tamanya), komplikasi (peristiwa di dalam cerita yang memperkenalkan
konflik dan tokoh utama); komplikasi (peristiwa di dalam cerita yang
memperkenalkan konflik); aksi yang meningkat, krisis (saat yang
menentukan bagi si tokoh utama dan komitmen mereka terhadap suatu
langkah); klimaks (titik minat tertinggi dalam pengertian konflik dan
titik cerita yang mengandung aksi terbanyak atau terpenting);
penyelesaian (bagian cerita di mana konflik dipecahkan); dan moralnya.
Selanjutnya, jenis cerita berkembang meliputi sage, mite, dan
legenda. Sage merupakan cerita kepahlawanan. Misalnya Joko Dolog. Mite
atau Mitos lebih mengarah pada cerita yang terkait dengan kepercayaan
masyarakat setempat tentang sesuatu. Contohnya Nyi Roro Kidul. Sedangkan
legenda mengandung pengertian sebagai sebuah cerita mengenai asal usul
terjadinya suatu tempat. Contoh Banyuwangi.
Karena pendek, cerita-cerita pendek dapat memuat pola ini atau
mungkin pula tidak. Sebagai contoh, cerita-cerita pendek modern hanya
sesekali mengandung eksposisi. Yang lebih umum adalah awal yang
mendadak, dengan cerita yang dimulai di tengah aksi. Seperti dalam
cerita-cerita yang lebih panjang, plot dari cerita pendek juga
mengandung klimaks, atau titik balik. Namun demikian, akhir dari banyak
cerita pendek biasanya mendadak dan terbuka dan dapat mengandung (atau
dapat pula tidak) pesan moral atau pelajaran praktis.
Seperti banyak bentuk seni manapun, ciri khas dari sebuah cerita pendek berbeda-beda menurut pengarangnya.
Perkembangan Cerpen di Nusantara
Cerita pendek Indonesia dalam satu dasawarsa ini, agaknya makin
mengukuhkan jati dirinya. Ia tak hanya muncul seperti gelombang yang
secara kuantitatif melampaui penerbitan novel dan drama, tetapi juga
seperti menempatkan dalam mainstream-nya sendiri. Maka, tidak dapat
lain, pembicaraan mengenai cerpen Indonesia, mesti dilekatkan pada
dirinya an sich dan bukan sebagai tempelan atau sekadar pelengkap. Kini
cerpen Indonesia menunjukkan jalan hidupnya yang lebih mandiri. Kajian
kritis terhadapnya dan pembicaraan cerpen dalam institusi (pendidikan)
sastra, oleh karena itu, mesti berada dalam kotak tersendiri.
Dalam konteks membangun kritik, masalah estetika merupakan salah satu
wilayah garapan yang terpusat pada teks. Wilayah lainnya menyangkut
pembaca, penerbit, dan pengarang. Dalam wilayah yang disebut terakhir
inilah, kita berhadapan dengan berbagai hal yang menyangkut diri
pengarang, termasuk di dalamnya persoalan tokoh dan ketokohan seseorang.
Jadi, ketika kita berbicara mengenai seorang Sutardji Calzoum Bachri
atau siapa pun, kita akan menelusuri kegelisahan kulturalnya, pencarian
dan pencapaian estetik dalam ragam sastra yang dimasukinya, tempatnya
yang pas dalam sejarah sastra, dan berbagai hal yang melingkarinya.
Gagasan dari manakah yang menyatakan pembicaraan kepengarangan
(ketokohan) seseorang dalam konteks membangun kritik (criticism)
dianggap tak relevan?
Berdasarkan pemahaman itu, perbincangan mengenai kecerpenan siapa pun
yang muncul belakangan ini justru menjadi sangat signifikan. Ia tak
sekadar relevan dengan kondisi objektif lahirnya sejumlah nama dengan
kegelisahan dan style yang masing-masing terasa begitu khas, tetapi juga
lantaran sampai sejauh ini, cerpen Indonesia mutakhir terkesan tak
punya hubungan dengan gerakan cerpen sebelumnya. Ia seperti tercerabut
dari masa lalunya. Bagaimana sesungguhnya peta perjalanan cerpen kita?
Belum lagi yang menyangkut gerakan estetiknya yang juga belum banyak
diangkat sebagai sebuah wacana perdebatan. Jadi, diskusi soal kecerpenan
itu, penting untuk memetakan perjalanan cerpen Indonesia sebagai bagian
tak terpisahkan dari kesusastraan dan wilayah kebudayaan Indonesia
secara keseluruhan.
Bagaimanapun juga, pembicaraan tokoh dan ketokohan, di dalamnya
termasuk karya-karya (berikut soal estetik) yang telah dihasilkannya.
Bagaimana mungkin kita membicarakan kepengarangan seorang yang tak
berkarya? Jika ada perbincangan kritis atas ketokohan seseorang,
konteksnya mengacu pada karya yang dihasilkannya, dan bukan pada peranan
sosial yang tak berhubungan dengan kepengarangannya. Sebaliknya,
pembicaraan ini menjadi tak berdasar jika secara gegabah, kita
memejamkan mata terhadap dinamika cerpen Indonesia mutakhir dan
menafikan semangat estetiknya. Sekadar berdiri mematung lantaran
terpukau oleh estetika masa lalu, tentu saja tidak sehat bagi sebuah
perkembangan. Dengan begitu, kisah sukses capaian estetik masa lalu,
hendaknya tidak dalam kerangka bernostalgia, tetapi menempatkannya dalam
konteks perjalanan sejarah.
Begitulah, untuk menatap perspektif dan berbagai kemungkinan capaian
estetik cerpen Indonesia kontemporer ini, tidak dapat lain, kita mesti
mencari alat ukur dan bahan pembandingnya. Dalam hubungan itu, maka
perbincangan cerpen Indonesia yang muncul dalam satu dasawarsa terakhir
ini tidak berarti serta-merta mengubur capaian estetik yang telah
ditorehkan sebelumnya. Dengan membenamkan itu –apalagi dengan
mematikannya seperti yang dilansir Hudan Hidayat—kita akan kehilangan
alat komparasi. Di samping itu, mengingat adanya beberapa kesesatan
dalam menempatkan kelahiran dan perjalanan cerpen Indonesia, maka
perbincangan ini menjadi sangat relevan, penting, dan mendesak.
“Dalam catatan sejarah kesusastraan Indonesia, cerpen merupakan genre
sastra yang jauh lebih muda usianya dibandingkan dengan puisi dan
novel. Tonggak terpenting sejarah penulisan cerpen di Indonesia dimulai
oleh cerita-cerita M. Kasim (bersama Suman Hs.) pada awal tahun 1910-an,
yang memperkenalkan bentuk tulisan berupa cerita-cerita yang pendek dan
lucu. Sejak saat itulah, di Indonesia mulai dikenal bentuk penulisan
cerita pendek (cerpen).” Demikia nsalah satu bagian dari keterangan yang
terdapat dalam buku Horison Sastra Indonesia 2 : Kitab Cerita Pendek
(2002: xiii—xiv).
Pandangan ini sejalan dengan gagasan yang dilontarkan Ajip Rosidi
(Tjerita Pendek Indonesia, 1959) yang juga menempatkan Muhammad Kasim
dan Soeman Hs. sebagai perintis cerpen Indonesia. Dengan bersumberkan
majalah Pandji Poestaka (1923) yang banyak memuat cerita-cerita lucu M.
Kasim –belakangan diterbitkan sebagai kumpulan cerita lucu, Teman Duduk,
1936—Ajip menelusuri jejaknya dari tradisi sastra lisan penglipur lara
dengan tokoh-tokoh si Kabayan, Lebai Malang, dan Jaka Dolog.
Itulah kesesatan serius dalam menempatkan kelahiran cerpen Indonesia.
Bagaimana mungkin karya-karya M. Kasim dalam Pandji Poestaka mendahului
cerita-cerita sejenis yang dimuat majalah Sri Poestaka (1918), dan
majalah atau surat kabaryang terbit jauh sebelum itu, seperti Biang-lala
(Batavia, 1868; dwi-mingguan), Sahabat Baik (Betawi, 1891; tidak
teratur), Pewarta Prijaji (Semarang, 1900; bulanan), Soenda Berita
(Cianjur, 1903; mingguan), Bintang Hindia (Bandung,1903; dwi-mingguan),
Medan Priyayi (Batavia, 1907; harian), Poetri Hindia (Betawi, 1908;
dwi-mingguan), Bok-Tok (Surabaya, 1913; mingguan). Majalah Sahabat Baik,
bahkan secara jelas mencantumkan sub judulnya seperti ini : “Hikayat,
tjerita, dongeng, sjair, pantoen, dan lain-lain daripada itu.”
