Devi namanya, tapi aku sering menulis namanya di buku
harianku dengan nama Devil yang berarti iblis. Menurutku dia bagaikan iblis
yang terus sja menggoda siapa saja yang bisa untuk digoda. Dia tak pernah
kehilangan akal untuk menciptakan inovasi-inovasi terbarunya. Yang pasti,
inovasinya itu bersifat parasitisme, bagaikan benalu dengan inangnya. Tapi aku
dan teman-temanku sebagai rakyat kecil tidak bisa berbuat apapun, karena kami
hanya anak dari “wong cilik”. Sedangkan Devi, dia anak konglomerat, Papanya
selalu saja memanjakannya. Sebulan sekali, Devi pasti diajak keluarganya untuk
berlibur ke luar negeri. Jangankan Paris, Ethiophia pun pernah ia kunjungi.
Karena itulah Devi pintar berbahasa asing. Nilai
inggrisnya tak pernah dapat 8, selalu saja lebih dari itu. Karena kepintarannya
pula, Devi selalu memamerkannya dengan temannya. Tapi sayang, pintarnya Devi
terkalahkan dengan pintarnya “si kuper”. “si kuper” itu pinter banget sama yang
namanya bahasa asing. Saking pinternya, di rumah dia tidak pernah menggunakan
bahasa Indonesia, "si kuper" selalu menggunakan bahasa jawa (maklum saja, Ibunya mantan putri keraton di
Solo).
Prang!! Kecipak
kecipuk….
Huh…. Suara apa itu? Lagi asyik-asyiknya ngelamun digangguin.
Tapi kok semua temanku lari? Apa jangan-jangan ada gempa? Yang bener aja!. Ah…
mending aku ikut lari nyusul mereka daripada aku harus kena bangunan runtuh
(tapi bener nggak sih ada gempa?). ternyata bukan gempa. Biasa, Devil berulah
kembali, superman yang satu ini emang paling nggak bisa diem sehari aja.
Tapi, kok ulah Devi kali ini diluar kewajarannya ya?.
Berani-beraninya Devi membanting galon beserta keramiknya di kantin. Dan
parahnya lagi, Devi melempar serpihan keramiknya tepat mengenai ubun-ubun “si
kuper”. Alhasil,”si kuper” tergeletak tak berdaya dengan kepala bersimbah
darah. Gosipnya, setelah kejadian itu, “si kuper” divonis Dokter terkena geger
otak. Walaupun tidak terlalu parah, kejadian ini membuat “si kuper” shock,
sehingga ia tak sadarkan diri selama kurang lebih 2 hari.
Akhirnya Kepala Sekolah mengadili Devi dan memberi
hukuman yang bagiku terlalu ringan untuknya, skorsing 2 minggu dan
bersih-bersih kamar mandi selama 3 minggu. Aih, senangnya hari ini, duniaku
pasti akan lebih berwarna dengan tidak adanya Devi di sekolah. Tentu saja hal
ini membuat Devi takut,. Bukan masalah skorsing atau hukuman lainnya. Melainkan
Devi takut dengan kumis tebal yang dimiliki Bapak Kepala Sekolah, apalagi kumis
itu kadang bergerak sendiri. Hi… jijay…
Yuhu…. Mulai besok,
good bye Devi…
3 hari tanpa Devi…
Oh yeah, aku bebas dari belenggu Devi, hidupku damai,
tenang, sehat, sentosa, dan semua hal yang membahagiakan. Aku tak pernah
merasakan kebahagiaan ini sebelumnya. Andai kebahagiaan ini abadi, alangkah
bahagianya aku.
7 hari tanpa Devi…
Nggak kerasa, udah seminggu aku nggak bertemu dengan
iblis itu. Berarti tinggal 7 hari lagi dong! Huh… bête, cepet banget waktu
berlalu. Kelas bakal rame lagi nih, ngalahin ramenya pasar johar. Huh… benci.
12 hari tanpa Devi
Uh… kelas sepi. Mungkin teman-teman udah pada kangen sama
Devi. Aku sih, betah berlama-lama tanpa ada Devi. Bagiku kesempatan ini hanya
akan terjadi sekali dalam seumur hidupku, aku tak boleh menyia-nyiakan
kesempatan ini.
15 hari tanpa Devi…
Duh…gimana nih, peer bahasa inggrisnya susah banget. Mana
“si kuper” belum masuk sekolah lagi. Coba kalau ada Devi, pasti Devi udah
bocorin semua jawabannya. Walaupun kadang jengkelin, tapi di sisi lain Devi
baik kalau disuruh ngasih bocoran jawaban bahasa inggris. Terpaksa deh, aku
harus ngarang jawabannya.
Hari terakhir….
Aku bingung dengan diriku sendiri, kenapa aku begitu
bodoh. Kenapa aku jadi tidak konsisten begini. Aku selalu berkata kalau Devi
itu menyebalkan. Tapi hati kecilku selalu berkata bahwa Devi bukanlah orang
yang seperti itu.
Pagi ini Devi datang ke sekolah. Teman-teman menyambut
dengan suka cita. Bukan hanya kangen, teman-teman juga menanti oleh-oleh yang
dibawa Devi dari luar negeri. Orang seperti Devi tidak pernah kapok dengan yang
namanya hukuman skorsing. Di masa skorsingnya, Devi malah menghabiskan waktunya
untuk berlibur di luar negri. Alhasil, Devi belum juga insyaf. Tapi tak apalah,
justru kenakalannyalah yang kurindukan selama ini. Aku rindu dengan nakalnya,
rindu dengan kesombongannya, rindu akan segalanya.
Memang benar, keburukan akan
terhapus dengan kebersamaan, karena kebersamaan akan menutupi segala keburukan.
0 komentar:
Posting Komentar