PUISI TERAKHIR UNTUK TAMI
Karena
dirimu, aku tahu, bahwa dicintai itu tidak lebih baik dari mencintai.
Bahkan kita belum sempat bertemu. ya? Padahal, antara Musi dan
Batanghari sesungguhnya masih satu jiwa. Mungkin karena itu pula,
perkenalan kita yang singkat, kata-kata yang serba terbatas, dan senyum
yang belum kunjung tertangkap oleh retina itu bukanlah penghalang bagi
hati kita untuk saling mendekat. "Bisakah kita kehilangan tanpa
pernah memiliki, Di?" "Tergantung sejauh mana pemahaman kita tentang
kepemilikan, Mi." "Apa kamu siap memiliki kehilangan?"
Aku tidak
bisa menjawab pertanyaanmu itu. Aku hanya paham bahwa segala sesuatu
yang ada di dunia ini akan hilang. Siap atau tidak siap, kita harus
menerimanya. ~
Belakangan ini aku disibukkan dengan pekerjaan di
kantor. Pak Yovie mendaulatku untuk membacakan monolog di sebuah acara
di Pangalengan. Ya, baru saja aku lulus kuliah dan menjalani hari-hari
pengabdianku di sebuah instansi di bawah Kementerian Keuangan.
Sebenarnya
aku tidak suka udara dingin. Udara dingin pernah membuatku menyerah
menempuh pendidikan di ITB. Saat itu hidungku hampir selalu
berdarah-darah karena pembuluh darah yang rapuh—tak kuat udara dingin.
Dan besok aku harus pergi ke sana lagi. Dua ketakutan lahir di dadaku.
Pertama, karena udara dingin itu. Kedua, karena kenangan-kenangan di
masa lalu yang segera menyergapku begitu aku menjejakkan kaki di Bumi
Parahyangan itu.
"Hati-hati, Di."
Kau berkata seakan-akan
aku akan menghilang selamanya. Memang, di acara itu juga akan diadakan
arung jeram. Siapapun yang lengah bisa saja terpental dari perahu,
menumbur batu, pingsan, lalu terbawa arus ke kematian. Tetapi, tentu aku
tidak ingin berpikir macam-macam. Aku percaya pada standar keamanan
yang diterapkan.
Hal kedua, entahlah, aku juga merasa kau
mencintaiku. Sementara aku belum siap mencintaimu. Kau sendiri yang
paham, betapa luka telah akrab dengan dadaku. Segala cinta yang pernah
mampir tiba-tiba berlenyapan satu per satu dengan cara yang kadang tidak
bisa kuterima dengan logika. Katakanlah pacar pertamaku yang mata
duitan itu, pacar keduaku yang memutuskan menikah dengan orang lain
tanpa memberikan alasan yang dapat kuterima, dan terakhir Si Dokter Gigi
yang menyerah karena mengetahui pola mutasi di tempat bekerjaku yang
baru. Hanya kau, yang berani meyakinkan aku, bahwa bagaimanapun aku, kau
akan tetap di sampingku.
***
Kau takut kecoa. Aku takut
cacing. Kau suka kucing. Aku suka kepiting. Dahimu bekernyit, "Apa
bagusnya kepiting?" "Apa bagusnya kucing?" "Kucing itu hewan yang lucu
dan manja." "Kepiting itu jalannya miring." "Semua orang juga tahu
kepiting jalannya miring." "Kepiting punya capit." "Semua orang juga
tahu kepiting punya capit." "Tapi orang-orang tidak tahu kalau kau malu,
mukamu akan seperti kepiting rebus."
Kau diam. Dan pasti
memerah. Aku memang belum pernah melihat wajahmu. Tapi aku yakin jenis
kulitmu yang putih itu akan mudah memerah kalau terkena panas dan
menahan malu. "Di...." "Ya?" "Bisakah kita kehilangan tanpa pernah
memiliki?"
Giliran aku yang diam. Kau juga diam di seberang sana.
Perlahan, udara dingin di Kemayoran mengepung tulang-tulangku. “Di, aku
mencintaimu....” lanjutmu pelan dan langsung menutup telepon
setelahnya.
***
Aku sempat beranggapan bahwa
perempuan-perempuan yang mencintaiku akan berakhir dengan airmata. Hal
ini tentu bukan tidak beralasan. Penyair seperti aku cenderung memilih
kesunyian sebagai tempat pelepasan. Katarsis. Dan pada akhirnya, mereka
merasa diduakan. Padahal, aku tentu masih mencintainya. Masih mencintai
setiap kenangan dan waktu yang pernah kubagi. Aku hanya memiliki duniaku
sendiri. Aku hanya mencintai kesunyianku sendiri—selain cintaku pada
kecintaan yang dipersembahkan untukku. “Luka adalah lelucon yang datang
tiba-tiba.”
Tiba-tiba di perteleponan kita yang kesekian, kau
mengatakan hal itu. Sepertinya selama ini aku abai pada perasaanmu.
Sepertinya selama ini aku hanya peduli pada kelukaanku sendiri. Dan hari
itu aku menyadari bahwa luka bukan hanya milikku. Tetapi juga milikmu.
Dan aku begitu ingin belajar kepadamu tentang cara menghadapi kelukaan
yang sedemikian akut. “Hidup yang lucu, atau kita yang lucu?” “Atau
Tuhan yang lucu?” Aku tertawa. Kau tertawa. Dan kita saling menertawakan
diri kita masing-masing. “Kenapa kau mencintaiku, Mi?” “Karena itu
kamu....” “Karena aku?” “Jika orang lain, aku tidak akan mungkin
mencintai.” “Apa istimewanya aku?” “Apa butuh keistimewaan untuk
mencintaimu, Di?” Kau begitu sering membuat aku terdiam dengan
pertanyaan dan pernyataanmu. “Kau tidak tahu masa laluku?” “Apa kau tahu
masa laluku?” “Tidak.” “Aku tidak peduli dengan segala hal yang pernah
kau lakukan di masa lalumu, Di....” “Aku tidak berani mencintaimu, Mi.”
“Aku tidak memaksa kamu mencintaiku. Tapi setidaknya biarkan aku
mencintaimu, ya?”
***
Mungkin seminggu lagi aku akan
pulang ke Palembang. Tetapi, kau bilang seminggu lagi kau akan kembali
ke Bandung—sebab telah habis masa liburmu. Jarak antara Palembang—Jambi
sama dengan jarak antara Jakarta—Bandung. Tetapi jarak di antara kita
sesungguhnya jauh lebih dekat dari sepasang bola mata yang tak kunjung
saling bisa membaca.
Setelah buku Kumpulan Cerpen “Dongeng
Afrizal” ku terbit, aku memang merencanakan akan melakukan tur ke
sejumlah kota untuk bedah buku. Palembang, tempat aku dilahirkan dan
dibesarkan, sudah barang tentu menjadi tujuan wajib. Sebentar lagi juga
ulang tahunmu, mungkin menemuimu nanti akan menjadi sebuah hadiah
kejutan terindah.
Akan tetapi, kesibukan-kesibukan yang makin
padat, antara pekerjaanku sebagai CPNS di Ditjen Perbendaharaan yang
dimix dengan rutinitasku sebagai penulis (dan penyair) membuat kita
jarang sekali berkomunikasi. Terakhir kali kau mengirim SMS untuk
mengirimkan bukuku itu ke rumahmu. Aku sempat mencandaimu, ingin
ditambahkan apa di buku tersebut—semisal tanda tangan, cap bibir, atau
foto-fotoku. Tetapi, SMS yang terlewat malam itu tidak kau balas. Kau
pasti sudah tertidur.
Setelah itu, aku tidak tahu kenapa aku lupa
menanyakan kabarmu. Dan heran pula diriku mengetahui kau tidak sekali
pun megirim atau menanyakan kabarku. Mungkin kau sedang sangat
sibuk—sepertiku.
Akhirnya, karena aku lamat-lamat merasakan rindu mengalir di benakku—memikirkanmu, aku mengirim SMS kepadamu:
Tami, apakah kirimanku sudah sampai ke hatimu? Tidak dibalas. Mungkin kau sedang tidak punya pulsa.
***
Beberapa
jam kemudian, kau menghubungiku. Namun bukan suaramu. “Nak Pringadi,
ya?” Suara seorang perempuan yang lebih tua terdengar bersahaja. “Saya
ibunya Tami.” Lanjutnya mengenalkan diri. Mendadak hatiku gelisah. “Iya,
Bu, saya Pringadi, Taminya ke mana, Bu?” “Bukunya sudah sampai. Tadi
kami baca. Tidak salah Tami mengagumimu dan banyak terinspirasi dari
tulisan-tulisan Nak Pringadi.” Aku diam. “Kalau Tami ada salah-salah
kata selama berteman dengan Nak Pringadi, mohon maafkan dia ya?” “Tami
ke mana, Bu?” aku mengulang pertanyaanku. Dadaku tiba-tiba sesak. “Tami
belum sempat membaca bukunya. Tami keburu dipanggil Allah. Beberapa hari
lalu, dia masuk rumah sakit. Demam berdarah. Dia....” “Jangan
dilanjurkan, Bu!” aku memotongnya. “Ini pasti bercanda, kan?” “Ini
kenyataan, Nak.” “Tapi baru beberapa hari lalu kami berkomunikasi, Bu.
Kematian tidak mungkin datang secepat ini pada perempuan sebaik dia!”
Aku
tidak mendengarkan perkataan selanjutnya dari ibunya Tami. Aku mendadak
lemas. Terisak. Dan membiarkan suara di sana berbicara sendiri.
Kubuka
laptopku dan kusaksikan profil facebooknya. Segala kenangan tentangnya
mendadak bermunculan dan berkelindan di mataku. Sebuah kalimat yang
sering ia utarakan itu mengiang-ngiang di benakku.
Bisakah kita
kehilangan tanpa pernah memiliki, Di? Andai kita berpisah, pastilah
karena kematian telah mengisi rongga dadaku. Sebab di langit mana pun
kita berada, bulan masih tetap sama, dan kalender-kalender yang
bertanggalan, seperti helai dedaunan--- terlepas begitu saja dari
ranting. Perjalanan seringkali tampak asing. Jejak sepatu kaca, yang
sengaja kau tinggalkan, kerap tak terbaca. Dan gigil palem, menawarkan
kesepian yang lebih buruk dari cuaca. Aku tahu, aku tahu keberadaanku
yang jauh dari sempurna bikin matamu sakit, tetapi hatiku yang tak
mengenal rasa sakit mencoba tabah melebihi semua gegabah yang sering
kulakukan. Andai kita berpisah, pastilah karena bulan di langit sudah
tak sama. Angin malam, gerak bayangan di remang taman, dan sebuah lampu
di tengah kolam melengkapi musim; Aku tergeletak. dadaku retak.
Jakarta, 2011 Utami Ramadhanti, Semoga Allah memelukmu di sana.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar