KEKASIH BUKAN PACAR
Karya Rafael Stefan Lawalata.
Ibu selalu berpesan kepadaku bahwa aku diizinkan untuk berpacaran ketika usiaku menginjak angka 17. Ibu bilang sebagai seorang gadis, aku sudah matang dan mampu bertanggung jawab pada tindakan maupun pilihanku bila sudah mencapai umur ''sweet seventeen'' itu. Tapi namanya juga perempuan normal, hormon cinta dan perasaanku tumbuh melampaui tubuhku. Aku mulai menjaga sikap, mencari perhatian lawan jenisku serta diam-diam melirik mereka ketika usiaku mencapai 13 tahun. Sejak SMP aku telah mendambakan seorang lelaki, yang kebetulan siswa di sekolah yang sama. Dia anak laki-laki yang baik. Namanya Raden Surya. Raden tampil ''beda'' di mataku, dia terlihat gagah, berdiri sebagai pemimpin serta mampu bertanggungjawab. Sayangnya, Raden tidak melihatku dari sisi menarikku. Dia juga adalah salah seorang sahabat baikku.
Karya Rafael Stefan Lawalata.
Ibu selalu berpesan kepadaku bahwa aku diizinkan untuk berpacaran ketika usiaku menginjak angka 17. Ibu bilang sebagai seorang gadis, aku sudah matang dan mampu bertanggung jawab pada tindakan maupun pilihanku bila sudah mencapai umur ''sweet seventeen'' itu. Tapi namanya juga perempuan normal, hormon cinta dan perasaanku tumbuh melampaui tubuhku. Aku mulai menjaga sikap, mencari perhatian lawan jenisku serta diam-diam melirik mereka ketika usiaku mencapai 13 tahun. Sejak SMP aku telah mendambakan seorang lelaki, yang kebetulan siswa di sekolah yang sama. Dia anak laki-laki yang baik. Namanya Raden Surya. Raden tampil ''beda'' di mataku, dia terlihat gagah, berdiri sebagai pemimpin serta mampu bertanggungjawab. Sayangnya, Raden tidak melihatku dari sisi menarikku. Dia juga adalah salah seorang sahabat baikku.
Sudah 6 tahun lamanya aku mengenal Raden, dari SMP dan kini memasuki masa SMA. Sebagai seorang sahabatnya, aku bahagia bisa menemaninya setiap saat, bersama dirinya ketika belajar maupun pulang sekolah. Sampai ketika kelas 3, aku tetap mengidolakannya walau hanya menyimpan perasaan dalam hati. Aku ingat janjiku pada ibu, baru berpacaran ketika usiaku 17. Sebenarnya, ibu juga sudah mengenal Raden, bagiku mungkin tidak masalah bila nantinya aku berpacaran dengannya.
Aku sudah mempersiapkan rencana yang matang. Di ulang tahunku yang ke 17 nanti, aku akan menyatakan perasaanku kepada Raden. Dengan bantuan dan dukungan dari beberapa teman, aku semakin siap dan yakin pada rencanaku. Namun, cinta berkata lain. Aku menjadi ragu melihat Raden, karena beberapa hari belakangan ini dia jarang berbicara kepadaku. Dia sedang melirik gadis lain, yang juga seorang temanku. Irama namanya, gadis Jawa berwajah manis yang juga berasal dari SMP yang sama denganku. Raden sendiri, lelaki bertubuh tinggi dan besar itu memberanikan diri mendekati Irama. Di satu sisi, aku senang sebagai sahabatnya, namun di sisi lain hatiku terkoyak melihat cinta yang pergi.
''Sudahlah lis, Raden itu bukan jodoh ataupun pacarmu, kenapa kamu menangis terus?'' kataku pada diriku, sambil menangis sedih malam itu.
Kekasih Bukan Pacar |
Tepat kemarin malam, ketika pesta ulang tahunku dirayakan, bukan
kebahagiaan yang kurasakan tetapi rasa hancur berlarut yang menyerangku.
Hatiku pecah berkeping-keping kala Raden menyatakan perasaannya kepada
Irama malam itu. Sungguh pedih hatiku mendengarnya. Manalagi Irama
menerima cintanya dan kini mereka berpacaran. Tinggalah aku mengenakan
topeng senyum palsu menyembunyikan air mata yang terus mengalir.
Raden bukan jodohku, itulah yang tertanam dalam pikiranku sampai saat ini.
