cerpen "PEMBANTU RUMAH TANGGA"
Saat usia 14 tahun ketika aku berhenti sekolah SMP; aku dibawa oleh
Paman yang telah lama merantau ke Jakarta untuk dicarikan pekerjaan.
Setelah menginap beberapa minggu di Rumahnya, aku akhirnya mendapatkan
pekerjaan sebagai PRT yang diperoleh memalui seorang Calo, aku sangat
tertarik dengan pekerjaan itu. Lalu aku dibawanya dan diperkenalkan pada
keluarga Kaya di Jalan Durian , Keluarga pak Abdurahman yang tingggal
di Komplek Bintoro. Dari sanalah perjalanna hidup ku memulai. Aku
mendapat bayaran satu bulan 600 Ribu, aku harus merasa cukup dan puas,
karena makan sehari-hari telah ditanggung oleh keluarga pak Abdurahman,
juga di bagian belakang rumah disediakan kamar khusus, tidak besar
tetapi cukup untuk sebuah ranjang kecil dan lemari plastik yang telah
mereka sediakan. Gaji yang aku terima setiap bulan ku kumpulkan, dalam
tiga bulan sekali aku kirimkan ke Kampung untuk mambantu ibu dan bapak
yang hanya sekedar buruh tani pada pak haji Makmur. Tiga adiku masih
kecil-kecil dan mereka butuh biaya untuk sekolah. Dan untukku sama
sekali tak tersisakan. Aku pikir aku tak perlu menabung karena aku sudah
mendapat cukup sandang dan pangan dari majikan. Setelah beberapa
selang waktu aku bekerja sebagai pembantu rumah tangga dengan pekerjaan
yang begitu banyak sekali, memasak , mencuci pakaian, membereskan
kamar dan setiap ruangan yang ada di rumah yang berukuran mega besar
serta membantu masak bu Abdurahman , tidak membuatku merasa kewalahan,
aku justru merasa senang dan kerasaan tinggal bersama keluarga Pak
Abdurahman. Suka cita selama bekerja membuatku selalu setia terhadap
mereka. Apalagi Bu Netty Abdurahman sangat dekat denganku, aku hampir
setiap saat mendapinginya, untuk berbelanja ke Supermarket , ke salon
dan kemana saja pergi, dia tak pernah memperlakukan aku seenaknya,
tetapi aku sadar bagaimanapun aku tetap perkerjanya. Tarmaji Sopir yang
selalu setia malah pernah berkata bahwa aku seperti putrinya bu Netty ,
orang tak akan mengira aku pembantunya yang dari Kampung, aku kadang
merasa malu karena sering orang terkelabui, tapi memang kenyataannya
seperti itu. Tak pernah aku terpikir apalagi setelah Tarmaji berkata
bahwa jika dia belum menikah dia ingin mempersuntingku, katanya aku
Gadis yang sangat cantik sekali, tak cocok jadi Pembantu rumah tangga.
Itulah mungkin alasan banyak orang mengira aku Putri Bu Abdurahman.
Sebenarnya aku tak pernah memperhatikan diriku sendiri, apalah arti dari
rupawan, tapi semenjak Tarmaji memberikan pujian, aku mulai tertarik
berdiri didepan cermin, memperhatikan tubuhku yang tinggi langsing,
wajahku yang lugu, aku tidak merasa ada yang lebih, kulitku yang kuning
langsat dan hidungku yang mancung bukan suatu yang istimewa bagi
diriku. ''Ningsih, kalau kamu berdandan dan berpakaian yang
ngetrend-ngetrend, pacarnya Den Fahri dan Aden Jamal akan kalah
cantiknya'' Ujar Tarmaji disuatu kesempatan ketika aku menyiram tanaman
dihalaman Rumah.''Ah kang Tarmaji, ada-ada saja''. Aku malas
mengomentari Den Fahri tengah menyusun Skripsi dan satu tahun lagi dia
akan menyandang gelar Insinyur Pertambangan dan den Jamal yang masih
kuliah dit semester 7 sangat rajin belajar, keduanya sangat baik sekali
, mereka menganggapku seperti saudari sendiri. Aku menegenal mereka
saat mereka masih duduk di Bangku SMU, sekarang mereka sudah menjadi
orang-orang yang dewasa dan aku sendiri sudah mencapai usia 22 Tahun.
Tujuh tahun berlalu begitu cepat adik-adik ku pun sudah tumbuh besar,
dan aku sendiri setia menemani bu Abdurahman dengan menjadi PRTnya.
Dalam tujuh tahun aku hanya 5 kali pulang kampung, terakhir tahun lalu.
Yang semulannya aku merasa bahagia dan kerasan tinggal bersama mereka
tetapi akhirnya aku menemukan ketakutan yang luar biasa, aku ingin
meninggalkan mereka selekas mungkin dan itu jalan-jalan satu satunya
untuk keluar dari segala kemelut.Awalnya pada suatu tengah malam 6
bulan yang lalu disaat aku terbering gelisah diatas kasur tiba-tiba
lampu kamar mati , gelap gulita menyelimuti dan sesorang menyelinap
masuk kedalam kamarku. Dia langsung mendekamku dengan telapak
tangannya, mulutku dibungkam dan dia menagancam akan menganiayaku jika
aku berteriak dan meronta. Aku merasa takut sekali , dan membiarkan dia
melakuakn apa saja yang dia mau. Setelah dia berbuat kebiadaban,
kebejatan, lalu dia pergi, aku hanya bisa merintih sedih dan menahan
isak tangis yang disimpan didada, aku tak begitu mengenalinya karena
gelap, dan suara diapun juga aku tak mengenalinya karena dia sengaja
merubah bunyi sauaranya.Aku merasa takut yang luar biasa , esok harinya
sambil mengerjakan pekerjaan yang biasa, aku murung sekali, Bu Netty
merasakan itu. ''Ada apa kamu, Ning. Sakit Ya '' tanyanya saat dia
membantuku menyiapkan Sarapan untuk Keluarga.''Tidak, bu. Saya hanya
kurang tidur ''. Jawabku tak panjang. Aku tak akan menceritakan
kejadian yang trerjadi pada saat malam. Fahri dan Jamal muncul dan
sudah siap untuk datang ke meja Makan. Pak Abdurahman masih di kamar
mandi. Setelah semua hidangan untuk sarapan tersaji lengkap, aku
tinggalkan mereka lalu pergi ke depan rumah, Tarmaji yang sedang
mengelap mobil Mercedez milik pak Abdurahman menatapku heran. ''Ada apa
kamu, Ning. Kau nampak kusut dan pucat sekali, Sakit Ya''Aku sengaja
tak membalas menatapnya tapi kukatakan bahwa aku mungkin sedang sakit.
''Kalau kamu sakit, sudah saja istirahat dulu, bilang sama Ibu. Istriku
bisa temani kamu ke Puskesmas. Kamu bisa naik Mikrolet sama si Atin''.
Tawar dia, akupun tak menatap wajahnya lagi. Terpikir mungkin lelaki
yang menggerayamiku adalah dia. Kalau memang dia akan kulaporkan ke
Polisi, dan dia bersandiwara. seolah berlaga baik, Ternyata kejadian
yang pernah kualami itu berungkali terjadi, sehingga aku mengenali
lelaki yang telah melampiaskan nafsu birahinya pada diriku. Aku sungguh
tak bisa berbuat apa-apa lagi. Dibawah tekanan suatu ancaman aku
dibuatnya tak berkutik bahkan tak mampu mengadu dan berterus terang
pada siapa-siapa, menjadi orang bodoh memang tak bisa berbuat apa-apa.
Yang awal-awalmnya adalah suatu pemerkosaan tetapi akhirnya menjadi
suatu layanan yang terpaksa, karena aku takut, karena aku malu dan aku
tidak tahu apa yang harus aku perbuat . Yang tersirat dalam pikiranku
hanyalah meninggalkan Rumah tempat kerjaku secepatnya, tetapi bagaimana
? uangpun aku tak punya, semua uangku habis untuk keperluan hidup
keluargaKu di Kampung, Mungkin menunggu mendapat gajih yang terakhir,
tetapi aku mulai merasa sakit dan beberapi hari terakhir perutku mules
dan aku merasa mual hingga muntah-muntah. Bu Netty pernah menyarankan
aku ke Doktor dan pernah menawarkan untuk mengantar. ''Kamu harus ke
Doktor, Ning. Nanti sore Ibu ada waktu, kalau kamu mau kita pergi.''
