Pak Tua itu
pun akhirnya menyadari bahwa hari perpisahan akan segera tiba. Malam itu,
setelah meja makan dibersihkan dia meminta pembantu dan istrinya untuk duduk
bersama, saling berhadapan satu sama lain. “Saudaraku, engkau tentunya sudah
mendengar desas – desus yang menyebar diseluruh kampung kita semenjak
kepulangan anak kami dari kota.” Suaranya lirih membuka pembicaraan. “Sedikit
banyak keputusan ini kami ambil, setelah mendengar, melihat serta mencari tahu
tentang, semua yang terjadi sejak anak kami datang, semua berubah sangat cepat
sejak kedatangannya.” Ucapnya. “Mungkin keputusan yang kami ambil sekarang akan
kami sesali sendiri nantinya, tetapi biarlah apabila saat – saat itu datang
menghampir, kami berdua siap untuk menanggungnya.” Suaranya bergetar.
“Percayalah, hal ini semata - mata untuk kebaikan kita bersama termasuk juga
kebahagiaan anak kami, tidak lebih tidak kurang, mungkin adakalanya kita harus
harus mau berkorban demi orang yang kita cintai”. Ucapnya. Di depannya,
pembantu dan istrinya itu hanya bisa terdiam, tanpa bisa berkata – kata saling
menatap sebentar, kemudian kembali bersiap mendengar kata yang terucap dari
bibir Pak Tua itu. “Kami berdua telah memutuskan untuk pindah ke kota, hidup
bersama anak kami satu – satunya itu .” Kata pak tua. “Jagalah rumah ini baik –
baik, aku percayakan rumah ini kepadamu dan istrimu serta anak – anakmu kelak,
anggaplah kami mungkin tidak akan pernah kembali lagi.” Memerah matanya saat
mengucapkan hal tersebut. ---------- Dua mobil terparkir dihalaman depan, satu
mobil penumpang dan satu mobil barang, sang anak karena kesibukannya hanya bisa
menjemput ayah dan ibunya dengan mengantarkan sopir dan kendaran sewa.
Pembantunya sudah menawarkan diri untuk ikut serta menemani perjalanannya,
tetapi karena perjalanan darat itu jauh dan akan dilanjutkan dengan perjalanan
laut maka Pak Tua tersebut melarangnya. “Tidak usah saudaraku, terima kasih.”
Ucapnya. “Bukan maksudku untuk menolak kebaikan hatimu, tetapi istrimu dan
calon anakmu yang ada didalam rahim itulah yang lebih membutuhkan kehadiranmu
saat ini.” Sambil matanya melihat kearah istri pembantunya yang berdiri didekat
pintu. “Ini aku serahkan kepadamu, pegang dan simpan baik – baik sebagai bukti
kalau sewaktu – waktu kalau ada yang bertanya siapakah pemilik ini semua, kamu
bisa menunjukkan surat ini kepadanya, semuanya ada disitu. ” Sebelum naik
kedalam mobil diberikannya surat kuasa tersebut. “Aku pamit saudaraku, maafkan
segala kesalahanku, kesalahan istriku dan terutama kesalahan anakku.” Sambil
berpelukan kalimat itu diucapkan. “Sering – seringlah berkabar kalau kalian ada
waktu.” Pintanya sewaktu melambaikan tangan dari dalam jendela. Sang pembantu
dan istrinya dengan setia mengiringing kedua mobil tersebut sampai akhirnya
hilang di ujung jalan belokan. ------------- Hari berganti hari, bulan berganti
bulan, sekarang telah genap 7 tahun Pak tua dan Istrinya meninggalkan kampung
mereka. Jauh jarak membuat kabar dari kampung seakan tidak pernah sampai ke
mereka berdua. Setelah pada awalnya kehidupan bersama di tempat anak dan
menantu seakan inilah hidup yang mereka diimpikan, tetapi lambat laun semua
mulai terkikis demi yang bernama kesibukan dan pencarian akan kehormatan.
Seorang pejabat pemerintah, lelaki paruh baya yang sangat dihormat, sedang
meniti karier di dunia perpolitikan, mempunyai istri yang cantik dari golongan
terpandang, selalu menjadi macan panggung setiap berpidato, sempurna, begitulah
gambaran anak sang Bapak Tua. Antara kebanggaan dan kegetiran seakan setipis
kertas perbedaaannya. Di satu sisi Pak Tua tersebut amat bangga dengan segala
pencapaian yang dilakukan oleh anak dan menantunya, disisi lain dia dan
istrinya merasa kesepian teramat sangat. Kesibukan anaknya seakan menjadi
tembok yang teramat tinggi yang tidak dapat dia lompati. Bertemu atau sekadar
menanyakan kabar adalah sesuatu yang sangat langka, meskipun mereka tinggal
dalam satu rumah. Pak Tua dan istrinya hanya bisa berdoa akan kesehatan yang
kebahagiaan anak mereka, serta penerus generasi yang sampai sekarang belum ada.
Tidak lebih tidak kurang, walaupun jiwa mereka menderita, terkungkung dan
terpasung dalam rumah mewah ini. -------------- Sampai suatu hari…. “Istriku,
setelah semua yang kita lalui disini, mungkin ini saat terbaik untuk kembali ke
kampung kita.” Suara Pak Tua. “Kasus yang mendera anak kita, lebih berat dari
dugaaan kita sebelumnya, Apa yang selama ini kita takutkan, kuatirkan, ternyata
benar adanya.” Tertunduk dalam – dalam Pak Tua dihadapan istrinya. Tidak ada
yang perlu dipertahankan lagi, tidak kekayaan, tidak juga rumah mewah yang
mereka tumpangi, kehormatan, ketampanan, kecantikan, ketika semua itu
sebenarnya adalah semu. Ketika ketamakan sudah merasuk maka semua telah
digadaikan. Hanya tinggalan isak tangis dan penyesalan. Semua yang nampak
adalah milik kita, semua diambil dalam hitungan hari. Raga dan kebebasan sudah
dibalik jeruji, termasuk harta sudah berpindah tangan, hilang semua. “Anakku,
maafkan aku dan ibumu ini, maafkan kami sebagai orang tua yang tidak mampu
memberi bimbingan kepadamu, sehingga engkau seperti ini.” Panjang lebar Pak Tua
dan Istrinya berkeluh kesah dengan anaknya. “Terakhir anakku, maafkan kami yang
memutuskan untuk kembali ke kampung, bukan kami tidak mau menemanimu disini,
bukan juga karena kami malu untuk terus menjengukmu disini, tapi lebih karena
kami tidak punya apa-apa disini. Kami tidak mau terus membebani pikiranmu akan
kelangsungan hidup kami. Percayalah ini demi kebaikan kita semua, dikampung
mungkin pembantu kita yang dulu masih mau menerima kami untuk sekedar tinggal.”
Begitulah dengan pelukan dan diiringin isak tangis berpisahlah mereka, dinding
penjara yang dingin seolah menjadi saksi bisu akan penyesalan yang terlambat
datang. ---------------- Akhirnya sang waktu jualah yang membawa kembali Pak
Tua dan Istrinya untuk menginjakan kaki didepan rumah itu. Didalam keremangan
petang dia masih dapat melihat jelas bahwa tidak banyak yang berubah dari rumah
ini, hanya warna cat yang sedikit berubah, selebihnya masih seperti yang lama.
Pintu akhirnya terbuka.... Tanpa kata, tanpa suara, tangan pembantu dan
istrinya merentang dan memeluk erat kedua orang tua itu. Bagai pelukan anak
yang merindukan orang tua yang telah lama tak kembali. Lama mereka berpelukan
satu sama lain, sampai mereka sadar bahwa pundak mereka sudah bahas oleh air
mata. “Sahabatku, maafkan aku.” Kalimat pertama yang keluar dari Pak Tua
tersebut. “Kami kembali untuk sekedar menumpang hidup, menghabiskan masa tua
kami disini, Kami memang tidak kuat seperti dulu lagi, tetapi untuk sekedar
bekerja didapur kami masih sanggup”. Serak suara Pak tua. Sang Pembantu yang
kini sudah menjadi peternak terkaya di daerah tersebut, tersenyum, tersenyum
bahagia karena panutannya telah kembali. Baginya orang tua ini adalah tetap
pemilik semua yang ada disini. Dia hanyalah orang yang dipercaya untuk
menjalakan semua ini selama majikan itu pergi. Saat sekarang dimana majikannya
sudah kembali dengan segala kerelaan hati dia serahkan semua kembali kepada
sang majikan. Kebahagiaan dan keberhasilan yang dia rasakan selama ini terasa
lebih lengkap dengan kedatangan orang tua ini Maka diantarkannya kedua orang
tua tersebut ke kamar mereka yang dulu. Kamar yang masih sama dengan saat
mereka tinggalkan, masih tertata dengan baik, bersih dan rapi. Mereka semua ke
kamar sambil diiringi celotehan dua anak kecil yang terus memanggil mereka
dengan sebutan Kakek dan Nenek Sekian.
Pak Tua itu
pun akhirnya menyadari bahwa hari perpisahan akan segera tiba. Malam itu,
setelah meja makan dibersihkan dia meminta pembantu dan istrinya untuk duduk
bersama, saling berhadapan satu sama lain. “Saudaraku, engkau tentunya sudah
mendengar desas – desus yang menyebar diseluruh kampung kita semenjak
kepulangan anak kami dari kota.” Suaranya lirih membuka pembicaraan. “Sedikit
banyak keputusan ini kami ambil, setelah mendengar, melihat serta mencari tahu
tentang, semua yang terjadi sejak anak kami datang, semua berubah sangat cepat
sejak kedatangannya.” Ucapnya. “Mungkin keputusan yang kami ambil sekarang akan
kami sesali sendiri nantinya, tetapi biarlah apabila saat – saat itu datang
menghampir, kami berdua siap untuk menanggungnya.” Suaranya bergetar.
“Percayalah, hal ini semata - mata untuk kebaikan kita bersama termasuk juga
kebahagiaan anak kami, tidak lebih tidak kurang, mungkin adakalanya kita harus
harus mau berkorban demi orang yang kita cintai”. Ucapnya. Di depannya,
pembantu dan istrinya itu hanya bisa terdiam, tanpa bisa berkata – kata saling
menatap sebentar, kemudian kembali bersiap mendengar kata yang terucap dari
bibir Pak Tua itu. “Kami berdua telah memutuskan untuk pindah ke kota, hidup
bersama anak kami satu – satunya itu .” Kata pak tua. “Jagalah rumah ini baik –
baik, aku percayakan rumah ini kepadamu dan istrimu serta anak – anakmu kelak,
anggaplah kami mungkin tidak akan pernah kembali lagi.” Memerah matanya saat
mengucapkan hal tersebut. ---------- Dua mobil terparkir dihalaman depan, satu
mobil penumpang dan satu mobil barang, sang anak karena kesibukannya hanya bisa
menjemput ayah dan ibunya dengan mengantarkan sopir dan kendaran sewa.
Pembantunya sudah menawarkan diri untuk ikut serta menemani perjalanannya,
tetapi karena perjalanan darat itu jauh dan akan dilanjutkan dengan perjalanan
laut maka Pak Tua tersebut melarangnya. “Tidak usah saudaraku, terima kasih.”
Ucapnya. “Bukan maksudku untuk menolak kebaikan hatimu, tetapi istrimu dan
calon anakmu yang ada didalam rahim itulah yang lebih membutuhkan kehadiranmu
saat ini.” Sambil matanya melihat kearah istri pembantunya yang berdiri didekat
pintu. “Ini aku serahkan kepadamu, pegang dan simpan baik – baik sebagai bukti
kalau sewaktu – waktu kalau ada yang bertanya siapakah pemilik ini semua, kamu
bisa menunjukkan surat ini kepadanya, semuanya ada disitu. ” Sebelum naik
kedalam mobil diberikannya surat kuasa tersebut. “Aku pamit saudaraku, maafkan
segala kesalahanku, kesalahan istriku dan terutama kesalahan anakku.” Sambil
berpelukan kalimat itu diucapkan. “Sering – seringlah berkabar kalau kalian ada
waktu.” Pintanya sewaktu melambaikan tangan dari dalam jendela. Sang pembantu
dan istrinya dengan setia mengiringing kedua mobil tersebut sampai akhirnya
hilang di ujung jalan belokan. ------------- Hari berganti hari, bulan berganti
bulan, sekarang telah genap 7 tahun Pak tua dan Istrinya meninggalkan kampung
mereka. Jauh jarak membuat kabar dari kampung seakan tidak pernah sampai ke
mereka berdua. Setelah pada awalnya kehidupan bersama di tempat anak dan
menantu seakan inilah hidup yang mereka diimpikan, tetapi lambat laun semua
mulai terkikis demi yang bernama kesibukan dan pencarian akan kehormatan.
Seorang pejabat pemerintah, lelaki paruh baya yang sangat dihormat, sedang
meniti karier di dunia perpolitikan, mempunyai istri yang cantik dari golongan
terpandang, selalu menjadi macan panggung setiap berpidato, sempurna, begitulah
gambaran anak sang Bapak Tua. Antara kebanggaan dan kegetiran seakan setipis
kertas perbedaaannya. Di satu sisi Pak Tua tersebut amat bangga dengan segala
pencapaian yang dilakukan oleh anak dan menantunya, disisi lain dia dan
istrinya merasa kesepian teramat sangat. Kesibukan anaknya seakan menjadi
tembok yang teramat tinggi yang tidak dapat dia lompati. Bertemu atau sekadar
menanyakan kabar adalah sesuatu yang sangat langka, meskipun mereka tinggal
dalam satu rumah. Pak Tua dan istrinya hanya bisa berdoa akan kesehatan yang
kebahagiaan anak mereka, serta penerus generasi yang sampai sekarang belum ada.
Tidak lebih tidak kurang, walaupun jiwa mereka menderita, terkungkung dan
terpasung dalam rumah mewah ini. -------------- Sampai suatu hari…. “Istriku,
setelah semua yang kita lalui disini, mungkin ini saat terbaik untuk kembali ke
kampung kita.” Suara Pak Tua. “Kasus yang mendera anak kita, lebih berat dari
dugaaan kita sebelumnya, Apa yang selama ini kita takutkan, kuatirkan, ternyata
benar adanya.” Tertunduk dalam – dalam Pak Tua dihadapan istrinya. Tidak ada
yang perlu dipertahankan lagi, tidak kekayaan, tidak juga rumah mewah yang
mereka tumpangi, kehormatan, ketampanan, kecantikan, ketika semua itu
sebenarnya adalah semu. Ketika ketamakan sudah merasuk maka semua telah
digadaikan. Hanya tinggalan isak tangis dan penyesalan. Semua yang nampak
adalah milik kita, semua diambil dalam hitungan hari. Raga dan kebebasan sudah
dibalik jeruji, termasuk harta sudah berpindah tangan, hilang semua. “Anakku,
maafkan aku dan ibumu ini, maafkan kami sebagai orang tua yang tidak mampu
memberi bimbingan kepadamu, sehingga engkau seperti ini.” Panjang lebar Pak Tua
dan Istrinya berkeluh kesah dengan anaknya. “Terakhir anakku, maafkan kami yang
memutuskan untuk kembali ke kampung, bukan kami tidak mau menemanimu disini,
bukan juga karena kami malu untuk terus menjengukmu disini, tapi lebih karena
kami tidak punya apa-apa disini. Kami tidak mau terus membebani pikiranmu akan
kelangsungan hidup kami. Percayalah ini demi kebaikan kita semua, dikampung
mungkin pembantu kita yang dulu masih mau menerima kami untuk sekedar tinggal.”
Begitulah dengan pelukan dan diiringin isak tangis berpisahlah mereka, dinding
penjara yang dingin seolah menjadi saksi bisu akan penyesalan yang terlambat
datang. ---------------- Akhirnya sang waktu jualah yang membawa kembali Pak
Tua dan Istrinya untuk menginjakan kaki didepan rumah itu. Didalam keremangan
petang dia masih dapat melihat jelas bahwa tidak banyak yang berubah dari rumah
ini, hanya warna cat yang sedikit berubah, selebihnya masih seperti yang lama.
Pintu akhirnya terbuka.... Tanpa kata, tanpa suara, tangan pembantu dan
istrinya merentang dan memeluk erat kedua orang tua itu. Bagai pelukan anak
yang merindukan orang tua yang telah lama tak kembali. Lama mereka berpelukan
satu sama lain, sampai mereka sadar bahwa pundak mereka sudah bahas oleh air
mata. “Sahabatku, maafkan aku.” Kalimat pertama yang keluar dari Pak Tua
tersebut. “Kami kembali untuk sekedar menumpang hidup, menghabiskan masa tua
kami disini, Kami memang tidak kuat seperti dulu lagi, tetapi untuk sekedar
bekerja didapur kami masih sanggup”. Serak suara Pak tua. Sang Pembantu yang
kini sudah menjadi peternak terkaya di daerah tersebut, tersenyum, tersenyum
bahagia karena panutannya telah kembali. Baginya orang tua ini adalah tetap
pemilik semua yang ada disini. Dia hanyalah orang yang dipercaya untuk
menjalakan semua ini selama majikan itu pergi. Saat sekarang dimana majikannya
sudah kembali dengan segala kerelaan hati dia serahkan semua kembali kepada
sang majikan. Kebahagiaan dan keberhasilan yang dia rasakan selama ini terasa
lebih lengkap dengan kedatangan orang tua ini Maka diantarkannya kedua orang
tua tersebut ke kamar mereka yang dulu. Kamar yang masih sama dengan saat
mereka tinggalkan, masih tertata dengan baik, bersih dan rapi. Mereka semua ke
kamar sambil diiringi celotehan dua anak kecil yang terus memanggil mereka
dengan sebutan Kakek dan Nenek Sekian.
Pak Tua itu pun
akhirnya menyadari bahwa hari perpisahan akan segera tiba. Malam itu,
setelah meja makan dibersihkan dia meminta pembantu dan istrinya untuk
duduk bersama, saling berhadapan satu sama lain.
“Saudaraku, engkau tentunya sudah mendengar desas – desus yang menyebar
diseluruh kampung kita semenjak kepulangan anak kami dari kota.”
Suaranya lirih membuka pembicaraan.
“Sedikit banyak keputusan ini kami ambil, setelah mendengar, melihat
serta mencari tahu tentang, semua yang terjadi sejak anak kami datang,
semua berubah sangat cepat sejak kedatangannya.” Ucapnya.
“Mungkin keputusan yang kami ambil sekarang akan kami sesali sendiri
nantinya, tetapi biarlah apabila saat – saat itu datang menghampir, kami
berdua siap untuk menanggungnya.” Suaranya bergetar.
“Percayalah, hal ini semata - mata untuk kebaikan kita bersama
termasuk juga kebahagiaan anak kami, tidak lebih tidak kurang, mungkin
adakalanya kita harus harus mau berkorban demi orang yang kita cintai”.
Ucapnya.
Di depannya, pembantu dan istrinya itu hanya bisa terdiam, tanpa bisa
berkata – kata saling menatap sebentar, kemudian kembali bersiap
mendengar kata yang terucap dari bibir Pak Tua itu.
“Kami berdua telah memutuskan untuk pindah ke kota, hidup bersama anak
kami satu – satunya itu .” Kata pak tua.
“Jagalah rumah ini baik – baik, aku percayakan rumah ini kepadamu dan
istrimu serta anak – anakmu kelak, anggaplah kami mungkin tidak akan
pernah kembali lagi.” Memerah matanya saat mengucapkan hal tersebut.
----------
Dua mobil terparkir dihalaman depan, satu mobil penumpang dan satu mobil
barang, sang anak karena kesibukannya hanya bisa menjemput ayah dan
ibunya dengan mengantarkan sopir dan kendaran sewa.
Pembantunya sudah menawarkan diri untuk ikut serta menemani
perjalanannya, tetapi karena perjalanan darat itu jauh dan akan
dilanjutkan dengan perjalanan laut maka Pak Tua tersebut melarangnya.
“Tidak usah saudaraku, terima kasih.” Ucapnya.
“Bukan maksudku untuk menolak kebaikan hatimu, tetapi istrimu dan calon
anakmu yang ada didalam rahim itulah yang lebih membutuhkan kehadiranmu
saat ini.” Sambil matanya melihat kearah istri pembantunya yang berdiri
didekat pintu.
“Ini aku serahkan kepadamu, pegang dan simpan baik – baik sebagai bukti
kalau sewaktu – waktu kalau ada yang bertanya siapakah pemilik ini
semua, kamu bisa menunjukkan surat ini kepadanya, semuanya ada disitu. ”
Sebelum naik kedalam mobil diberikannya surat kuasa tersebut.
“Aku pamit saudaraku, maafkan segala kesalahanku, kesalahan istriku dan
terutama kesalahan anakku.” Sambil berpelukan kalimat itu diucapkan.
“Sering – seringlah berkabar kalau kalian ada waktu.” Pintanya sewaktu
melambaikan tangan dari dalam jendela.
Sang pembantu dan istrinya dengan setia mengiringing kedua mobil
tersebut sampai akhirnya hilang di ujung jalan belokan.
-------------
Hari berganti hari, bulan berganti bulan, sekarang telah genap 7 tahun
Pak tua dan Istrinya meninggalkan kampung mereka. Jauh jarak membuat
kabar dari kampung seakan tidak pernah sampai ke mereka berdua. Setelah
pada awalnya kehidupan bersama di tempat anak dan menantu seakan inilah
hidup yang mereka diimpikan, tetapi lambat laun semua mulai terkikis
demi yang bernama kesibukan dan pencarian akan kehormatan.
Seorang pejabat pemerintah, lelaki paruh baya yang sangat dihormat,
sedang meniti karier di dunia perpolitikan, mempunyai istri yang cantik
dari golongan terpandang, selalu menjadi macan panggung setiap
berpidato, sempurna, begitulah gambaran anak sang Bapak Tua.
Antara kebanggaan dan kegetiran seakan setipis kertas perbedaaannya. Di
satu sisi Pak Tua tersebut amat bangga dengan segala pencapaian yang
dilakukan oleh anak dan menantunya, disisi lain dia dan istrinya merasa
kesepian teramat sangat. Kesibukan anaknya seakan menjadi tembok yang
teramat tinggi yang tidak dapat dia lompati. Bertemu atau sekadar
menanyakan kabar adalah sesuatu yang sangat langka, meskipun mereka
tinggal dalam satu rumah.
Pak Tua dan istrinya hanya bisa berdoa akan kesehatan yang kebahagiaan
anak mereka, serta penerus generasi yang sampai sekarang belum ada.
Tidak lebih tidak kurang, walaupun jiwa mereka menderita, terkungkung
dan terpasung dalam rumah mewah ini.
--------------
Sampai suatu hari….
“Istriku, setelah semua yang kita lalui disini, mungkin ini saat terbaik
untuk kembali ke kampung kita.” Suara Pak Tua.
“Kasus yang mendera anak kita, lebih berat dari dugaaan kita sebelumnya,
Apa yang selama ini kita takutkan, kuatirkan, ternyata benar adanya.”
Tertunduk dalam – dalam Pak Tua dihadapan istrinya.
Tidak ada yang perlu dipertahankan lagi, tidak kekayaan, tidak juga
rumah mewah yang mereka tumpangi, kehormatan, ketampanan, kecantikan,
ketika semua itu sebenarnya adalah semu. Ketika ketamakan sudah merasuk
maka semua telah digadaikan. Hanya tinggalan isak tangis dan penyesalan.
Semua yang nampak adalah milik kita, semua diambil dalam hitungan hari.
Raga dan kebebasan sudah dibalik jeruji, termasuk harta sudah berpindah
tangan, hilang semua.
“Anakku, maafkan aku dan ibumu ini, maafkan kami sebagai orang tua yang
tidak mampu memberi bimbingan kepadamu, sehingga engkau seperti ini.”
Panjang lebar Pak Tua dan Istrinya berkeluh kesah dengan anaknya.
“Terakhir anakku, maafkan kami yang memutuskan untuk kembali ke kampung,
bukan kami tidak mau menemanimu disini, bukan juga karena kami malu
untuk terus menjengukmu disini, tapi lebih karena kami tidak punya
apa-apa disini. Kami tidak mau terus membebani pikiranmu akan
kelangsungan hidup kami. Percayalah ini demi kebaikan kita semua,
dikampung mungkin pembantu kita yang dulu masih mau menerima kami untuk
sekedar tinggal.”
Begitulah dengan pelukan dan diiringin isak tangis berpisahlah mereka,
dinding penjara yang dingin seolah menjadi saksi bisu akan penyesalan
yang terlambat datang.
----------------
Akhirnya sang waktu jualah yang membawa kembali Pak Tua dan Istrinya
untuk menginjakan kaki didepan rumah itu. Didalam keremangan petang dia
masih dapat melihat jelas bahwa tidak banyak yang berubah dari rumah
ini, hanya warna cat yang sedikit berubah, selebihnya masih seperti yang
lama.
Pintu akhirnya terbuka....
Tanpa kata, tanpa suara, tangan pembantu dan istrinya merentang dan
memeluk erat kedua orang tua itu. Bagai pelukan anak yang merindukan
orang tua yang telah lama tak kembali. Lama mereka berpelukan satu sama
lain, sampai mereka sadar bahwa pundak mereka sudah bahas oleh air mata.
“Sahabatku, maafkan aku.” Kalimat pertama yang keluar dari Pak Tua
tersebut.
“Kami kembali untuk sekedar menumpang hidup, menghabiskan masa tua kami
disini, Kami memang tidak kuat seperti dulu lagi, tetapi untuk sekedar
bekerja didapur kami masih sanggup”. Serak suara Pak tua.
Sang Pembantu yang kini sudah menjadi peternak terkaya di daerah
tersebut, tersenyum, tersenyum bahagia karena panutannya telah kembali.
Baginya orang tua ini adalah tetap pemilik semua yang ada disini. Dia
hanyalah orang yang dipercaya untuk menjalakan semua ini selama majikan
itu pergi. Saat sekarang dimana majikannya sudah kembali dengan segala
kerelaan hati dia serahkan semua kembali kepada sang majikan.
Kebahagiaan dan keberhasilan yang dia rasakan selama ini terasa lebih
lengkap dengan kedatangan orang tua ini
Maka diantarkannya kedua orang tua tersebut ke kamar mereka yang dulu.
Kamar yang masih sama dengan saat mereka tinggalkan, masih tertata
dengan baik, bersih dan rapi. Mereka semua ke kamar sambil diiringi
celotehan dua anak kecil yang terus memanggil mereka dengan sebutan
Kakek dan Nenek
Sekian.
Selengkapnya : http://fiksiana.kompasiana.com/ha-eun/cerpen-pak-tua-dan-pembantunya_563c73e20523bd8a09864bc1
Selengkapnya : http://fiksiana.kompasiana.com/ha-eun/cerpen-pak-tua-dan-pembantunya_563c73e20523bd8a09864bc1
0 komentar:
Posting Komentar