Tidak selamanya aku bersedih. Lulus dari SMA, aku bekerja dan mulai hidup mandiri. Meninggalkan jauh kota kelahiranku untuk melupakan masa lalu yang kelam. Kini usiaku sudah memasuki kepala dua, tepatnya 22 tahun. Sesekali aku pulang untuk bertemu ibu. Dan jalan yang kupilih inilah yang membawa perubahan dalam hidupku.
Sebagai wanita berdarah asli Sunda dengan tinggi tubuh 156 cm, berwajah khas ''neng gelis'' serta bersuara nyaring, aku tumbuh menjadi wanita mandiri dan kuat. Berkat pengalaman yang lalu, kini aku mampu mencari jalanku sendiri.
Tuhan memang adil, di usiaku yang ke 25, Tuhan mempertemukanku dengan jodohku. Seorang perwira tentara berbadan tegap yang ternyata adik kelas ketika aku SMA dulu. Pria ini bernama Dirgantara. Aku memanggilnya Dirgan. Dirgan menjadi suami yang sangat menyayangi dan mencintaiku sebagai istrinya.
Dari hasil perkawinanku dengannya, kami diberikan seorang anak laki-laki bernama Raganelis. ''Gan'' diambil dari nama suamiku sementara ''Elis'' diambil dari namaku, Fanelis. Sementara nama Raden diam-diam kusisipkan dalam nama anakku. Suamiku memang tidak bertanya asal muasal nama itu. Jujur hingga sekarang, aku masih teringat pada Raden.
Tiga tahun berselang setelah pernikahanku, putraku kini berusia dua tahun. Masa terberat mulai kualami. Aku terpaksa di PHK dari pekerjaanku yang semula yakni sebagai seorang akuntan karena perusahaan bangkrut, sementara suamiku meninggal dalam tugas. Tidak banyak penjelasan kuterima dari para sahabat suamiku di markas besar, mereka hanya berkata, bahwa suamiku tewas dalam tugasnya mempertahankan negara. Aku dan anakku berduka cukup lama, hampir satu tahun aku berdiam diri dan menangis. Ibu menyuruhku pulang, maka aku dan anakku kini tinggal bersama ibu.
Selepas masa duka, aku mulai berbenah. Mempersiapkan masa depan putraku. Muncullah pelangi sehabis hujan deras, badai yang berlalu meninggalkan sinar cerah di depan mata.
Siang itu, aku sedang melamar pekerjaan di sebuah kantor swasta sebagai seorang sekertaris. Di sanalah pelangiku muncul. Seorang dari masa lalu yang membawa badai kini menebarkan cerah dalam hatiku.
''Selamat siang, perkenalkan diri anda segera,'' kata seorang manajer yang mewawancaraiku.
''Selamat siang...'' kataku tercengang saat melihat wajahnya. Wajah yang tak pernah kulupakan. Dia adalah Raden Surya.
''Raden..??'' tanyaku.
''Maaf, tunggu sebentar, kamu... kamu Fanelis, kamu Elis kan?'' katanya.
Spontan aku melompat padanya dan memeluk dirinya sambil berlinangan air mata. Aku menangis sedu bertemu dirinya kembali.
''Raden...'' kataku dengan suara parau karena terlalu bahagia.
Ia membiarkan diriku memeluk dirinya hingga beberapa lama, kemudian dia mendorong bahuku dan menatap wajahku.
''Apa yang terjadi padamu? Apa yang membawamu kemari?'' tanyanya.
Sebuah sesi wawancara berubah menjadi sesi dialog khusus antara kami. Dari ruangannya pun kami berpindah ke rumah makan di depan perusahaannya. Sambil menyantap makan siang kami, soto ayam, aku mulai bercerita kepadanya.
''Aku turut berduka atas suamimu lis,'' katanya sambil menyeruput es teh manisnya.
''Iya den, andai kamu ada di sana...''
''Maksudnya?''
''Eh bukan, bukan apa-apa,'' kataku salah tingkah. ''Maksudku, andai kamu di sana saat itu, kamu kan bisa bermain bersama anakku.''
''Ah benar juga, aku ingin bertemu dengan putramu, bisakkah?''
''Bertemu?'' kataku sedikit terkejut. ''Untuk apa?''
''Seperti yang kamu tahu, aku menyukai anak kecil, mungkin kami bisa menjadi teman baik?'' tanyanya dengan wajah berhiaskan senyum.
Hatiku kembali bersemi, seolah bunga mulai tumbuh kembali. Lampu cinta yang menyala merah redup kini bersinar hijau terang, menyala untuk memberikan kata ''Ya'' pada Raden. Tetapi, aku tidak boleh terlalu berharap, masih ada Irama. Ya, bagaimana kabarnya dengan Irama.
