Oleh: Shobirin Saerodji*
Ada beberapa hal yang sampai saat ini aku tidak mengerti. Mengapa Tuhan kadang-kadang bertindak berkebalikan. Di sisi lain Dia menyuruh ku untuk berbuat amal kebaikan, tapi kemudian Dia menciptakan sarana-sarana yang malah dengan sarana-sarana itu membuatku semakin ingin untuk melakukan kejahatan. Dan meninggalkan kebaikan. Ini kalau kupikir dengan dangkal terjemahannya adalah Tuhan sepertinya menyuruhku untuk melakukan kejahatan.
Hari ini, ratusan teman-teman beda sekolah berkendaraan wira-wiri mengelilingi jalan lingkar selatan kota ini. Ijin dari kepolisian menyatakan bahwa hanya sekitar jalur jalan itulah teman-teman diperbolehkan untuk merayakan kelulusan hari ini.
Seperti adat-adat sebelumnya entah mulai sejak kapan, aku yakin kalianpun juga tidak tahu, semprot-menyemprot cat dan corat-coret tanda tangan di baju-baju seragam tadi jam 9 sudah selesai di halaman sekolah. Sekarang menjelang dhuhur sudah 3 kali putaran rombongan rombongan sepeda motor ini lewat depan gerbang sekolah. Meraung-raung suara sepeda motor dan suara gaduh nyanyian koor lagu penyemangat laskar Angling Dharma, trademark-nya Boromania. Teman-teman terlihat bahagia selayaknya mereka habis didoping 4 ampul stimulant. Euphoria.
Meraung-raung suara knalpot sepeda dan teriakan lagu yang biasa kudengar dipertandingan sepakbola itu semakin menjauh untuk ketiga kalinya.
Pasti kalian bertanya, mengapa aku tidak ikut dengan mereka. Mungkin kau pikir aku tidak punya motor? Atau aku kuper yang autis? Atau bahkan kau pikir aku tidak lulus?. Semua jawabannya Tidak, kamu salah. Walaupun hanya bebek tahun ‘96, motorku sudah layak dibawa clubbing nongkrong di pinggiran jalan alun-alun kota setiap malam mingguan. Dan juga, aku adalah mantan sekretaris OSIS yang juga merangkap mantan ketua Army-pala, ekskul Pecinta alam yang ada di sekolahku. Dan maaf kawan, bukannya aku sombong, aku tidak hanya lulus dari UN tahun ini, tapi, NEM ku tertinggi se Kabupaten, dan aku sudah tercatat sebagai calon Mahasiswa Teknik Perkapalan ITS melalui jalur PMDK yang tesnya kuikuti bulan kemarin.
Lalu, mengapa aku tidak bahagia, mengapa aku tidak ikut bereuforia seperti mereka? Mengapa aku malah duduk di samping pos satpam ini? Berdiam, tanpa teman? Padahal bajumu sudah berlepotan cat semprot dan tanda tangan?.
Aku masih merenung kawan, aku tidak mengerti. Sejak pengumuman tadi pagi, perasaanku mengenai ketidakjelasan Tuhan dalam memerintahkan sesuatu kepada ku, rasanya seperti dibuka lebar-lebar tanda tanya, dan terasa semakin besar tanda tanya dan ketidak pahamanku.
Raungan suara knalpot dari sepeda motor dan teriakan-teriakan lagu yang biasanya kudengar dipertandingan sepak bola berangsur-angsur kudengar mendekat lagi.
Dulu aku pernah membaca sebuah kolom. Disana Seorang tokoh Pendidikan Islam yang sangat terkenal mengatakan bahwa : Guru adalah profesi yang paling mulia di dunia ini. Karena dia adalah yang menyampaikan ilmu Allah kepada manusia lainnya. Artinya Guru adalah perantara ilmu, menjadi perantara antara Tuhan dengan mahluk-Nya. Maka apakah ada yang lain selain kemuliaan seorang hamba yang menjadi perantara antara Tuhan dengan hamba-Nya?. Kalau orang tua adalah penyebab lahirnya fisik ini ke dunia. Sedangkan guru adalah yang melahirkan karakter dalam fisik tersebut.
