Tadi sore ketika aku pergi ke sebuah toko buku, ada sebuah musik yang bergetar
pelan saat diperdengarkan. Aku tertegun. Getarannya menghujam dadaku. Tanpa mau
melewatkan warna harmoninya satu mili detikpun – aku khusyuk merasakan. Tak
bergeming. Sampai pada saat musik itu selesai, ingin rasanya aku merengek
supaya merasakannya lagi – dan ingin tahu judulnya – juga aku ingin tahu penciptanya.
Namun, setelah menyadari diriku, aku hanya bisa kecewa.
Tiba-tiba dalam selembar kertas,
Mamik menuliskan sesuatu padaku: Musik itu masalah selera. Ya, aku mengangguk
mengamini. Tapi bukan itu. Masalahnya adalah aku kecewa. Jika doa apapun bisa
dikabulkan, aku mungkin akan bilang pada Tuhan; supaya, lebih baik aku tak
dipertemukan dengan musik seperti itu lagi – seperti yang ku dengar tadi sore.
Kutanya Mamik; suka musik itu?
Dia menjawab; ya, musiknya sungguh indah. Aku tau Mik, aku yakin musiknya
indah. Kutanya lagi; bagian mana yang suka? Dia menjawab; sewaktu gesekan cello berpadu dengan denting piano. Kucoba
bayangkan lagi getaran – harmoninya. Semuanya masih lekat terpatri didadaku.
Mamik sungguh baik padaku.
Saudaraku yang terbaik menurutku. Dia tak henti-hentinya menghiburku,
mengajakku untuk selalu bersyukur: bukankah kita bisa menikmati kesedihan?
Seperti halnya musik... ada beberapa warna yang dikandungnya... musik yang biru
bukan berarti membuat kita harus kelabu. Aku paham maksudnya. Kemudian hanya
sekedar untuk memastikan, kutanya dia; alunan musik haru meski menyayat bak
sembilu, namun justru seringkali itu musik yang indah? Dia mengangguk dan
tersenyum.
Terimakasih Mik,
mungkin dalam kesedihan terdapat hidup yang indah. Aku akan tersenyum dalam
kemelankolisanku. Menikmati melodi dan harmoni perasaanku. Ya ampun, kini aku
tahu! aku terbelenggu rindu. Seandainya telingaku tidak tuli,
pasti tadi sore aku mendengar betapa indahnya alunan musik itu.
0 komentar:
Posting Komentar