''Aku dan Irama sudah lama berhenti berhubungan, ya dibilang putus salah, tapi kami sudah tidak berpacaran juga,'' jelasnya dalam perjalanan pulang sore itu. Raden menawarkan dirinya untuk mengantarkanku pulang.
''Mengapa demikian?''
''Dia melanjutkan kuliahnya di luar negeri dan hingga kini tidak kembali, sudah lama aku menanti kepulangannya...''
''Kamu masih menunggunya?''
''Ya, walau tidak jelas kapan kepulangannya, hati ini semakin ragu, entah aku masih berharap pada cintanya atau tidak.''
Apakah ini sebuah kesempatan bagiku? Untuk membangun ulang bahtera rumah tanggaku yang karam, kini datang Raden membawakan bahtera yang lebih besar dan mampu bergerak dalam deburan badai ombak sekalipun. Ah nanti saja kupikirkan, aku begitu nyaman dan senang bersamanya.
''Baiklah, sampai bertemu besok,'' kata Raden setelah tiba di rumahku.
''Besok? Ada apa memangnya?''
''Kamu akan menjadi sekertarisku mulai besok, siap neng gelis?'' katanya memanggilku dengan panggilan semasa SMA.
''Ihh apa sih, serius deh,'' kataku belum percaya.
''Tidak percaya nih, kamu sudah kuterima, bukan karena sahabatku, tapi kamu memenuhi kualifikasi yang kuberikan, kamulah yang kucari lis.''
Yang dia cari? Jangan-jangan... ah sudahlah aku berpikiran yang tidak-tidak saja.
''Tidak mampir dulu den?'' tanyaku.
''Aku harus segera pulang, lagipula anakmu sudah tidur kan? Aku tak mau merepotkan ibumu juga, salam saja untuk mereka,'' katanya lalu masuk ke mobil.
''Baik den, terimakasih ya!''
''Jam 8 di kantor! Jangan telat neng!'' katanya lagi.
Aku memandang kepergian Raden yang disinari lembayung senja dengan sangat bahagia. Pancaran wajahnya, suara khasnya, kini kembali hadir dalam hidupku. Semoga benar dia memilihku, ah maksudku semoga lancar pekerjaanku, duh mikir apa sih aku.
Hari demi hari kulalui sebagai sekertaris pribadi Raden Surya, manajer perusahaan transportasi dan jasa khusus penerbangan. Bahkan hari-hari yang kulewati penuh dengan warna. Warna merah seperti hatiku yang merona, warna jingga seperti warna pipiku karena malu diriku, warna kuning laksana mentari cerah bersinar dari wajahnya, warna hijau bagaikan nafas dalam diriku yang segar, warna biru seperti lamunanku terhadap dirinya dan warna ungu seperti laptop pemberiannya untukku bekerja.
Pagi ini, aku tengah membereskan arsip dan dokumen yang siap ditandatangani oleh Raden, tiba-tiba dia masuk ke ruangannya dengan wajah bahagia yang baru kulihat.
''Ada ap..'' kataku tepat sebelum dirinya memelukku erat dan mengangkat tubuh kecilku melambung di udara. Karena terkejutnya aku tak mampu berkata-kata.
''Proposalku diterima oleh perusahaan koalisi, ini semua berkatmu!'' katanya masih memelukku dan memutar-mutarkanku di udara. Beberapa saat kemudian tawanya berhenti dan dia menurunkanku lalu berdiri malu dengan kepala tertunduk.
''Eh enggak, harusnya, eh maaf...'' katanya.
Aku langsung mengecup pipi kanannya dan tersenyum. Dia diam seribu bahasa ketika aku melakukan itu.
''Lho, kenapa? Memangnya tidak boleh seorang sekertaris mencium bosnya? Atau seorang sahabat pada sahabat yang disayanginya?'' tanyaku.
Dia menggelengkan kepala lalu tersenyum. ''Terimakasih neng.''
''Untuk apa?'' tanyaku masih tersenyum. Begitu senang aku melihatnya seperti tadi.
Dia masih tertawa kecil dan kemudian meletakkan tasnya lalu bertanya, ''Kamu ada acara malam ini?''
''Wah maaf pak Raden, tumben sekali bertanya begitu?''
''Aku mau mengajakmu makan di luar neng, itu pun kalau kamu mau.''
''Tapi saya lihat jadwal bapak penuh hari ini.''