Itulah guru, sebuah profesi yang luar biasa. Sebenarnya aku juga ingin jadi guru. Walaupun aku nanti jadi sarjana teknik perkapalan kan juga bisa menjadi guru nantinya, jika aku sudah jadi Doktor, atau Professor. Sebagian waktuku akan ku gunakan untuk melaksanakan cita-citaku menjadi guru dengan menjadi dosen. Menjadi Maha Guru Teknik Perkapalan. Ideal sekali.
Lamunanku terganggu, raungan sepeda motor dan teriakan lagu yang biasa kudengar di pertandingan sepakbola tepat di depanku.
Kembali kutatap mereka yang sedang trance euphoria dengan kelulusannya. Mungkin mereka hanya menikmati kebebasan dari belenggu pagar pendidikan selama tiga tahun ini. Atau mungkin, menikmati sebuah kemenangan yang luar biasa dari perang penuh jibaku dengan pasukan pemerintah yang bernama ujian nasional. Setelah berbulan-bulan menelan beratus-ratus soal latihan, sampai rasanya kepala penuh dan ingin muntah soal tanpa penyelesaian. Sekarang mereka sedang menikmati kemenangan itu. Bagaikan Pasukan Perang Badar 313 gagah berkuda compang-camping tergores, tertusuk, tertembus, pedang, tombak, panah selama dimedan peperangan. Yang jelas mereka selamat. Dan memenangkan peperangan ini. Mereka lepas, mereka merasa lepas, mereka merasa bebas.
Salah satu dari mereka menatapku, sambil tertawa-tawa, teriak-teriak, mengacungkan jempol tangannya. Terlihat bahwa dia sangat bangga dengan capaiannya. Kubalas dengan acungan jempol ku, dan senyum tipisku.
Pelan-pelan, raungan suara knalpot dan teriakan lagu yang biasa ku dengar di pertandingan sepakbola itu semakin lama, semakin lirih menjauh.
Kembali, ku ingat beberapa waktu lalu. Insiden kecil yg mungkin selamanya tidak akan pernah aku lupakan. H-7 UN berlangsung, aku dan 3 kawanku; Awang, Bayu, dan Indah dipanggil ke ruang BP. Kami berempat adalah peraih nilai tertinggi dalam tryout yang beberapa kali diadakan sekolah. Pak Cahya,guru BP kami memberikan pencerahan mengenai PMDK yang telah kami ikuti. Banyak hal disampaikan mulai dari motivasi, gambaran tentang jurusan, penyesuaian minat, cadangan pilihan Perguruan Tinggi jika kami tidak lolos PMDK. Beasiswa-beasiswa, dan lain-lain.
Ternyata semuayang disampaikan Pak Cahya itu adalah opening. Ya, opening dari tujuan utama mengapa kami dipanggil saat itu. Pak Cahya menyampaikan secara kinayah, rapi, sopan, terstruktur dan provokatif. Intinya, kami berempat nanti di ruang ujian masing-masing adalah server yang diharapkan, atau di wajibkan melayani para client yang membutuhkan advokasi dalam menyelesaikan soal.
Kami paham dengan maksud Pak Cahya. Aku senang sekali dengan perintah ini. Karena bagiku, ini adalah legitimasi dari sekolah terhadap apa yang selama ini kulakukan. Kalaupun selama tryout-tryout yang lalu aku copypaste jawaban orang lain adalah berdosa, sekarang dosa itu sudah diputihkan. Begitu logika-pledoiku berkata.
Kuberitahu kawan. Selama ini aku satu ruang dengan Anak terpandai -Einstein-nya SMA ku. Einsteinku ini bernama : Indah. Dia adalah sahabat dekat ku sejak SD, sehingga kami sangatlah tidak berjarak. Dan terpaksa ku buka, inilah rahasia suksesku selama ini. Dia lah pusat gravitasiku selama ini. Penumbuh semangatku dalam belajar, pemberi inspirasiku dalam menjawab soal, dan kalaupun kepepet dialah sumber jawaban soal yang terpercaya. Dialah salah satu yang penyebab hingga akhirnya aku termasuk siswa yang diperhitungkan dalam rangka program penyuksesan ujian nasional tingkat sekolah ini. Dan berada di ruang BP ini.
Berbeda asumsi yang ada dikepala Awang, Agen yang menempati tugas di ruang 2 ini, memekik lantang: “Saya tidak bisa Pak!”. Pak Cahya mendelik dan mengerutkan dahi.
“Saya tidak mau. Dodol kan bisa meramu formula dari saya dan Bayu, bisa-bisa nilai saya malah terpuruk dibawah Dodol. Bagaimana saya mempertanggungjawabkannya kepada papa-mama saya, Pak?”. Awang menyampaikan keinginan-mimpinya untuk meraih nilai Nem sekolah tertinggi.
Pak Cahya dengan sabar, memberikan pemahaman.
“mereka” Pak Cahya memotong kata-katanya, menyelanya dengan menarik napas dalam-dalam
“Anak-anak sejenis Dodol itu, misi mereka yang paling puncak adalah LULUS. Sedangkan misi kalian adalah lolos”. Kata-kata yang khas dari Pak Cahya.
“Sudahlah, tinggalkanlah nafsumu untuk meraih prestise Nem tertinggi. Itu tidak ada gunanya bagi apapun. Kalau kamu sudah masuk PMDK buat apa Nem kamu?. Sedangkan bagi Dodol, jika Nem-nya melebihi kamu, apa menurutmu itu penting buat dia, wong dia tidak ada rencana melanjutkan studinya?. Dia sudah bicara panjang lebar dengan Saya. Habis ini ujian ini, dia akan berangkat ke Arab menyusul ibu dan bapaknya, atau kalau tidak ke Kalimantan membantu kakaknya mengelola kebun sawit, dia hanya ingin lulus, dan itu adalah hak dia”.
Kami berempat tercekat, mulut kami terasa pahit. Pipi kami terasa hangat teraliri air mata persaudaraan..
“Begini Awang dan kalian semua anak-anakku yang paling kubanggakan”. Pak Cahyo melanjutkan..
“ Kita semua masuk sekolah ini bersama-sama harus bisa lulus bersama-sama pula. Sudahlah tinggalkan ego-menjadi yang terbaik. Tidak ada fedahnya. Tidak ada yang bisa dibanggakan dengan Nem terbaik”. Awang tertunduk.
“Di kabupaten ini, semua sekolah sudah mafhum bagaimana praktek pelaksanaan UN itu. Jadi kalau kamu mau berambisi meraih nilai tertinggi, itu ambisi yang salah, Nak. Berambisilah untuk mendapatkan PTN Impian. Itu baru Ambisi yang tepat dan cerdas!. Kalaupun kamu jujur mengerjakan soal, kalau hasilmu sempurna, orang tidak akan menganggap itu hal hebat, karena mereka berpikir, kita sama seperti mereka pada umumnya, yakni : curang. Apa itu yang masih ingin kamu kejar?”
Awang mengguguk, pipinya basah, bibirnya juga bergetar. Kali berempat tersekap dalam ruang pemikiran baru yang benar-benar berbeda. Tak berkutik.
Tiba-tiba listrik padam. Suasana gelap. AC mati. Gerah mulai datang.
Walaupun selama ini aku sudah beberapa kali melakukan kecurangan saat tryout dan sadar bahwa itu berdosa, tetapi bagiku mendengar fakta yang disampaikan Pak Cahya, hatiku miris.
Ruangan semakin gerah. Bayu membuka pintu ruangan BP. Terlihat, Anak-anak lain sudah sepi. Bimbingan sore sudah usai. Indah mencolek tanganku. Kutatap dia, matanya mengisyaratkan aku untuk menatap Pak Cahya yang agak tersembunyi di remang ruangan.
Entah ini sesuatu yang wajar atau tidak. Di luar kesadaran berpikirku, tiba-tiba aku melihat sosok pak Cahya yang biasanya berkarakter teduh-menentramkan, berfatwa seperti kiai, seorang guru. Tiba-tiba menjadi seperti sosok presentator MLM yang mempersuasi calon mangsanya dengan iming-iming fantastis tanpa kesempatan berpikir logis. Mendadak Pak Cahya seperti seorang politisi dengan tawaran-tawaran dan bargaining-bargaining seputar PMDK dicampuradukkan dengan balas budi Misi Sukses UNAS. Pak Cahya yang sehari-harinya bersayap putih seperti malaikat yang selalu menancapkan “kejujuran adalah mata uang yang berlaku dimana-mana”, atau “ujian adalah untuk mengukur kemampuan pribadi seseorang, yang akan membuat kamu menjadi orang munafik jika kamu berbohong” tiba-tiba berubah wajah, mirip foto George W. Bush yang kulihat di internet. Kepalanya ditambahi tanduk dan giginya ditambahi taring, berkulit muka hitam, menakutkan. Aku melihat Pak Cahya yang ini bukalah lagi seorang Guru.
Lamunanku porak-poranda…
Raungan motor dan suara teriakan nyanyian lagu yang biasa kudengar di pertandingan bola kembali tepat di depan tempat dudukku disamping pos satpam tepat di gerbang masuk sekolahku…
Kulihat Dodol bergembira ria mengacungkan jempolnya lagi kepadaku. Tak kubalas, tanganku meremas tas, dan dahiku berkerut. Kulihat awang yang memboncengnya. Mereka seperti batman and robin. Kompak… dan bergembira… tidak tampak bekas insiden H-7 itu pada wajah Awang.
Insiden H-7 itu sudah berdamai dengan Awang. Tapi, bagiku insiden itu sejenis HIV atau mutasi terbaru dari H1N1. Sedikit demi sedikit menggerogoti kekebalan tubuhku. Ada apa ini semua. Penuh dengan tanda tanya. Konsep-prinsip-karakter kejujuran yang dulu aku dibangun oleh para bapak dan ibu guru selama bertahun tahun sejak TK, SD, SMP, dan SMA, orang tua, kiai-kiai atau penceramah-penceramah, penulis-penulis kolom, novel, cerpen, film atau apa saja yang menjadi guruku selama sepanjang umurku ini mengenai kejujuran, sekarang sedang dilanda kebimbangan. Aku merasa ada ketidakseimbangan dalam diri wujud ruhku. Nuraniku menolak ketidakjujuran itu, secara otomatis.
Segala pertimbangan yang ditelan awang dari Pak Cahya itu sama sekali tidak bisa mempengaruhiku untuk bisa menerima alasan logis proyek penggantian kriteria kejujuran yang menyangkut sebuah test kemampuan pribadi ini. Aku teringat lagi tulisan kolom Pakar Pendidikan Islam yang kubaca dulu. Aku bertanya dalam benakm apakah guru masih menjadi profesi mulia di mata Allah, atau malah hilang sifat gurunya, seperti wajah Bush yang kulihat menggantikan wajah Pak Cahyo tempo hari lalu.
Raungan motor dan nyanyian yang biasa kudengar di pertandingan sepak bola itu kembali ditelan jarak…
Setiap malam kulalui dengan melamun-berpikir, melamun-berpikir, menyimpulkan, bimbang dengan kesimpulanku, melamun lagi, berpikir lagi bimbang lagi, dan seterusnya.
Aku masih di sini. Menunggu raungan dan nyanyian yang biasa ku dengar di pertandingan bola itu mendekat lagi. Tapi mereka tak kunjung melintas lagi.
*) Guru SMA Negeri 1 Balen. Tinggal di PPM Ar-Rahmat, Bojonegoro
Ada beberapa hal yang sampai saat ini aku tidak mengerti. Mengapa Tuhan kadang-kadang bertindak berkebalikan. Di sisi lain Dia menyuruh ku untuk berbuat amal kebaikan, tapi kemudian Dia menciptakan sarana-sarana yang malah dengan sarana-sarana itu membuatku semakin ingin untuk melakukan kejahatan. Dan meninggalkan kebaikan. Ini kalau kupikir dengan dangkal terjemahannya adalah Tuhan sepertinya menyuruhku untuk melakukan kejahatan.
Hari ini, ratusan teman-teman beda sekolah berkendaraan wira-wiri mengelilingi jalan lingkar selatan kota ini. Ijin dari kepolisian menyatakan bahwa hanya sekitar jalur jalan itulah teman-teman diperbolehkan untuk merayakan kelulusan hari ini.
Seperti adat-adat sebelumnya entah mulai sejak kapan, aku yakin kalianpun juga tidak tahu, semprot-menyemprot cat dan corat-coret tanda tangan di baju-baju seragam tadi jam 9 sudah selesai di halaman sekolah. Sekarang menjelang dhuhur sudah 3 kali putaran rombongan rombongan sepeda motor ini lewat depan gerbang sekolah. Meraung-raung suara sepeda motor dan suara gaduh nyanyian koor lagu penyemangat laskar Angling Dharma, trademark-nya Boromania. Teman-teman terlihat bahagia selayaknya mereka habis didoping 4 ampul stimulant. Euphoria.
Meraung-raung suara knalpot sepeda dan teriakan lagu yang biasa kudengar dipertandingan sepakbola itu semakin menjauh untuk ketiga kalinya.
Pasti kalian bertanya, mengapa aku tidak ikut dengan mereka. Mungkin kau pikir aku tidak punya motor? Atau aku kuper yang autis? Atau bahkan kau pikir aku tidak lulus?. Semua jawabannya Tidak, kamu salah. Walaupun hanya bebek tahun ‘96, motorku sudah layak dibawa clubbing nongkrong di pinggiran jalan alun-alun kota setiap malam mingguan. Dan juga, aku adalah mantan sekretaris OSIS yang juga merangkap mantan ketua Army-pala, ekskul Pecinta alam yang ada di sekolahku. Dan maaf kawan, bukannya aku sombong, aku tidak hanya lulus dari UN tahun ini, tapi, NEM ku tertinggi se Kabupaten, dan aku sudah tercatat sebagai calon Mahasiswa Teknik Perkapalan ITS melalui jalur PMDK yang tesnya kuikuti bulan kemarin.
Lalu, mengapa aku tidak bahagia, mengapa aku tidak ikut bereuforia seperti mereka? Mengapa aku malah duduk di samping pos satpam ini? Berdiam, tanpa teman? Padahal bajumu sudah berlepotan cat semprot dan tanda tangan?.
Aku masih merenung kawan, aku tidak mengerti. Sejak pengumuman tadi pagi, perasaanku mengenai ketidakjelasan Tuhan dalam memerintahkan sesuatu kepada ku, rasanya seperti dibuka lebar-lebar tanda tanya, dan terasa semakin besar tanda tanya dan ketidak pahamanku.
Raungan suara knalpot dari sepeda motor dan teriakan-teriakan lagu yang biasanya kudengar dipertandingan sepak bola berangsur-angsur kudengar mendekat lagi.
Dulu aku pernah membaca sebuah kolom. Disana Seorang tokoh Pendidikan Islam yang sangat terkenal mengatakan bahwa : Guru adalah profesi yang paling mulia di dunia ini. Karena dia adalah yang menyampaikan ilmu Allah kepada manusia lainnya. Artinya Guru adalah perantara ilmu, menjadi perantara antara Tuhan dengan mahluk-Nya. Maka apakah ada yang lain selain kemuliaan seorang hamba yang menjadi perantara antara Tuhan dengan hamba-Nya?. Kalau orang tua adalah penyebab lahirnya fisik ini ke dunia. Sedangkan guru adalah yang melahirkan karakter dalam fisik tersebut.
Itulah guru, sebuah profesi yang luar biasa. Sebenarnya aku juga ingin jadi guru. Walaupun aku nanti jadi sarjana teknik perkapalan kan juga bisa menjadi guru nantinya, jika aku sudah jadi Doktor, atau Professor. Sebagian waktuku akan ku gunakan untuk melaksanakan cita-citaku menjadi guru dengan menjadi dosen. Menjadi Maha Guru Teknik Perkapalan. Ideal sekali.
Lamunanku terganggu, raungan sepeda motor dan teriakan lagu yang biasa kudengar di pertandingan sepakbola tepat di depanku.
Kembali kutatap mereka yang sedang trance euphoria dengan kelulusannya. Mungkin mereka hanya menikmati kebebasan dari belenggu pagar pendidikan selama tiga tahun ini. Atau mungkin, menikmati sebuah kemenangan yang luar biasa dari perang penuh jibaku dengan pasukan pemerintah yang bernama ujian nasional. Setelah berbulan-bulan menelan beratus-ratus soal latihan, sampai rasanya kepala penuh dan ingin muntah soal tanpa penyelesaian. Sekarang mereka sedang menikmati kemenangan itu. Bagaikan Pasukan Perang Badar 313 gagah berkuda compang-camping tergores, tertusuk, tertembus, pedang, tombak, panah selama dimedan peperangan. Yang jelas mereka selamat. Dan memenangkan peperangan ini. Mereka lepas, mereka merasa lepas, mereka merasa bebas.
Salah satu dari mereka menatapku, sambil tertawa-tawa, teriak-teriak, mengacungkan jempol tangannya. Terlihat bahwa dia sangat bangga dengan capaiannya. Kubalas dengan acungan jempol ku, dan senyum tipisku.
Pelan-pelan, raungan suara knalpot dan teriakan lagu yang biasa ku dengar di pertandingan sepakbola itu semakin lama, semakin lirih menjauh.
Kembali, ku ingat beberapa waktu lalu. Insiden kecil yg mungkin selamanya tidak akan pernah aku lupakan. H-7 UN berlangsung, aku dan 3 kawanku; Awang, Bayu, dan Indah dipanggil ke ruang BP. Kami berempat adalah peraih nilai tertinggi dalam tryout yang beberapa kali diadakan sekolah. Pak Cahya,guru BP kami memberikan pencerahan mengenai PMDK yang telah kami ikuti. Banyak hal disampaikan mulai dari motivasi, gambaran tentang jurusan, penyesuaian minat, cadangan pilihan Perguruan Tinggi jika kami tidak lolos PMDK. Beasiswa-beasiswa, dan lain-lain.
Ternyata semuayang disampaikan Pak Cahya itu adalah opening. Ya, opening dari tujuan utama mengapa kami dipanggil saat itu. Pak Cahya menyampaikan secara kinayah, rapi, sopan, terstruktur dan provokatif. Intinya, kami berempat nanti di ruang ujian masing-masing adalah server yang diharapkan, atau di wajibkan melayani para client yang membutuhkan advokasi dalam menyelesaikan soal.
Kami paham dengan maksud Pak Cahya. Aku senang sekali dengan perintah ini. Karena bagiku, ini adalah legitimasi dari sekolah terhadap apa yang selama ini kulakukan. Kalaupun selama tryout-tryout yang lalu aku copypaste jawaban orang lain adalah berdosa, sekarang dosa itu sudah diputihkan. Begitu logika-pledoiku berkata.
Kuberitahu kawan. Selama ini aku satu ruang dengan Anak terpandai -Einstein-nya SMA ku. Einsteinku ini bernama : Indah. Dia adalah sahabat dekat ku sejak SD, sehingga kami sangatlah tidak berjarak. Dan terpaksa ku buka, inilah rahasia suksesku selama ini. Dia lah pusat gravitasiku selama ini. Penumbuh semangatku dalam belajar, pemberi inspirasiku dalam menjawab soal, dan kalaupun kepepet dialah sumber jawaban soal yang terpercaya. Dialah salah satu yang penyebab hingga akhirnya aku termasuk siswa yang diperhitungkan dalam rangka program penyuksesan ujian nasional tingkat sekolah ini. Dan berada di ruang BP ini.
Berbeda asumsi yang ada dikepala Awang, Agen yang menempati tugas di ruang 2 ini, memekik lantang: “Saya tidak bisa Pak!”. Pak Cahya mendelik dan mengerutkan dahi.
“Saya tidak mau. Dodol kan bisa meramu formula dari saya dan Bayu, bisa-bisa nilai saya malah terpuruk dibawah Dodol. Bagaimana saya mempertanggungjawabkannya kepada papa-mama saya, Pak?”. Awang menyampaikan keinginan-mimpinya untuk meraih nilai Nem sekolah tertinggi.
Pak Cahya dengan sabar, memberikan pemahaman.
“mereka” Pak Cahya memotong kata-katanya, menyelanya dengan menarik napas dalam-dalam
“Anak-anak sejenis Dodol itu, misi mereka yang paling puncak adalah LULUS. Sedangkan misi kalian adalah lolos”. Kata-kata yang khas dari Pak Cahya.
“Sudahlah, tinggalkanlah nafsumu untuk meraih prestise Nem tertinggi. Itu tidak ada gunanya bagi apapun. Kalau kamu sudah masuk PMDK buat apa Nem kamu?. Sedangkan bagi Dodol, jika Nem-nya melebihi kamu, apa menurutmu itu penting buat dia, wong dia tidak ada rencana melanjutkan studinya?. Dia sudah bicara panjang lebar dengan Saya. Habis ini ujian ini, dia akan berangkat ke Arab menyusul ibu dan bapaknya, atau kalau tidak ke Kalimantan membantu kakaknya mengelola kebun sawit, dia hanya ingin lulus, dan itu adalah hak dia”.
Kami berempat tercekat, mulut kami terasa pahit. Pipi kami terasa hangat teraliri air mata persaudaraan..
“Begini Awang dan kalian semua anak-anakku yang paling kubanggakan”. Pak Cahyo melanjutkan..
“ Kita semua masuk sekolah ini bersama-sama harus bisa lulus bersama-sama pula. Sudahlah tinggalkan ego-menjadi yang terbaik. Tidak ada fedahnya. Tidak ada yang bisa dibanggakan dengan Nem terbaik”. Awang tertunduk.
“Di kabupaten ini, semua sekolah sudah mafhum bagaimana praktek pelaksanaan UN itu. Jadi kalau kamu mau berambisi meraih nilai tertinggi, itu ambisi yang salah, Nak. Berambisilah untuk mendapatkan PTN Impian. Itu baru Ambisi yang tepat dan cerdas!. Kalaupun kamu jujur mengerjakan soal, kalau hasilmu sempurna, orang tidak akan menganggap itu hal hebat, karena mereka berpikir, kita sama seperti mereka pada umumnya, yakni : curang. Apa itu yang masih ingin kamu kejar?”
Awang mengguguk, pipinya basah, bibirnya juga bergetar. Kali berempat tersekap dalam ruang pemikiran baru yang benar-benar berbeda. Tak berkutik.
Tiba-tiba listrik padam. Suasana gelap. AC mati. Gerah mulai datang.
Walaupun selama ini aku sudah beberapa kali melakukan kecurangan saat tryout dan sadar bahwa itu berdosa, tetapi bagiku mendengar fakta yang disampaikan Pak Cahya, hatiku miris.
Ruangan semakin gerah. Bayu membuka pintu ruangan BP. Terlihat, Anak-anak lain sudah sepi. Bimbingan sore sudah usai. Indah mencolek tanganku. Kutatap dia, matanya mengisyaratkan aku untuk menatap Pak Cahya yang agak tersembunyi di remang ruangan.
Entah ini sesuatu yang wajar atau tidak. Di luar kesadaran berpikirku, tiba-tiba aku melihat sosok pak Cahya yang biasanya berkarakter teduh-menentramkan, berfatwa seperti kiai, seorang guru. Tiba-tiba menjadi seperti sosok presentator MLM yang mempersuasi calon mangsanya dengan iming-iming fantastis tanpa kesempatan berpikir logis. Mendadak Pak Cahya seperti seorang politisi dengan tawaran-tawaran dan bargaining-bargaining seputar PMDK dicampuradukkan dengan balas budi Misi Sukses UNAS. Pak Cahya yang sehari-harinya bersayap putih seperti malaikat yang selalu menancapkan “kejujuran adalah mata uang yang berlaku dimana-mana”, atau “ujian adalah untuk mengukur kemampuan pribadi seseorang, yang akan membuat kamu menjadi orang munafik jika kamu berbohong” tiba-tiba berubah wajah, mirip foto George W. Bush yang kulihat di internet. Kepalanya ditambahi tanduk dan giginya ditambahi taring, berkulit muka hitam, menakutkan. Aku melihat Pak Cahya yang ini bukalah lagi seorang Guru.
