a. Bagaimana cara pertama yang efektif dalam membukakan benteng untuk memulai perang?
b. Manakah yang harus diutamakan antara pembunuhan bala tentara raja dulu atau berfokus pada raja?
c. Bagaimana membentuk pertahanan yang kuat di benteng sendiri?
d. Serta bagaimana jika benteng pertahanan lawan sangat kuat?
e. Bagaimana agar bisa cepat dan segera dalam melangkahkan pasukan dan menempas setiap serangan?
Ya, sedikitnya demikianlah yang tertangkap dalam imajinasiku ketika melihat permainan catur oleh para orang tua di depan rumah. Menurutku kemudian, bermain catur adalah bermain strategi, ketelitian dan kecepattanggapan atau keterampilan motorik. Mengasyikkan sekali melihat kedua pemain berkonsentrasi penuh memainkan mata dan -mungkin- mengimajinasikan kekuasaannya memberi hidup pada actor -aktor di atas papan caturnya. Setelah aku merasa asyik, ku yakin aku mulai menyukai permainan ini. Penasaran, lalu mengajukan pertanyaan-pertanyaan tadi. Alhasil, mereka melatihku dengan learning by doing. Wow!
Pelatihku kira-kira berusia 60an. Berkacamata tebal, kepalanya penuh dengan uban yang ditutupinya dengan kopiah haji -kopiah warna putih. Mirip sekali dengan Kakekku, hanya saja Kakekku tidak pandai bermain catur. Beliau sangat ramah dan sabar dalam melatihku, termasuk terus menertawakan ulahku yang ragu-ragu bertindak dan lemot.
Biasanya beliau bilang, “kamanten atuh kamanten neng teh?” sambil tersenyum.
Untuk hidupku pun ku ajukan pertanyaan yang sama, “Sebenarnya apa sih tujuan hidupku? Dan apa manfaat aku bergerak seperti ini dan itu?”
Rasanya aku kembali diingatkan kepada Tuhan. Allahku.. Astaghfirullahaladzim.. untuk segala kesia-siaan perilakuku yang melupa nilai ibadah kepadaMu, mohon Engkau sudi mengampuninya. Wahai Dzat Yang Maha Pengampun Yang Merahmati umatNya.
Hari berikutnya aku semakin penasaran. Aku kembali menghampiri tempat catur di depan rumah. Ternyata pak tua sedang sendirian di sana, maka segera saja ku hampirinya. Pak tua pun sumringah dan segera mengajakku memainkan bidak. Ah, aku sangat girang senang menerima ajakannya. Pak tua masih masih bermata jeli, ia memelototi bidakku kali ini. Lagi-lagi, sepertinya aku salah melangkah. Tapi aku bertenang saja, mulai berani setelah hari kemarin dipujinya. Eh kamu tahu pujiannya padaku apa? Beliau bilang, “ayeuna mah lumayan tah neng, rada ngarti nya?” Walaupun baru sedikit, lama-lama kan jadi bukti. Eh bukit! hatiku girang. Maklum baru beberapa terakhir ini aku kembali memainkan 32 bidak catur ini. Ini pun –jika ada yang berminat cari tahu– tidak lain karena ada paksaan dari sesuatu.
Si pion ku gerakkan untuk menakuti gajah di seberangnya. Ku rasa ini tidak terlalu konyol karena jika pionku dilahap gajah, aku telah siap menggerakkan kuda untuk kembali melahapnya. Yes! Ini adegan yang paling kusuka, musuh masuki jebakanku. Dari strategi ini aku berhasil mengumpulkan dua gajah, satu kuda, empat pion. Pak tua tidak banyak komentar. Ia masih terpaut pada papan. Perlahan tapi pasti, aku pasti segera menemui mati! Lihatlah kerlingannya. Padahal aku baru sibuk memikirkan strategi berikutnya.
Oh ya, strategi yang kumaksudkan tidak lain adalah tahapan pergerakan bidak. Ini dia: pergerakan kuda sebelum gajah, gajah sebelum benteng, pergerakan rokade, dan pergerakan menteri. Dan tidak lain tujuannya adalah menghindarkan rajaku dari berhadapan langsung dari musuh. Uh, pak tua punya cara mematikan yang lebih ampuh. Dari awal dia hanya begitu fokus menggerakkan bidak menteri.
Bidak rajaku tersembunyi di antara kuda di sisi depan petak -hitam, benteng di sisi kiri -hitam, dan gajah hitam tetap di tempatnya, dan masih ada tiga pion lagi yang bertahan di tempat asalnya. Sementara mentri dan bidak lainnya tersebar jauh di wilayah lawan. Tiba-tiba, menteri musuh berada di garis putih mendiagonal sebelah kanan yang melompong langsung mengancam raja. Skak mat! Hendak ku pindahkan kuda untuk menghalanginya. Tapi pak tua tertawa. Tetap Skak mat! Di garis lurus dari tempat kudaku, benteng musuh telah siap sedia. Yang ku bayangkan benteng gendut itu tertawa dengan bunyi, “huaahahaha!!” menggelegar. Dan si menteri itu dengan mata sinisnya berkata, “mau lari kemana kau?”
Jiaaaaatt!!!
Ya, aku kalah lagi. Dan harus berlatih lagi, lagi, lagi, dan lagi. Nasihat Pak Tua setelah itu adalah sebagai berikut.
“Sekali lagi, melangkah itu harus punya tujuan. Memakan atau dimakan ada dua judulnya: menjaga kehormatan dan atau memeroleh kemenangan. Masa pion makan gajah? Bukan gak boleh, tapi gak sopan dan keterlaluan.”
Aku berpikir lagi dan bersemangat lagi! Belajar catur bersama pak tua memang menyenangkan. Hehehe.
Cerpen Karangan: Ati Nurrohmah
0 komentar:
Posting Komentar