Translate

CERPEN OJEK PAYUNG, PENGEMIS, ANAK POLITISI

Written By iqbal_editing on Selasa, 04 April 2017 | 06.46

Cerpen kali ini genrenya dewasa. Dibuat karena pesanan untuk mengisi majalah gereja menyambut Paskah, sehingga ceritanya juga berkaitan dengan masa Pra Paskah (sebelum Paskah). Di agamaku, Paskah itu berkaitan dengan masa pertobatan, puasa dan pantang (makan,minum tertentu, merokok atau melakukan hura2). Hal-hal itu tercermin dari cerpen ini. 

*****
Saat ini menjelang jam makan siang, tapi langit diluar lantai 6 Gedung Asia tampak gelap layaknya tengah malam. Hujan petir menghiasi langit muram itu, semuram hati Maria yang dari tadi tak henti-hentinya mengeluh.

                “Debenhams lagi diskon gede-gedean Sas!” seru Maria tiba-tiba, “Aku masih penasaran sama ankle boot yang kulihat kemarin di Senayan City, pastinya ada dong di Debenhams Supermal?”

                Saskia, partner satu ruangan Maria di kantor auditor Rama & Son berkomentar, “Aku lapar,” komentar Saskia agak nggak nyambung.

                “Coba kalau nggak hujan, aku ‘kan bisa nyebrang sebentar ke Supermal. Mumpung Jumat nih, jam istirahat bisa dimolor-molorin.”

                “Mau belanja lagi? Memang sepatumu belum cukup banyak Mar?”

                Maria menggeleng sambil tersenyum simpul, “Aku mengidolakan Imelda Marcos.”

                Saskia masam, “Capek deh, by the way hujannya udah berhenti tuh, tinggal sisa gerimis mengundang. Mau nekat?”

                “Siapa takut? Demi sepatu idaman gitu loh.” Sekejap Maria membongkar tasnya, mengambil dompet, hp dan segera menarik tangan Saskia menuju lift yang akan membawa mereka ke lobi.

                Hujan sebenarnya sudah tidak terlalu deras, tapi lumayan basah juga kalau nekat menerabas hujan menuju mall yang letaknya diseberang Gedung Asia, apalagi kalau penerabasnya adalah Maria yang kebetulan hari ini menggunakan flat shoes kesayangannya yang berbahan suede, yang kalau kena air sudah pasti jamuran.

                “Yah Sas, kamu gak bawa payung ya?”

                Saskia menggeleng, “Kalau bawa mah udah aku buka dari tadi. Ya udah deh kita lari aja.”

                “Gak mau ah, sepatuku nanti rusak. Mahal nih, belinya aja di Paris.” Maria manyun sambil memandangi sepatunya yang imut-imut.

                “Ya udah, kita pakai ojek payung aja yuk!” seru Saskia sambil menunjuk anak-anak yang menjajakan payung tidak jauh dari mereka.

                “Payung mbak!” seorang anak perempuan masih dengan seragam putih merah menghampiri mereka dengan wajah berseri-seri.

                Maria menggeleng tegas, “Gak dek, makasih!”

“Gimana sih Mar, kita ‘kan mau ke mall. Katanya takut kehujanan?!” timpal Saskia bingung.

“Hei Sas, mall ‘kan cuma tinggal nyebrang. Gak perlu lah pakai ojek-ojek payung segala. Buang-buang duit aja.”

                Wajah Saskia bisa dibilang sewarna dengan seluruh campuran juice buah-buahan ketika mendengar komentar Maria. Keningnya berkerut dan mulutnya menganga, “Bayar ojek payung yang gak sampai 5000 aja disebut buang-buang duit? Apa kabar sepatumu yang harganya setengah juta?”

*****

                “Minta sedekahnya mas…anak saya belum makan.” Seorang ibu berpakaian kumal tampak menggendong putranya yang masih bayi.

                “Duh sama yang lain aja. Gak ada uang kecil!”

                “Mas, kamu kok kasar gitu sih ngomongnya?”

                “Habis nggilanianak’e ingusan ngonoWong aku lagi makan.”

“Ya, tapi ndak usah gitu dong. Lagipula, kenapa makanmu banyak banget sih Mas? Kayak ndak pernah makan dari lahir aja.”

                “Masak sih Dek? Cuma segini aja kok.”

                Lastri memandang meja dihadapan mereka dengan tatapan polosnya. Semangkuk sop kaki kambing (yang sudah mangkuk kedua), 20 tusuk sate kambing, separuh piring nasi (yang sudah sisa dari 2 piring) serta segelas jus alpukat. Benar-benar “cuma segini”.

                “Kamu sendiri kok nggak makan? Masak dari tadi cuma nyeruputin teh doang. Kamu yakin nggak lapar?” tanya Parjo sambil mengunyah satenya, “Eh mas, nasinya tambah lagi ya. Setengah aja!”

                “Ndak mas, aku lagi pantang daging.”

                “Oh iya yah. Aku sih milih nggak pantang daging,” ujar Parjo enteng.

