Translate

cerpen pak tua dan pembantunya

Written By iqbal_editing on Sabtu, 22 April 2017 | 04.22

Pak Tua itu pun akhirnya menyadari bahwa hari perpisahan akan segera tiba. Malam itu, setelah meja makan dibersihkan dia meminta pembantu dan istrinya untuk duduk bersama, saling berhadapan satu sama lain. “Saudaraku, engkau tentunya sudah mendengar desas – desus yang menyebar diseluruh kampung kita semenjak kepulangan anak kami dari kota.” Suaranya lirih membuka pembicaraan. “Sedikit banyak keputusan ini kami ambil, setelah mendengar, melihat serta mencari tahu tentang, semua yang terjadi sejak anak kami datang, semua berubah sangat cepat sejak kedatangannya.” Ucapnya. “Mungkin keputusan yang kami ambil sekarang akan kami sesali sendiri nantinya, tetapi biarlah apabila saat – saat itu datang menghampir, kami berdua siap untuk menanggungnya.” Suaranya bergetar. “Percayalah, hal ini semata - mata untuk kebaikan kita bersama termasuk juga kebahagiaan anak kami, tidak lebih tidak kurang, mungkin adakalanya kita harus harus mau berkorban demi orang yang kita cintai”. Ucapnya. Di depannya, pembantu dan istrinya itu hanya bisa terdiam, tanpa bisa berkata – kata saling menatap sebentar, kemudian kembali bersiap mendengar kata yang terucap dari bibir Pak Tua itu. “Kami berdua telah memutuskan untuk pindah ke kota, hidup bersama anak kami satu – satunya itu .” Kata pak tua. “Jagalah rumah ini baik – baik, aku percayakan rumah ini kepadamu dan istrimu serta anak – anakmu kelak, anggaplah kami mungkin tidak akan pernah kembali lagi.” Memerah matanya saat mengucapkan hal tersebut. ---------- Dua mobil terparkir dihalaman depan, satu mobil penumpang dan satu mobil barang, sang anak karena kesibukannya hanya bisa menjemput ayah dan ibunya dengan mengantarkan sopir dan kendaran sewa. Pembantunya sudah menawarkan diri untuk ikut serta menemani perjalanannya, tetapi karena perjalanan darat itu jauh dan akan dilanjutkan dengan perjalanan laut maka Pak Tua tersebut melarangnya. “Tidak usah saudaraku, terima kasih.” Ucapnya. “Bukan maksudku untuk menolak kebaikan hatimu, tetapi istrimu dan calon anakmu yang ada didalam rahim itulah yang lebih membutuhkan kehadiranmu saat ini.” Sambil matanya melihat kearah istri pembantunya yang berdiri didekat pintu. “Ini aku serahkan kepadamu, pegang dan simpan baik – baik sebagai bukti kalau sewaktu – waktu kalau ada yang bertanya siapakah pemilik ini semua, kamu bisa menunjukkan surat ini kepadanya, semuanya ada disitu. ” Sebelum naik kedalam mobil diberikannya surat kuasa tersebut. “Aku pamit saudaraku, maafkan segala kesalahanku, kesalahan istriku dan terutama kesalahan anakku.” Sambil berpelukan kalimat itu diucapkan. “Sering – seringlah berkabar kalau kalian ada waktu.” Pintanya sewaktu melambaikan tangan dari dalam jendela. Sang pembantu dan istrinya dengan setia mengiringing kedua mobil tersebut sampai akhirnya hilang di ujung jalan belokan. ------------- Hari berganti hari, bulan berganti bulan, sekarang telah genap 7 tahun Pak tua dan Istrinya meninggalkan kampung mereka. Jauh jarak membuat kabar dari kampung seakan tidak pernah sampai ke mereka berdua. Setelah pada awalnya kehidupan bersama di tempat anak dan menantu seakan inilah hidup yang mereka diimpikan, tetapi lambat laun semua mulai terkikis demi yang bernama kesibukan dan pencarian akan kehormatan. Seorang pejabat pemerintah, lelaki paruh baya yang sangat dihormat, sedang meniti karier di dunia perpolitikan, mempunyai istri yang cantik dari golongan terpandang, selalu menjadi macan panggung setiap berpidato, sempurna, begitulah gambaran anak sang Bapak Tua. Antara kebanggaan dan kegetiran seakan setipis kertas perbedaaannya. Di satu sisi Pak Tua tersebut amat bangga dengan segala pencapaian yang dilakukan oleh anak dan menantunya, disisi lain dia dan istrinya merasa kesepian teramat sangat. Kesibukan anaknya seakan menjadi tembok yang teramat tinggi yang tidak dapat dia lompati. Bertemu atau sekadar menanyakan kabar adalah sesuatu yang sangat langka, meskipun mereka tinggal dalam satu rumah. Pak Tua dan istrinya hanya bisa berdoa akan kesehatan yang kebahagiaan anak mereka, serta penerus generasi yang sampai sekarang belum ada. Tidak lebih tidak kurang, walaupun jiwa mereka menderita, terkungkung dan terpasung dalam rumah mewah ini. -------------- Sampai suatu hari…. “Istriku, setelah semua yang kita lalui disini, mungkin ini saat terbaik untuk kembali ke kampung kita.” Suara Pak Tua. “Kasus yang mendera anak kita, lebih berat dari dugaaan kita sebelumnya, Apa yang selama ini kita takutkan, kuatirkan, ternyata benar adanya.” Tertunduk dalam – dalam Pak Tua dihadapan istrinya. Tidak ada yang perlu dipertahankan lagi, tidak kekayaan, tidak juga rumah mewah yang mereka tumpangi, kehormatan, ketampanan, kecantikan, ketika semua itu sebenarnya adalah semu. Ketika ketamakan sudah merasuk maka semua telah digadaikan. Hanya tinggalan isak tangis dan penyesalan. Semua yang nampak adalah milik kita, semua diambil dalam hitungan hari. Raga dan kebebasan sudah dibalik jeruji, termasuk harta sudah berpindah tangan, hilang semua. “Anakku, maafkan aku dan ibumu ini, maafkan kami sebagai orang tua yang tidak mampu memberi bimbingan kepadamu, sehingga engkau seperti ini.” Panjang lebar Pak Tua dan Istrinya berkeluh kesah dengan anaknya. “Terakhir anakku, maafkan kami yang memutuskan untuk kembali ke kampung, bukan kami tidak mau menemanimu disini, bukan juga karena kami malu untuk terus menjengukmu disini, tapi lebih karena kami tidak punya apa-apa disini. Kami tidak mau terus membebani pikiranmu akan kelangsungan hidup kami. Percayalah ini demi kebaikan kita semua, dikampung mungkin pembantu kita yang dulu masih mau menerima kami untuk sekedar tinggal.” Begitulah dengan pelukan dan diiringin isak tangis berpisahlah mereka, dinding penjara yang dingin seolah menjadi saksi bisu akan penyesalan yang terlambat datang. ---------------- Akhirnya sang waktu jualah yang membawa kembali Pak Tua dan Istrinya untuk menginjakan kaki didepan rumah itu. Didalam keremangan petang dia masih dapat melihat jelas bahwa tidak banyak yang berubah dari rumah ini, hanya warna cat yang sedikit berubah, selebihnya masih seperti yang lama. Pintu akhirnya terbuka.... Tanpa kata, tanpa suara, tangan pembantu dan istrinya merentang dan memeluk erat kedua orang tua itu. Bagai pelukan anak yang merindukan orang tua yang telah lama tak kembali. Lama mereka berpelukan satu sama lain, sampai mereka sadar bahwa pundak mereka sudah bahas oleh air mata. “Sahabatku, maafkan aku.” Kalimat pertama yang keluar dari Pak Tua tersebut. “Kami kembali untuk sekedar menumpang hidup, menghabiskan masa tua kami disini, Kami memang tidak kuat seperti dulu lagi, tetapi untuk sekedar bekerja didapur kami masih sanggup”. Serak suara Pak tua. Sang Pembantu yang kini sudah menjadi peternak terkaya di daerah tersebut, tersenyum, tersenyum bahagia karena panutannya telah kembali. Baginya orang tua ini adalah tetap pemilik semua yang ada disini. Dia hanyalah orang yang dipercaya untuk menjalakan semua ini selama majikan itu pergi. Saat sekarang dimana majikannya sudah kembali dengan segala kerelaan hati dia serahkan semua kembali kepada sang majikan. Kebahagiaan dan keberhasilan yang dia rasakan selama ini terasa lebih lengkap dengan kedatangan orang tua ini Maka diantarkannya kedua orang tua tersebut ke kamar mereka yang dulu. Kamar yang masih sama dengan saat mereka tinggalkan, masih tertata dengan baik, bersih dan rapi. Mereka semua ke kamar sambil diiringi celotehan dua anak kecil yang terus memanggil mereka dengan sebutan Kakek dan Nenek Sekian.