ajak bu Netty''Ah saya nggak apa-apa, Bu. Mungkin hanya
kelelahan''.'Ya, Istirahatlah dulu, Hari ini bapak nggak ke Kantor, dan
Ibu nggak kemana-mana juga''. Aku tahu bahwa ini semua adalah dari
pikiranku yang sangat kacau dan kecemasanku yang berlebihan. Aku memang
merasa sakit sekali, lalu aku pergi ke kamarku setelah bu Netty benar2
mempersilahkanku untuk istirahat. Tapi aku baru teringat, masih banyak
cucian yang baru kering belum disetrika, dan akupun menuju kamar
penyimpanan pakaian bersih yang baru dicuci didekat ruang makan, dari
sana terdengar suara pak Abdurahman, dia datang dari kamar tidur dan
menuju ke ruang makan untuk Sarapan. Fahri dan Jamal sudah lebih dulu
sarapan dan mereka sudah pergi dengan kesibuknannya masing-masing. ''
Si Ningsih kemana ?'' tanya dia pada bu Netty. ''Dia kurang sehat,
biarkanlah dia Istirahat hari ini''. Bu Netty tak tahu bahwa aku ada di
kamar sebelah sedang mengistrika. ''Sudah lama aku ingin bicara
tentang si Ningsih'' kata pak Pak Abdurahman ''Memang ada apa, Pak ?''
''Belakangan ini saya lihat dia tidak seperti biasanya. Bu, dia itu
sudah bekerja pada kita 8 tahun. Saya pikir lebih baik dia kembali ke
Kampungnya, atau mencari pekerjaan lain yang bisa memberikan dia
harapan untuk masa depannya''. '' Ah bapak, ada-ada saja''. Terpa bu
Netty. ''Ini serius, Bu. Bayangkan kalau di Kampung Perempuan seusia
dia itu, sudah punya anak empat. Dia sudah berusia 22 Tahun, tidak punya
jodoh. Biarlah dia mencari jodoh di kampungnya, Dia itu cantik , Bu.
Kalau dia bekerja di tempat lain, di swalayan atau di pabrik, dia bisa
ditaksir banyak pria''. ''Untuk pengganti dia, saya ada tawaran dari pak
Juned sopir di Kantor, ada permpuan berusia 45 tahun, janda beranak 3,
katanya mencari pekerjaan sebagai pembantu, untuk PRT lebih cocok yang
usia segitulah,Bu''. Lanjut pak Abdurahman ''Bapak ini beneran
maksudnya ?'' ''Iyya lah , Bu. Saya kasihan lihat si Ningsih, dia butuh
harapan untuk hidupnya. Kita bisa dia beri pesangon untuk bekal untuk
memulai hidup baru. Bicaralah sama dia baik.baik, dan jelaskan
maksudnya''. Bu Netty tak terdengar suaranya lagi, aku duga dia sedang
menimbang-nimbang suatu keputusan. Bagaimanapun aku merasa lega
mendengar percakapan mereka, terbentang dalam pikiranku, aku akan
terbebas dari kemelut ini. Aku akan memulai hidup baru , di kampung
atau kemana saja mencari kehidupan lain, dari pada menjadi Perempuan
Pelampias Nafsu birahi seorang lelaki . Tiba-tiba bu Netty datang pada
ku dan membelai rambutku. ''Ning, aku sangat sayang padaMu,
bagaimanapun kamu seperti saudara kami sendiri, tetapi ada yang akan
lebih baik untuk hidup kamu. Kami akan kasih kamu modal untuk memulai
suatu usaha atau kamu bisa gunakan untuk apa saja modal tersebut,
terserah kamu. Mulai minggu depan kamu tak usah bekerja lagi. Akan kami
urus semua rencana kepulanganmu. Si Tarmaji akan mengantarkan kamu ke
Kampung, Kemaslah dan bawa semua barang milikMu. Bagaimana menurut Mu ,
Ning?'' Aku tidak merasa kaget dengan ungkapan bu Netty yang secara
tiba-tiba, malah aku merasa senang dan tak terbebani. Akupun hanya
menganggukan kepala tanda setuju dan tak tahan meneteskan air mata. Bu
Netty nampak juga sedih, dia mengusap-usap rambutku. Lalu memberikan
amplop yang isinya uang sebanyak 5 juta rupiah dan bungkusuan yang
berisi pakaian baru beberapa helai. Terpikir sementara aku akan balik
dulu ke Kampung dan setelah itu akan mencari pekerjaan lain di Jakarta