Lamunanku porak-poranda…
Raungan motor dan suara teriakan nyanyian lagu yang biasa kudengar di pertandingan bola kembali tepat di depan tempat dudukku disamping pos satpam tepat di gerbang masuk sekolahku…
Kulihat Dodol bergembira ria mengacungkan jempolnya lagi kepadaku. Tak kubalas, tanganku meremas tas, dan dahiku berkerut. Kulihat awang yang memboncengnya. Mereka seperti batman and robin. Kompak… dan bergembira… tidak tampak bekas insiden H-7 itu pada wajah Awang.
Insiden H-7 itu sudah berdamai dengan Awang. Tapi, bagiku insiden itu sejenis HIV atau mutasi terbaru dari H1N1. Sedikit demi sedikit menggerogoti kekebalan tubuhku. Ada apa ini semua. Penuh dengan tanda tanya. Konsep-prinsip-karakter kejujuran yang dulu aku dibangun oleh para bapak dan ibu guru selama bertahun tahun sejak TK, SD, SMP, dan SMA, orang tua, kiai-kiai atau penceramah-penceramah, penulis-penulis kolom, novel, cerpen, film atau apa saja yang menjadi guruku selama sepanjang umurku ini mengenai kejujuran, sekarang sedang dilanda kebimbangan. Aku merasa ada ketidakseimbangan dalam diri wujud ruhku. Nuraniku menolak ketidakjujuran itu, secara otomatis.
Segala pertimbangan yang ditelan awang dari Pak Cahya itu sama sekali tidak bisa mempengaruhiku untuk bisa menerima alasan logis proyek penggantian kriteria kejujuran yang menyangkut sebuah test kemampuan pribadi ini. Aku teringat lagi tulisan kolom Pakar Pendidikan Islam yang kubaca dulu. Aku bertanya dalam benakm apakah guru masih menjadi profesi mulia di mata Allah, atau malah hilang sifat gurunya, seperti wajah Bush yang kulihat menggantikan wajah Pak Cahyo tempo hari lalu.
Raungan motor dan nyanyian yang biasa kudengar di pertandingan sepak bola itu kembali ditelan jarak…
Setiap malam kulalui dengan melamun-berpikir, melamun-berpikir, menyimpulkan, bimbang dengan kesimpulanku, melamun lagi, berpikir lagi bimbang lagi, dan seterusnya.
***
Sekeras penolakanku terhadap pemikiran itu, sebesaritu pula
kebimbanganku. Pada akhirnya aku dan kawan-kawanku memerankan tugas kami
secara sempurna. Semua misi tercapai 100% siswa lulus dengan sukses.
Kami berempat sudah resmi menjadi calon mahasiswa PTN Impian. Dan
bahkan, aku meraih Nem tertinggi se kabupaten, mengalahkan Awang, Bayu
dan Indah-Einsteinku. Itu adalah puncak prestasi yang kuraih. Seharusnya aku berhak ikut trance euphoria
seperti mereka. Entah mengapa aku merasa tidak ada yang perlu
kueuphoriakan. Setelah kupikir-pikir ada beberapa hal yang disampaikan
Pak Cahya waktu itu adalah kebenaran. Ya, walaupun mungkin itu bukan
kebenaran hakiki, minimal adalah kebenaran-logis.Aku masih di sini. Menunggu raungan dan nyanyian yang biasa ku dengar di pertandingan bola itu mendekat lagi. Tapi mereka tak kunjung melintas lagi.
***
_______________________*) Guru SMA Negeri 1 Balen. Tinggal di PPM Ar-Rahmat, Bojonegoro
Tinggalkan Balasan
Flickr Photos
Lebih Bany
4 Responses to “Kawan, Aku Lulus!?”