Setelah kita mengenal berbagai macam dasar yang diperlukan untuk
bermain drama, akhirnya sampailah kita pada naskah. Naskah disini
diartikan sebagai bentuk tertulis dari suatu drama. Sebuah naskah
walaupun telah dimainkan berkali-kali, dalam bentuk yang berbeda-beda,
naskah tersebut tidak akan berubah mutunya. Sebaliknya sebuah atau
beberapa drama yang dipentaskan berdasarkan naskah yang sama dapat
berbeda mutunya. Hal ini tergantung pada penggarapan dan situasi,
kondisi, serta tempat dimana dimainkan naskah tersebut.
Sebuah naskah yang baik harus memiliki tema, pemain / lakon dan plot atau rangka cerita.
1. Tema
Tema adalah rumusan inti sari cerita yang dipergunakan dalam menentukan
arah dan tujuan cerita. Dari tema inilah kemudian ditentukan
lakon-lakonnya.
2. Lakon
Dalam cerita drama lakon merupakan unsur yang paling aktif yang menjadi penggerak cerita.oleh
karena itu seorang lakon haruslah memiliki karakter, agar dapat
berfungsi sebagai penggerak cerita yang baik. Disamping itu dalam naskah
akan ditentukan dimensi-dimensi sang lakon. Biasanya ada 3 dimensi yang
ditentukan yaitu :
3. Dimensi fisiologi ; ciri-ciri badani
usia, jenis kelamin, keadaan tubuh, cirri-ciri muka,dll.
Dimensi sosiologi ; latar belakang kemasyarakatan status sosial,
pendidikan, pekerjaan, peranan dalam masyarakat, kehidupan pribadi,
pandangan hidup, agama, hobby, dll.
Dimensi psikologis ; latar belakang kejiwaan temperamen, mentalitas,
sifat, sikap dan kelakuan, tingkat kecerdasan, keahlian dalam bidang
tertentu, kecakapan, dll.
Apabila kita mengabaikan salah satu saja dari ketiga dimensi diatas,
maka lakon yang akan kita perankan akan menjadi tokoh yang kaku,
timpang, bahkan cenderung menjadi tokoh yang mati.
1. Plot
Plot adalah alur atau kerangka cerita. Plot adalah suatu keseluruhan
peristiwa didalam naskah. Secara garis besar, plot drama dapat dibagi
menjadi beberapa bagian yaitu :
Pemaparan (eksposisi)
Bagian pertama dari suatu pementasan drama adalah pemaparan atau
eksposisi. Pada bagian ini diceritakan mengenai tempat, waktu dan segala
situasi dari para pelakunya. Kepada penonton disajikan sketsa cerita
sehingga penonton dapat meraba dari mana cerita ini dimulai. Jadi
eksposisi berfungsi sebagai pengantar cerita.
Dialog
Dialog berisikan kata-kata. Dalam drama para lakon harus berbicara dan
apa yang diutarakan mesti sesuai dengan perannya, dengan tingkat
kecerdasannya, pendidikannya, dsb. Dialog berfungsi untuk mengemukakan
persoalan, menjelaskan perihal tokoh, menggerakkan plot maju, dan
membukakan fakta.
Komplikasi awal atau konflik awal
Kalau pada bagian pertama tadi situasi cerita masih dalam keadaan
seimbang maka pada bagian ini mulai timbul suatu perselisihan atau
komplikasi. Konflik merupakan kekuatan penggerak drama.
Klimaks dan krisis
Klimaks dibangun melewati krisis demi krisis. Krisis adalah puncak plot
dalam adegan. Konflik adalah satu komplikasi yang bergerak dalam suatu
klimaks.
Penyelesaian (denouement)
Drama terdiri dari sekian adegan, dimana didalamnya terdapat
krisis-krisis yang memunculkan beberapa klimaks. Satu klimaks terbesar
dibagian akhir selanjutnya diikuti adegan penyelesaian.