''Benarkah?'' tanyanya bingung. ''Aneh, memangnya apa saja, setahuku hanya sampai sore...''
''Pagi rapat, siang meet and greet dengan pejabat, sore ada janji makan bersama dengan manajer perusaahan ekspor Bayumara, lalu malamnya...''
''Apa?''
''Malamnya ke rumahku...'' kataku tertawa. ''Katanya mau bertemu ibu dan Ragan kan?''
Dia langsung menggelitikku dan spontan aku terdorong ke belakang. Hampir saja aku berteriak, namun Raden langsung menangkap tubuhku dan membiarkan diriku dalam dekapan tangannya. Kami berpandangan cukup lama.
''Ehmm udah belum pak peganginnya?'' tanyaku.
Raden segera melepas dekapannya, ''Ah maaf aku...''
''Gak apa-apa kok,'' kataku tersenyum. ''Sampai ketemu nanti malam ya.''
Rembulan tak nampak malam ini, padahal langit cerah tanpa awan dan asap di angkasa. Hanya ribuan bintang bisu yang memperhatikan dari balik tirai langit. Raden datang dan menikmati makan malam bersama di rumah ibu. Ibu senang dengan kehadirannya. Belum lagi Ragan yang sudah akrab dengan Raden. Tampaknya Raden senang bermain bersamanya.
Sesudah dentang jam berbunyi sembilan kali, Raden dan aku berjalan-jalan di sekitar rumah. Kami berjalan bersama walau sempat saling bisu untuk beberapa saat.
''Ehmmm, neng, malam ini terang ya?''
''Terang? Kan gak ada bulan, kok terang?''
''Ya soalnya ada kamu yang menjadi terang bulan malam ini...''
''Ihhh apa sih gombal kamu,'' kataku menyikutnya. Padahal dalam hati, aku tertawa senang mendengarnya.
''Bukan gombal kok,'' katanya mengusap matanya.
''Ada apa, kamu kelilipan?''
''Iya nih, bantuin keluarkan dong, aku rasa ada sesuatu...'' katanya.
''Apa?'' kataku sambil melihat ke matanya, mencoba menemukan benda yang membuatnya kelilipan.
''Ada kamu di mataku,'' katanya sambil tertawa.
Aku segera mendorongnya sambil tertawa. Perasaan kesal, jengkel namun senang inilah yang sudah lama tidak kurasakan. Raden datang dan menghadirkannya kembali.
''Neng, aku mau bicara...'' katanya ketika kami menyeberangi sebuah jembatan.
''Apa den? Memangnya daritadi kamu mengigau ya denganku?'' kataku mengejek.
''Ini serius,'' katanya menghentikan langkah. Aku pun turut diam dan memandang air wajahnya yang serius. Tatapan matanya berbeda.
''Bicara apa den?'' tanyaku.
''Aku rasa aku harus menanyakannya langsung kepadamu, sejujurnya aku senang bisa bermain dengan putramu...''
Ah, apakah ini tanda-tanda... kataku dalam hati.
''Memangnya kenapa Ragan?''
''Sudah lama aku mendambakan seorang anak laki-laki, ya maksudku anakku sendiri... dan Ragan sudah kuanggap seperti itu...''
''Maksudmu?'' tanyaku dengan jantung yang berdebar-debar.
''Apakah pernah terbesit dalam pikiranmu, atau mendengar bisikan hatimu tentang cinta yang lama?''
''Ah, aku tidak mengerti den...''
''Bagaimana bila seseorang dari masa lalu, kini kembali hadir dalam hidup baru yang kamu bangun, apa pendapatmu...?''
''Pastinya aku akan mengejar orang itu, karena dialah yang membuatku seperti sekarang ini, karena dialah aku di sini,'' jawabku.
''Entah kenapa orang itu begitu dekat sekarang,'' tambahnya. ''Aku merasa seperti dulu.''
''Ohh den,'' kataku memegang tangannya lalu mengecup bibirnya. Cukup lama aku menciumnya. Hangat bibirnya kulumat dengan bibirku, begitu berhasrat penuh cinta. Namun, dia melepaskannya begitu saja ketika aku tengah asyik menciumnya.
''Ah, maafkan aku den aku...''
''Tidak apa, aku juga minta maaf lis,'' katanya. Kemudian dia mengambil saputangannya dan membersihkan bibirku. ''Bibirmu adalah untuk pria yang mampu mebahagiakanmu.''
''Apa maksudmu den? Bukankah kamu...''
''Maaf lis, ada yang harus kusampaikan kepadamu,'' katanya. ''Seperti katamu, aku meminta pendapatmu. Seseorang dari masa laluku telah hadir kembali. Irama, ya cinta masa laluku, kini datang dan membawa nuansa masa laluku dengannya, tidak dapat kupungkiri, aku masih mencintainya...''
Aku diam seribu jawab. Malu, kecewa, sedih, pupus, hancur, ya semua itu kembali kurasakan. Namun aku bukanlah wanita rapuh, dari balik retak tubuhku telah kuikat dengan tali kepercayaan bahwa memang inilah jalan dari Tuhan. Memang takdirku bukan bersama dengan Raden, walau aku sangat menyayanginya. Sahabat tetaplah sahabat, meski cinta dan suka hadir di antaranya.
''Pasti kamu pun begitu neng, dengan pria yang dahulu kamu cinta...'' katanya.
''Ya den, aku mengerti. Memang pria yang kucinta akan tetap begitu selamanya, dan sampai saat ini pun aku tak dapat meraih atau bersamanya...''
''Suamimu pasti sangat menyayangimu neng, aku harus pergi,'' katanya. ''Irama menungguku, seperti katamu, aku akan mengejar cintaku.''
Dia mengecup pipiku lalu berlari pergi. ''Salam untuk Ragan dan ibu ya!''
Aku hanya melambaikan tangannya walau berat rasanya. Cinta datang tiba-tiba dan pergi begitu saja, itulah hukum cinta. Cinta tidak dapat ditambahkan atau dikurangi, tidak dapat dibagikan begitu saja. Semua mendapat jatahnya.
Raden benar soal cinta, cinta yang lalu harus tetap dikejarnya karena itulah sejatinya kekuatan cinta yang nyata. Namun Raden salah, dari dulu hingga sekarang, aku tetap mencintainya. Bukan suamiku yang pergi, tetapi dirinyalah yang meninggalkanku, cinta yang pergi untuk cintanya sendiri. Raden, kekasihku walau bukan pacarku, cintaku walau bukan milikku.
Selesai.
(13-11-12)
Raden bukan jodohku, itulah yang tertanam dalam pikiranku sampai saat ini.
Tidak selamanya aku bersedih. Lulus dari SMA, aku bekerja dan mulai hidup mandiri. Meninggalkan jauh kota kelahiranku untuk melupakan masa lalu yang kelam. Kini usiaku sudah memasuki kepala dua, tepatnya 22 tahun. Sesekali aku pulang untuk bertemu ibu. Dan jalan yang kupilih inilah yang membawa perubahan dalam hidupku.
Sebagai wanita berdarah asli Sunda dengan tinggi tubuh 156 cm, berwajah khas ''neng gelis'' serta bersuara nyaring, aku tumbuh menjadi wanita mandiri dan kuat. Berkat pengalaman yang lalu, kini aku mampu mencari jalanku sendiri.
Tuhan memang adil, di usiaku yang ke 25, Tuhan mempertemukanku dengan jodohku. Seorang perwira tentara berbadan tegap yang ternyata adik kelas ketika aku SMA dulu. Pria ini bernama Dirgantara. Aku memanggilnya Dirgan. Dirgan menjadi suami yang sangat menyayangi dan mencintaiku sebagai istrinya.
Dari hasil perkawinanku dengannya, kami diberikan seorang anak laki-laki bernama Raganelis. ''Gan'' diambil dari nama suamiku sementara ''Elis'' diambil dari namaku, Fanelis. Sementara nama Raden diam-diam kusisipkan dalam nama anakku. Suamiku memang tidak bertanya asal muasal nama itu. Jujur hingga sekarang, aku masih teringat pada Raden.
Tiga tahun berselang setelah pernikahanku, putraku kini berusia dua tahun. Masa terberat mulai kualami. Aku terpaksa di PHK dari pekerjaanku yang semula yakni sebagai seorang akuntan karena perusahaan bangkrut, sementara suamiku meninggal dalam tugas. Tidak banyak penjelasan kuterima dari para sahabat suamiku di markas besar, mereka hanya berkata, bahwa suamiku tewas dalam tugasnya mempertahankan negara. Aku dan anakku berduka cukup lama, hampir satu tahun aku berdiam diri dan menangis. Ibu menyuruhku pulang, maka aku dan anakku kini tinggal bersama ibu.
Selepas masa duka, aku mulai berbenah. Mempersiapkan masa depan putraku. Muncullah pelangi sehabis hujan deras, badai yang berlalu meninggalkan sinar cerah di depan mata.
Siang itu, aku sedang melamar pekerjaan di sebuah kantor swasta sebagai seorang sekertaris. Di sanalah pelangiku muncul. Seorang dari masa lalu yang membawa badai kini menebarkan cerah dalam hatiku.
''Selamat siang, perkenalkan diri anda segera,'' kata seorang manajer yang mewawancaraiku.
''Selamat siang...'' kataku tercengang saat melihat wajahnya. Wajah yang tak pernah kulupakan. Dia adalah Raden Surya.
''Raden..??'' tanyaku.
''Maaf, tunggu sebentar, kamu... kamu Fanelis, kamu Elis kan?'' katanya.
Spontan aku melompat padanya dan memeluk dirinya sambil berlinangan air mata. Aku menangis sedu bertemu dirinya kembali.
''Raden...'' kataku dengan suara parau karena terlalu bahagia.
Ia membiarkan diriku memeluk dirinya hingga beberapa lama, kemudian dia mendorong bahuku dan menatap wajahku.
''Apa yang terjadi padamu? Apa yang membawamu kemari?'' tanyanya.
Sebuah sesi wawancara berubah menjadi sesi dialog khusus antara kami. Dari ruangannya pun kami berpindah ke rumah makan di depan perusahaannya. Sambil menyantap makan siang kami, soto ayam, aku mulai bercerita kepadanya.
''Aku turut berduka atas suamimu lis,'' katanya sambil menyeruput es teh manisnya.
''Iya den, andai kamu ada di sana...''
''Maksudnya?''
''Eh bukan, bukan apa-apa,'' kataku salah tingkah. ''Maksudku, andai kamu di sana saat itu, kamu kan bisa bermain bersama anakku.''
''Ah benar juga, aku ingin bertemu dengan putramu, bisakkah?''
''Bertemu?'' kataku sedikit terkejut. ''Untuk apa?''
''Seperti yang kamu tahu, aku menyukai anak kecil, mungkin kami bisa menjadi teman baik?'' tanyanya dengan wajah berhiaskan senyum.
Hatiku kembali bersemi, seolah bunga mulai tumbuh kembali. Lampu cinta yang menyala merah redup kini bersinar hijau terang, menyala untuk memberikan kata ''Ya'' pada Raden. Tetapi, aku tidak boleh terlalu berharap, masih ada Irama. Ya, bagaimana kabarnya dengan Irama.
''Aku dan Irama sudah lama berhenti berhubungan, ya dibilang putus salah, tapi kami sudah tidak berpacaran juga,'' jelasnya dalam perjalanan pulang sore itu. Raden menawarkan dirinya untuk mengantarkanku pulang.
''Mengapa demikian?''
''Dia melanjutkan kuliahnya di luar negeri dan hingga kini tidak kembali, sudah lama aku menanti kepulangannya...''
''Kamu masih menunggunya?''
''Ya, walau tidak jelas kapan kepulangannya, hati ini semakin ragu, entah aku masih berharap pada cintanya atau tidak.''
Apakah ini sebuah kesempatan bagiku? Untuk membangun ulang bahtera rumah tanggaku yang karam, kini datang Raden membawakan bahtera yang lebih besar dan mampu bergerak dalam deburan badai ombak sekalipun. Ah nanti saja kupikirkan, aku begitu nyaman dan senang bersamanya.
''Baiklah, sampai bertemu besok,'' kata Raden setelah tiba di rumahku.
''Besok? Ada apa memangnya?''
''Kamu akan menjadi sekertarisku mulai besok, siap neng gelis?'' katanya memanggilku dengan panggilan semasa SMA.
''Ihh apa sih, serius deh,'' kataku belum percaya.
''Tidak percaya nih, kamu sudah kuterima, bukan karena sahabatku, tapi kamu memenuhi kualifikasi yang kuberikan, kamulah yang kucari lis.''
Yang dia cari? Jangan-jangan... ah sudahlah aku berpikiran yang tidak-tidak saja.
''Tidak mampir dulu den?'' tanyaku.
''Aku harus segera pulang, lagipula anakmu sudah tidur kan? Aku tak mau merepotkan ibumu juga, salam saja untuk mereka,'' katanya lalu masuk ke mobil.
''Baik den, terimakasih ya!''
''Jam 8 di kantor! Jangan telat neng!'' katanya lagi.
Aku memandang kepergian Raden yang disinari lembayung senja dengan sangat bahagia. Pancaran wajahnya, suara khasnya, kini kembali hadir dalam hidupku. Semoga benar dia memilihku, ah maksudku semoga lancar pekerjaanku, duh mikir apa sih aku.
Hari demi hari kulalui sebagai sekertaris pribadi Raden Surya, manajer perusahaan transportasi dan jasa khusus penerbangan. Bahkan hari-hari yang kulewati penuh dengan warna. Warna merah seperti hatiku yang merona, warna jingga seperti warna pipiku karena malu diriku, warna kuning laksana mentari cerah bersinar dari wajahnya, warna hijau bagaikan nafas dalam diriku yang segar, warna biru seperti lamunanku terhadap dirinya dan warna ungu seperti laptop pemberiannya untukku bekerja.
Pagi ini, aku tengah membereskan arsip dan dokumen yang siap ditandatangani oleh Raden, tiba-tiba dia masuk ke ruangannya dengan wajah bahagia yang baru kulihat.
''Ada ap..'' kataku tepat sebelum dirinya memelukku erat dan mengangkat tubuh kecilku melambung di udara. Karena terkejutnya aku tak mampu berkata-kata.
''Proposalku diterima oleh perusahaan koalisi, ini semua berkatmu!'' katanya masih memelukku dan memutar-mutarkanku di udara. Beberapa saat kemudian tawanya berhenti dan dia menurunkanku lalu berdiri malu dengan kepala tertunduk.
''Eh enggak, harusnya, eh maaf...'' katanya.
Aku langsung mengecup pipi kanannya dan tersenyum. Dia diam seribu bahasa ketika aku melakukan itu.
''Lho, kenapa? Memangnya tidak boleh seorang sekertaris mencium bosnya? Atau seorang sahabat pada sahabat yang disayanginya?'' tanyaku.
Dia menggelengkan kepala lalu tersenyum. ''Terimakasih neng.''
''Untuk apa?'' tanyaku masih tersenyum. Begitu senang aku melihatnya seperti tadi.
Dia masih tertawa kecil dan kemudian meletakkan tasnya lalu bertanya, ''Kamu ada acara malam ini?''
''Wah maaf pak Raden, tumben sekali bertanya begitu?''
''Aku mau mengajakmu makan di luar neng, itu pun kalau kamu mau.''
''Tapi saya lihat jadwal bapak penuh hari ini.''
''Benarkah?'' tanyanya bingung. ''Aneh, memangnya apa saja, setahuku hanya sampai sore...''
''Pagi rapat, siang meet and greet dengan pejabat, sore ada janji makan bersama dengan manajer perusaahan ekspor Bayumara, lalu malamnya...''
''Apa?''
''Malamnya ke rumahku...'' kataku tertawa. ''Katanya mau bertemu ibu dan Ragan kan?''
Dia langsung menggelitikku dan spontan aku terdorong ke belakang. Hampir saja aku berteriak, namun Raden langsung menangkap tubuhku dan membiarkan diriku dalam dekapan tangannya. Kami berpandangan cukup lama.
''Ehmm udah belum pak peganginnya?'' tanyaku.
Raden segera melepas dekapannya, ''Ah maaf aku...''
''Gak apa-apa kok,'' kataku tersenyum. ''Sampai ketemu nanti malam ya.''
Rembulan tak nampak malam ini, padahal langit cerah tanpa awan dan asap di angkasa. Hanya ribuan bintang bisu yang memperhatikan dari balik tirai langit. Raden datang dan menikmati makan malam bersama di rumah ibu. Ibu senang dengan kehadirannya. Belum lagi Ragan yang sudah akrab dengan Raden. Tampaknya Raden senang bermain bersamanya.
Sesudah dentang jam berbunyi sembilan kali, Raden dan aku berjalan-jalan di sekitar rumah. Kami berjalan bersama walau sempat saling bisu untuk beberapa saat.
''Ehmmm, neng, malam ini terang ya?''
''Terang? Kan gak ada bulan, kok terang?''
''Ya soalnya ada kamu yang menjadi terang bulan malam ini...''
''Ihhh apa sih gombal kamu,'' kataku menyikutnya. Padahal dalam hati, aku tertawa senang mendengarnya.
''Bukan gombal kok,'' katanya mengusap matanya.
''Ada apa, kamu kelilipan?''
''Iya nih, bantuin keluarkan dong, aku rasa ada sesuatu...'' katanya.
''Apa?'' kataku sambil melihat ke matanya, mencoba menemukan benda yang membuatnya kelilipan.
