Translate

cerpen kontes dangdut semiliyar

Written By iqbal_editing on Selasa, 21 Maret 2017 | 06.56

KONTES DANGDUT SEMILYAR
Cerpen Karya Erlina Wati

“KONTES DANGDUT SEMILYAR Sesion 7 !! .... datang dan ikutilah kontes dangdut terbesar tahun ini,” Riri membaca keras – keras. Mungkin sebuah brosur online. “Mau ikut gag Nit ?” tanyanya. Walaupun pandangannya tetap tertuju pada layar monitor laptopnya. “Ni, usia min. 15 – 27thun.”
“Riri aja yang ikut.” Jawabku acuh.

Riri mencengkram bahuku dengan sangat kuat. Ditatapnya dengan lekat kedua bola mataku
“Riri ga suka dangdut. Nita ajah, nanti Riri yang anter. Ok ?”
“Lagi ga pingin ikut kontes dangdut,” ucapku sembari melepaskan diri darinya. Karena tak ada jawaban akupun melanjutkan “...nanti kalo mas Arifin tau, dia gag bakal ngasih suport apapun. Malah bikin semangatku down”

Riri mengangguk
“... ah, udahlah Ri. Riri main facebook aja, aku ga minat.”

Dari aku kecil, orangtuaku sudah mengenalkan aku dengan dangdut. Terlebih Vcd yang berada di ruang tamu juga sering kali ibu nyalakan untuk menemaninya bersih – bersih rumah, dan lagu – lagu Rita Sugiarto-lah yang menjadi andalannya. Mau tak mau, memang itulah lagu keseharian kami. Bapak yang juga fanatik dengan dangdut sering menyanyi dengan lantang di rumah. Malah terkadang menyanyi duet dengan ibu. Ah, aku Cuma bisa bertepuk tangan dan tersenyum, mungkin kadang juga turut bernanyi bila hafal beberapa bait liriknya. Lama – lama aku juga mulai suka dengan dangdut, saat rumah dalam keadaan sepi dan hanya aku seorang diri, aku iseng menyalakan lagu dangdut dengan volume kecil. Hingga suatu hari, bapak mempergokki aku. Ia malah langsung menaikkan volume, dan membimbingku perlahan. Ibu pun yang memang setuju saja juga pada akhirnya membelikanku Mic, iya.. Mic untuk karaoke dirumah. Kakakku, Arifin yang anti dangdut kadang berontak dengan menyalakan Mp3 dengan lagu metalnya.

Tapi Mas Arifin bener – bener anti sama dangdut. Apalagi semenjak mbak Ratih, mantannya, ternyata seorang penyanyi dangdut. Ya, awalnya memang dia suka juga dengan dangdut. Mereka sudah kenal lama dan jauh sebelum Mbak Ratih jadi artis dangdut top seperti ini. Kontes dangdut dari ujung ‘sabang sampai merauke’ pun akan diantarkan oleh Mas, namun aku tak tahu pasti apa yang sebenarnya terjadi setelah mbak Ratih mengikuti “kontes dangdut semiliar sesion 3”. Yang pasti kontes dangdut satu ini memang sudah top, ditayangkan di televisi nasional. Waktu itu disurat kabar saat kontes itu telah menuju babak Top 5, Mbak Ratih digosipkan dekat dengan finalis lainnya. Karena memang tak ada komunikasi yang intens, alhasil Mas harus sabar menanti sampai usainya kontes itu untuk mendengar kebenarannya. Tapi mungkin karna Mbak Ratih sudah sukses, ia sudah tak menghiraukan mas Arifin yang datang bertamu. Begitu pun kedua orang tua Mbak Ratih, dulu mereka baik dan simpati dengan mas. Namun sifat baik itu sudah tidak ada lagi..
“Hayo ! Nita ngelamun apa ?!” Tiba – tiba saja Riri mendekapku. “Riri tau kok...” ia melepas dekapannya dan menatap mataku. “... Audisinya masih 2 minggu lagi. Cukup kita berdua aja yang tau, Oke ?” ia mengerlingkan matanya, menjulurkan sebuah jari manis dihadapanku. Aku tersenyum masam. Mas Arifin bisa sangat marah dan tak mau bicara padaku kalau dia tau aku akan ikut kontes yang sama dengan Mbak Ratih.
“Aku fikir – fikir dulu...”
************

3 Hari kemudian Riri betandang kerumahku.
“Owh, Mas Arif..” sapanya santun. Aku hanya mendengarkan dari dalam kamar. “...embp, Nita ada ?” tanyanya. Lama kutunggu Mas Arif tak kunjung memanggilku.
“.....” hening seketika diantara mereka.
“Mas !! Ada yang nyariin aku kok cuek gitu sih..”
“Halah, Wong Riri aja. Gak aku jawab juga dia bakal miscall hape mu..” Mas Arif duduk dari rebahannya di sofa. “...aku ikut ngobrol ya ?”
“Loh, gak mau..” aku melirik Riri yang mendadak tersenyum simpul. “...Kalo ada temenmu aku kan ga ganggu ?” aku menarik – narik lengan tangannya agar segera bangkit dari sofa dan segera meninggalkan kami berdua. “Maaaassss !!” aku menoleh ke arah Riri dan memberi isyarat permintaan izin untuk Mas Arifin, Riri mengangguk.

Kami mengobrol berdua. Mas Arifin tetap asik dengan film robotnya. Feelingku berkata sebetulnya Riri ingin menanyakan tentang kepastian ku tentang kontes itu. Namun, pasti harus berbelok – belok karena ada Mas Arifin.
“Dek ! Ririnya diambilin minum dong... masa keringan gini, ya ga Ri ? Kalo haus kamu bilang aja ya...”
“Ahh...” jawabku malas. Kakiku melangkah menjauh dari ruang tamu. Sesaat aku nguping dari balik tirai pemisah antara ruang tamu dengan ruangan lainnya mereka tak bersuara. Aku pun segera bergegas kedapur. “kalo Cuma bikin dua gelas pasti punyaku diminum habis” Aku segera kembali keruang tamu dengan nampan berisi minuman dan beberapa makanan ringan. “Mas !!” Aku menendang kaki nya yang bertupu diatas meja. “Ga sopan ! aku bilang bapak lo.”

Seketika itu juga kakinya turun, sambil mulutnya menggerutu “Mau kapan bilangnya ? Bapak sama Ibu lagi ga ada dirumah.”
“ya kalo pulanglah...”
“owh, memang pak de sama bude kemana mas ?” tanya Riri. Sontak membuatku merengut. Kok tanyanya ke masku ?
“ke rumahnya Haji Sodikin...” jawab Mas Arifin sambil meneguk minumannya.
“owh...”
“gag sopan, tamunya belum minum malah kamu minum duluan”
************

Akhirnya aku memutuskan untuk mengikuti audisi itu. Sebelumnya aku sudah meminta izin kepada ibu dan Bapak, dan meminta agar hal ini dirahasiakan dari Mas Arifin. Bapak Menyuportku. Ia lebih sering mendengarkan aku bernanyi, tapi itu sembunyi – sembunyi hanya bila Mas Arifin sedang pergi bekerja atau sedang tidak ada dirumah. Jelang satu minggu dari hari H, Riri sudah menyiapkan semuanya.
Hingga tiba saat untuk audisi pun tiba. Kami sudah berusaha semaksimal mungkin, dan sekarang waktunya beraksi. Audisi dibuka tepat pukul 9 pagi di pusat kota. Kami berangkat pukul 7, agar tidak mendahului mas Arifin berangkat Kerja. Maklum, saat ini aku dan Riri sebagai 2 pasang pengangguran. Setelah dirasa aman, Aku berpamitan kepada ibu dan bapak, lalu bergegas ke rumah Riri. Orangtua Riri juga tahu kemana kita akan pergi. Riri anak semata wayang dikeluarganya hingga ia diperlakukan sangat istimewa. Kami berangkat menaiki sepeda motor milik Riri, tentu saja dia yang bonceng. Aku selalu siap sedia sebagai penumpang.

