NYONYA LINDA DAN PEMBANTUNYA
Sudah lama perempuan itu merasa kesepian. Manakala ia menyaksikan dan mendengar canda tawa anak-anak, entah di jalanan menuju suatu tempat atau dari televisi, ia merasa jauh terlempar pada ruang yang kosong. Namun sebenarnya ruang itu hanya diketahui oleh dirinya sendiri.
Nyonya
Linda masih membersihkan debu-debu yang tebal menempel di kaca jendela
kamarnya. Sepertinya, ia lama tak melakukan hal ini sejak ia dan
suaminya memutuskan mengambil pembantu. Praktis hampir semua pekerjaan
rumah tak pernah disentuhnya. Namun sudah tiga bulan sejak suaminya
pergi, ia hanya membolehkan pembantunya mengerjakan apa saja kecuali
dalam kamar nyonya Linda. Seolah ia sengaja menyembunyikan sesuatu.
Memang
tidak mudah membersihkan debu yang sudah terlalu tebal menempel, nyonya
Linda mengeluh. Tapi, sekarang pekerjaan itu harus dilakukannya
sendiri. Bahkan untuk seluruh pekerjaan yang berkaitan dengan isi
kamarnya pun ia sendiri yang akan menyentuh. Selebihnya jika ada waktu
luang, ia sempatkan diri menyiram bunga-bunga yang berada di taman
samping kamarnya yang nyaris hilang kesegarannya. Atau, ia akan
memainkan piano pemberian suaminya sebagai hadiah ulang tahun perkawinan
mereka yang ketujuh belas.
Meski
jemarinya tidak lagi selincah dulu ketika menekan keyboard piano, tapi
lumayan juga hasilnya nyonya Linda membawakan musik-musik klasik karya
Beethoven, Mozart, maupun J.S. Bach. Kesukaannya pada musik-musik itu
berawal sejak nyonya Linda masih kuliah. Bahkan ia sangat idealis ketika
itu. Menurutnya, musik-musik mereka telah menyatu dalam dirinya dan
menjadi ruh bagi jasadnya. Jika harus berpisah dengan musik-musik itu,
lebih baik ia mati, atau setidaknya tuli untuk selamanya.
Tapi,
kenapa akhir-akhir ini nyonya Linda sering dilanda gelisah? Itulah
kesan yang selama ini tanpa disadarinya tertangkap oleh si pembantu.
Nada-nada yang dimainkan selalu terdengar murung. Jika sudah demikian,
paling-paling ia akan memainkan satu judul, itu saja tidak sampai
selesai. Selebihnya, nyonya Linda akan membawa tubuhnya duduk di ruang
tengah kemudian memutar-mutar chanel televisi jika ada acara yang
menarik. Atau, kalau tidak, ia akan mengambil buku kesukaannya dan
membacanya sampai si pembantu akan mengingatkan bahwa sekarang sudah
larut malam.
"Tolong ambilkan saya air putih, Bi,"
"Baik, Nyonya."
Nyonya
Linda memilih-milih chanel televisi dari remote control-nya. Namun
program sinetron yang hampir selalu bersamaan jam tayangnya itu
tampaknya tidak terlalu menarik baginya. Maka, ia pun memutuskan membaca
buku yang sudah sejak tadi dibawanya dari kamar.
"Ini, Bi, kalau mau lihat tivi." Ujar nyonya Linda sambil menunjuk remote control.
"Ah, saya tahu. Pasti acaranya sinetron semua. Kalau saya paling demen lihat sinetron, Nyonya."
"Ya..ya…terserah Bibi saja."
Si pembantu tampak gembira. Artinya, ia bebas memilih acara kesukaannya tanpa merasa segan dengan keberadaan nyonya Linda.
Sejak
ikut keluarga nyonya Linda dan suaminya, tuan Dinar, si pembantu memang
merasakan suasana kekeluargaan yang hangat dan luar biasa. Meski
sebelumnya ia merasa was-was demi menyaksikan banyak berita penganiayaan
yang dilakukan majikan terhadap pembantunya dari televisi atau surat
kabar, toh sekarang ia bisa menyimpulkan bahwa ternyata tidak semua
majikan jahat. Ia bersyukur karena mendapatkan majikan yang baik hati
yang bersedia memperlakukannya dengan sangat manusiawi. Bahkan ia sudah
dianggap sebagai bagian dari keluarga itu sendiri.
Pernah
suatu ketika tanpa sepengetahuan nyonya Linda, tuan Dinar membujuk agar
anak si pembantu yang masih berusia lima tahun dibawanya serta ke rumah
itu. Sebenarnya si pembantu tak ingin menolak tawaran itu. Ia bahkan
merasa senang berada di dekat anaknya. Namun, ia hanya khawatir
kehadiran anaknya berarti membebani keluarga tuan Dinar. Lebih baik
anaknya ditipkan pada orangtua dan saudara-saudaranya di kampung, biar
tak bertemu untuk sementara waktu tak mengapa. Terkadang jarak bisa saja
membuat seseorang menemukan semangat dan mengukuhkan rasa kasih sayang,
katanya pada tuan Dinar.
"Saya hanya
menawarkan jika Bibi tak keberatan. Kami pasti akan dengan senang hati
menerimanya. Lagi pula, biar rumah ini ramai dengan celoteh anak kecil.
Bibi tahu kan, ketika pernikahan saya dan nyonya sudah berjalan lima
tahun, kami belum juga dikaruniai anak. Saya pikir itu rahasia Tuhan dan
tinggal menunggu waktu saja. Tapi sampai sekarang, sudah tujuh belas
tahun menikah, kami juga belum memiliki anak."
"Apa Tuan dan nyonya sudah periksa ke dokter?"
"Itulah, Bi, masalahnya. Dokter mendiagnosa tak ada kelainan pada kami. Terus terang saya juga heran bercampur kecewa."
"Sempat
juga saya dan nyonya berpikir mengadopsi anak dari panti asuhan. Tapi,
kami sering dihantui rasa cemas. Anak itu pasti jauh dari orang tuanya.
Dan kami jelas tak mau ambil resiko karena tak mengetahui latar
belakangnya. Apalagi, saya merasa miris dengan pemberitaan di televisi
atau koran tentang adanya beberapa orang tertentu yang kerap
memanfaatkan anak kecil untuk tindakan kriminal."
Dan
sampai sekarang, kata-kata tuan Dinar beberapa bulan lalu masih jelas
terngiang di telinga si pembantu. Ia membayangkan betapa galaunya hati
sepasang suami isteri yang belum juga dikaruniai anak setelah belasan
tahun menikah. Ia bisa menangkap kegalauan itu dan membayangkan
seandainya nasibnya sendiri berkata demikian. Tapi, si pembantu
buru-buru bersyukur karena tak lebih dari satu tahun menikah, ia sudah
dinyatakan positif hamil. Dan sekarang anaknya sudah mencapai lima
tahun.
*****
"Nyonya, boleh saya bicara sebentar,"
"Hm…ada apa, Bi. Bilang saja," jawab nyonya Linda tanpa menatap wajah si pembantu.
"Bagaimana kalau saya ajak Irfan tinggal di sini?"
Raut
muka nyonya Linda seperti diterkam keterkejutan. Untuk sesaat ia tutup
buku setelah menandai halaman terakhir yang baru saja dibacanya.
Nyonya Linda diam. Menaruh pandangannya pada si pembantu.
"Apa Bibi yakin?"
Tiba-tiba
si pembantu merasa ada keraguan merengkuhnya. Ia khawatir jangan-jangan
kata-katanya tadi menyinggung perasaan nyonya Linda. Rencana semula
untuk mengatakan bahwa dengan mengajak Irfan, anaknya, untuk tinggal di
rumah itu diurungkan sampai menunggu saat yang tepat untuk meneruskan
pembicaraan.
"Lho, kok tidak dijawab. Apa Bibi yakin mau mengajak Irfan tinggal di rumah ini?"
"Saya
merasa rumah sebesar ini terlalu sepi untuk ditinggali dua orang,
Nyonya. Dengan mengajak Irfan, saya berharap rumah ini bisa tampak lebih
ramai. Apalagi Irfan akan menjadi laki-laki satu-satunya di rumah
ini…."
Diam-diam nyonya Linda merasa ada
sesuatu yang keluar dari tubuhnya. Angan-angannya terbang menemui sosok
tuan Dinar yang sampai malam itu rupanya masih terekam jelas di
benaknya. Sejak ia menikah dengan laki-laki itu dan memutuskan untuk
mengambil pembantu, rumah mereka hanya diisi tiga kepala; satu laki-laki
dan dua perempuan.
Sampai tiba saatnya di
suatu hari, sebuah peristiwa yang tak mungkin dilupakan nyonya Linda
harus diterimanya sebagai kenyataan hidup yang tak bisa dipungkiri oleh
siapa pun. Peristiwa itu pula yang membuat dirinya serasa memasuki ruang
kosong. Alangkah cepatnya berita kematian itu datang, rintih nyonya
Linda sesaat setelah dua polisi menemuinya di rumahnya.
"Jiwa
suami nyonya sudah tidak tertolong lagi. Beliau terjebak dalam
kecelakaan maut beruntun. Kami harap Nyonya bersedia berangkat bersama
kami ke rumah sakit sekarang," kata salah satu polisi itu.
Tapi,
bagi nyonya Linda bukan hanya kepergian tuan Dinar saja yang
menyebabkan kesepian terasa lengkap menghiasi hari-harinya sejak tiga
bulan terakhir. Selama tujuh belas tahun lebih berumah tangga, mereka
belum juga dikaruniai anak. Kadangkala ia juga suka menghibur diri
ketika melihat anak-anak di jalanan atau di televisi begitu polos dan
menggemaskan. "Apakah aku memang mandul?", pikir nyonya Linda. "Kalau
memang demikian, buat apa aku terus dan terus berharap untuk memiliki
keturunan? Walaupun aku harus menikah seratus kali, toh akhirnya akan
sama saja. Ah, mungkin aku memang harus mencintai kesepian ini."
*****
"Nyonya?! Kok nyonya jadi melamun? Saya sudah putuskan akan membawa Irfan ke sini. Saya ijin besok akan menjemputnya."
Nyonya
Linda mengangguk pelan. Malam itu ia akan tidur dan berharap mimpi
indah menghampirinya, begitu pula dengan si pembantu. Namun, entah apa
yang harus terjadi esok?
(*) Jogja, 02''06
0 komentar:
Posting Komentar