ANJANGSANA
Oleh: Murdani Tulqadri
Sebuah rindu…Rindu begitu renjana…
Kepada sang kekasih bergelar sanak di sudut kota sana
Bersarang di pojok-pojok jiwa
Balig bahkan sudah tua
Renta dan begitu sengasara karena cinta
Hanya ada sebuah penawar
Bagi sengsara yang juga konsekuensi desir rasa
Anjangsana ianya
Ah, ini bukan persoalan mengapa dan siapa!
Hanya sebuah anjangsana
Lalu… hilang sudah duduk perkara
Ketika paras-paras telah saling berhadapan
Pucuk-pucuk rindu mulai layu
Berganti bianglala di langit-langit hati
Saling berceloteh mengumbar kasih…
Air muka lalu menjadi begitu suci
Kemuning bahagia bersandar di dipan-dipan hati
Hanya sebuah anjangsana
Lalu… sudah hilang semua perkara
Hingga musim semi yang dinanti… tiba… melukis rona merah di hati
28 Oktober 2012
Di peraduan sanak
- Struktur Global
Puisi di atas terdiri dari tujuh bait dan tiap-tiap bait terdiri dari tiga baris. Seluruh bait dan baris mengungkapkan tema kerinduan. Kerinduan itu dapat kita tangkap lewat penggunaan bahasanya. Gaya bahasa yang berhubungan dengan suasana hati seorang manusia yang dilukiskan oleh penyair membantu mengungkapkan tema kerinduan tersebut. Kerinduan kepada siapa? Kerinduan terhadap keluarganya. Hal tersebut dapat kita temukan apabila meneliti bait demi bait puisi di atas dan kita akan menemukan jawaban yang dikemukakan penyair sebagai berikut:
- Bait I: sudah menceritakan alasan puisi tersebut diciptakan. Penyair telah memasukkan diksi rindu, renjana, dan kekasih bergelar sanak yang menandakan bahwa ia begitu rindu bahkan sangat rindu kepada keluarganya.
- Bait II: menceritakan gambaran rindu tersebut yang telah dipendam oleh sang penyair. Baris yang berbunyi “ Bersarang di pojok-pojok jiwa” dan “Balig bahkan sudah tua” menceritakan bahwa rindu itu telah begitu lama dipendam oleh penyair yang sudah sedemikian menderitanya karena hal tersebut. Itu diperjelas lagi dibaris berikutnya.
- Bait III: menceritakan cara mengatasi kerinduan yang sudah menyesakkan dada tersebut. Diksi-diksi seperti penawar, sengsara, dan anjangsana sudah cukup bagi pembaca untuk mengerti langkah yang akan dilakukan oleh sang penyair untuk mengobati kerinduannya. Solusi tersebut berupa anjangsana yang berarti kunjungan untuk melepas rindu kepada keluarganya.
- Bait IV: mempertegas bahwa anjangsana memang satu-satunya jalan untuk mengobati kerinduan yang sudah mengakar kuat dan menumbuhkan derita yang begitu perih. Dengan anjangsana tersebut maka hilang sudah semua derita sang penyair karena bukan persoalan “mengapa” dan “siapa” yang menjadi pertanyaan, namun “apa” yang mesti dilakukan sang penyair.
- Bait V: menceritakan keadaan yang akan terjadi setelah anjangsana dilakukan. “Ketika paras-paras telah saling berhadapan” berarti ketika sang penyair telah bertemu dengan keluarganya. “Pucuk-pucuk rindu mulai layu” berarti rindu mulai memudar dan terobati. “Berganti bianglala di langit-langit hati” berarti rindu tersebut sudah berganti menjadi kebahagian di dalam hati penyair.
- Bait VI: menceritakan suasana lanjutan ketika sang penyair telah berkumpul dengan keluarganya. “Saling berceloteh mengumbar kasih…” berarti sang menceritakan segala hal yang ia rasakan dan pengalamannya kepada keluarganya hingga menimbukan cinta kasih di antara mereka. “Air muka lalu menjadi begitu suci” menandakan bahwa paras wajah penyair yang begitu mengalami perubahan setelah bertemu dengan keluarganya. Wajahnya yang mungkin dahulu sayu kini berganti cerah dan bersinar. “Kemuning bahagia bersandar di dipan-dipan hati” berarti perasaan bahagia yang besar yang telah penyair rasakan.
- Bait VII: mempertegas bahwa anjangsanalah yang benar-benar merupakan satu-satunya solusi untuk menyelesaikan masalah kerinduan yang kronis yang penyair hadapi. Ketika hal itu dilakukan, maka sang penyair akan benar-benar merasakan kebahagian yang luar biasa seperti yang ia gambarkan secara umum dalam puisinya.
Secara sepintas lalu dapat kita rasakan bahwa puisi di atas mempunyai kepaduan dan harmoni antara struktur fisik dan struktur batin. Puisi “Anjangsana” cukup mudah dipahami bahasanya. Bahasa yang digunakan penyair dalam puisinya sebenar cukup jelas. Namun diksi-diksi yang digunakan penyair adalah diksi yang tidak biasa digunakan dalam kehidupan sehari-hari dan cenderung memiliki nilai estetis. Ini dipertegas lagi dengan pelukisan-pelukisan keadaan dalam puisi tersebut yang dilakukan oleh penyair yang menambah nilai keindahan puisi tersebut.
Diksi yang digunakan penyair adalah kata-kata yang bernada muram (pada saat mengambarkan kerinduan) dan cerah (ketika kerinduan mulai terobati dengan anjangsana). Diksi tentang kemuraman itu seperti: rindu, renjana, renta, dan sengsara yang hampir semuanya dipantulkan kepada perasaan di hati. Kata-kata tersebut jarang ditemukan dalam kehidupan sehari-hari. Sedangkan diksi tentang kecerahan tersebut seperti: penawar, anjangsana, bianglala, kasih, suci, bahagia, musim semi, dan rona merah yang juga berhubungan dengan gambaran hati yang bahagia.sebagian kata-kata tersebut jarang kita temukan dalam kehidupan sehari-hari.
Karena bernada muram dan cerah, maka keterangan kalimat ditempatkan hampir di setiap baris sebagai penggambaran makna puisi. Sebagai bukti:
Sebuah rindu… …………………………………………………………………………(keterangan keadaan)
Rindu begitu renjana…………………………………………………………………(keterangan keadaan)
Bersarang di pojok-pojok jiwa…………………………………………………..(keterangan tempat)
Lalu… …………………………………………………………………………………….(keterangan waktu)
Hingga musim semi…………………………………………………………………..(keterangan waktu)
Kata-kata yang digunakan penyair juga menimbulkan sugesti pada pembaca. Penggunaan kata-kata dengan vokal akhir /a/ menyugesti pembaca untuk merasakan kerinduaan yang dirasakan oleh penyair. Sebagai contoh:
Rindu begitu renjana…
Kepada sang kekasih bergelar sanak di sudut kota sana
Bersarang di pojok-pojok jiwa
Balig bahkan sudah tua
Renta dan begitu sengasara karena cinta
Penggunaan perumpamaan yang dilakukan penyair juga menimbulkan daya sugesti seperti bersarang, pojok-pojok jiwa, renta, dan sengsara juga menimbulkan daya sugesti. Diksi-diksi tersebut pun juga menggambarkan keadaan rindu yang dialami oleh penyair. Sejauh yang kita ketahui, penggunaan dan perpaduan diksi dalam puisi “Anjangsana” adalah khas ciptaan penyair dan bukan merupakan jiplakan dari ciptaan penyair lain. Daya sugesti yang diciptakan oleh ungkapan-ungkapan tersebut juga cukup besar. Dengan demikian, puisi tersebut memantulkan kerinduan dan kebahagian—ketika rindu telah terobati dengan anjangsana—yang diungkapkan dengan gaya khas Murdani Tulqadri.
