Translate

latihan drama naskah

Written By iqbal_editing on Rabu, 26 Oktober 2016 | 20.18

Setelah kita mengenal berbagai macam dasar yang diperlukan untuk bermain drama, akhirnya sampailah kita pada naskah. Naskah disini diartikan sebagai bentuk tertulis dari suatu drama. Sebuah naskah walaupun telah dimainkan berkali-kali, dalam bentuk yang berbeda-beda, naskah tersebut tidak akan berubah mutunya. Sebaliknya sebuah atau beberapa drama yang dipentaskan berdasarkan naskah yang sama dapat berbeda mutunya. Hal ini tergantung pada penggarapan dan situasi, kondisi, serta tempat dimana dimainkan naskah tersebut.
Sebuah naskah yang baik harus memiliki tema, pemain / lakon dan plot atau rangka cerita.
1. Tema
Tema adalah rumusan inti sari cerita yang dipergunakan dalam menentukan arah dan tujuan cerita. Dari tema inilah kemudian ditentukan lakon-lakonnya.
2. Lakon
Dalam cerita drama lakon merupakan unsur yang paling aktif yang menjadi penggerak cerita.oleh karena itu seorang lakon haruslah memiliki karakter, agar dapat berfungsi sebagai penggerak cerita yang baik. Disamping itu dalam naskah akan ditentukan dimensi-dimensi sang lakon. Biasanya ada 3 dimensi yang ditentukan yaitu :
3. Dimensi fisiologi ; ciri-ciri badani
usia, jenis kelamin, keadaan tubuh, cirri-ciri muka,dll.
Dimensi sosiologi ; latar belakang kemasyarakatan status sosial, pendidikan, pekerjaan, peranan dalam masyarakat, kehidupan pribadi, pandangan hidup, agama, hobby, dll.
Dimensi psikologis ; latar belakang kejiwaan temperamen, mentalitas, sifat, sikap dan kelakuan, tingkat kecerdasan, keahlian dalam bidang tertentu, kecakapan, dll.
Apabila kita mengabaikan salah satu saja dari ketiga dimensi diatas, maka lakon yang akan kita perankan akan menjadi tokoh yang kaku, timpang, bahkan cenderung menjadi tokoh yang mati.
1. Plot
Plot adalah alur atau kerangka cerita. Plot adalah suatu keseluruhan peristiwa didalam naskah. Secara garis besar, plot drama dapat dibagi menjadi beberapa bagian yaitu :
Pemaparan (eksposisi)
Bagian pertama dari suatu pementasan drama adalah pemaparan atau eksposisi. Pada bagian ini diceritakan mengenai tempat, waktu dan segala situasi dari para pelakunya. Kepada penonton disajikan sketsa cerita sehingga penonton dapat meraba dari mana cerita ini dimulai. Jadi eksposisi berfungsi sebagai pengantar cerita.
Dialog
Dialog berisikan kata-kata. Dalam drama para lakon harus berbicara dan apa yang diutarakan mesti sesuai dengan perannya, dengan tingkat kecerdasannya, pendidikannya, dsb. Dialog berfungsi untuk mengemukakan persoalan, menjelaskan perihal tokoh, menggerakkan plot maju, dan membukakan fakta.
Komplikasi awal atau konflik awal
Kalau pada bagian pertama tadi situasi cerita masih dalam keadaan seimbang maka pada bagian ini mulai timbul suatu perselisihan atau komplikasi. Konflik merupakan kekuatan penggerak drama.
Klimaks dan krisis
Klimaks dibangun melewati krisis demi krisis. Krisis adalah puncak plot dalam adegan. Konflik adalah satu komplikasi yang bergerak dalam suatu klimaks.
Penyelesaian (denouement)
Drama terdiri dari sekian adegan, dimana didalamnya terdapat krisis-krisis yang memunculkan beberapa klimaks. Satu klimaks terbesar dibagian akhir selanjutnya diikuti adegan penyelesaian.
Sumber: UKM Teater Mimpi Institut Sains Terapan dan Teknologi Surabaya (iSTTS) Dilema Pembelajaran Apresiasi Seni di Sekolah
Membincangkan soal apresiasi seni di sekolah, di kalangan guru-guru, selalu menarik. Artinya, dari situ, sejumlah dilema bisa dicermati. Ambillah salah satu contoh kasus, apresiasi seni drama, misalnya, yang masih dianaktirikan guru (baca: guru bahasa dan sastra Indonesia). Seolah-olah drama itu hanya milik anak teater semata. Mengapa? Ada apa dengan pembelajaran apresiasi drama di sekolah?
DALAM pertemuan guru-guru misalnya, jarang dibicarakan masalah pembelajaran apresiasi drama, apakah pembelajaran apresiasi drama berhasil atau tidak. Jika pembicaraan kebetulan masalah sastra, diskusinya masih berkutat di seputar apresiasi puisi, dongeng, cerpen, dan novel. Itu pun kalau yang hadir kebetulan guru yang menaruh minat dalam pembelajaran sastra.
Tampaknya guru di sekolah menengah lebih banyak berkutat di bidang kebahasaan daripada sastra. Lebih menyedihkan lagi, akibat belum matangnya konsep Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBP) di Depdiknas (Pusat), guru-guru lebih banyak berdebat tentang format administrasi perpisahan mengajar yang tidak begitu banyak memberi substansi dalam proses pembelajaran bahasa maupun sastra. Informasi dari pusat pun terus berubah berkaitan dengan KBK itu. Mungkin perubahan itulah yang akan “kekal” (?).
Khusus untuk mata pelajaran sastra di era-KBK pada Jurusan Ilmu Bahasa (IPB), hingga kini belum disediakan/diturunkan Standar Kompetensinya. Padahal menurut Struktur Kurikulum Program Studi Bahasa, dialokasikan waktu untuk mata pelajaran Sastra Indonesia sebanyak empat jam pelajaran setiap semester. Karena Standar Kompetensinya belum ada, pastilah pada SMA yang membuka Program Studi Bahasa, gurunya mengalami kesulitan. Di samping itu, di kalangan SDM guru-sastra yang belum memadai dapat dipastikan pembelajaran sastra akan mengalami hambatan. Guru sastra sekurang-kurangnya mau menjadikan dirinya penikmat karya sastra yang aktif — idealnya kreatif. Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) sastra pun belum ada.
Mata pelajaran sastra masih menjadi momok beberapa guru bahasa dan sastra Indonesia. Bahkan, ada guru menolak untuk ditugaskan memegang mata pelajaran sastra. Mengapa sampai menolak? Dapat dipastikan guru yang bersangkutan kurang berminat atau malas membaca buku sastra. Kalau hanya kurang menguasai materi — sepanjang ada niat, masih bisa diatasi dengan menekuni atau mempelajari materi lewat membaca buku-buku sastra dan aktif mengikuti diskusi-diskusi sastra.
Terlepas dari beberapa hambatan terutama dari sisi kurikulum, sebagai guru mata pelajaran sastra, penulis tetap berupaya sebatas kemampuan yang ada. Bagi penulis, berdasarkan pengalaman, mata pelajaran sastra tetap menekankan kepada apresiasi tanpa mengabaikan sisi keilmuannya. Khusus pada apresiasi drama, penulis mengalami hambatan yang tidak ringan, mungkin pula halini dialami guru sastra yang lain. Adanya buku yang berisi naskah drama belum menjadi jaminan anak akan dapat mengapresiasi drama, beda dengan pembelajaran apresiasi karya sastra yang lain.
Bukan Jaminan
Seperti diketahui, materi apresiasi drama adalah bagian dari materi pembelajaran sastra pada kurikulum yang mana pun — termasuk KBK. Kalau guru mata pelajaran bahasa dan sastra bukan seorang pegiat drama atau teater, termasuk penulis, hampir dapat dipastikan pembelajaran apresiasi drama akan menemukan banyak kesulitan. Apakah guru sendiri kurang menguasai bagaimana muridnya? Tanpa usaha sungguh-sungguh, pembelajaran apresiasi drama pastilah tidak akan berhasil. Tersedianya naskah drama, bukan jaminan pula akan berhasil.
Pembelajaran apresiasi drama bukan bermaksud menjadikan anak menjadi seorang dramawan seperti WS Rendra atau Putu Wijaya. Kalau nantinya ada yang menjadi seorang dramawan, itu merupakan nilai tambah. Pada pembelajaran apresiasi drama di sekolah, anak diharapkan dapat menikmati karya drama itu. Walau sebatas seorang penikmat drama, ternyata juga tidak mudah dicapai seperti halnya menikmati karya sastra yang lain, misalnya cerpen, novel, atau puisi. Terhadap karya sastra tersebut, dengan membaca bersungguh-sungguh dan memperoleh kenikmatan batin kemudian mendiskusikannya untuk menemukan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya, boleh dibilang cukup untuk penikmat pemula — para murid.
Selaku guru, penulis merasa gagal mengajak anak mengapresiasi karya atau naskah drama karena dirasakan sebagai beban. Akhirnya, sebagai seorang guru, penulis harus mencari upaya — semacam terobosan — agar kegagalan itu tidak terus berulang. Akhirnya, seorang anak yang kebetulan pegiat drama atau teater dan punya prestasi, penulis manfaatkan untuk membawakan drama monolog. Dalam kondisi ini, guru telah memanfaatkan manusia sebagai media pembelajaran. Menurut Prof. Dr. Azhar Arsyad, MA (2003), model ini disebut “Media Berbasis Manusia”.
Apa yang terjadi dengan media berbasis manusia itu? Ternyata siswa dalam satu kelas dan penulis selaku guru, juga kepala sekolah, merasakan kepuasan secara batin menyaksikan model pembelajaran dengan menggunakan manusia sebagai media. Anak-anak lain di luar kelas pun berkerumun menonton suguhan drama walau tanpa latar dan kostum itu. Anak-anak lain (di luar kelas) juga tertarik model pembelajaran seperti itu.
Anak yang menonton dari luar kelas seolah ingin juga memperoleh pembelajaran seperti itu. Hangatnya diskusi sehabis adegan drama itu tentulah sebagai indikator bahwa anak telah dapat menikmati nilai-nilai yang terkandung dalam drama monolog itu walau dalam kemampuan yang terbatas. Media berbasis manusia ini telah dapat mengubah sikap para siswa untuk senang menikmati karya sastra berupa drama. Jadi, drama bukanlah milik orang-orang teater saja.
Paling Ampuh
Media pembelajaran sastra yang paling ampuh adalah manusia. Berbeda dengan yang lain, apalagi pembelajaran yang berorientasi keilmuan, bisa dengan lembar peraga. Karena pembelajaran sastra berbasis kepada pembentukan karakter manusia yang pada akhirnya bermuara kepada perilaku, maka sepantasnyalah guru sastra pada saat tertentu mengundang sastrawan, dramawan, tukang cerita, atau dalang ke dalam kelas. Siswa perlu diajak berkomunikasi dengan sumber “asli”-nya. Sekarang guru bukan serba tahu lagi.
Sangatlah sempit wawasannya kalau guru sastra hanya mempersiapkan siswa untuk dapat menjawab tes ujian akhir semata, tetapi kurang peka terhadap persoalan kemanusiaan, termasuk sisi pembentukan karakter. Apa artinya pembelajaran sastra yang nilai ujiannya tinggi namun belum dapat membentuk karakter manusia yang berbudaya? Bukankah “orang berbudaya membaca sastra” — sebagaimana dikatakan orang-orang bijak?
Sesungguhnya, pembelajaran sastra seirama dengan pemahaman materi nilai-nilai trikaya parisuda dalam pendidikan agama (Hindu) — membentuk pola pikir positif, menggunakan bahasa yang baik (indah), dan bagaimana berperilaku dalam keseharian

0 komentar:

Posting Komentar

 
berita unik