Meskipun para penulis cerita ringan dan lucu itu, sebagiannya masih
menggunakan nama samaran, setidak-tidaknya cerpen Kanaiki “Trang Boelan
Terkenang”, Delima “Djiwa Manis Haloes Tipoenja”, dan Rineff (Rustam
Effendi) “Djoerang jang tiada dapat di djembatani” masih dapat kita
lacak nama aslinya melalui karya lain atau tanggapan terhadap
karya-karya itu. Pasalnya, dalam karya berikutnya atau dari tanggapan
pembaca, pengarang sering kali mencantumkan nama aslinya jika
iamenyinggung karya sebelumnya atau jika ia menjawab tanggapan pembaca
itu.
Kesesatan lain terjadi lantaran hampir semua pengamat sastra
Indonesia menafikan keberadaan surat kabar dan majalah. Padahal media
massa ini justru menjadi bagian penting dalam sistem reproduksi karya
sastra (cerpen, puisi, dancerita bersambung). Sejak awalnya (akhir abad
ke-19) sampai zaman Jepang, hampir tidak ada cerpen yang dipublikasikan
langsung dalam bentuk buku. Ia muncul lewat penerbitan media massa.
Dalam hal ini, cerpen tidak dapat dipisahkan dari majalah dan
suratkabar. Dari sanalah, cerpen Indonesia lahir dan berkembang, dan
memperoleh bentuk yang lebih jelas pada tahun 1930-an.
Pada zaman Jepang, cerpen menjadi makin populer ketika pemerintah
pendudukan Jepang banyak menyelenggarakan lomba penulisan cerpen. Dari
sejumlah cerpenis waktu itu, A.S. Hadisiswoyo, Muhammad Dimyati, Rosihan
Anwar pernah memenangi lomba penulisan cerpen. Beberapa nama lain yang
karyanya banyak muncul di media massa pada masa itu, antara lain, Sanusi
Pane, Armijn Pane, dan D. Djokokoesoemo.
Pada tahun 1950-an, cerpen Indonesia makin mapan keberadaannya.
Derasnya pengaruh asing, munculnya semangat kedaerahan, pudarnya
dominasi pengarang Sumatra, dan terbitnya berbagai media massa –termasuk
majalah Prosa dan Tjerita Pendek yang dikelola Ajip Rosidi– memberi
kesempatan munculnya cerpenis dari pelosok tanah air. Bersamaan dengan
itu, adanya ruang kebebasan untuk berekspresi, mendorong keberanian
melakukan berbagai eksperimen.
Secara struktural, inovasi yang dilakukan lebih banyak menyangkut
tema cerita dan tampak masih ada keterikatan pada konvensi. Dengan
begitu, dilihat dari sudut gagasan yang ditawarkan, gerakan estetiknya
lebih menekankan pada aspek tema. Riyono Pratikto (Api dan Si Rangka),
misalnya menampilkan kisah-kisah dunia gaib yang diangkat dari
cerita-cerita rakyat; Rendra (“Mungkin Parmo Kemasukan Setan”) menggugat
disiplin Katolik, Ramadhan K.H. (“Antara Kepercayaan”) mengecam
kepicikan penganut tradisional Islam dan Kristen; Pramoedya Ananta Toer
(Subuh) mengangkat kepedihan lahir-batin akibat perang, dan Navis
(“Robohnya Surau Kami”) meledek kepercayaan taklid. Sementara itu, Iwan
Simatupang (“Lebih Hitam dari Hitam”), Sitor Situmorang (“Salju di
Paris”), dan P. Sengojo (Sengkuni) mengisahkan kegelisahan dan kekacauan
pikiran yang bertumpang-tindih dengan tindakan.
Jika sebelumnya, agama dan kepercayaan ditempatkan begitu suci dan
terhormat, dalam sejumlah cerpen tahun 1950-an itu, agama tiba-tiba
menjadi alat permainan. Eksplorasi pada kekacauan pikiran dan
kegelisahan psikologis digunakan sebagai sarana menyampaikan eksperimen.
Akibatnya, pikiran dan perasaan si tokoh tampak liar, tak terduga, dan
aneh.
Memasuki masa Orde Baru dan terus menggelinding sampai tahun 1970-an,
kondisi itu seperti berulang kembali, bahkan jauh lebih luas
pengaruhnya. Putu Wijaya, Danarto, Kuntowijoyo – sekadar menyebut tiga
nama — menjadi sangat menonjol dalam deretan nama cerpenis waktu itu.
Teror Putu Wijaya, nafas sufistik Danarto – Kuntowijoyo seolah-olah
begitu memukau dalam kemasan dunia jungkir-balik. Realitas cerpen
seperti hendak dikembalikan lagi pada hakikatnya : cerita. Maka, logika
formal tidak berlaku di sana. Dibanding generasi sebelumnya, cerpenis
tahun 1970-an telah berhasil membangun estetikanya justru sejak awal
kemunculannya. Dengan estetikanya itu, mereka tetap bertahan sampai
kini. Jadi selain nafasnya panjang, juga estetika yang ditawarkannya
mengakar kokoh hingga dapat bertahan lebih dari tiga dasawarsa.Kita
akan tetap menemukan style dan greget (estetika) yang tak jauh berbeda
jika kita membandingkan cerpen Putu Wijaya (“Ini Sebuah Surat” 1970 atau
“Bom”, 1978) atau Danarto (“Godlob” atau “Armageddon”) dengan cerpen
terbarunya (Putu Wijaya, “Tidak”, 1999; Danarto, “Setangkai Melati di
Sayap Jibril”, 2001).
Kuatnya bangunan estetik cerpenis tahun 1970-an itu, memungkinkan
mereka dapat bernafas panjang dan tetap bertahan di tengah
bermunculannya generasi berikutnya. Kekuatan bangunan estetik ini –
harus diakui — justru tak begitu tampak pada cerpenis yang oleh Korrie
Layun Rampan dimasukkan ke dalam kotak Angkatan 2000. Sebelum itu, Seno
Gumira Ajidarma – lewat Penembak Misterius (1993) dan Saksi Mata (1994) —
memang berhasil menawarkan style jurnalistik dalam cerpen-cerpennya.
Pengaruhnya juga tampak pada sejumlah cerpenis berikutnya. Tetapi
beberapa cerpen terakhir Seno mulai terasa tidak sekuat karya awalnya.
Apakah estetika yang dibangun Seno dapat bertahan sampai entah kapan?
Pertanyaan serupa sesungguhnya dapat kita ajukan kepada cerpenis
mutakhir kita. Peluang ke arah sana tentu saja masih terbuka. Kurnia
J.R., lewat “Kereta Berangkat Senja” — awalnya sungguh menjanjikan.
Tetapi kini keberadaannya entah dimana. Yanusa Nugroho niscaya akan
dapat bertahan jika ia konsisten dengan dunia Jawa-nya. Lalu, bagaimana
pula dengan Joni Ariadinata, Taufik Ikram Jamil, Oka Rusmini, Abidah el
Khalieqy, Agus Noor, Hudan Hidayat, Gustaf Sakai, Herlino Soleman dan
deretan nama lain yang bertaburan?
Sebagai cerpenis, mereka akan terus bertahan. Tetapi, berdasarkan
karyayang telah mereka hasilkan, sangat mungkin banyak pula yang
berguguran. Jamil, Rusmini, dan Sakai jika konsisten mengeksplorasi
kultur etnik, peluang bertaha ntetap terbuka. Bahkan, sangat mungkin
akan menghasilkan monumen jikakonsistensi itu dipelihara terus. Masalah
konsistensi ini juga tentu saja berlaku bagi Khalieqy – lewat pendalaman
kisah-kisah sufi — jika ia ingin tetap bertahan. Sementara Noor dan
terutama, Hidayat kebertahanannya bergantung pada kemampuannya menjaga
kegelisahan psikis. Dan itu menuntut keduanya membongkar buku-buku
Sigmund Freud, Carl G. Jung, dan teori psikologi modern. Tanpa itu,
keduanya – barangkali — sekadar bertahan untuk tidak masuk degradasi.
Bahaya besar justru dihadapi Joni Ariadinata. Penemuan estetik
yangditawarkannya dalam “Kali Mati” (1999), ternyata kurang dapat
dipelihara dengan baik dalam beberapa cerpennya yang kemudian (“Kastil
Angin Menderu”, 2000; “Air Kaldera”, 2000). Padahal, di antara nama-nama
tadi, Joni telah sangat meyakinkan membuat inovasi; menoreh bangunan
estetik – yang mengingatkan kita pada salah satu klub sepakbola Italia,
Chievo Verona. Jika tak berhati-hati, meski tak mengalami degradasi,
paling banter ia bertahan di papan tengah.
Mesti diakui, sejumlah besar cerpenis Indonesia mutakhir, belum
teruji oleh waktu. Mencermati karya-karya yang dihasilkannya, memang
tampak seperti sebuah gerakan yang mengusung sebuah mainstream-nya
sendiri. Banyak hal yang sungguh menjanjikan. Tetapi, janji tetap janji.
Ia harus dibuktikan bukan janji kosong, melainkan sebuah monumen! Hanya
waktu jualah yang kelak menentukan.
Dalam esai “Mencari Tradisi Cerpen Indonesia” yang ditulis tahun
1975, Jakob Sumardjo menyatakan, “Tradisi penulisan cerpen mencapai masa
suburnya pada dekade 50-an yang merupakan zaman emas produksi cerita
pendek dalam sejarah sastra Indonesia. ”Salah satu faktor yang mendukung
“Periode Keemasan” itu antara lain munculnya majalah seperti Kisah,
Tjerita, serta Prosa, yang menjadi ruang pertumbuhan cerpen pada saat
itu.
Di samping, situasi sosiologis yang dianggap oleh Nugroho Notosusanto
tidak menguntungkan bagi para pengarang pada waktu itu untuk menulis
roman atau novel. Setelah pada periode sebelumnya roman menjadi “tolak
ukur” pertumbuhan sastra, pada dekade 50-an itu cerpen menjadi semacam
episentrum penjelajahan estetik.
Pada masa itulah muncul nama-nama seperti Riyono Pratikto, Subagyo
Sastrowardoyo, Sukanto S.A., N.H. Dini, Bokor Hutasuhut, Mahbud
Djunaedi, A.A. Navis, dan sederet nama lain yang, menurut sastrawan dan
kritikus sastra Ajip Rosidi dalam esai “Pertumbuhan dan Perkembangan
Cerpen Indonesia”, disebut sebagai sastrawan yang “pertama-tama dan
terutama dikenal sebagai penulis cerpen”.
Pada periode ini, cerpen Indonesia menunjukkan kematangan bentuk,
komposisi, struktur, dan plot yang terkuasai dengan baik. Hal itu
membuat eksplorasi tematik yang banyak dilakukan para penulis menemukan
kematangan dalam bentuk penceritaan. Tak berlebihan apabila pada periode
ini cerpen “menduduki tempat utama dalam kesusastraan Indonesia”, tulis
Ajip Rosidi.
Apabila periode itu diletakkan dalam sejarah pertumbuhan sastra kita,
terutama menyangkut cerpen, bolehlah periode itu disebut sebagai
“Periode Keemasan Pertama” pertumbuhan cerpen. Sementara “Periode
Keemasan Kedua” terjadi pada sekitar dekade 80-an.
Ada situasi yang relatif sama di antara kedua periode itu, yaitu ; (1) Cerpen menjadi pilihan utama pengucapan literer, (2) Tingkat produktivitas cerpen yang melimpah, (3) Pertumbuhannya yang didukung oleh media di luar buku; pada yang pertama ialah majalah dan pada yang kedua ialah koran, (4) Pencapaian estetis cerpen yang makin menempatkan cerpen sebagai genre sastra yang kian diperhitungkan.
Keemasan kedua
Barulah pada 1936 karya sastra cerpen mewarnai bangsa kita,
Indonesia. Ini dimotori oleh Balai Pustaka yang membukukan dan
menerbitkan cerpen karya M. Kasim yang berjudul “Teman Duduk”, disusul dengan Suman Hs. dengan cerpen “Kawan Bergelut” yang terbit dua tahun kemudian. Hingga hari ini cerpen di Indonesia sudahlah marak.
Kita bisa melihat pencapaian-pencapaian estetis cerpen pada “Periode
Keemasan Kedua” itu melalui buku kumpulan cerpen “Riwayat Negeri yang
Haru”. Antologi ini disunting oleh Radhar Panca Dahana, memuat 55 cerpen
dari 44 penulis.
Sudah barang tentu buku ini tidak mungkin mampu merepresentasikan
pertumbuhan cerpen pada dekade 80-an secara keseluruhan. Penyebaran
cerpen yang meluas di koran membuat upaya untuk “merekonstruksi”
pencapaian estetis pada periode ini menjadi muskil. Namun, buku yang
memuat cerpen-cerpen yang pernah terbit di Kompas sepanjang kurun
1980-1990-an ini setidaknya bisa menjadi etalase untuk melihat
perkembangan dan pencapaian estetis cerpen-cerpen pada periode itu.
Apalagi, seperti pernah dinyatakan oleh Nirwan Dewanto, pada periode
itu Kompas memang memiliki kedudukan tersendiri, yaitu menjadi media
yang cukup signifikan bila kita hendak memperbincangkan pertumbuhan
cerpen ketika media yang mengkhususkan diri pada sastra mulai meredup
pamornya.
Buku ini bisa diletakkan sebagai kelanjutan tradisi penerbitan cerpen
yang dilakukan Kompas, setelah menerbitkan “Dua Kelamin bagi Midin”,
dieditori oleh Seno Gumira Ajidarma, yang menghimpun cerpen-cerpen yang
terbit di Kompas dalam rentang tahun 1970-1980. Kitab cerpen ini
memperlihatkan bagaimana pertumbuhan cerpen Indonesia mulai menggeliat
setelah pada tahun 60-70-an dunia sastra kita menempatkan bentuk puisi
sebagai episentrum atau pusat perhatian pencapaian-pencapaian estetis.
Inilah suatu masa ketika cerpen terasa inferior dibandingkan puisi
dengan pengecualian pada apa yang dilakukan oleh Danarto dengan
cerpen-cerpennya semacam Godlob.
Pada dekade ini, peran majalah sastra Horison yang memberikan
keluasan bagi eksperimentasi memang memunculkan beberapa cerpen
’eksperimental’ yang mengeksplorasi gaya dan tipografi penceritaan,
tetapi tak terlalu kuat pengaruhnya pada masa-masa kemudian. Pertumbuhan
cerpen kemudian seperti memilih jalan pertumbuhannya sendiri dengan
’memilih’ koran sebagai media publikasinya.
Hal itu juga tak bisa dilepaskan dari makin lunturnya batas-batas
’sastra serius’ dan ’sastra pop’ — sebagaimana bisa dilihat melalui
gerakan puisi mbeling dan mulai maraknya penerbitan novel pop—yang
kemudian ikut meruntuhkan pusat-pusat penandaan sastra.
Koran sebagai media yang bersifat umum, pada akhirnya ikut membentuk
karakter cerpen-cerpen yang terbit pada masa itu, yaitu satu
kecenderungan yang menempatkan ’realisme’ sebagai gaya utama
penceritaan. Satu gaya yang sesungguhnya juga masih terasa kuat hingga
dekade 1980-an, bahkan 1990-an.
Namun, di tahun 1980-an itulah mulai terasa adanya upaya mencari gaya
penceritaan yang lebih segar dalam cerpen kita. Kemelimpahan jumlah
mulai diimbangi semangat untuk mematangkan bentuk-bentuk penceritaan.
Karena itu, kuantitas pun mulai paralel dengan kualitas, setidaknya bila
dibandingkan dengan cerpen-cerpen dekade sebelumnya yang masih dianggap
kurang berhasil dalam bentuk penceritaan.
Itulah sebabnya dekade 80-an boleh dianggap merupakan titik balik
pertumbuhan cerpen, setelah sebelumnya karya sastra kelas dua. Dan
itulah yang bisa kita lihat melalui buku ini. Kita bisa merasakan sebuah
gairah kreatif yang memperlihatkan makin matangnya cara bercerita para
pengarang yang produktif di periode ini. Dan, yang pada periode
selanjutnya menjadi para penulis yang banyak memberi pengaruh
pertumbuhan cerpen kita, seperti Seno Gumira Ajidarma, Putu Wijaya, dan
juga Radhar Panca Dahana.
Surealisme dan Absurdisme
Pada “Periode Keemasan Kedua” inilah kita mulai merasakan
adanya kecenderungan yang kuat untuk memakai gaya surealisme dan
absurdisme sebagai bentuk penceritaan untuk mencapai efek dramatik dan
estetis tertentu dalam cerita.
Boleh jadi, itu menjadi semacam cara untuk membangun sistem tanda
dalam cerita hingga menjadi semacam simbolisme atas peristiwa sosial
yang dirujuknya cerpen Karni Yudhistira A.N.M Massardi, Kepala Bakdi
Soemanto, Absurd Joko Quartantyo dalam buku ini menjadi referen yang pas
untuk melihat kecenderungan itu.
Yang menarik dari buku ini ialah keberhasilan editor untuk melihat
banyak gejala yang cukup beragam, baik menyangkut tema maupun gaya
bercerita, yang memang menjadi keunikan tersendiri dalam pertumbuhan
cerpen dekade 1980-an.
Setidaknya ini bisa dilihat melalui cerpen-cerpen yang ditulis Seno
Gumira Ajidarma, di mana yang serius dan yang pop seperti diaduk-aduk
melalui gaya penceritaan yang ngelantur dan nyaris seperti penuh igauan.
Cerpen Seno menjadi seperti sungai cahaya berkilauan yang mengalir
dalam kesunyian.
Kita bisa menemukan pula gaya yang dikembangkan Danarto, yang sejak
mula selalu mencampurkan antara yang riil dan nonriil, mulai membawa
kecenderungan itu dengan mengolah cerita yang berlatar belakang
metropolitan. Sedangkan Putu Wijaya banyak memakai ’permainan logika’
untuk mencapai suspens cerita. Di luar itu, kecenderungan realisme model
Haris Efendi Tahar dan Jujur Prananto sampai warna lokal Darwin Khudori
dan Ahmad Thohari bisa terangkum dalam buku ini.
Sebagaimana dicatat editor, selama kurun waktu 1981-1990 ada 440
cerpen yang terbit. Di samping memilih cerpen- cerpen yang dianggap
terbaik yang terbit selama kurun waktu itu, editor juga berhasil
memberikan kepada kita keragaman gaya yang dikembangkan para penulis
yang produktif menulis pada periode itu. Hingga kita bisa menjadikan
buku ini sebagai referen yang cukup menolong apabila kita ingin menengok
kecenderungan-kecenderungan yang ada selama “periode keemasan kedua”
cerpen kita.
Bagi penikmat sastra,
cerpen atau cerita pendek bukanlah hal yang asing. Dengan konsep yang
simpel atau bisa habis dibaca sekali duduk, cerpen menjadi pilihan
tersendiri untuk dibaca dibanding karya sastra lainnya semisal novel
yang jumlah halamnya tebal.
Cerpen di Indonesia kerap meriah menghiasi media massa berupa Koran, tabloid, dan juga majalah.
Khusus harian, cerpen akan sangat mudah ditemukan pada hari minggu.
Cerpen semacam bacaan yang ditunggu-tunggu untuk menghibur atau menambah
kedalaman rasa lewat paparan si cerpenis.
Namun di balik semua itu, ternyata perjalanan cerpen Indonesia cukuplah panjang dan dan tak jarang dipenuhi dengan kontroversi.
Hakikat Cerpen
Seperti kita ketahui, selain puisi, novel, dan juga kisah drama, cerpen
pun termasuk salah satu karya yang lahir dari ibu bernama sastra. Maka
disebutlah cerpen sebagai karya sastra. Mengingat bahwa objek kajian
sastra adalah manusia, maka cerpen pun tumbuh dan berkembang siring
sejalan dengan perkembangan budaya masyarakat itu sendiri. Maka tidak
haran jika problematika kondisi sosial, budaya, politik, keamanan, dan ekonomi
masyarakat sekitar yang terjadi saat itu, akan mempengaruhi sebuah
karya sastra berupa cerpen, yang kemudian disebut dengan unsur
ekstrinsik sastra. Sementara soal isi cerpen baik gagasan dan gaya
menulis itu adalah wilayah unsur intrinsik.
Sejak Sumpah Pemuda
Sejatinya, dahulu hanya dikenal sastra nusantara
atau sastra kedaerahan. Hal ini ditandai dengan banyak bermunculannya
tradisi sastra lisan berupa mantera-mantera, ragam pantun, dongeng, dan
sejenisnya, yang sejatinya adalah cikal bakal sebuah cerpen terlahir.
Namun setelah dideklrasikannya gerakan Sumpah Pemuda pada 28 Oktober
1928 yang menjadi pijakan diresmikannya bahasa Indonesia,
sastra Indonesia pun ikut lahir. Namun hanya sebatas roman atau
novel-novel, sementara karya sastra berupa cerpen Indonesia pada 1930an
baru bermunculan.
Kalah lama dibanding cerpen daerah, tepatnya sastra sunda, yang pada 1928 sudah melahirkan buku kumpulan carpon (cerpen) karya G.S. berjudul “Dogdog Pangrewong”.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar