Translate

cerpen isak bayi

Written By iqbal_editing on Sabtu, 01 April 2017 | 21.00

Tengelamnya senja. Cengkram sunyi malam datang menghantam di tengah hutan rimba. Memekik seketika, binatang anjing bersahut-sahutan bergeming berganti kawin. Nada katak, jangkrik dan cicak serentak menyambung irama. Hampir setiap malam aku dengar berdenging nada serupa. Jauh dari desa, jauh dari kota. Tinggal di balai bambu bertilam kayu basah dan berplafon sarang lebah. Tiga tahun aku tinggal di tengah hutan yang penuh hampa dan derita, serasa berada dalam penjara. Jutaan pokok-pokok getah yang berbaris terlihat sebagai jeruji besiku. Hampir setiap hari kulalui seorang diri demi berdiri di atas kaki sendiri, semua kutahan kerasnya ujian dan cobaan yang melanda. Kini masih berjalan menggantungkan mimpi di atas kerak bumi ini. Namun selalu kusyukuri selimut perjalan hidup ini. Taat kala pagi tanpa mentari, kicau burung murai mengundang mendung, gerimis tipis berganti hujan lebat, disambut dengan angin yang kuat, diterkam halilintar yang sangat dahsyat, hati gamang ketakutan menyaksikan kebesaran sang penguasa alam.
Tak sadar kutengadahkan kedua tangan menjulang memohon atas pelindungan tuhan semesta alam (Allah s.w.t) semua apa yang aku tau ayat-ayat suci terus kucoba lantunkan dengan air mata kesedihan yang mendalam menyaksikan semesta kian tak bersahabat. Sungguh tanpa daya upaya manusia jika mengelak kehendaknya, baru kali ini hujan nian dahsyat menjiwai. Bertuan pada manusia yang beda agama membuatku terasa ketakutan ketika bencana. Waktu dan tuntutan itu memukulku untuk terus bekerja, meski ku tau ini memang tipu daya dunia yang fana.
Kadang kala bekerja membuatku terhanyut lupa menjadi seorang hamba pada tuhanku yang maha kuasa. Keseharianku cuma menyoroti keserakahan para binatang. Kadang manusia menjelema menjadi binatang, tikam sana tikam sini. Berbagai penjuru datang mengaih rizki namun seringkali lupa siapa yang harus dipuja dan puji. Semakin hari semakin aku tak mengerti tujuan hidup mereka.
Petang menjelang malam, tanpa sengaja tersorot mata di sudut jendela kamar balai bambu, satu per satu aku lihat pondok kecil mungil terbuat dari ranting getah nan indah terdirikan oleh dua nyawa laki dan wanita. Aku bergegas mandi, lalu pergi moncoba untuk menyapa mereka. “heyy kawan, namanya siapa?” Tanyaku pelan. “iya kawan, saya Samsul dan ini Ani, silakan duduk”. Katanya. “Ohh.. saya Alfin”. sahut saya, “sudah lama di sini?” tanya dia. “iyaa.. bisa dibilang lama.” jawab saya. Percakapan yang panjang lebar hingga pukul malam 12:00 tiba, singkat kata aku pamit segera kembali ke dalam balai bambu.
Di tengah jalan gelap gulita aku lihat binatang babi hitam besar sebesar sapi, wow bulu kuduk berdiri tanpa tanya, nasib baik hewan mengerikan itu tak mengejar, Selepas aku sampai balai bambu sepertiga malam aku dengar isak bayi yang menjerit, terbesit tanya dalam hati anak siapakah itu. Baru kali ini terdengar tangis bayi.
Tiga malam tangis bayi menghampiriku siapakah itu, siapakah itu, siapakah itu tanyaku terus dalam hati. Apakah dua nyawa itu yang begitu tega membuang bayi mereka? Masih bertanya dan berperasangka. “Ahh nggak mungkin” pikirku. Tanpa sadar aku terlelap terbuai mimpi.
Kini pagi buta ku terbangun bergegas mandi sembari menunggu mentari keluar dari saranya, namun gagal sang surya memilih murung berselimut mendung. Kali ini mendung tanpa hujan, kebetulan hari ini hari cuti bebas kemana pergi, namun sayang kebebasan cuma sampai di ujung hidung, aku niat pergi ke pondok kawan samsul berjalan langkah kaki tercium bau yang tidak sedap dari jarak 10 meter perjalanan menuju samsul, semakin dekat, semakin dekat, kuloncati sebuah parit terpotret anjing dan babi berebut daging, kulepar dengan batu ia lari melolong, kulihat tinggal bangkai kaki dan tangan manusia, istigfar ku tiada henti merintih air mata membasahi pipi, “Astaghfirullah hal adzim, Astaghfirullah hal adzim, Astaghfirullah hal adzim, ya allah ampunilah dosa-dosa yang telah berzina, dan menganiaya darah dagingnya sendiri, sungguh aku takut azabmu ya rabbi” mungkin masih banyak belum aku jumpai.
Isak bayi di sudut-sudut hutan mengiang mencari ibu dan ayah.
Bangkai bayi di tong-tong sampah bertaburan berlumur darah.
Apa salahnya dan apa dosanya.
Sedangkan mereka senang berhura-hura dalam asmara.
Mengaku suami istri hanya di atas tilam.
Selepas nafsu tersalurkan, siksa teramat kejam.
Sungguh keji dunia hitam.
Banyak pemuda mengaku dewasa,
Kalaupun dewasa, cuma sebatas rayuan kata-kata.
Cerpen Karangan: Aprian Jayadi

0 komentar:

Posting Komentar

 
berita unik