''Ada kamu di mataku,'' katanya sambil tertawa.
Aku segera mendorongnya sambil tertawa. Perasaan kesal, jengkel namun senang inilah yang sudah lama tidak kurasakan. Raden datang dan menghadirkannya kembali.
''Neng, aku mau bicara...'' katanya ketika kami menyeberangi sebuah jembatan.
''Apa den? Memangnya daritadi kamu mengigau ya denganku?'' kataku mengejek.
''Ini serius,'' katanya menghentikan langkah. Aku pun turut diam dan memandang air wajahnya yang serius. Tatapan matanya berbeda.
''Bicara apa den?'' tanyaku.
''Aku rasa aku harus menanyakannya langsung kepadamu, sejujurnya aku senang bisa bermain dengan putramu...''
Ah, apakah ini tanda-tanda... kataku dalam hati.
''Memangnya kenapa Ragan?''
''Sudah lama aku mendambakan seorang anak laki-laki, ya maksudku anakku sendiri... dan Ragan sudah kuanggap seperti itu...''
''Maksudmu?'' tanyaku dengan jantung yang berdebar-debar.
''Apakah pernah terbesit dalam pikiranmu, atau mendengar bisikan hatimu tentang cinta yang lama?''
''Ah, aku tidak mengerti den...''
''Bagaimana bila seseorang dari masa lalu, kini kembali hadir dalam hidup baru yang kamu bangun, apa pendapatmu...?''
''Pastinya aku akan mengejar orang itu, karena dialah yang membuatku seperti sekarang ini, karena dialah aku di sini,'' jawabku.
''Entah kenapa orang itu begitu dekat sekarang,'' tambahnya. ''Aku merasa seperti dulu.''
''Ohh den,'' kataku memegang tangannya lalu mengecup bibirnya. Cukup lama aku menciumnya. Hangat bibirnya kulumat dengan bibirku, begitu berhasrat penuh cinta. Namun, dia melepaskannya begitu saja ketika aku tengah asyik menciumnya.
''Ah, maafkan aku den aku...''
''Tidak apa, aku juga minta maaf lis,'' katanya. Kemudian dia mengambil saputangannya dan membersihkan bibirku. ''Bibirmu adalah untuk pria yang mampu mebahagiakanmu.''
''Apa maksudmu den? Bukankah kamu...''
''Maaf lis, ada yang harus kusampaikan kepadamu,'' katanya. ''Seperti katamu, aku meminta pendapatmu. Seseorang dari masa laluku telah hadir kembali. Irama, ya cinta masa laluku, kini datang dan membawa nuansa masa laluku dengannya, tidak dapat kupungkiri, aku masih mencintainya...''
Aku diam seribu jawab. Malu, kecewa, sedih, pupus, hancur, ya semua itu kembali kurasakan. Namun aku bukanlah wanita rapuh, dari balik retak tubuhku telah kuikat dengan tali kepercayaan bahwa memang inilah jalan dari Tuhan. Memang takdirku bukan bersama dengan Raden, walau aku sangat menyayanginya. Sahabat tetaplah sahabat, meski cinta dan suka hadir di antaranya.
''Pasti kamu pun begitu neng, dengan pria yang dahulu kamu cinta...'' katanya.
''Ya den, aku mengerti. Memang pria yang kucinta akan tetap begitu selamanya, dan sampai saat ini pun aku tak dapat meraih atau bersamanya...''
''Suamimu pasti sangat menyayangimu neng, aku harus pergi,'' katanya. ''Irama menungguku, seperti katamu, aku akan mengejar cintaku.''
Dia mengecup pipiku lalu berlari pergi. ''Salam untuk Ragan dan ibu ya!''
Aku hanya melambaikan tangannya walau berat rasanya. Cinta datang tiba-tiba dan pergi begitu saja, itulah hukum cinta. Cinta tidak dapat ditambahkan atau dikurangi, tidak dapat dibagikan begitu saja. Semua mendapat jatahnya.
Raden benar soal cinta, cinta yang lalu harus tetap dikejarnya karena itulah sejatinya kekuatan cinta yang nyata. Namun Raden salah, dari dulu hingga sekarang, aku tetap mencintainya. Bukan suamiku yang pergi, tetapi dirinyalah yang meninggalkanku, cinta yang pergi untuk cintanya sendiri. Raden, kekasihku walau bukan pacarku, cintaku walau bukan milikku.
Selesai.
(13-11-12)
PROFIL PENULIS
Rafael Stefan Lawalata.
0 komentar:
Posting Komentar