atau di kota lain. Tetapi setelah 4 bulan aku berada bersama orang tua,
perutku menjadi buncit dan membesar, setelah diperiksakan di
Puskesmas, aku dinyatakan hamil seumur 5 bulan. Aku kaget dan
kuceritakan pada orang tua ku kejadian apa yang sebenarnya saat masih
bekerja di Jakarta. Ibuku hanya menangis tersedu, dan bapakKu nampak
marah dan geram sekali. Empat bulan kemudian seorang bayi perempuan
cantik munggil terlahir, aku gendong kemana-mana. Tak peduli banyak
tentangga mencela dan berseloroh, bahwa putri yang ku sayangi anak
haram, aku tetap mendekapnya era dengan penuh kasih sayangt. Namun
bapak sering mendesak agar aku berterus terang dan membuat surat untuk
menyatakan pada keluarga Abdurahman tentang siapa bapak anak itu yang
sebenarnya. Akhirnya dengan suasana hati yang tak menentu aku tulis
surat itu dan bapak sendiri yang pergi ke Jakarta untuk menemui
keluarga Pak Abdurahman. Beruntung sekali saat bapak datang ke Rumah
mereka, bu Netty dan pak Abdurahman sedang berada di Rumah, Mereka
sangat kaget dengan kedatangan bapakKu yang sama sekali tidak
diharapkan, mereka tak mengenal sama sekali pada dia, namun saat
bapakku memberitahu bahwa dia adalah bapakku mereka nampak ramah, tetapi
saat mereka disodorkan Surat dariKu mereka kaget sekali. Bu Netty
sempat terkulai pinsan setelah membaca surat itu dan Pak Abdurahman
malah sangat marah sekali, dan wajahnya tidak tiba memerah dan sangat
geram. ''Ini tidak mungkin, ini Fitnah, kalian hanya ingin menghancurkan
dan memberi Aib terhadap keluarga kami, ini penghinaan, Keterlaluan,
Pergi dari sini.'' bentak pak Abdurahmann dengan nada yang berapi-api
tak tahan menahan amarahnya. BapakKu yang bodoh dan dari kampung hanya
merunduk, meski dia mempunyai harga diri yang selalu dibanggakannya,
tapi saat itu hanya bisa mematung dan membisu dimurkai oleh pak
Abdurahman. Saat datang kembali ke Rumah dengan wajah yang pilu tak
berseri, namun tetap merasa puas dengan apa yang telah dia lakukan.
''Ning, apapun cercaan mereka terhadap kita, yang penting Ayah telah
memberitahu mereka yang sebenarnya dan itu harus kita lakukan''. Tutur
bapak dengan penuh kesebaran. Setahun berselang sudah puntriku DEWI
ARUMBI berusia satu tahun pula, aku menyempatkan pulang dari Bogor kota
tempat kerjaku untuk merayakan ulang TahunNya. Semenjak dia berusia 6
bulan dia sering aku tinggalkan dan tinggal bersama orang tuaKu. Si
Cantik PutriKu nampak gembira melihatku datang dan sangat senang dengan
hadiah yang ku bawa, Boneka Munggil yang ku Beli di Pasar baru. Kami
rayakan Ulang Tahun dia bersama-sama didalam rumah panggung berbilik
bambu, Aku, ketiga adiku, ibu dan bapaku bernyanyi Selamat Ulang Tahun
bersama-sama sambil mengelilinginya yang duduk di tengah dekat Nasi
Tumpeng Kuning dengan lilin kecil dipuncaknya yang terus menyala. Lalu
tiba-tiba dari pintu terdengar ketukan dan berulang terdengar suaranya,
adikKu lekas -lekas membukanya. Tak pernah diduga dan diharapkan
seorang Perempuan sebaya yang berparas cantik berdiri dengan uraian air
mata, Pangkuan tanganya mendekap keranjang Rotan yang berisi kado-kado
yang terbungkus rapih . ''Izinkan saya merayakan Ulang Tahun CUCUKU,
Fahri ayah dia akan datang nanti sore''. Bu Netty melangkahkan kakinya
masuk ke dalam rumah ditemani dengan deraian air mata di pipi. Setelah
meletakan keranjang rotan itu, dia meraih Dewi dan mengecup pipinya.
0 komentar:
Posting Komentar