                “Berarti ndak pantang jajan juga ya mas?” Jelas. Saat ini mereka berdua sedang di kedai “Sop Kaki Kambing Tiga Saudara”

                “He eh!”

                “Terus Mas pantang apa?” Lastri jadi penasaran.

                Parjo mengelap mulutnya dengan tissue, bersendawa pelan kemudian tersenyum simpul, “Pantang ngerokok!”

                Wajah Lastri masam, “Pantang ngerokok?? Kamu ‘kan memang ndak merokok!”

                Parjo cengengesan.

*****

                “Gimana Man? Semua sumbangannya sudah siap?”

                “Sudah Pak. Sembako sudah siap dibagikan.”

                Hari ini F.X Soegito Azis, caleg Partai Indonesia Jaya yang akan bertarung dalam kancah pemilihan Gubernur Jawa Barat rencananya akan melakukan kunjungan sosial kepada para korban longsor Ciwidey. Semua sumbangan sudah dipersiapkan sebaik-baiknya oleh Arman, tangan kanannya.

                “Wartawan sudah siap juga?” tambah Pak Gito, biasa dia dipanggil.

                Arman mengangguk yakin, “Siap Pak, semua wartawan surat kabar dan TV baik lokal maupun nasional sudah saya undang. Di amplop yang saya berikan ke mereka sudah tertulis sedikit pesan-pesan yang bapak inginkan ditulis pada headline mereka.” Cerita Arman kemudian beranjak keluar dari ruang kerja Pak Gito.

                Pak Gito tersenyum puas. Terbayang di matanya keberhasilan menarik perhatian masyarakat untuk mendukungnya. Seorang F.X Soegito Azis, calon Gubernur Jawa Barat yang sangat tanggap terhadap bencana. Buktinya disaat belum ada pihak-pihak yang turun membantu korban longsor, dia sudah bergerak lebih dulu.

                Seorang wanita setengah baya dengan penampilan anggun menepuk lengan Pak Gito, menghablurkan lamunannya, “Pap, saya di rumah saja ya. Kepala saya pusing.”

                Pak Gito menggeleng, “Eh, bagaimana ini? Tidak bisa! Kamu sebagai istri calon Gubernur sudah sepatutnya tampil di setiap kesempatan. Ini promosi hebat Mam, kita akan diliput oleh banyak wartawan. Saat yang tepat karena seluruh mata sedang memperhatikan bencana tersebut.”

                “Tapi apakah Papa tidak salah? Masa’ Papa menggunakan moment bencana alam untuk mempromosikan diri?” tiba-tiba Kalina, putri tertua Pak Gito yang baru pulang kuliah ikut berkomentar.

                “Loh itu ‘kan justru menjadi moment yang tepat Nak!” yakin Pak Gito, “Sekali merengkuh dayung, dua tiga pulau terlampaui! Kapan lagi?”

                Bu Gito merengut, “Berarti Papa justru bersyukur ya kalau ada bencana alam?”

                “Yah, bisa dibilang selalu ada hikmah dalam setiap bencana ‘kan?” Pak Gito tergelak, “Lagipula niatan ini kan sesuai dengan ajaran cinta kasih yang Yesus ajarkan bukan? Apalagi tema masa Prapaskah tahun ini ‘kan berkaitan dengan pemberantasan kemiskinan.”

                Kalina dan Bu Gito saling berpandangan, “Ingat Pap, ada lagi ajaran Yesus yang harus Papa ingat!” sahut Kalina.

                “Apaan?”

                “Janganlah tangan kirimu mengetahui apa yang dilakukan oleh tangan kananmu.” Sahut Bu Gito singkat.

*****

“Bagaimana laporan hari ini?”

Pengojek Payung             : Gagal! Maria lebih senang mendewakan sepatu seharga ratusan ribu ketimbang menyewa payung saya, padahal saya tahu dia butuh sekali jasa saya. Dia terlalu pelit.

Pengemis                            : Saya juga gagal. Parjo yang rakus itu lebih mendewakan makanan enak, jajan. Kami yang hanya mimpi bisa makan seperti dia, tak ia pedulikan. Ia tidak memahami arti Pra Paskah.

Anak Politisi                        : Ehm, papaku terlalu sombong. Dia mendewakan kekuasaan dan jabatan di atas segalanya. Seolah tak bersalah, papa bahkan menggunakan alasan cinta kasih dibalik kebaikan palsu yang dia tampilkan. Saya malu.  

“Saya sedih. Manusiaku ternyata masih belum dapat memaknai pengorbanan yang Kulakukan untuk mereka. Kembalilah kalian ke bumi dan teruslah berjuang membuat manusia menjadi lebih baik. Biar Aku yang memperbaiki ketiga manusia tersebut, karena saatKu sudah dekat.”

Pengojek Payung, Pengemis, dan Anak Politisi kompak berseru, “Baik Tuhan.”

0 komentar:

Posting Komentar

 
berita unik