciko
“Naya, bangun nak, shalat shubuh… Naya…” Suara bunda lebih keras, bunda membuka pintu, menggerak gerakkan badan Naya, Naya hanya bergerak sedikit saja.
“Ihh… geli… hahaha” Naya terbangun kaget.
“Bunda, norak ah… pake gelitik gelitikan segala!” gerutu Naya sambil mengusap usap matanya.
“Ratusan kali bunda membangunkanmu, tapi kakak nggak bangun bangun, mau nggak shalat shubuh apa? Udah sana shalat shubuh, nanti telat lho… matahari mulai tinggi, pintu gerbang sekolah ditutup bukan salah bunda lho ya..” omel bunda sambil berkacak pinggang.
“Iya iya bundaku sayang…” Naya menggaruk garuk rambutnya yang tidak gatal, lalu beranjak dari kasurnya.
“Eits, kasurnya dirapikan dulu..” pesan bunda.
“Huh.. iya…” Naya merapikan tempat tidurnya.
Sarapan pagi dengan omelan.. itu sudah biasa bagi Naya, entah karena ulah adiknya, atau karena keteledorannya.
“Loh, perasaan kemaren aku naruh sepatu hitamku di atas rak ini lho bun..” ujar Naya seakan akan menyalahkan bunda.
“O ya? Lalu… ini sepatunya siapa ya?” bunda memegang sepasang sepatu hitam berhias pita putih di atasnya.
“Sepatu Naya.. wah… bunda yang ngumpetin kan…” tuduh Naya.
“Kok jadi bunda? Siapa suruh taruh di bawah rak sandal?” Bunda mencubit pelan hidung Naya.
“O iya… hehe…. lupa bun.. lupa..” Naya meringis malu.
“Sudah ayo naik mobil, hampir telat nih bunda” bunda melirik jam tangannya.
“Dadah Ciko..” Naya melambaikan tangan pada ciko yang tersenyum digendong mbak Siti, pembantu rumah Naya.
Sesampainya di depan gerbang sekolah, Naya melambaikan tangan pada bunda, mobil bunda melaju meninggalkan jejak di atas aspal, Naya berlari menuju kelasnya, ia benar benar betah di sekolahnya, nggak ada bunda sih… bebas…
“Selamat pagi, Naya.. kok mukamu kusut gitu?” tanya Rania.
“Emm… ya itu.. bundaku nyebelin banget sih..” Omel Naya tangannya dilipat.
“Ya ampun… bundamu seperti itu, karena dia sayang sama kamu Ya, terkadang aku ingin lho dengar omelan dari ibu, tapi… ya kamu tahu sendiri kan…” Kata kata Rania terhenti.
Naya terdiam, ibu Rania sudah tidak ada, awalnya Naya berpikir bahwa bahagia tanpa omelan omelan bunda, tapi ternyata tidak sseperti dugaan Naya, justru Rania merindukan semua itu, apa yang dikatakan Rania itu benar? Bunda begitu karena dia sayang sama aku
“Ya sudahlah, o iya hari ini Seni Budaya suruh bawa pensil warna loh, kamu nggak lupa kan..?” Rania membuyarkan lamunan Naya.
“Eh iya bawa, coba aku cek..” Naya membuka tasnya.
“Loh Ran, kok nggak ada, aduh semalem udah aku siapin lho, gimana dong?” Naya mengacak acak rambutnya.
“Kamu pinjam pensil warnaku dulu aja.. oke.. nggak usah bingung gitu…” Rania menepuk pundak Naya.
“Beneran nih? Makasih ya Ran… jangan jangan Ciko lagi yang ngambil, anak nakal!” gerutu Naya sambil berkacak pinggang.
“Eeh… main tuduh… nggak boleh loh, dosa.. kamu nggak boleh suudzon sama adek kamu, ayahku bilang kita nggak boleh nuduh orang sembarangan tanpa tahu bukti yang benar, apalagi sama adek kamu..” nasehat Rania.
“Iya deh…” Naya menurut.
Sepulang sekolah, Naya lebih berhati hati, meletakkan sepatu pada tempatnya, dan mencium tangan bunda, eh tapi itu kan pensil warna Naya, kok bercecer di lantai?
“Ciko..o… jadi Ciko yang pakai pensil warna kakak?” Naya menghentakkan kakinya.
“Gambang gambang… mobiy” Ciko berceloteh sendiri, lalu merangkak ke arah Naya.
“Pensiy wana akak..” Ciko mengulurkan pensil warna yang sudah patah.
“Ihh… kamu tahu nggak? Kak jadi diomelin bu guru tadi, gara gara pensil warnanya nggak kebawa!” Naya hendak memukul adiknya, tapi..
“Kakak jahat banget sama adiknya, adik kan masih kecil, belum tahu apa apa..” Bunda menahan tangan Naya.
“Iya Naya tahu bunda, tapi kalo ini udah kelewatan bun, tadi Naya dihukum sama bu Jasmin, sampe temen temen ketawa, gimana Naya nggak malu, kelewatan banget Ciko bun… udah pensil warnanya dipatahin lagi” Naya membanting pintu kamarnya.
Hari ini benar benar menyebalkan! Menyebalkan! Kenapa sih bunda nggak pernah ngertiin Naya? Naya sebenarnya tahu ini bukan sepenuhnya salah bunda, Ciko juga nggak salah, ia jadi ingat kata Rania, tapi ego dan gengsinya mengatakan sebaliknya.
“Naya, bunda boleh masuk?” Bunda mengetuk pintu kamar Naya.
“Iya bun” Naya menjawab dari dalam, bunda membuka pintu kamar Naya.
“Maafkan sikap bunda yang galak sama kamu ya, Nak.. bunda seperti itu karena bunda sayang sama kamu, bunda ingin kamu menjadi kakak yang memberi teladan untuk adikmu, memang terkadang, sikap adik membuatmu kesal, tapi kau tahu nak? Itu hanya karena kamu belum mengerti bahasanya…” Bunda mengelus pelan rambut pirang Naya, ia terdiam.
“Bunda ingin kamu jadi anak yang mandiri, mungkin kamu menilai bunda seakan akan bunda menyalahkan kamu di depan adikmu, tapi bukan itu yang sebenarnya bunda mau, bunda hanya ingin kamu menjadi kakak yang memiliki rasa kasih sayang terhadap adik kamu, apalagi Ciko juga kan masih kecil, lama lama ia akan mengerti, bunda belum bisa menasehati Ciko, karena dia belum paham, nanti kalau dia sudah paham seperti kakaknya bunda juga akan menasehatinya bila ia salah.” Nasehat bunda lagi.
“Iya bun, Naya juga minta maaf sikap Naya selama ini, bunda mau maafin Naya kan?” Naya memeluk bunda pelan.
“Iya sayang, bunda pasti akan memaafkanmu..” Bunda mengelus rambut Naya.
Naya paham akan kekeliruannya, ia selalu berprasangka yang nggak nggak terhadap bunda padahal bunda selalu sayang sama Naya, memang masih butuh waktu lama untuk memperbaiki kekeliruannya selama ini, tapi kesempatan selalu datang ketika kita niat sungguh sungguh, begitu pula Naya, ia berusaha untuk menjadi anak yang baik dan sayang pada adik kecilnya.
Cerpen Karangan: Izzatus ‘Adilla Ahda
Facebook: Izza Ahda
Hi Wazzup guys, kenalin, inilah aku, seorang Izza yang cerewet banget, hobiku, udah bisa ditebak lah, buat bahagia orang lain, ya salah satunya dengan cerpen cerpenku ini ( semoga aja ya guys..)
O iya, Alhamdulillah.. aku Jomblo yang happy happy aja (Ciaa…) emang iya kok!
udah gitu aja! semoga kalian merasa ada yang bisa diambil dari cerpenku ini ya guys. oke deh.. salam Jomblo!
0 komentar:
Posting Komentar