Sumber: UKM Teater Mimpi Institut Sains Terapan dan Teknologi Surabaya (iSTTS)
Dilema Pembelajaran Apresiasi Seni di Sekolah
Membincangkan soal apresiasi seni di sekolah, di kalangan guru-guru,
selalu menarik. Artinya, dari situ, sejumlah dilema bisa dicermati.
Ambillah salah satu contoh kasus, apresiasi seni drama, misalnya, yang
masih dianaktirikan guru (baca: guru bahasa dan sastra Indonesia).
Seolah-olah drama itu hanya milik anak teater semata. Mengapa? Ada apa
dengan pembelajaran apresiasi drama di sekolah?
DALAM pertemuan guru-guru misalnya, jarang dibicarakan masalah
pembelajaran apresiasi drama, apakah pembelajaran apresiasi drama
berhasil atau tidak. Jika pembicaraan kebetulan masalah sastra,
diskusinya masih berkutat di seputar apresiasi puisi, dongeng, cerpen,
dan novel. Itu pun kalau yang hadir kebetulan guru yang menaruh minat
dalam pembelajaran sastra.
Tampaknya guru di sekolah menengah lebih banyak berkutat di bidang
kebahasaan daripada sastra. Lebih menyedihkan lagi, akibat belum
matangnya konsep Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBP) di Depdiknas
(Pusat), guru-guru lebih banyak berdebat tentang format administrasi
perpisahan mengajar yang tidak begitu banyak memberi substansi dalam
proses pembelajaran bahasa maupun sastra. Informasi dari pusat pun terus
berubah berkaitan dengan KBK itu. Mungkin perubahan itulah yang akan
“kekal” (?).
Khusus untuk mata pelajaran sastra di era-KBK pada Jurusan Ilmu Bahasa
(IPB), hingga kini belum disediakan/diturunkan Standar Kompetensinya.
Padahal menurut Struktur Kurikulum Program Studi Bahasa, dialokasikan
waktu untuk mata pelajaran Sastra Indonesia sebanyak empat jam pelajaran
setiap semester. Karena Standar Kompetensinya belum ada, pastilah pada
SMA yang membuka Program Studi Bahasa, gurunya mengalami kesulitan. Di
samping itu, di kalangan SDM guru-sastra yang belum memadai dapat
dipastikan pembelajaran sastra akan mengalami hambatan. Guru sastra
sekurang-kurangnya mau menjadikan dirinya penikmat karya sastra yang
aktif — idealnya kreatif. Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) sastra
pun belum ada.
Mata pelajaran sastra masih menjadi momok beberapa guru bahasa dan
sastra Indonesia. Bahkan, ada guru menolak untuk ditugaskan memegang
mata pelajaran sastra. Mengapa sampai menolak? Dapat dipastikan guru
yang bersangkutan kurang berminat atau malas membaca buku sastra. Kalau
hanya kurang menguasai materi — sepanjang ada niat, masih bisa diatasi
dengan menekuni atau mempelajari materi lewat membaca buku-buku sastra
dan aktif mengikuti diskusi-diskusi sastra.
Terlepas dari beberapa hambatan terutama dari sisi kurikulum, sebagai
guru mata pelajaran sastra, penulis tetap berupaya sebatas kemampuan
yang ada. Bagi penulis, berdasarkan pengalaman, mata pelajaran sastra
tetap menekankan kepada apresiasi tanpa mengabaikan sisi keilmuannya.
Khusus pada apresiasi drama, penulis mengalami hambatan yang tidak
ringan, mungkin pula halini dialami guru sastra yang lain. Adanya buku
yang berisi naskah drama belum menjadi jaminan anak akan dapat
mengapresiasi drama, beda dengan pembelajaran apresiasi karya sastra
yang lain.
Bukan Jaminan
Seperti diketahui, materi apresiasi drama adalah bagian dari materi
pembelajaran sastra pada kurikulum yang mana pun — termasuk KBK. Kalau
guru mata pelajaran bahasa dan sastra bukan seorang pegiat drama atau
teater, termasuk penulis, hampir dapat dipastikan pembelajaran apresiasi
drama akan menemukan banyak kesulitan. Apakah guru sendiri kurang
menguasai bagaimana muridnya? Tanpa usaha sungguh-sungguh, pembelajaran
apresiasi drama pastilah tidak akan berhasil. Tersedianya naskah drama,
bukan jaminan pula akan berhasil.
