Pagi-pagi sekali, aku sudah bangun. Ini bukan kebiasaan. Tp, pagi
yang spesial ini aku jaga dengan segenap kemampuan. Alarm hp, bahkan
sugesti diri untuk bangun pagi sekali, aku lakukan. Termasuk membalik
posisi bantal agar bertambah yakin bisa bangun pagi sekali.
Semua ini karena Imah. Fatimah. Begitu nama lengkapnya. Nama ini aku
dapat di lembar pendaftaran acara sepeda santai Aceh Go Bike yang dibuat
oleh Golkar Aceh.
Awalnya, hanya ingin bersepeda santai. Sekedar ikut trend.
syukur-syukur dapat hadiah. Lumayan berpeluang. Kali ini, Golkar
menyediakan banyak hadiah. Jadi, tidak rugi ikut. Dan aku pun mendaftar.
Saat itulah aku bertemu sosok yang menyebut namanya Imah. Gadis manis
berhijab. Sorot matanya lembut saat menyebut namanya. Senyumnya
melegakan kala aku meminjam pulpennya untuk menulis nama di lembar
pendaftaran.
“Kamu ikut juga? Sendirian saja? Mana teman yang lain? Kamu, masih kuliah? Atau…”
Ini bukan kebiasaan. Aku begitu lancar dan bersemangat menginterogasi
gadis manis. Biasanya, jantungku, langsung berdebar saat dekat dengan
perempuan, dan mulutku langsung terkatub setiap kali ingin berbincang.
Tapi, Imah beda. Aura penampilannya membuatku menjadi lelaki yang
komunikatif. Persis kayak politisi yang baru terpilih jadi kepala
daerah. Lancar berkomunikasi dan amat ramah di awal mula pertemuan.
“Ha..ha.. ” Aku jadi tersenyum sendiri. Apa hubungannya dengan
politisi dan pejabat? Jangan-jangan ini karena ada kaitannya dengan
acara sepeda santai yang kebetulan dibuat oleh Golkar.
Aku segera menepis praduga. Aku kira, siapapun bebas membuat acara
dan sejauh itu bermanfaat bagi orang banyak maka wajar-wajar saja.
“Lebih baguskan jika ada banyak kegiatan positif yang digelar oleh
partai politik. Jangan cuma mau kekuasaan saja tapi untuk orang banyak
tidak ada perhatian sama sekali. Kalau pun ada maka itu hanya terjadi di
masa kampanye belaka.”
“Ya…” Aku disergap sadar. Otakku diliputi cairan aktivisme. Sebagai
aktivis ya aku harus kritis dengan keadaan kekinian Aceh. Tapi, pagi ini
aku benar-benar bukan aktivis. Aku lelaki tulen yang sedang diliputi
rasa yang tidak bisa aku jelaskan. Hatiku, pikiranku dipenuhi dengan
satu nama.
Nama yang membuatku bangun pagi-pagi sekali. Padahal, jadwal Aceh Go
Bike baru dimulai pukul 07.00 WIB. Nama yang membuat aku lupa pada
hadiah yang banyak. Nama yang membuatku tidak lagi menghayati makna
penting bersepeda santai.
Jikapun ada maka yang aku ingat cuma ungkapan Imah soal kebajikan
bersepeda. Buat dia, bersepeda bukan soal hadiah. Ini soal silahturahmi.
Memperbanyak sahabat sambil berolahraga. Bagi Imah, kegiatan bersepeda
santai bersama-sama bisa memecah kebekuan antar individu-individu yang
muncul karena ragam perbedaan. Dengan bersepeda santai, semangat
kebersamaan dapat kembali di raih.
Itu kata Imah. Sangat Indah, meski sudah berulangkali aku mendengar
dari pihak lain. Tapi, kala meluncur dari pemilik argumen, Imah maka
keindahannya jadi berlipat-lipat. Bukan itu saja. Gerak bibirnya itu?!
Duh, indahnya.
Singkat cerita, aku menjadi orang pertama hadir di area Car Free Day, lokasi awal start Aceh Go Bike. Dan Imah belum kelihatan.
Imah juga belum muncul meski acara start akan segera dimulai, dan
akhirnya Imah memang tidak muncul bahkan hingga finish tiba di komplek
Stadion Harapan Bangsa.
Sudah pasti semangatku pupus. Bahkan, ketika undian dicabut. Aku juga
tidak peduli saat namaku dipanggil sebagai peserta yang mendapat hadiah
sepeda, hingga seseorang menepuk bahuku.
“Bang, itu namanya dipanggil. Kesana, ambil hadiahnya. Lumayankan, walau cuma sepeda.”
“Imahhhhh…kamu kemana saja. Kenapa tidak ikut. Mengapa? Kenapa? Ada apa?”
“Sssttt… Abang ambil dulu hadiahnya. Nanti Imah cerita…”
Semangatku pulih, walau tidak seratus persen. Soalnya aku tidak
mendayung sepeda bersama Imah. Tapi, kehadirannya membuatku lega. Dan
akupun menghampirinya usai menerima hadiah sepeda berwarna kuning.
“Ini, Imah. Ambil untukmu, sepeda ini. Jangan tolak ya. Ini iklas aku kasih, tanpa embel-embel kayak politisi. Ciusss…”
Duh, manisnya senyum Imah. Dan matanya berkaca-kaca, apalagi saat ia
menceritakan soal sepedanya yang hilang di malam hari. Itulah kenapa dia
tidak bisa ikut serta.
“Bang, terimakasih sepeda kunengnya ya.” [RR]
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar