Cerpen Karangan: Aya Emsa
Kategori: Cerpen Cinta Islami, Cerpen Cinta Romantis, Cerpen Penantian
Lolos moderasi pada: 12 July 2013
26 Juni 2010
Aku tersenyum melihat Surya, pemuda itu berlari-lari bahagia sepanjang tepi pantai sambil bersorak-sorak, “Weeey! Dengaaar! Lamaranku diterimaaa! Yuhuuuyyy… Hahahhaa”. Surya memberitahu semua pelayan yang hilir-mudik di pelabuhan. Juga pada semua wisatawan pantai yang sedang berjemur, bermain bola, pasir dan ombak. Surya senang betul dengan satu anggukan kecilku, yang artinya persetujuan untuk menikah dengannya dan menghabiskan sisa hidupku bersamanya.
Dia bilang, “Cintaku padamu yang sudah kupendam 10 tahun, akhirnya bersambut juga”. Benarkah selama itu? Aku hampir tidak percaya.
“Kamu pintar Nis, maka aku selalu berusaha belajar semaksimal mungkin agar menjadi jauh lebih pintar darimu. Kamu rajin Nis, maka aku berusaha untuk menjadi jauh lebih rajin darimu. Kamu tidak pernah bolos jama’ah sholat di masjid, maka aku berusaha untuk selalu lebih dulu sampai di masjid, bahkan kuusahakan untuk menjadi imam. Kau tahu kenapa, Nis?” Aku menggeleng sebagai jawaban ketidak-tahuanku.
“Karena untuk menjadi suami bagi seorang wanita yang hebat, aku jelas harus menjadi jauh lebih hebat darinya.” Katanya sambil menatap deburan ombak yang menhantam dermaga, buih-buihnya tampak indah berkilau diterpa cahaya senja.
Lagi-lagi aku hanya merespon ucapannya dengan senyuman atau tawa kecil. Tanpa berkata-kata. Di langit, aku melihat sang surya tenggelam. Menjadi saksi bisu sepotong kisah antara aku dan Surya.
28 Juni 2010
“Mamak dan Bapakku bersedia melamarkanmu untukku.” Mata Surya berbinar bahagia saat mengatakannya padaku. Pendek aku mengomentari sambil tersenyum, “Alhamdulillah.”
“Kapan rencana ke rumah?” tanyaku padanya siang itu.
Surya mengerutkan kening, berfikir. “Mungkin nanti malam,” jawabnya santai diiringi dengan seringai jail.
“Baiklah,” kataku serius. “Aku akan mengatakan pada seluruh keluargaku, untuk meninggalkan rumah sebelum kamu datang nanti malam,” candaku bohong. Wajah Surya mengerut lagi, dengan bingung dia memprotes, “Kok gitu?” Ternyata dia tertipu ucapanku.
Aku tertawa, “Satu-kosong.”
1 Juli 2010
Keluarga kami adalah nelayan. Dalam satu minggu ayahku dan ayah Surya biasanya dua kali melaut. Hanya saja minggu-minggu ini cuaca kurang baik, angin laut terlalu kencang dan resiko tenggelam lebih besar. Bahkan sesekali terjadi badai.
Dan baru saja kudengar dari Ayah kapal yang ditumpangi Ayah Surya karam di hantam badai. Dengan agak tergopoh aku berlari menuju rumah duka Surya. Aku lihat dia duduk lemas di teras rumah. Kepalanya terkulai hingga hampir menyentuh kedua lututnya, sedang kedua tangannya menyangga berat badannya, menekan lantai yang ia duduki.
Dia mengangkat kepalanya saat mendengar suaraku memanggil namanya. “Nis, Bapakku meninggal di laut, kapalnya terkena badai,” tutur Surya dengan mata yang sendu. Matanya memerah dan air matanya tumpah ke pipi. Sore itu gerimis, seolah langit ikut menangis bersama Surya.
Aku diam membatu di tepian dermaga. Menatap Surya yang berdiri di ujung beranda kapal, melambaikan tangan. Dia hendak berlayar. 10 menit yang lalu, saat Surya berpamitan padaku, entah kenapa hati kecilku memerintahkan mulut ini melarang. Lirih pun kuucap, “Jangan berlayar, Sur..” tapi Surya hanya tersenyum menenangkan dan mengatakan bahwa semua akan baik-baik saja. Aku tidak bisa mencegahnya.
Sejak Ayahnya meninggal, Surya menjadi tulang punggung keluarganya. Dia menggantikan sang Ayah berlayar di lautan. Tapi hari itu firasatku tidak enak. Kekhawatiran tiada hentinya melanda hatiku. Maka seharian itu aku tak beranjak dari dermaga. Menanti Surya kembali. Padahal 3 hari lagi kami melangsungkan pernikahan, kenapa Surya masih berkeras untuk melaut?
Sudah kuputuskan untuk tetap menunggunya di sini, di dermaga. Sampai Surya kembali esok pagi.
14 Juli 2010
“Nis, yang sabar ya… Surya dan kapalnya sepertinya hilang. Mungkin sudah tenggelam di hantam ombak semalam. Seperti yang menimpa ayahnya beberapa hari lalu.”
Ini hari kedua aku berdiri di ambang dermaga. Menatap lautan luas, sambil berharap kapal yang ditumpangi Surya segera kembali. Aku bergeming.
“Nis, ayo. Kita pulang. Tidak ada gunanya kamu terus berdiri di sini menunggunya, sepertinya Surya tidak akan kembali, dia dan kapalnya mungkin sudah tenggelam..” Desi sepupuku, masih membujukku untuk meninggalkan dermaga. Tapi aku enggan dan menolak.
“Masih ‘sepertinya’ kan? Itu hanya kemungkinan saja. Surya pasti kembali.”
“Nis.. Kamu sudah dua hari di sini.. Ayo! Kita pulang saja. Surya tidak akan kembali…” sekali lagi Desi membujuk. Kali ini dia tidak lagi menggunakan kata yang mengisyaratkan kemungkinan.
“Surya pasti kembali.”
15 Juli 2010
Harusnya pagi ini aku menikah. Harusnya sekarang Surya sedang mengucapkan ijab di depan penghulu. Harusnya kami menjadi sepasang pengantin sejak hari ini. Tapi semua itu hanya ‘seharusnya’. Yang ada, saat ini aku yang mengenakan lengkap baju pengantinku, berdiri di dermaga, masih menanti Surya kembali.
“Nis, ayo pulang… Surya tidak akan kembali. Kapalnya sudah tenggelam..” Desi membujuk lagi. Semua orang semakin yakin kapal Surya memang tenggelam, saat hari ketiga tetap tak kunjung ada tanda-tanda bahwa mereka akan kembali.
Aku hanya menggeleng.
“Nis, Ibu kamu sangat sedih melihatmu begini, pulanglah.. Setidaknya untuk Ibumu..” Tambah Nila, sepupuku yang lain, berusaha membantu Desi membujukku.
Aku tetap bergeming. Tapi, benarkah yang mereka katakan? Tidak. Pasti tidak. Surya tidak akan berbohong. Semua akan baik-baik saja. Dia pasti menepati janjinya.
“Nis.. Ayolah.. Jangan bersikap seperi ini..” Desi mulai gemas.
Sebenarnya hatiku juga mulai ragu. Apa harus sampai sini penantianku? Apakah benar apa yang dikatakan semua orang bahwa Surya-ku sudah tenggelam? Apakah Surya tidak akan kembali? Tapi kenapa hati kecilku masih tetap enggan memerintahkan kaki ini untuk beranjak? Kenapa di balik keraguan yang mulai menyusup, aku masih tetap yakin Surya pasti kembali?
“Pulang saja duluan. Jika Surya tidak kembali juga hingga matahari tenggelam. Aku akan pulang.”
Jam berganti jam. Tetap tidak ada tanda-tanda sama sekali. Setiap aku meninggalkan dermaga untuk sholat, aku selalu berharap saat aku kembali aku akan menemukan Surya di sana. Tersenyum padaku dan berkata, “Lihat Nis, aku pulang, kan?” Tapi aku tetap tidak menemukannya di dermaga. Tetap disambut oleh lautan yang tenang, tanpa pemandangan satu pun kapal berlayar mendekat.
Benarkah Surya sudah tenggelam?
Menjelang maghrib, Desi datang lagi. Menagih janjiku untuk mau pulang bersamanya.
“Kamu lihat kan, Nis? Surya tidak akan kembali,” katanya tegas kepadaku.
Aku menunduk. Aku memang harus merelakan Surya. Mereka mungkin benar. Surya-ku sudah tenggelam. Sepertinya mereka memang benar. Surya tidak akan kembali. Tapi saat kakiku mulai beranjak, dari kejauhan aku mendengar seseorang berteriak padaku, “Nis.. Kemari! Aku menemukan Surya!”
Aku segera berlari tergopoh-gopoh menuju arah suara yang memanggilku. Hatiku bahagia, Surya tidak hilang di lautan, dia kembali. Semakin dekat, jantungku semakin berdegup. Benarkah seseorang yang nampak terbaring di atas pasir pantai itu adalah Suryaku? Masih hidupkah dia?
“Surya?” Air mataku mengalir lembut di pipi, saat melihat bahwa pemuda itu benar-benar Surya, dengan baju yang sudah compang-camping dan wajah yang pucat pasi terendam air selama berpuluh-puluh jam, tubuhnya tampak lemah terbaring menindih sebatang kayu –yang sepertinya adalah serpihan dinding kapal.
Selang beberapa menit kemudian, pemuda itu perlahan-lahan membuka matanya, dengan suaranya yang nyaris tak terdengar dia berkata; “Kamu lihat kan, Nis? Aku kembali. Aku pasti kembali untuk menikah denganmu.” Aku tersenyum dan menangis bahagia bersamaan. Hati kecilku tidak berbohong, Surya memang kembali.
Ketika itu, sang surya tenggelam di langit pantai – bukan Suryaku tapi surya yang di langit. Sekali lagi menjadi saksi bisu sepotong kisah cintaku dan Surya.
SEKIAN
Cerpen Karangan: Aya Emsa
Blog: butirbutirembun.blogspot.com
0 komentar:
Posting Komentar