Pembelajaran apresiasi drama bukan bermaksud menjadikan anak menjadi
seorang dramawan seperti WS Rendra atau Putu Wijaya. Kalau nantinya ada
yang menjadi seorang dramawan, itu merupakan nilai tambah. Pada
pembelajaran apresiasi drama di sekolah, anak diharapkan dapat menikmati
karya drama itu. Walau sebatas seorang penikmat drama, ternyata juga
tidak mudah dicapai seperti halnya menikmati karya sastra yang lain,
misalnya cerpen, novel, atau puisi. Terhadap karya sastra tersebut,
dengan membaca bersungguh-sungguh dan memperoleh kenikmatan batin
kemudian mendiskusikannya untuk menemukan nilai-nilai yang terkandung di
dalamnya, boleh dibilang cukup untuk penikmat pemula — para murid.
Selaku guru, penulis merasa gagal mengajak anak mengapresiasi karya atau
naskah drama karena dirasakan sebagai beban. Akhirnya, sebagai seorang
guru, penulis harus mencari upaya — semacam terobosan — agar kegagalan
itu tidak terus berulang. Akhirnya, seorang anak yang kebetulan pegiat
drama atau teater dan punya prestasi, penulis manfaatkan untuk
membawakan drama monolog. Dalam kondisi ini, guru telah memanfaatkan
manusia sebagai media pembelajaran. Menurut Prof. Dr. Azhar Arsyad, MA
(2003), model ini disebut “Media Berbasis Manusia”.
Apa yang terjadi dengan media berbasis manusia itu? Ternyata siswa dalam
satu kelas dan penulis selaku guru, juga kepala sekolah, merasakan
kepuasan secara batin menyaksikan model pembelajaran dengan menggunakan
manusia sebagai media. Anak-anak lain di luar kelas pun berkerumun
menonton suguhan drama walau tanpa latar dan kostum itu. Anak-anak lain
(di luar kelas) juga tertarik model pembelajaran seperti itu.
Anak yang menonton dari luar kelas seolah ingin juga memperoleh
pembelajaran seperti itu. Hangatnya diskusi sehabis adegan drama itu
tentulah sebagai indikator bahwa anak telah dapat menikmati nilai-nilai
yang terkandung dalam drama monolog itu walau dalam kemampuan yang
terbatas. Media berbasis manusia ini telah dapat mengubah sikap para
siswa untuk senang menikmati karya sastra berupa drama. Jadi, drama
bukanlah milik orang-orang teater saja.
Paling Ampuh
Media pembelajaran sastra yang paling ampuh adalah manusia. Berbeda
dengan yang lain, apalagi pembelajaran yang berorientasi keilmuan, bisa
dengan lembar peraga. Karena pembelajaran sastra berbasis kepada
pembentukan karakter manusia yang pada akhirnya bermuara kepada
perilaku, maka sepantasnyalah guru sastra pada saat tertentu mengundang
sastrawan, dramawan, tukang cerita, atau dalang ke dalam kelas. Siswa
perlu diajak berkomunikasi dengan sumber “asli”-nya. Sekarang guru bukan
serba tahu lagi.
Sangatlah sempit wawasannya kalau guru sastra hanya mempersiapkan siswa
untuk dapat menjawab tes ujian akhir semata, tetapi kurang peka terhadap
persoalan kemanusiaan, termasuk sisi pembentukan karakter. Apa artinya
pembelajaran sastra yang nilai ujiannya tinggi namun belum dapat
membentuk karakter manusia yang berbudaya? Bukankah “orang berbudaya
membaca sastra” — sebagaimana dikatakan orang-orang bijak?
Sesungguhnya, pembelajaran sastra seirama dengan pemahaman materi
nilai-nilai trikaya parisuda dalam pendidikan agama (Hindu) — membentuk
pola pikir positif, menggunakan bahasa yang baik (indah), dan bagaimana
berperilaku dalam keseharian
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar