~~~~ PETAK UMPET ~~~~
Oleh : ERMA
Oleh : ERMA
Jangan sampai anda tertipu oleh indahnya lampu-lampu sorot yg memeriahkan Jakarta. Percaya atau ...tidak, ‘’mereka’’ ada didalam terang maupun kegelapan yg begitu pekat.
Semaraknya lampu-lampu kota Jakarta juga mampu menyemarakkan sampai disetiap lorong-lorong sempitnya, begitu banyak cahaya yg menerangi setiap sudut Jakarta yg bisa dgn mudahnya mengalihkan perhatian anda terhadap hal yg mungkin hanya anda pikir sebagai hal yg sudah tidak trlalu penting untuk dikhawatirkan. Contohnya seperti waktu dimana jam mulai menunjukan pukul 6 sore.
Aku lahir di Jakarta, tepatnya tahun 1992 di hari ke 15 pada bulan November. Orang tuaku menamsiku “Stella Aini Putri”, panggil saja Stella. Saat ini usiaku menjelang 21 tahun.
Aku sedang terbaring disalah satu rumah sakit di Jakarta, didalam salah satu kamar bercat putih pucat, dimanah dindingnya terdapat bercakan-bercakan dengan warna coklat yg memudar, sepertinya sisa dari air talang yg bocor pada saat hujan dan merembes kedalam dinding kamar busuk dan sempit ini, aku benci berada didalam kamar ini, dimana isinya hanya aku terbaring diatas seonggok tempat tidur usang dan berhiaskan tali-tali yg diikatkn ketangan dan kakiku.
Kenapa aku bisa berada disini ? hmm.. yaa aku berada disinih karena mereka menganggap aku gila. Padahal aku hanya menderita luka tusuk pada paha bagian kiri, akibat pisau dapur yg akan aku gunakan untuk menusuk Ray, pria yg paling aku benci yg pada hari sial itu berhasil meloloskan diri dari tajamnya pisau dapur Bu Arum.
Entah siapa yg di salahkan sampai bisa pada akhirnya terjadi peristiwa ini. Semua ini berawal diawal tahun 1998, waktu itu usiaku masih belum genap 7 tahun. Aku terlahir dari sepasang suami istri yg bernama “Raditya Pangabean” yg biasa aku panggil “ayah” dan “Arini Dwi Cahya” yg biasa aku panggil “ibu”. Aku juga mempunyai seorang kakak laki-laki namanya “Steven Endora Cahya” . aku dan Steven hanya selisih 1 tahun lebih 5 bulan.
Entah perbedaan atau kesalahan dari kedua kata ini, “Aini” menurut mama artinya mata, sementara “Endora” adalah mata air dalam bahasa Ibrani. Yaa… antara mata air dan mata mungkin juga hal ini yg menjadi salah satu penyebabnya , mengapa aku menjadi seperti sekarang ini.
Sore itu, sekitar pukul 16.17 WIB, Yosef, Rian, Edgar, Rafa mengajak Steven bermain keluar. Karena aku dan steven cukup dekat, maka steven mengajakku bermain juga bersama teman-teman yg memang juga tinggal di sekitar rumah kami. Aku memang perempuan sendiri pada saat itu. Kami berenam bingung akan memainkan permainan apa. Sampai akhirnya Rafa bilang “Petak Umpet” (permainan dimana salah satu pemainnya menutup mata dn yg lainnya berpencar mencari tempat untk bersembunyi sampai di temukan oleh si penutup mata).
Pada akhirnya kami memainkan permainan petak umpet. Dan giliran pertama jaga adalah Rafa si pemilik ide pada sore itu. Butuh waktu sekitar 15 menit untuk Rafa menemukan semua teman yg sedang bersembunyi. Tak terasa dari aku dan Steven keluar dari rumah, ini sudah menit ke 30. Jadi sekarang sudah pukul 16.47 WIB. Masih cukup banyak para baby sitter di komplek kami yg menggendong anak asuhnya berjalan-jalan sore.
Nah kali ini giliran aku yg dapat giliran jaga. Tak perlu waktu yg lama bagiku untuk menemukan para pria itu. Hanya sekitar 10 menit, karena aku juga dibantu oleh mba Wati dan mba Turi untuk menemukan teman-teman yg bersembunyi. Oh iyah, mb Wati dan mb Turi baby sitter yg mengasuh bayi sebelah rumahku.
Lalu kini giliran Steven, sang anak mata air yg akan menutup mata dan mencari teman-teman yg bersembunyi termasuk aku. Hmm… karena Steven yg jaga, aku berpikir untuk memilih tempat persembunyian yg paling aman. Jadi Steven butuh waktu yg sangat lama untuk menemukanku. Hehehe rasa iseng itu seakan membuat aku sedikit besar kepala karena aku sulit untuk di temukan oleh Steven dan aku jadi merasa hebat karena hal itu.
Yayaaa…. Itu memang pikiran bodohku dimasa kanak-kanak dulu. Maklum, usiaku dan Steven tidak jauh berbeda . jadi kami sesekali berlomba untuk jadi nomor satu… try to be number one disore hari yg cerah ini. Simple begitu saja yg dalam pikiranku waktu itu. Tapi ternyata efek yg timbul tidak seperti simplenya pikiran yg terbesit sejenak dikala sore itu. Aku memutuskan untuk bersembunyi sekitar 8 meter lalu sedikit berbelok dari tempat Steven berdiri sambil menutup mata menghadap kearah tembok rumah Rian.
Aku mengambil posisi di samping tempat sampah yg terbuat dari semen didekat tanah kosong yg belum dibangun rumah diatasnya karena belum ada org yg berminat untuk memiliki tanah dan membangun rumah dilahan ini. Tanah kosong berilalang ini hanya cukup membangun 1 rumah. Terbayangkan seberapa besarnya lahan ini.
Hmm.. Steven belum juga menemukanku. Makin besarlah kepalaku. Lama aku menunggu menunggu dan menunggu. Lalu aku putuskan untuk mengintip ke tempat dimanah Steven berdiri. Waah ternyata masih ramai sekali di tempat itu. Sepertinya kami mendapat teman-teman baru sekitar 7 orang. jadi sepertinya disitu berdiri 12 orang dan apabila aku ditemukan, maka kami menjadi ber 13. Hem… wajah ke 7 anak itu tampak asing bagiku. Ohh mungkin karena mereka anak belakang komplek kami yg ingin bermain bersama kami. Aku kembali keposisi awalku. Kembali menunggu dan menunggu.
Setelah sekian lama menunggu, aku merasa jenuh dan kesal, kenapa sampai langit mulai redup tapi aku masih belum berhasil ditemukan. aku berniat menghampiri mereka dan ternyata mereka sudah bubar dan tak terisa 1 pun dari ke 12 anak yg bermain ditempat ini beberapa waktu yg lalu.
Aku marah, memutuskan untuk pulang dan menemukan Steven dirumah. dan mengherankan, kulihat Steven sudah belajar dimeja belajarnya dan sepertinya dia sudah selesai mandi beberapa waktu yg lalu. Aku dan steven sudah memang dari kecil tidak di perhatikan ibu dan ayah dalam hal apapun karena mereka sibuk bekerja dan berpergian keluar kota, jadi kami hanya ditemani 2 org pembantu dirumh.
Ku hampiri Steven, kutanyakan mengenai hal tadi saat bermain dan tak lupa juga kutanyakan siapa 7 anak yg ikut bermain tadi. Seteven tersentak kaget mendengar pertanyaanku dn tuduhan-tuduhanku kepadanya yg tak kunjung usai. Sesaat suasana manjdi hening, aku dan Steven terdiam. Steven seperti keheranan dengan keadaanku yg sedang berdiri dihadapannya. Beberapa menit menunggu, Stevenpun mengeluarkan kat-katanya.
“Stella, Steven bingung Stella ngomong apa. Tadikan Steven udah nemuin Stella, lalu kita semua bubar karena sudah hampirjam 6, kata mba atin udah mau maghrib nanti ada setan lewat. Lalu kitakan pulang bareng la. Terus soal 7 anak belakang komplek, gak ada kok la. Tadi kita Cuma maen petak umpet berenam sama Stella, dari awal sampe akhir yah berenam”.
Mendengar ucapan Steven, sekarang giliran aku ysng tersentak kaget. Aku merasa mukaku memucat mendengar cerita versi Steven. Mana mungkin tidak percaya, sementara Steven bukan kakak yang hobi menjahili adiknya dan Steven juga tipe orang serius dengan radar keseriusan tingkat tinggi.
Seusai pembicaraan itu, Steven kembali pada buku pelajaranya dan membiarkan aku duduk terkulai diatas kasur Supermannya. Sesaat terbesit dalam pikiranku kejadian yang tidak masuk akal itu. Ku lihat jam dinding dikamar Steven, mulai menunjukan pukul 18.45 WIB. Sudah menjelang malam.
Aku memutuskan untuk beristirahat saja dikamar tanpa mandi ataupun sekedar membasuh mukaku pakai air dingin. Aku sangat lelah. Rasanya seperti seseorang yang baru saja berlari-lari mengelilingi komplek perumahan ini. Kepala terasa berat, bahu terasa berat, kakipun sama, sangat berat untuk melangkah. Huuh…. Terlelap begitu saja. Namun sepanjang malam itu sebentar-sebentar aku terbangun, rasanya seperti ada kegelisahan dalam hati dan pikiranku. Sampai baru terdengar suara adzan subuh dari musolah komplek, aku baru bisa tidur lelap.
Beberapa jam tertidur, Steven membangunkan aku untuk berangkat sekolah dihari sabtu pagi ini. Waktu tahun 1998 sekolah-sekolah di hari sabtu, tidak seperti tahun belakangan ini yang libur dihari sabtu dan minggu. Aku mendengar suara Steven meminta mba Atin untuk membawakan kompres air es untuk mengkompres dahiku. Mataku sulit untuk terbuka. Ternyata aku demam tinggi dan Steven mencoba untuk menurunkan demamku menggunakan kompres itu. Dinginnya kompres itu membuatku kembali terlelap dalam tidur. Aku meras ringan pada waktu tidur. Entah kenapa, mungkin Karena aku dalam keadaan demam pada waktu itu.
Aku kembali mendengar seperti ada suara anak kecil sebayaku yang memanggilku dan mengajakku bermain dikamarku. Sementara aku, berusaha untuk membuka mataku seakan teras berat sekali. Berhasilku buka penuh mataku dan kulihat sekitar, ada yang tampak berbeda dengan kamarku, terlihat sedikit ramai dengan kehadiran 7 anak yang kulihat saat bermain petak umpet kemarin. Aku sedikit keheranan, bagaimana mungkin mereka bisa bermain dikamarku, sementara aku tidak pernah mengajak siapapun bermain dikamarku kecuali Steven.
Aku perhatikan dan tak
mampu menggerakan seluruh tubuhku, menggerakan bibirkupun rasanya sulit
sekali. 7 anak itu terdiri dari 4 anak laki-laki, 3 anak perempuan.
Sepertiny...a
mereka sebaya denganku. 3 anak perempuan itu sedang asik-asiknya
bermain dengan jejeran boneka barbiku yang kutata rapi di rak.
Sementara yang 4 anak laki-laki menyibukkan diri mereka dengan membuat
pesawat-pesawat dari kertas, dimana kertas tersebut mereka sobek dari
buku-buku yang kuletakkan di atas meja belajar. Sepertinya mereka tidak
menghiraukan aku sebagai pemilik kamar ini. Aku terus memperhatikan
mereka dan berharap seseorang masuk kedalam kamarku dan turut melihat
keadaan ini.
Aku diam terpaku tak berdaya. Entah mengapa sulit sekali menggerakan setiap inci tubuhku. Rasanya aku ingin berteriak lalu menangis kencang dipelukan seseorang. Aku mulai takut, mulai panik dengan keadaan sekitar. Aku mendengar suara Steven dibalik dinding kamarku yang sedang menghubungi mamah dan menceritakan tentang demamku. Rasanya dalam hati sudah berteriak memanggil nama Steven. Tapi suara itu tidak dapat keluar dari bibirku.
Melihat mimik wajahku ketakutan dan tampak gelisah, salah satu dari 4 anak laki-laki itu menghampiriku dan menatap wajahku dekat-dekat, kurasa anak itu bisa meraskan nafasku didagunya karena memang dia begitu dekat. Aku tak berani menatapnya. Aku memejamkan mata. Dan aku merasakan dingin yang luar biasa. Seperti didalam freezer. Tiba-tiba rasa dingin itu lenyap seketika dan aku memberanikan diri untuk membuka mata. Ternyataan keadaan disini sepi namun sedikit berantakan. Pesawat-pesawat kertas yang mereka buat, berserakan dilantai kamarku. Barbie-barbie yang kutata rapipun penataannya sudah tak serapi sebelumnya.
Ku panggil Steven. Tak lama Steven menghampiriku dan menanyakan keadaanku. Aku tahu, saat itu pasti mukaku terlihat bodoh dihadapan Steven, karena aku masih berpikir dan keheranan dengan yang baru saja terjadi. Ku lihat jam, ternyata ini sudah pukul 18.47 WIB. Steven menggoyangkan tubuhku karena Steven ketakutan melihatku yang dari tadi diam. Lalu aku seperti tersadar dan menangis di pelukan Steven. Aku bilang aku ketakutan, Dan Steven coba untuk menenangkanku tanpa Steven tahu hal apa yang menyebabkan aku menagis dan ketakutan.
Steven menyuruhku makan dan mba Atin menyuruhku minum obat agar demamku cepat turun. Ibu dan ayah tidak bisa pulang untuk mengurusku karena mereka sedang mengawasi pekerjaanya dikalimantan. Begitulah orang tuaku, mereka begitu enggan untuk mempedulikan aku dan Steven. Mungkin saja mereka sengaja membuat umurku dan Steven tidak jauh berbeda agar seolah aku atau Steven tidak merasakan kesepian, punya teman bermain karena mereka sibuk dengan bisnis ini dan itu. Kami hanya dicukupkan dengan materi dan fasilitas yang mereka sediakan dirumah.
Selesai aku makan dan minu obat dari mba Atin, aku mencoba menceritakan pada Steven mengenai hal yang terjadi dikamarku tadi. Steven menanggapi’a dengan tertawa. Dan dia bilang kalau aku hanya mimpi bodoh. Sudah pasti Steven tidak akan percaya dengan apa yang aku lihat.
Sudah 6 hari aku mengalami hal yang sama setiap kali terbangun d.kamar tidurku. Aneh memang, seolah semua yang terjadi dalam kamar tidurku sama persis. Sama seperti hari sebelumnya. Pada hari ke 4 dokter mondiagnosa bahwa aku sehat dan tak menderita penyakit apapun karena demam yang ditimbulkan. Dokter hanya memberiku resep vitamin. Mamah dan ayah juga tak kunjung pulang untuk melihat keadaanku. Aku berinisiatif kalau besok tepat pada hari ketujuh mereka masih memenuhi kamarku, jika anak laki-laki itu menhampiriku, aku tidak memejamkan mataku, dan aku juga ingin tahu kemana mereka menghilang saat aku tidak melihatnya. Itu yang aku rencanakan sebelum aku tidur dan mengalami hal serupa pada pagi harinya.
Kukuruyukkkkkk……
Ayam jago milik tetangga sebelah mengeluarkan suaranya dan aku mendengar dengan jelas suara ayam itu. Saatnya aku bangun dan melihat yang biasa aku lihat di 6 hari terakhir. Aku buka mataku perlahan-lahan. Yang benar saja, mereka tak ada dikamarku. Seharusnya mereka sedang bermain dalam kamar ini dan menggangguku. Nyatanya tidak nampak satu orangpun diantara mereka ber 7. Aku meras heran, namun disisi lain aku meras tenang dan lega.
Kuhela napas dan ku lihat jam dinding yang menimbulkan bunyi tik tok tik tok pada saat jarum-jarumnya bergerak. Astaga !!!!! ternyata ini baru pukul 01.35 WIB. Aku terjaga di tengah malam. Aku ketakutan karena aku salah jadwal. Mungkin saja ketujuh anak itu belum datang. Aku berkeringat sekalipun AC kamarku menyala di 18o. aku mulai gelisah, aku tidak bisa melanjutkan tidur . lalu sejenak aku berpikir dan kemudian kuputuskan menunggu kapan merka datang ke kamarku sampai mereka meninggalkan kamarku. Aku akan menyaksikan itu semua.
Beberapa menit menunggu, mereka tak kunjung datang. Yang kulihat malah seorang nenek tua yang berjalan mengitari kamarku. Nenek itu cukup menyeramkan bagiku. Sosoknya bongkok dan dia seperti memanggil “cucu”. Nenek itu jalan tergopoh-gopoh seperti sedang berusaha keras untuk berjalan dengan bantuan tongkat yang ketika mendarat dilantai kamar ku menimbulkan suara dok … dok … dok … dok. Nada yang dikeluarkan dari mulutnya juga terkesan lirih dan sepertinya nenek menangis sambil memanggil cucu.
Jantungku memompa dengan hebat. Aku menutup wajahku pakai selimut agar menghalangi pandanganku kearah nenek tua itu. Sampai pagi hari aku tidak tidur karena ketakutan akan sosok nenek dikamarku dan karena aku menunggu mereka datang. Nyatanya mereka tak datang juga sampai pagi. Sudah lupakan.
Aku beranjak dari tempat tidurku untuk ganti baju karena hari ini aku akan mengambil rapor dan menerima hasil, apakah aku akan naik kelas atau tidak. Aku bergegas bersiap menunggu Steven di meja makan. Pagi ini bu Arum masak nasi goreng cumi-cumi kesukaan Steven. Pasti Steven akan semangat hari ini karena diawali nasi goreng buatan bu Arum favoritnya. Tak perlu waktu lama untuk menunggu Steven dimeja makan. Karena kakakku ini seorang kakak yang bertanggung jawab atas waktu. Dia didik keras oleh ayah sejak aku lahir. Jadi beginilah hasilnya. Pria hebat
Pagi itu kami makan berdua. Sementara bu Arum menyiapkan bekal, mb Atin menyiapkan tas yang akan aku dan Steven bawa ke sekolah. Hari ini raporku dan rapor Steven akan diambil oleh tante Yesica. Dia orang Spanyol, adik ipar ibu. Dia wanita yang cantik, baik, dan perhatian kepadaku dan Steven. Hari ini kami janjian untuk ketemu langsung saja disekolah.
Aku diam terpaku tak berdaya. Entah mengapa sulit sekali menggerakan setiap inci tubuhku. Rasanya aku ingin berteriak lalu menangis kencang dipelukan seseorang. Aku mulai takut, mulai panik dengan keadaan sekitar. Aku mendengar suara Steven dibalik dinding kamarku yang sedang menghubungi mamah dan menceritakan tentang demamku. Rasanya dalam hati sudah berteriak memanggil nama Steven. Tapi suara itu tidak dapat keluar dari bibirku.
Melihat mimik wajahku ketakutan dan tampak gelisah, salah satu dari 4 anak laki-laki itu menghampiriku dan menatap wajahku dekat-dekat, kurasa anak itu bisa meraskan nafasku didagunya karena memang dia begitu dekat. Aku tak berani menatapnya. Aku memejamkan mata. Dan aku merasakan dingin yang luar biasa. Seperti didalam freezer. Tiba-tiba rasa dingin itu lenyap seketika dan aku memberanikan diri untuk membuka mata. Ternyataan keadaan disini sepi namun sedikit berantakan. Pesawat-pesawat kertas yang mereka buat, berserakan dilantai kamarku. Barbie-barbie yang kutata rapipun penataannya sudah tak serapi sebelumnya.
Ku panggil Steven. Tak lama Steven menghampiriku dan menanyakan keadaanku. Aku tahu, saat itu pasti mukaku terlihat bodoh dihadapan Steven, karena aku masih berpikir dan keheranan dengan yang baru saja terjadi. Ku lihat jam, ternyata ini sudah pukul 18.47 WIB. Steven menggoyangkan tubuhku karena Steven ketakutan melihatku yang dari tadi diam. Lalu aku seperti tersadar dan menangis di pelukan Steven. Aku bilang aku ketakutan, Dan Steven coba untuk menenangkanku tanpa Steven tahu hal apa yang menyebabkan aku menagis dan ketakutan.
Steven menyuruhku makan dan mba Atin menyuruhku minum obat agar demamku cepat turun. Ibu dan ayah tidak bisa pulang untuk mengurusku karena mereka sedang mengawasi pekerjaanya dikalimantan. Begitulah orang tuaku, mereka begitu enggan untuk mempedulikan aku dan Steven. Mungkin saja mereka sengaja membuat umurku dan Steven tidak jauh berbeda agar seolah aku atau Steven tidak merasakan kesepian, punya teman bermain karena mereka sibuk dengan bisnis ini dan itu. Kami hanya dicukupkan dengan materi dan fasilitas yang mereka sediakan dirumah.
Selesai aku makan dan minu obat dari mba Atin, aku mencoba menceritakan pada Steven mengenai hal yang terjadi dikamarku tadi. Steven menanggapi’a dengan tertawa. Dan dia bilang kalau aku hanya mimpi bodoh. Sudah pasti Steven tidak akan percaya dengan apa yang aku lihat.
Sudah 6 hari aku mengalami hal yang sama setiap kali terbangun d.kamar tidurku. Aneh memang, seolah semua yang terjadi dalam kamar tidurku sama persis. Sama seperti hari sebelumnya. Pada hari ke 4 dokter mondiagnosa bahwa aku sehat dan tak menderita penyakit apapun karena demam yang ditimbulkan. Dokter hanya memberiku resep vitamin. Mamah dan ayah juga tak kunjung pulang untuk melihat keadaanku. Aku berinisiatif kalau besok tepat pada hari ketujuh mereka masih memenuhi kamarku, jika anak laki-laki itu menhampiriku, aku tidak memejamkan mataku, dan aku juga ingin tahu kemana mereka menghilang saat aku tidak melihatnya. Itu yang aku rencanakan sebelum aku tidur dan mengalami hal serupa pada pagi harinya.
Kukuruyukkkkkk……
Ayam jago milik tetangga sebelah mengeluarkan suaranya dan aku mendengar dengan jelas suara ayam itu. Saatnya aku bangun dan melihat yang biasa aku lihat di 6 hari terakhir. Aku buka mataku perlahan-lahan. Yang benar saja, mereka tak ada dikamarku. Seharusnya mereka sedang bermain dalam kamar ini dan menggangguku. Nyatanya tidak nampak satu orangpun diantara mereka ber 7. Aku meras heran, namun disisi lain aku meras tenang dan lega.
Kuhela napas dan ku lihat jam dinding yang menimbulkan bunyi tik tok tik tok pada saat jarum-jarumnya bergerak. Astaga !!!!! ternyata ini baru pukul 01.35 WIB. Aku terjaga di tengah malam. Aku ketakutan karena aku salah jadwal. Mungkin saja ketujuh anak itu belum datang. Aku berkeringat sekalipun AC kamarku menyala di 18o. aku mulai gelisah, aku tidak bisa melanjutkan tidur . lalu sejenak aku berpikir dan kemudian kuputuskan menunggu kapan merka datang ke kamarku sampai mereka meninggalkan kamarku. Aku akan menyaksikan itu semua.
Beberapa menit menunggu, mereka tak kunjung datang. Yang kulihat malah seorang nenek tua yang berjalan mengitari kamarku. Nenek itu cukup menyeramkan bagiku. Sosoknya bongkok dan dia seperti memanggil “cucu”. Nenek itu jalan tergopoh-gopoh seperti sedang berusaha keras untuk berjalan dengan bantuan tongkat yang ketika mendarat dilantai kamar ku menimbulkan suara dok … dok … dok … dok. Nada yang dikeluarkan dari mulutnya juga terkesan lirih dan sepertinya nenek menangis sambil memanggil cucu.
Jantungku memompa dengan hebat. Aku menutup wajahku pakai selimut agar menghalangi pandanganku kearah nenek tua itu. Sampai pagi hari aku tidak tidur karena ketakutan akan sosok nenek dikamarku dan karena aku menunggu mereka datang. Nyatanya mereka tak datang juga sampai pagi. Sudah lupakan.
Aku beranjak dari tempat tidurku untuk ganti baju karena hari ini aku akan mengambil rapor dan menerima hasil, apakah aku akan naik kelas atau tidak. Aku bergegas bersiap menunggu Steven di meja makan. Pagi ini bu Arum masak nasi goreng cumi-cumi kesukaan Steven. Pasti Steven akan semangat hari ini karena diawali nasi goreng buatan bu Arum favoritnya. Tak perlu waktu lama untuk menunggu Steven dimeja makan. Karena kakakku ini seorang kakak yang bertanggung jawab atas waktu. Dia didik keras oleh ayah sejak aku lahir. Jadi beginilah hasilnya. Pria hebat
Pagi itu kami makan berdua. Sementara bu Arum menyiapkan bekal, mb Atin menyiapkan tas yang akan aku dan Steven bawa ke sekolah. Hari ini raporku dan rapor Steven akan diambil oleh tante Yesica. Dia orang Spanyol, adik ipar ibu. Dia wanita yang cantik, baik, dan perhatian kepadaku dan Steven. Hari ini kami janjian untuk ketemu langsung saja disekolah.
0 komentar:
Posting Komentar