Tiba di tempat audisi kami cukup panik, karena banyak dari mereka yang mengenakan kostum, baju panggung yang ‘waah’ dan make up tentunya. “Ri...” tanyaku gusar.
“Udah gagpapa... PD!” ia mengepalkan tangannya untuk menandakan harus semangat. “Aku udah print formulirnya, jadi 2 rangkap.”
“kamu ikut ?”
“hihihi... aku juga pengen ketemu artis kali, Nit.” Benar saja. Riri pernah memperlihatkan brosur itu padaku, dan nama juri yang tertera disana adalah pedangdut yang lagunya sering aku dengarkan dirumah.

Setelah kami mengantri untuk mendapatkan nomor peserta, kami duduk lesehan di ruang tunggu. Setelah semakin dekat, kami berpindah keruangan yang memiliki kursi. Saat itu jantungku sudah berdebur kencang. 2 buah lagu yang masing – masih slow dan beat pilihan bapak yang sesuai dengan vocalku telah aku persiapkan dengan matang. “sebenernya kamu ga cocok nyanyi beat, tapi usaha yah !” pesan bapak
“Silakan...” petugas mempersilahkanku untuk memasuki ruang audisi. Dan ketika pintu terbuka... nampaklah 3 orang juri yang telah menanti. Jantungku semakin berdebur tak karuan. Aku jatuh pingsan.
Remang – remang kulihat sekitar. Riri menopang kepalaku. Rupanya aku masih berada di dalam ruang audisi. Riri yang beda satu angka dibelakangku mencoba membangunkan. Setelah aku siuman, Riri diminta untuk menyanyi terlebih dahulu. Alhasil, kami diaudisi disaat yang bersamaan. Ya, karna Riri memang sebenarnya hanya mengantarku ia hanya bernyanyi lagu Terajana. Tiba giliranku. Setelah aku di interview tentang formulir yang kuisi aku mulai menyanyikan lagu pertamaku. Mata Hati’nya Iis Dahlia.

Entah apa yang sedang dibicarakna oleh juri itu “kalian siap mendengarnya...” begitu kata salah satu dari mereka. Aku dan Riri saling berpandangan dan bergenggaman tangan, lalu mengangguk penuh keyakinan. “Maaf... karna salah satu dari kalian harus tetap tinggal... Riri..” Aku dan Riri saling berpandangan. Belum paham. Lalu Riri menarikku dalam pelukannya. “Kamu lolos Nit !!” kami berpelukan dalam melompat – lompat kegirangan. Setelah bersalaman dengan para juri kami hengkang dari tempat audisi dan kembali pulang.
*****************

Sesampainya aku dirumah, aku buru – buru mencari ibu. Memberitahu bahwa aku lolos seleksi 30 besar perwakilan kota. Esok hari aku harus kembali untuk tahap selanjutnya. Tahap demi tahap berhasil aku lalui. Hilir mudik aku kesana kemari bersama Riri. Untungnya, dia selalu membimbingku. Hingga akhirnya aku sukses menjadi satu – satunya perwakilan kota. Tapi masalah kemudian datang. Mas Arifin belum tahu tentang kontes dan kelolosanku. Aku tak tahu bagaimana harus mengucapkannya. Dan, beberapa waktu yang lalu, ketika ada berita tentang Mbk Ratih di televisi mas tak sengaja mencurahkan isi hatinya pada ku. “bukan aku ga mau kamu jadi penyanyi dangdut. Mas cuma ga mau kamu jadi artis terus lupa siapa dan dari mana kamu sebelumnya.” Setelah berkata demikian, ia mematikan televisi dan berlalu. Aku dan ibu saling berpandangan.
“Gimana bu, aku udah pasti ke Jakarta. Tapi mas Arif belum tau apa-apa”
“Kabur.” Kata bapak “...bapak akan bantu bilang ke Arifin. Kamu harus mencapai cita – citamu.”
“Makasih pak.”

