Meubalah Panton
“Hoe ka, Tuan Bisan?”
“Nyoe pat lon, Tuan Bisan!”
“Ka abéh, Tuan Bisan?”
“Seulapéh, Tuan Bisan!”
BEGITULAH suara dua lelaki berusia sekitar setengah abad, saling berbalas tanya. Jika yang satu bertanya, satu lainnya memberikan jawaban. Selepas itu, keduanya saling berbalas pantun. Manakala satu di antara mereka melepaskan pantun bertanya, satu lainnya memberikan jawaban dengan pantun pula.
Tradisi berbalas pantun ini masih ‘hidup’ dan berkembang di sejumlah kampung dalam wilayah Kluet, Aceh Selatan. Kebiasaan berbalas pantun itu berlangsung saat pesta perkawinan. Biasanya, dilakukan ketika penyambutan rombongan lintô barô di rumah dara barô. Orang-orang di Aceh secara umum menyebutnya dengan meubalah pantôn atau meutaléh pantôn. Dalam bahasa Kluet, tradisi yang sama diberi nama pembacaan syair meubobo dan meukato.
Meutaléh pantôn hidup sebagai sebuah tradisi masyarakat Aceh umumnya. Namun, dewasa ini hanya beberapa daerah yang masih melestarikan resam berbalas pantun ini. Sejumlah daerah lebih memilih keyboard sebagai acara dalam resepsi pernikahan. Patut disyukuri meutaléh pantôn masih lestari di Kluet sebagai salah satu daerah Aceh. Artinya, kendati jauh dari ibukota provinsi dan jarang tersentuh media sehingga jalan utama pusat kecamatan pun masih rusak parah, Kluet tetap menjaga tradisi sastra lisan Aceh.
Seperti dijelaskan di atas, jika yang menikah adalah suku Kluet, kegiatan meutaléh pantôn kerap disebut dengan pembacaan syair meubobo dan syair meukato. Bentuknya tidak jauh beda dengan meutaléh pantôn. Orang yang diminta berbalas pantun biasanya adalah orang tua, yang memiliki talenta khusus sehingga dapat dengan sekejap mengungkapkan pantun secara berbalas. Bagi orang Kluet, untuk hal seperti ini kerap dikhususkan kepada pawang.
Dalam proses meutaléh pantôn, mulanya pihak dara barô sudah mempersiapkan penyambutan kedatangan rombongan lintô barô. Di serambi rumah berdiri ‘tukang pantun’ dari pihak dara barô. Tukang pantun itu diapit oleh tetua adat gampong atau orang yang diminta mewakilkan. Biasanya, di antara pengapit tukang pantun adalah geuchik atau orang yang dituakan di kampungnya.
Dalam tradisi di Kluet Utara dan beberapa daerah sekitarnya, lintô mendatangi rumah dara barô selepas Isya. Ada semacam reusam di sana bahwa linto belum boleh datang menemui dara barô sebelum datangnya malam. Setelah malam pertama pun, lintô harus pulang ke rumahnya kembali di waktu Subuh. Tak boleh sampai diketahui oleh orang kampung dara barô bahwa lintô sudah menginap di rumah dara barô malam itu.
“Nyoe pat lon, Tuan Bisan!”
“Ka abéh, Tuan Bisan?”
“Seulapéh, Tuan Bisan!”
BEGITULAH suara dua lelaki berusia sekitar setengah abad, saling berbalas tanya. Jika yang satu bertanya, satu lainnya memberikan jawaban. Selepas itu, keduanya saling berbalas pantun. Manakala satu di antara mereka melepaskan pantun bertanya, satu lainnya memberikan jawaban dengan pantun pula.
Tradisi berbalas pantun ini masih ‘hidup’ dan berkembang di sejumlah kampung dalam wilayah Kluet, Aceh Selatan. Kebiasaan berbalas pantun itu berlangsung saat pesta perkawinan. Biasanya, dilakukan ketika penyambutan rombongan lintô barô di rumah dara barô. Orang-orang di Aceh secara umum menyebutnya dengan meubalah pantôn atau meutaléh pantôn. Dalam bahasa Kluet, tradisi yang sama diberi nama pembacaan syair meubobo dan meukato.
Meutaléh pantôn hidup sebagai sebuah tradisi masyarakat Aceh umumnya. Namun, dewasa ini hanya beberapa daerah yang masih melestarikan resam berbalas pantun ini. Sejumlah daerah lebih memilih keyboard sebagai acara dalam resepsi pernikahan. Patut disyukuri meutaléh pantôn masih lestari di Kluet sebagai salah satu daerah Aceh. Artinya, kendati jauh dari ibukota provinsi dan jarang tersentuh media sehingga jalan utama pusat kecamatan pun masih rusak parah, Kluet tetap menjaga tradisi sastra lisan Aceh.
Seperti dijelaskan di atas, jika yang menikah adalah suku Kluet, kegiatan meutaléh pantôn kerap disebut dengan pembacaan syair meubobo dan syair meukato. Bentuknya tidak jauh beda dengan meutaléh pantôn. Orang yang diminta berbalas pantun biasanya adalah orang tua, yang memiliki talenta khusus sehingga dapat dengan sekejap mengungkapkan pantun secara berbalas. Bagi orang Kluet, untuk hal seperti ini kerap dikhususkan kepada pawang.
Dalam proses meutaléh pantôn, mulanya pihak dara barô sudah mempersiapkan penyambutan kedatangan rombongan lintô barô. Di serambi rumah berdiri ‘tukang pantun’ dari pihak dara barô. Tukang pantun itu diapit oleh tetua adat gampong atau orang yang diminta mewakilkan. Biasanya, di antara pengapit tukang pantun adalah geuchik atau orang yang dituakan di kampungnya.
Dalam tradisi di Kluet Utara dan beberapa daerah sekitarnya, lintô mendatangi rumah dara barô selepas Isya. Ada semacam reusam di sana bahwa linto belum boleh datang menemui dara barô sebelum datangnya malam. Setelah malam pertama pun, lintô harus pulang ke rumahnya kembali di waktu Subuh. Tak boleh sampai diketahui oleh orang kampung dara barô bahwa lintô sudah menginap di rumah dara barô malam itu.
Saat kedatangan rombongan lintô di rumah dara barô, mereka
disambut di serambi rumah. Usai saling jawab salam antara rombongan
pengantar lintô dengan tim penyambut dara barô, aksi berbalas pantun
dimulai. Pantun pertama dilontarkan dari awak dara barô yang menyambut
rombongan lintô. Pantun pertama berisi tegur sapa semisal dari mana atau
mengapa rombongan datang terlambat-jika mereka datang terlambat. Dengan
pantun pula, utusan dari rombongan lintô memberikan jawaban dan
alasan-alasan.
Biasanya pula, pantun yang disampaikan hingga beberapa pantun, baru dibalas oleh pihak “lawan” hingga beberapa pantun pula. Setiap terjadi pertukaran pembacaan pantun, tukang pantun akan menyapa ‘lawan’ dengan pertanyaan “Hoe ka, Tuan Bisan?” Pihak lawan menyahut, “Nyoe pat lon, Tuan Bisan!”. Lalu dilanjutkan dengan pertanyaan “Ka abéh, Tuan Bisan?” Pihak pertama menjawab “Seulapéh, Tuan Bisan!” Artinya, akan ada tanya jawab kembali, berbalas pantun lagi.
Tak seorang pun dari rombongan lintô diperkenankan masuk rumah dara barô sebelum usai aksi meutaléh pantôn selesai. Selama acara berbalas pantun, dara barô hanya duduk sendiri di pelaminan. Ia tidak terlihat oleh rombongan lintô. Dara barô ditutupi oleh dua perempuan berumur. Perempuan tersebut dinamai sebagai penganjô.
Pada bagian tengah atau setelah babak pembuka meutaléh pantôn, terjadi saling tukar ranup ‘sirih’. Sirih pertama diberikan dari pihak dara barô. Sirih itu diterima langsung oleh geuchik yang turut serta dalam rombongan lintô. Penyerahan sirih dan pinang di dalam cerana itu juga diiringi dengan pantun.
Aksi berbalas pantun terus berlanjut. Babak berikutnya dari aksi balas pantun adalah tujuan kedatangan pihak lintô barô. Meski semua orang sudah mengetahui tujuan kedatangan rombongan tersebut, pihak lintô barô tetap juga mengemukakan tujuan kedatangan mereka melalui pantun. Tak urung, dalam aksi berbalas pantun ini terjadi saling ejek dan kelakar antara tukang pantun. Tentu saja rombongan lintô maupun tamu yang ada di rumah bahagia tersebut tergelak terpingkal-pingkal mendengar aksi dari si tukang pantun yang saling olok dan ulok.
Setelah beberapa lama aksi berbalas pantun, boleh jadi hingga berjam-jam, tukang pantun dari pihak dara barô barulah mengucapkan “silakan masuk” untuk linto barô. Ucapan persilakan masuk pun dalam ranah berpantun juga.
Selepas itu, lintô menuju pelaminan menjumpai dara barô. Sebelum sampai di pelaminan, ada proses mencuci kaki lintô oleh dara barô. Ini juga bagian dari tradisi Aceh yang salah satunya menunjukkan bakti istri kepada suami. Tradisi intat lintô di Kluet kemudian ditutup dengan sabung ayam pura-pura. Tangan linto dan dara barô masing-masing menggenggam kue kecil berbentuk ayam jago. Tangan kedua pengantin tersebut dimainkan oleh penganjô sehingga terkesan seperti ayam yang sedang berlaga.
Biasanya pula, pantun yang disampaikan hingga beberapa pantun, baru dibalas oleh pihak “lawan” hingga beberapa pantun pula. Setiap terjadi pertukaran pembacaan pantun, tukang pantun akan menyapa ‘lawan’ dengan pertanyaan “Hoe ka, Tuan Bisan?” Pihak lawan menyahut, “Nyoe pat lon, Tuan Bisan!”. Lalu dilanjutkan dengan pertanyaan “Ka abéh, Tuan Bisan?” Pihak pertama menjawab “Seulapéh, Tuan Bisan!” Artinya, akan ada tanya jawab kembali, berbalas pantun lagi.
Tak seorang pun dari rombongan lintô diperkenankan masuk rumah dara barô sebelum usai aksi meutaléh pantôn selesai. Selama acara berbalas pantun, dara barô hanya duduk sendiri di pelaminan. Ia tidak terlihat oleh rombongan lintô. Dara barô ditutupi oleh dua perempuan berumur. Perempuan tersebut dinamai sebagai penganjô.
Pada bagian tengah atau setelah babak pembuka meutaléh pantôn, terjadi saling tukar ranup ‘sirih’. Sirih pertama diberikan dari pihak dara barô. Sirih itu diterima langsung oleh geuchik yang turut serta dalam rombongan lintô. Penyerahan sirih dan pinang di dalam cerana itu juga diiringi dengan pantun.
Aksi berbalas pantun terus berlanjut. Babak berikutnya dari aksi balas pantun adalah tujuan kedatangan pihak lintô barô. Meski semua orang sudah mengetahui tujuan kedatangan rombongan tersebut, pihak lintô barô tetap juga mengemukakan tujuan kedatangan mereka melalui pantun. Tak urung, dalam aksi berbalas pantun ini terjadi saling ejek dan kelakar antara tukang pantun. Tentu saja rombongan lintô maupun tamu yang ada di rumah bahagia tersebut tergelak terpingkal-pingkal mendengar aksi dari si tukang pantun yang saling olok dan ulok.
Setelah beberapa lama aksi berbalas pantun, boleh jadi hingga berjam-jam, tukang pantun dari pihak dara barô barulah mengucapkan “silakan masuk” untuk linto barô. Ucapan persilakan masuk pun dalam ranah berpantun juga.
Selepas itu, lintô menuju pelaminan menjumpai dara barô. Sebelum sampai di pelaminan, ada proses mencuci kaki lintô oleh dara barô. Ini juga bagian dari tradisi Aceh yang salah satunya menunjukkan bakti istri kepada suami. Tradisi intat lintô di Kluet kemudian ditutup dengan sabung ayam pura-pura. Tangan linto dan dara barô masing-masing menggenggam kue kecil berbentuk ayam jago. Tangan kedua pengantin tersebut dimainkan oleh penganjô sehingga terkesan seperti ayam yang sedang berlaga.
0 komentar:
Posting Komentar