Pengimajian dan kata kongkret yang digunakan oleh penyair tidak memperkabur makna puisi yang hendak disampaikan. Perasaan rindu penyair diperkonkret dengan pernyataan berikut:
Sebuah rindu/ Rindu begitu renjana/ Bersarang di pojok-pojok jiwa/Balig bahkan sudah tua/ Renta dan begitu sengasara karena cinta.
Kata kongkrit tersebut menimbulkan pengimajian dalam bayangan pikiran pembaca. Perasaan rindu penyair dilukiskan begitu dalam dan mencekam. Bagaimana bayangan kita apabila rindu tersebut sudah menjadi renjana? penyair telah merasakan rindu yang begitu dalam, sangat dalam dan menutup perasaan itu dengan syair: Renta dan begitu sengasara karena cinta.
Kemudian penyair menggambarkan bahwa sebuah pertemuan lewat lawatannya kepada orang yang dirindukan. Ia menggambarkannya imaji visual tersebut dengan larik seperti: Ketika paras-paras telah saling berhadapan. Dan begitu gembiranya penyair hingga menyusun larik indah berbunyi: Pucuk-pucuk rindu mulai layu/ Berganti bianglala di langit-langit hati. Selain itu, penulis juga memasukkan imaji auditif sehingga pembaca seolah mendengar bunyi tersebut. Imaji tersebut seperti pada baris: Saling berceloteh mengumbar kasih. Namun, penulis lebih banyak memasukkan unsur visual ke dalam puisinya seperti: Lalu… sudah hilang semua perkara/ Hingga musim semi yang dinanti… tiba… melukis rona merah di hati. Dengan larik-larik tersebut, penyair seakan-akan menginginkan pembaca untuk merasakan apa yang dirasakan olehnya dengan visualisasi. Penyair ingin kita merasakan rindu seperti yang ia gambarkan. Penyair pun menginginkan kita merasakan kebahagian ketika bertemu dengan orang yang kita cintai.
Bahasa figuratif yang digunakan oleh penyair tidak terlalu sulit untuk dimengerti pembaca dan tidak mengganggu pemahaman makna puisi. Ungkapan-ungkapan yang digunakan Murdani Tulqadri begitu segar dan bernilai estetis yang tinggi dan digambarkan dengan kiasan-kiasan yang menghidupkan suasana. Lambang-lambang yang digunakan tidak mencontoh penyair sebelumnya dan diungkapkan secara hidup serta tidak mengganggu keharmonisan komposisi puisinya.
Kata “renta” mengambarkan bahwa kerinduan penyair telah lama ia pendam dan menyisakan sengsara berkepanjangan apabila ia tidak diobati segera. Kata “bianglala” melukiskan kebahagiaan yang dirasakan oleh penyair apabila ia bertemu dengan orang yang ia kasihi yang bagai bianglala begitu indah di angkasa. Begitu pula dengan “rona merah” yang berarti kecerahan hati penyair apabila bahagia. Gaya bahasa hiperbola kita jumpai pada kalimat “Kemuning bahagia bersandar di dipan-dipan hati” dan kalimat pelukisan lainnya yang ternyata mampu memberikan gambaran yang tepat tentang kebahagiaan penyair.
Versifikasi dalam puisi ini mengitu pola puisi komporer. Walaupun sebagaian besar mengikuti pola syair (puisi lama) yaitu a-a-a, namun ia tidak termasuk puisi lama karena struktur lainnya tidak sama. Bait pertama, kedua, empat, dan enam memilki pola a-a-a. sedangkan bait ketiga memiliki pola b-a-a, bait kelima memiliki pola a-b-c, dan bait ketujuh memiliki pola a-a-b. Pola rima akhir pada tiap-tiap bait tersebut memang ada yang sama namun tak sedikit yang berbeda hingga puisi di atas tidak digolongkan sebagi puisi lama.
Ritma puisi berupa ikatan yang mengikat bait dengan menggunakan keterangan kalimat. Pada bait pertama digunakan frasa /sebuah ridu/; pada bait kedua digunakan kata /gerimis/; pada bait ketiga digunakan kata /hanya/; pada bait keempat digunakan kata ekspresi /Ah/; pada bait kelima digunakan kata /ketika/; pada bait keenam digunakan kata /saling/; dan pada bait ketujuh digunakan kata /hanya/. Setiap bait puisi itu diikat dengan kata pengikat sehingga pada permulaan bait seakan muncul sebuah gelombang irama baru.
Tipografi puisi “Anjangsana” adalah tipografi puisi kontemporer. Adanya titik dan tanda seru di tengah dan akhir baris menunjukkan bahwa gagasan pada suatu baris dilanjutkan dengan baris berikutnya. Gagasan-gagasan yang beruntun dikumukakan dalam satu baris, misalnya:
Ah, ini bukan persoalan mengapa dan siapa!/Saling berceloteh mengumbar kasih…/Air muka lalu menjadi begitu suci/Kemuning bahagia bersandar di dipan-dipan hati
Struktur sintaktik tiap-tiap bait mudah ditelaah karena mirip puisi-puisi dengan tipografi konvensional. Kesatuan gagasan pada tiap bait itu dibentuk oleh kesatuan baris-baris yang membentuk struktur sintaksis. Bait pertama dan bait kedua melukiskan kedalaman rindu yang dirasakan oleh penyair. Bait ketiga menggambarkan obat rindu yang harus dilakukan oleh penyair. Bait keempat hingga ketujuh menggambarkan rasa bahagia penyair apabila terobati rasa rindunya.
3. Struktur Batin Puisi
Secara sepintas telah diinterprestasikan tema puisi ini, yakni tema kerinduan terhadap keluarga. Kerinduaan hati penyair sangat dalam. Hal ini dapat dibuktikan setelah kita menelaah struktur bahasa penyair. Diksi, pemgimajian, kata kongkrit, majas, dan struktur sintaksis dari puisi ini mendukung kerinduan penyair yang mendalam. Dengan demikian, interprestasi tentang tema itu dapat dibenarkan.
Perasaan penyair pada waktu menciptakan puisi ini dapat kita rasakan juga sewaktu mambahas bait demi bait. Perasaan sedih karena kerinduan dan bahagia apabila bertemu dengan orang yang dicintai begitu jelas digambarkan oleh penyair hingga membuat pembaca ikut merasakan apa yang dirasakan oleh penyair. Kerinduan itu digambarkan begitu dalam dan telah lama berada di dalam hati sang penyair. Begitulah rindu penyair kepada keluarganya. Kemudian penyair menggambarkan pula kebahagian yang akan ia rasakan tatkala bertemu dengan keluarganya yang begitu amat bahagia. Rasa rindu kemudian berganti bahagia seperti yang penyair sebut dalam puisinya yang berbunyi “Kemuning bahagia bersandar di dipan-dipan hati”.
Nada dan Suasana puisi ini adalah nada dan suasana bercerita dengan mengungkapkan perasaan sedih dan bahagianya. Penyair menceritakan kerinduannya disertai pelukisan rasa yang begitu jelas, bahwa rindu itu telah membuatnya menderita berkepanjangan. Penyair pun menceritakan kebahagian yang akan memupuskan kerinduan dan penderitaan tersebut, bahwa raut wajahnya akan kembali cerah, bersemangat, dan rasa senang akan selalu menghiasi hatinya.
Amanat puisi menyatakan bahwa penyair ingin mengungkapkan rasa rindunya yang begitu dalam yang menyebabkan ia menderita dan juga penyair ingin menceritakan rasa bahagianya yang begitu indah apabila telah bertemu dengan orang yang dirindukannya. Kerinduan itu dapat membuat orang menderita dan dapat mengacaukan hal yang kita perbuat. Namun, obat rindu ialah menemui orang yang dirindukan. Dengan begitu, maka rindu akan berubah menjadi rasa bahagia yang selalu menghiasi hati dan berbagi kasih dengan orang yang dirindukan.
0 komentar:
Posting Komentar