Translate

cerpen bermain petak umpet

Written By iqbal_editing on Sabtu, 25 Maret 2017 | 07.18

Kami tiba di depan rumah kayu ulin yang belum jadi. Aku tidak mengatakan ini dapat disebut rumah panggung sebab pondasinya langsung tertanam di tanah. Banyak kayu centang-perenang di sisi bangunan-melintang dan kuat sehingga dapat dinaiki-juga dalamnya menumpuk ulin, meranti, dan jati. Di sebelahnya terdapat dua kolam ikan besar yang digali hingga airnya agak keruh namun dingin membuat jemari menggigil menyentuhnya.
Di bagian belakang bangunan ini adalah hutan. Hutan yang ku maksud bukan sebagai forest atau jungle -semisal Amazon- tapi woods, hutan dengan pohon berjarak jarang-jarang sehingga manusia bisa berjalan di dalamnya. Meski begitu, hutan itu menjadi pantangan buat kami. Jika ketahuan, Pak Cik Lamin -Nanang menyebutnya Pakde, Gumira mengatakan Daeng Lamin, Lukas memanggil dengan embel-embel sama sepertiku walau terdengar seperti Pace, dan Maryati membilang Pak, simple sekali- akan marah besar. Entahlah, aku bahkan belum tahu pangkal mula larangan itu.
“Kawan, bermain petak umpet di sini ibarat bisu sementara, haram berbicara!” Kata Gumira.
“Ketahuan itu Pak Cik Lamin, akan selesai katong punya riwayat. Kecuali punya siasat.” Lukas berbicara, ringan, enteng, tanpa beban.
“Luk, aja iseng.” Nanang mengingatkan, “becik ketitik ala ketara!”
“Tenang, Boi, dia akan bertanggung jawab.” Ucapku sembari tersenyum sinis pada Lukas.
“Begini,” Maryati menyela. “Karena Taha pendatang baru, dia harus jadi “kucing” -yang menjaga Hong- dan menghitung lambat satu sampai sepuluh.”
Lukas tertawa. “Hahaha! Kau yang jaga.”
“Ssst,” kata Gumira sambil menunjuk rumah megah bertingkat dua di depan rumah kayu belum jadi ini.
Kemudian, aku menghadap dinding kayu dekat pintu masuk, menutup mata dengan lengan sambil menghitung satu, dua, tiga, empat lambat hingga sepuluh. Selisih tiap angka adalah lima detik -perkiraanku- jadi sepuluh kali lima, lima puluh. Hampir satu menit. Aku membuka mata. Ternyata, mereka melepas sandal, makanya langkah mereka tidak terdengar. Namun, aku masih memiliki petunjuk jejak kaki dan tak-tik mencegah mereka untuk tidak meletakkan telapak tangan di pos jagaku. Pun tadi, samar-samar aku mendengar ada yang berjalan di atas kayu di sisi dinding. Jika kaki mereka mengendap-endap, aku pun mesti berjingkat-jingkat. Dan, kesumatku adalah Lukas. Ia dilarang lolos olehku.
Aku mulai mencari, dan menemukan jejak kaki mengarah ke sayap kiri rumah. Aku mengikuti perlahan sambil menengok ke belakang kalau saja ada yang bergerak ke arah pos. Jejak kaki ini mengarah ke dalam bangunan. Aku melihat sebuah bayangan berlari di dinding seberang sana. Tubuhnya tinggi. Namun aku tak mengenali apakah perempuan atau lelaki. Aku khawatir sehingga berbalik ke tempatku menutup mata tadi. Hampa. Tak ada siapa-siapa.
Jantungku berdebar-debar. Wah! Seru juga, gumamku sambil meringis. Aku batal ingin mengetahui ke mana jejak itu bermuara. Dan memilih bertolak ke bagian kanan rumah. Aku pun lebih hati-hati dengan kayu yang berada di atasku yang bisa saja mereka lewati, memeriksa jalurnya. Aku melalui kanan rumah, kemudian masuk ke bagian dalam bangunan. Dan tiba-tiba terdengar sesuatu keluar dari air dan terdengar langkah yang memijak tanah. Di celah-celah kayu, aku melihat tubuh Gumira basah kuyup berlari. Aku pun mempercepat laju lariku. Sial. Aku gagal menyentuh tempatku berjaga lebih dulu. Ia terkekeh. “Kesalahanmu adalah tiada memeriksa hal-hal terdekatmu. Padahal, kamu bakal menemukan kunci tempat persembunyian lebih banyak ketimbang sebuah jejak kaki.” Pesan Gumira.
Kemudian, ia duduk di bawah pohon pisang. Tubuhnya kedinginan. Sekarang tersisa tiga orang: Nanang, Maryati, dan Lukas. Oh, tidak, rupanya Gumira bersembunyi lagi. Aku mengerti. Maka mangsa berubah menjadi empat orang -lagi- sebab pencari yang tertipu bulat-bulat akan mengulang berhitung kembali. Dan Gumira, akan bersembunyi lagi. Aku berani bertaruh, bahwa dia tak akan bersembunyi di tempat sama, mengambil resiko yang jauh lebih besar, dan peluang akan menyentuh ‘sarang’ yang ku jaga makin kecil.
Atau barangkali jika ia beruntung, aku akan dikelabui lagi, lalu menutup mata dan menghitung. Jikalau begitu, memeriksa dan mengidentifikasi sisi terdekat sembari mengawasi hong ialah cara efektif. Aku harus menimbang-nimbang probabilitas berupa fakta yang bakal terjadi. Aku membuka mata, lalu memanjat, kemudian berdiri di atas kayu kukuh yang lekat di dinding. Mengintip lewat celah-celah kayu dan melihat punggung, rambut, warna baju, bayangan, atau barangkali gerak-gerik -lakon- yang tengah diperankan mereka.
Mataku memandang seorang berambut keriting dan berkulit keling membungkuk di antara tumpukan-tumpukan bata merah, kadang ia mengintip ke bagian kiri dan kanan, sesekali dari atas. Lukas, kau target terkunci, batinku. Kemudian, aku berpura-pura lari-lari kecil di permukaan kasar kayu yang sedang ku pijak. Membuat getaran sehingga mereka berpikir aku terburu-buru ke arah mereka lalu mereka berlari tanpa menimbulkan bunyi menuju hong. Kemudian, ku perhatikan lagi celah kecil dan mendapati Maryati berlari ke sayap kiri rumah, jarak terdekat rupanya. Tak apa, meski hanya satu orang yang akan membunuh diri sendiri.
Aku buru-buru turun, lalu berjalan dengan langkah panjang dan berdiri menghadap kolam ikan bermaksud menghadang Maryati. Dari dalam, Lukas berteriak, “Jangan Mar, dia ada berdiri di dekat dia punya sarang.” Tanganku bersiap memegang pos dan hendak mengagetkan perempuan itu. Namun, pada kenyataannya bukan. Aku dikepung di dua arah. Di hadapanku Gumira, dan di belakangku sedang berlari pemuda dengan medhok jawa -Nanang. Aku berbalik dan buru-buru menyentuh pos, dan mengatakan lantang.
“Gumira hong! Nanang hong!”
“Nasib, nasib! Mimpi opo aku mau bengi. Ketangkep sama pemula.”
“Duh, strategi tipuan tadi pun tak berhasil.”
Kali ini, giliranku tersenyum lebar. “Keberuntungan, Boi. Dewi Fortuna sedang berkunjung.” (1)
Mereka hanya terengah-engah sambil mengacungkan jempol. Lalu, mereka menenggelamkan tungkai kaki keduanya dalam air kolam. Tersisa dua orang mangsa yang mungkin berkonspirasi membebaskan kedua partner-nya. Mereka, Maryati dan Lukas, bisa jadi telah mencatat pengalaman kerja sama dalam bersembunyi yang lihai, lincah, gesit, dan penuh siasat tiba-tiba ketika terpojok: berlari secepat mungkin, atau menciptakan strategi baru, sudah barang tentu penuh bisa mematikan.
Aku memutuskan berjalan perlahan ke bagian kanan. Memanjat lagi kayu, mengintip lewat celah-celah. Tak ada seorang pun. Hanya lantai berupa tanah merah, kayu-kayu muda tapi kuat, batu bata, karung semen di bagian sudut, pasir hitam, dan segunung batuan kecil. Khawatir dengan hong aku pun kembali dengan langkah amat pelan. Aku melihat tindak-tanduk Gumira yang mencurigakan. Ia menutupi bibirnya dengan tepi telunjuk menempel di pipih pipinya, jarinya melekat rapat-rapat. Gelagat itu ku perhatikan. Ia berbisik pada Nanang. Aku menajamkan telinga, mendengarnya berusaha teliti.
“…Po.. hon,.. ka? Lalu, dia.. muncul.. pukul.. dua belas.”

Matahari telah merangkak, sinarnya yang keemasan menerobos celah-celah dan sudut-sudut gelap mengarah ke timur. Setengah tubuhnya telah sembunyi di gemawan, ia siap digantikan cahaya perak rembulan. Ia akan bersaksi bahwa di balik punggung bulan, ada bola raksasa berwujud bayangan. Bulan, hanya sebatas peran pemantulan. Pedang-pedang cahaya itu jatuh di pohon sebelah timur rumah -belum- jadi ini. Di tanah, tercetak bayang-bayang buah nangka dan sebuah kepala. Kepala anak lelaki mungkin. Daun-daunnya agak bergoyang padahal bayu pun tak bertiup.
Agaknya, aku mengerti pesan itu. Tentu saja, ‘kucing’ pun punya rencana yang bisa saja tak terbaca atau terlintas di benak mana saja. Kemudian, aku menceburkan diri ke dalam kolam ikan, bayang-bayang tubuh menggigil hingga menusuk dan merasuk ke sum-sum lalu demam semalaman datang. Ku tepis jauh-jauh angan-angan yang terbayang itu. Aku sudah tak peduli dengan konsekuensi yang fatal. Aku lebih mementingkan reputasi sebagai kucing pemburu yang cerdik bukan buatan.
Nanang dan Gumira heran melihat tabiat anehku.
“Tetap di tempat, Boi.”
“Sampean iki waras?”
“Kawan, kau kenapa? Dua orang belum ditemukan, kau sudah berenang-renang.”
Aku mendengar suara kayu-kayu di atas hong bergetar. Ya, Maryati akan nampak. Di antara bahu Gumira dan Nanang aku melihat rambut panjang perempuan itu. Tiba-tiba, seseorang terjatuh, berdebum. Lukas sibuk menggaruk-garuk punggung dan dadanya, mengusir semut rang-rang dari lengannya dengan telapak tangannya. Aku menahan tawa, sambil bangkit dan menuju pos untuk menyentuhnya. “Lukas, hong!” Usai itu, kami tertawa terbahak-bahak hingga perut sakit dan otot pipi menegang. “Hei, kau orang main curang! Berjaga-jaga seperti burung unta menjaga dia punya telur sa!” Lukas berteriak, ia tak terima.
Tapi, sebuah kejanggalan menyatakan Maryati tak muncul seperti yang terpikirkan. Tanpa kami sadari, sebuah tubuh besar berdiri di dekat kami. Tubuhnya gempal dan tinggi, menghalangi cahaya seakan kami berada di tempat remang-remang. Matanya memelototi kami, wajahnya berubah mimik -seram, menakutkan, kejam. Ia tidak setua namanya. Mungkin kisaran kepala tiga. Gawat, kami lupa bahwa tulisan don’t be noisy harus terpampang di kening kami dan kami tak diperkenankan mengeraskan suara. Tapi apa daya, kami tak bisa menahan tawa. Mungkin tawa itulah yang mengusik tidur atau kegiatannya yang berkeharusan bersuasana senyap, sepi, sunyi. Lukas melarikan diri. “Buat apa pula kalian bergeming di situ lari. Cepat lari!”
Ya, itulah yang mesti kami lakukan. Pak Cik Lamin telah muncul. Bahaya besar akan melanda. Namun, Maryati belum ditemukan. Dan mereka barangkali belum memedulikan hal tersebut sebab ada perihal amat penting dihadapi, akibat kecerobohan -atau mungkin rencana Lukas mengundang kemarahan dan pun bakal mempermainkan Pak Cik Lamin.
1. Aku berpendapat demikian dengan cemas sebab interpretasi pemikiran agung Harun Yahya: Tidak satu pun kejadian di dunia ini semata kebetulan saja.
Cerpen Karangan: Rasyad Fadhila

0 komentar:

Posting Komentar

 
berita unik