2 hari kemudian aku berangkat ke Jakarta untuk Karantina selama 3 bulan. Sebelum akhirnya harus on air di televisi selama beberapa waktu ke depan. Bapak, ibu, Riri dan kedua orang tuanya turut mengantarkanku sampai ke bandara setempat. Ini adalah kali pertama aku bepergian jauh tanpa orang tua, naik pesawat pula. “titip pesan untuk mas Arif..” aku menyeka airmataku yang mendadak mengalir “...ini.” aku mengulurkan sebuah amplop.
Tak berapa lama kemudian, pesawatku lepas landas dan meninggalkan kota ku tercinta.
“Jakarta... “ aku menyandarkan tubuhku pada kursi empuk. Fikiranku masih belum tenang dan tetap memikirkan mas Arif.
Sesampainya aku di bandara, dari pintu keluar terlihat sebuah kertas yang bertuliskan nama dan asal kotaku “SELVYA QANITA, SURABAYA” dengan background bertuliskan KONTES DANGDUR SEMILYAR sesion 7. Aku tersenyum simpul. Agak ragu, namun akhirnya kulambaikan tanganku padanya. Ia membalas lambaian tanganku. Seorang pria berpakaian seragam stasiun televisi “Ayo. Kumpul dulu ya,” ia membimbingku untuk menemui kawan – kawan dari kota lain. Agaknya aku akan bertemu dengan banyak orang baru. Satu persatu kujabat tangannya dengan memperkenalkan namaku. Dengan logat daerah masing – masing aku mencoba seakrab mungkin.

Ketika seluruh kontestan telah tiba, akhirnya kami diangkut ketempat tinggal baru kami. 7 laki – laki dan 8 perempuan. “Nita, Surabaya mana ?” tanya seorang dari mereka. Aku saja belum hafal namanya, tapi ia sudah hafal namaku.
“Surabaya tapi ndag asli Surabaya juga sih.” Jawabku agak risih. Tapi lama kelamaan teman – teman yang lain ikut nimbrung dan pecahlah rasa canggung diantara kami. Saat itu, aku melafalkan nama mereka sembari berjabat tangan sekali lagi “Wisnu, Desta, Okta, Tya, Nadine, Septi, Ira,Devi, Galih, Dandy,.... embp.. Farhan” yang pertama mebuka topik lalu “...Lukman, Heni, Noni !” aku tersenyum bangga karna hampir hafal. Dengan serentak mereka menyebut namaku dengan lantang.
**********

Selang waktu berlalu, kini hanya tinggal kami bertujuh. Lukman, Okta, Tya , Farhan, Devi, Ira dan aku. Kami mulai merasakan sepi. Dahulu kami ber-lima belas hingga sekarang hanya tersisa tujuh. Sabtu depan akan ada yang harus pulang kembali. Untuk itu, sekarang kami memilih lagu. Kami berbondong – bondong menuju aula. Sesampainya disana telah menunggu seorang vocal coach kami, kak Lia. “Hallo ! Selamat Pagi !!” teriakknya lantang.
“Oke. Untuk pemilihan lagu kali ini..” ia berkeliling memberi kami secarik kertas dan bolpoint. “... tulis judul lagu yang paling kalian sukai. Sertakan nama kalian” Kita berpandangan, tersenyum bangga. Agaknya beberapa dari kami sudah mulai merasa bangga. Bukankah jika menyanyikan lagu favorit harusnya mudah ? karna kita sering menyanyikannya ? mendadak Tya membisikiku..
“Feelingku kayagnya ada jebakan lagi loh” kata Tya, perwakilan Bandung. Pernah juga ia mengatakan feelingnya padaku. Dan memang terbukti bahwa pemilihan lagu kala itu cukup membuat diantara kami menjadi payah.
“Oke cukup. Masukan kemari” Kak Lia menyodorkan fishball. Kami besorak penuh derita.

“Apa ku bilang ?” Kata Tya lesu.
Secara bergiliran kami memasukkan kertas ajaib kami kedalam sana. Sembari berdo’a agar tak mendapat lagu yang susah. “Nah, nanti giliran lagi ya, diambil kertasnya, kalian baca dan itulah lagu kalian. Oke ?”
“Oke !” antara penasaran dan was – was aku dan Tya mencoba relaks. Farhan memanggut kepalanya. Terlihat ia tak yakin dengan keberuntungannya kali ini, seperti sebelum – sebelumnya. Farhan sebaya dengan kakakku, mas Arif. Ah, apa kabar kakakku yang ganteng itu? Sudah memaafkan ku kah atas kelancangan ini. atau justru semakin murka dengan dangdut. Karena aku tak pernah juara dalam beberapa challenge yang diadakan dengan hadiah dapat menghubugi sanak saudara, alhasil aku tak tau kabar mereka. “Hayo !” Kak Lia memandang lurus tatapan mataku. “Owh,...” saat aku tahu bahwa tanpa sengaja lamunanku mengarah ke arah Farhan “gak kak !” aku mengelak. Namun kalah telak, teman – teman yang memergokiku juga. “ada hati ni,” goda Ira.
“Gini dech, biar Nita duluan yang ambil kertas ajaibnya ya... eghm” Kak Lia memberiku fishball itu. Aku memejamkan mata, berusaha agar mendapatkan lagu ynag mudah dan tak terlalu ada story denganku. Aku mengambil satu dengan hembusan nafas lega. Jantung berdebur. Aku berdiri dan kubuka kertas ajaib itu.
“Yank – Rhoma Irama. (Farhan)” aku tertegun. Agak malu, dan sedikit janggal dalam hatiku.
“Cieeee... Nita feeling banget sama kertas ajibnya Farhan.” Komen Okta mendadak. Kulirik Farhan diseberang pandang, yang tengah juga memandangku. Aku tersenyum simpul. Hingga tiba seluruh finalis telah mendapatkan kertas ajaib.

Lukman dengan lagu Keramat dari Okta
Okta dengan lagu Cinta Hitam dari Tya
Tya dengan lagu Khusus Malam ini Devi
Farhan dengan lagu Kehilangan dari Ira
Devi dengan lagu Terguncang dariku
Ira dengan lagu Hubungan dari Lukman
aku dengan lagu Yank dari Farhan.

Dan, starting with kunci nada. Satu minggu untuk menghafal dan menghayati dengan story lagu dari sang empunya. Setelah pembubaran kelas hari ini, aku mulai mendekati Farhan. Hanya untuk sekedar bertukar cerita mengapa ia menyukai lagu tersebut.
“Mas Farhan” tegur ku perlahan. Setelah aku mencarinya berkeliling rumah. “Mau sharing boleh ?” tanyaku. Ia tetap tak bergeming dan tetap kaku. “Han !” barulah ia menoleh kearahku. Aku duduk tepat disampingnya. “Lagi mikir apa ?”
“Aq nyesel ikut kontes ini, Nit.”
“ ha? La.. eh. Kok gitu ?”
“pacarku nikah” Mataku memicing.
“Nikah ?”
***********************

Hingga tibalah hari Sabtu. Tepat pukul 7 malam nanti kami akan show kembali. Dengan konsep yang telah ditentukan dan dipelajari, gladi bersih berlangsung aman. Satu – persatu finalis mulai dirias sesuai pembawaaannya kali ini. Hatiku semakin berdebar. Lagu ini sungguh berarti untuk Farhan. Difikir – fikir sepertinya juga cerita yang sama seperti mas Arifin. Yaaah, aku berada sejauh ini kira – kira mas Arifin liat aku di teve ga sih ? Andai aku bisa menang challenge yang waktu itu. Pasti aku akan telfon mas Arif. Ibu.Bapak, Riri apalagi. Rasanya aku sudah ingin segera pulang.
Kami telah siap dengan segala riasan. Dan penuh keyakinan. Opening pun dimulai dan lancar seperti biasanya. Sebagai pembuka kami menyanyikan lagu theme song KONTES DANGDUT SEMILYAR bersama. Pandanganku terpaku pada satu blok penonton disudut ruangan. Dengan spanduk yang tergelar panjang WE LOVE NITA ! ah, aku sudah memiliki penggemar. Sebagai penampil pertama Farhan terlihat kurang fokus dengan lagunya. Mungkin karena beban itu. Sekembalinya ia ke backstage aku menyodorkan minuman dingin untuknya. Ia menolak.
Tiba saatnya aku bernyanyi. “Kali ini tiba giliran Nita yang dapet lagu favoritnya Farhan. Embp... akan seperti apa jadinya ? mari kita saksikan bersama. NIIIITAAA” ligthing panggung mulai berubah. Aku berjalan mendekat kearah properti.. bunyi suling yang khas membuat bulu kuduku merinding. Aku mulai membawa diriku masuk kedalam lagu. Aku terduduk di miniatur bus yang seolah – olah sedang dalam perjalanan menemui kekasihnya
“Yank... ini aku... kekasihmu yang daahuluu
yank, ini akuuu janganlah engkau raguuuu u u
yank, tentu kamuuu masih ingat suaraku
yank, tentu kamu tak luupa kepadakuu
yank. Saaayank...

Bukankah telah kita rencanakan hari pesta perkawinan
tentunya, telah engkau persiapkan ,tuk menyambut aaku dataang
hatikuuu tak sabar lagiii ingin segera berjumpa
betapaa bahagia nanti, saat bersanding berduaaa”

Aku sangat berharap agar kesan lagu ini tersampaikan. Para juri mengomentari penampilanku. “Memuaskan. Sukses menguras airmata yang lagi galoo ya Nit.” Goda Juri

Malam semakin larut. Kini giliran Devi sebagai penutup acara kali ini. Membawakan lagu favoritku, Terguncang – Yunita Ababil.
“pernahkah kau memikirkan, saat aku kau tinggalkan
tersiksanya jiwa badan. Hampa tanpa pegangan
memililh tuk berpisah, demi ooorang ke tigaa
pernahkau yakinkan aku berharap tuk kembali
bara neraka kau beri tak mungkiiin kujaamah lagii
pernahkah kau memikirkan saat aku kaauu tinggalkan...”

Aku turut berdendang dari balik panggung.
“...hilang kebiasaan, merias wajah diri
selera rasapun sirna. Pahit dilidah
didalam kegalauan kucoba tuk bersabar
siang malam ku berdo’a mohon pada-Nya
Tuuhan bimbinglah aku
agarslalu dijalanmu. Kuatkanlah imanku
dan tabahkanlah hatiku...

pernahkah kau memikirkan,
saaat aakuuu u u u u kaaau tingggalkaan”

Hingga tiba saat pengumuman siapa yang harus pulang. Kami bertujuh berpegangan tangan dengan sangat erat. “Farhan...Ira... dan juga Lukman. Kalian berada di 3 terendah untuk malam ini. yang lain silahkan merapat kembali.” Ujar Kak Dwiki sebagai pembawa acara. Kami berempat hanya sedikit menjauh dari mereka.
“Daan... yang pulang kali ini adalah.... Lukman maaf, bukan kamu orangnya.” Lukman buru – buru bersalaman dengan 2 karibnya. Dan bergabung dengan kami. Sedikit janggal kala Farhan menggegam tangan Ira sebegitu eratnya. “Sekali lagi, ini adalah hasil polling sms dari pemirsa dirumah... Ira. Maaf kamu yang pulang malam ini.” saat kami berlima mendekat kearahnya, Farhan menjabat lagi tangan Ira. Dan itu membuat jantungku kembali berdegup.
***********************

Hari - hari berikutnya semakin santer terdengar kedekatanku dengan Farhan. Rasanya aku juga semakin nyaman berada dekat dengannya. Usianya yang tak beda jauh, malah hampir sama, dengan mas Arif membuatku merasa memiliki mas Arif kedua disini. Kali ini kak Lia berkata bahwa sesion duet. Seperti biasa. Pencarian pasangan duet juga melalui fishball. Tapi yang mengambil hanya pihak temen – temen cowok. Kami perempuan hanya bisa membantu do’a agar sesuai dengan harapan.

Aku juga tak ada obrolan yang spesifik dengan Farhan. Tapi aku sangat berharap bisa berduet dengannya. Akhirnya kesampaean. “Setelah memilih pasangan duet pasti kalian harus punya lagu.” fishball pun dikeluarkan. Berisi sterofoam dan mungkin ada kertas ajaib. “Jadi aturannya, sesi minggu depan adalah 2 kali tampil. Solo dan duet. Sekarang, silahkan pilih lagu duet dulu.. yang mau ambil terserah. Mau cewe apa cowo. Yuuk”

Tya yang mengambil kertas ajaib itu. “Malam Terakhir bang” kata Tya kepada Okta. Mereka tos dan saling tersenyum. Kemudian Devi, “cincin kawin. Ihihih” Devi tersenyum geli kearah kami. “kamu yang ngambil ?” tanyaku pada Farhan. Tapi ia hanya menggeleng. Akhirnya aku berjalan menuju fishball, dan mengambil kertas ajaib. Aku memandang sekeliling, judul apapun yang keluar aku harus menghayati. Mendadak aku lesu jika ternyata Farhan tak bersemangat bila berduet denganku. Kuambil dengan malas sebuah kertas ajaib, kubuka gulugannya “Hujan Malam Minggu, kak” aku memandang kak Lia.

Akhirnya kami latihan vocal dan penentuan konsep. Namun Farhan tetap dingin padaku. Aku sudah berusaha agar chemistry antara kami terbangun. Namun hasilnya nihil. Lagu solo yang aku pilih juga bergenre ngebeat. “dapet lagu apa Nit ?”
“Oh, kak Lukman.” Kak Lukman memang jarang berbicara tak hanya denganku. Dengan yang lain pun demikian. Dia 2 tahun lebih tua dariku “Tamu Malam Minggu, kak. Kamu ?”
“sama. Beat juga, Mabok duit...” hening sesaat. “..kayaknya emang dibikin ngebeat de sesion mingggu depan.” Aku mengangguk.
“Hayo !!” Tya tiba – tiba menghambur kearahku. “Bahas tentang lagu ya ? aku ga ditanya ?”

Lukman ngakak. Akhirnya ditanyalah dan Tya menjawab dengan lirik lagu “Aku bukan pengemis cintaaa bila diputuskan cinta. Dari sang kekasih.”
“Malah nyanyi...” kata Devi yang mendadak turut hadir. Ia membawa semangkuk mie kuah dan ditawarkan kepada kami. Alhasil, mangkuk yang semula penuh hanya tinggal sedikit untuknya. “Farhan kenapa itu, Nit ?” Tanyanya sambil melihat kearah Farhan yang terlihat sedang menyepi di musholla.
“awas lo. Bisa bikin mood juga ngedrop” kata lukman. Aku mengangguk dan tersenyum masam. “kayaknya kalian deket. Emang kamu ga diceritain masalahnya dia, nit ?” sekali ngomong ternyata Lukman ini orangnya kepo. Oh, brarti yang tau cuman aku ?. aku hanya menggeleng dan berlalu pergi, menghambur ke kamar. Daan... Tidur.
*****************

Sabtu yang penuh tanda tanya pun akhirnya tiba. Aku dan Farhan sebagai penampil pertama dalam duet kali ini. Gladi bersih yang kami lakukan terbilang lancar. Farhan masih ingin bersaing disini. Lagu Hujan Malam Minggu berhasil kami lantunkan dengan apik. Sebelumnya Farhan sudah berdamai dengan hatinya. Ia Ikhlas, dan kami juga sudah bersenda gurau.
Hujan dimalam minggu aku tak datang padamu
bukan aku tak mau, sayang hujan dimalam minggu,
bukan aku tak mau, sayang hujan dimalam minggu
Tanjung katung airnya biru pantai jernih indah lautnya
terkatung katung menunggu nunggu aku bercermin untuk siapa ?
terkatung katung menunggu nunggu aku menyanyi lagu merana
Karena gagal berjumpa dimalam itu, selanjutnya kami bertemu dimalam berikutnya. Cerita dan properti seolah – olah kami sedang mengobrol di teras depan rumah.
Aku menunggu sampai jam satu namun kau tak datang juga
mana janjimu mana sumpahmu yang slalu kau ucapkan dulu
Katanya gunung akan kau daki lautan luas engkau sebrangi
tapi mengapa karna hujan saja engaku takut dan batalkan janji
aku telah berjanji berjumpa dimalam itu
Tai kau tak datang sayang hujan dimalam minggu
tapi aku tak datang sayang hujan dimalam minggu

Selesai bernyanyi kami tersenyum bangga. Hingga tiba saat para juri mengomentari penampilan kami. “Bagus. Suaranya Farhan nyampe dan bisa balance sama suara Nita ya. Tapi koreksi buat Nita, memang dasarnya susah ya nyanyi agak beat ?” aku mengangguk malu “..iya, jadi kadang terdengar kalo suaranya belum maksimal banget. Udah si itu aja ya cantik.” Aku mengangguk lagi,
“Kostumnya oke. Selaras sama semua komponen panggungnya. Nita juga kelihatan nyanyi tanpa beban. Farhan juga kayag udah real gituya.. bener ga si Ful ?”
“He’emb. Mereka lucu banget. Kompak. Kayak udah kejadian beneran gagal apelnya.” Ujar Syaiful Jamil yang kala itu menjadi juri tamu “Apalagi waktu adegan lirik – lirikan yang pura – pura ngambek, greget gitu deh. Geregetan jadinya geregetan”
“Oh, jangan sembarangan kalo mau deketin Nita, Han.” Timpal Kak Dwiki “Ini, Keluarganya Nita dateng jauh – jauh dari Surabaya. Izin dulu kamu” Tiba – tiba lampu sorot menyorot para penonton. Dari situlah mulai terlihat Ibu, Bapak, dan Riri. Aku melambai – lambai. Mataku mencari – cari. Kali aja mas Arif turut serta. “Nah, gimana Han ?” aku masih belum paham dengan maksud semuanya. “kita lihat ft berikut ini”
“Sesion duet kali ini seharusnya ga berat. Karena suaraku dan pasangan duet aku sesuai lah. Tapi yang bikin berat itu, kalo udah kebawa perasaan hati. Suka beneran sesama finalis itu kadang bikin ga konsen kalo lagi coaching klinik. Suka mendadak blank aja. Makanya aku rada ngejauh dari dia. Grogi aja”

Aku sedikit terkejut. Aku memandang Farhan sejenak. Dan kami tersipu. “Cie... cieee...Tapi. Kamu harus izin Han,” Farhan menengadakan jempolnya “ke-kakak tercintanya Nita.” Aku makin melongo. Tiba – tiba saja Mas Arifin telah berjalan mendekat dari arah belakang panggung. Kembali, Airmataku sudah menggenang dipelupuk mata. Mas Arifin mendekapku, dan aku sudah sesenggukan di pelukannya. Penonton bertepuk tangan dengan bangganya. Aku berdiri di tengah - tengah 2 priaku. “Sapa ini, Nit ?” tanya kak Dwiki menunjuk mas Arifin.
“Masku. Kakakku.” Kak Dwiki kemudian memintaku bercerita tentang storyku dengan mas Arifin. Aku menceritakannya dengan gamblang. Hingga yang lain juga mulai masuk kedalam ceritaku. Malam iu menjadi malam yang tak terlupakan untukku. Terlebih karena Farhan mengungkapkan perasaannya padaku, namun kami setuju hanya saling suka dan belum menjadikan hubungan ini pacaran. Kami masi ingin mengejar mimpi – mimpi kami. Dan juga karena malam ini tanpa eliminasi peserta. Dan... Mas Arifin sudah mengizinkan aku menjadi artis dengan jaminan Riri. Mereka Jadian 4 bulan setelah keberangkatanku ke Jakarta.
***************

“Kurasa ini akal – akalanmu untuk menjauhkan aku dari masku kan ?..... hahaha. Aku sudah feeling sebenernya....oke. langgeng ya... sip. Awas, masku moody...Tunggu aku pulang. Baru kalian bisa serius.” Aku mendapatkan surprise sekali lagi. Bisa menelpon 2 orang kerabat. Kugunakan untuk menelfon Riri dan Ibu. Mas ku tidak. Karena sampai akhir acara semalam kami mengobrol di backstage.

PROFIL PENULIS
Terimakasih telah membaca karangan saya :)
Salam kenal aku Erlina di Sidoarjo.

0 komentar:

Posting Komentar

 
berita unik