Pak Tua itu pun akhirnya menyadari bahwa hari perpisahan akan segera tiba. Malam itu, setelah meja makan dibersihkan dia meminta pembantu dan istrinya untuk duduk bersama, saling berhadapan satu sama lain. “Saudaraku, engkau tentunya sudah mendengar desas – desus yang menyebar diseluruh kampung kita semenjak kepulangan anak kami dari kota.” Suaranya lirih membuka pembicaraan. “Sedikit banyak keputusan ini kami ambil, setelah mendengar, melihat serta mencari tahu tentang, semua yang terjadi sejak anak kami datang, semua berubah sangat cepat sejak kedatangannya.” Ucapnya. “Mungkin keputusan yang kami ambil sekarang akan kami sesali sendiri nantinya, tetapi biarlah apabila saat – saat itu datang menghampir, kami berdua siap untuk menanggungnya.” Suaranya bergetar. “Percayalah, hal ini semata - mata untuk kebaikan kita bersama termasuk juga kebahagiaan anak kami, tidak lebih tidak kurang, mungkin adakalanya kita harus harus mau berkorban demi orang yang kita cintai”. Ucapnya. Di depannya, pembantu dan istrinya itu hanya bisa terdiam, tanpa bisa berkata – kata saling menatap sebentar, kemudian kembali bersiap mendengar kata yang terucap dari bibir Pak Tua itu. “Kami berdua telah memutuskan untuk pindah ke kota, hidup bersama anak kami satu – satunya itu .” Kata pak tua. “Jagalah rumah ini baik – baik, aku percayakan rumah ini kepadamu dan istrimu serta anak – anakmu kelak, anggaplah kami mungkin tidak akan pernah kembali lagi.” Memerah matanya saat mengucapkan hal tersebut. ---------- Dua mobil terparkir dihalaman depan, satu mobil penumpang dan satu mobil barang, sang anak karena kesibukannya hanya bisa menjemput ayah dan ibunya dengan mengantarkan sopir dan kendaran sewa. Pembantunya sudah menawarkan diri untuk ikut serta menemani perjalanannya, tetapi karena perjalanan darat itu jauh dan akan dilanjutkan dengan perjalanan laut maka Pak Tua tersebut melarangnya. “Tidak usah saudaraku, terima kasih.” Ucapnya. “Bukan maksudku untuk menolak kebaikan hatimu, tetapi istrimu dan calon anakmu yang ada didalam rahim itulah yang lebih membutuhkan kehadiranmu saat ini.” Sambil matanya melihat kearah istri pembantunya yang berdiri didekat pintu. “Ini aku serahkan kepadamu, pegang dan simpan baik – baik sebagai bukti kalau sewaktu – waktu kalau ada yang bertanya siapakah pemilik ini semua, kamu bisa menunjukkan surat ini kepadanya, semuanya ada disitu. ” Sebelum naik kedalam mobil diberikannya surat kuasa tersebut. “Aku pamit saudaraku, maafkan segala kesalahanku, kesalahan istriku dan terutama kesalahan anakku.” Sambil berpelukan kalimat itu diucapkan. “Sering – seringlah berkabar kalau kalian ada waktu.” Pintanya sewaktu melambaikan tangan dari dalam jendela. Sang pembantu dan istrinya dengan setia mengiringing kedua mobil tersebut sampai akhirnya hilang di ujung jalan belokan. ------------- Hari berganti hari, bulan berganti bulan, sekarang telah genap 7 tahun Pak tua dan Istrinya meninggalkan kampung mereka. Jauh jarak membuat kabar dari kampung seakan tidak pernah sampai ke mereka berdua. Setelah pada awalnya kehidupan bersama di tempat anak dan menantu seakan inilah hidup yang mereka diimpikan, tetapi lambat laun semua mulai terkikis demi yang bernama kesibukan dan pencarian akan kehormatan. Seorang pejabat pemerintah, lelaki paruh baya yang sangat dihormat, sedang meniti karier di dunia perpolitikan, mempunyai istri yang cantik dari golongan terpandang, selalu menjadi macan panggung setiap berpidato, sempurna, begitulah gambaran anak sang Bapak Tua. Antara kebanggaan dan kegetiran seakan setipis kertas perbedaaannya. Di satu sisi Pak Tua tersebut amat bangga dengan segala pencapaian yang dilakukan oleh anak dan menantunya, disisi lain dia dan istrinya merasa kesepian teramat sangat. Kesibukan anaknya seakan menjadi tembok yang teramat tinggi yang tidak dapat dia lompati. Bertemu atau sekadar menanyakan kabar adalah sesuatu yang sangat langka, meskipun mereka tinggal dalam satu rumah. Pak Tua dan istrinya hanya bisa berdoa akan kesehatan yang kebahagiaan anak mereka, serta penerus generasi yang sampai sekarang belum ada. Tidak lebih tidak kurang, walaupun jiwa mereka menderita, terkungkung dan terpasung dalam rumah mewah ini. -------------- Sampai suatu hari…. “Istriku, setelah semua yang kita lalui disini, mungkin ini saat terbaik untuk kembali ke kampung kita.” Suara Pak Tua. “Kasus yang mendera anak kita, lebih berat dari dugaaan kita sebelumnya, Apa yang selama ini kita takutkan, kuatirkan, ternyata benar adanya.” Tertunduk dalam – dalam Pak Tua dihadapan istrinya. Tidak ada yang perlu dipertahankan lagi, tidak kekayaan, tidak juga rumah mewah yang mereka tumpangi, kehormatan, ketampanan, kecantikan, ketika semua itu sebenarnya adalah semu. Ketika ketamakan sudah merasuk maka semua telah digadaikan. Hanya tinggalan isak tangis dan penyesalan. Semua yang nampak adalah milik kita, semua diambil dalam hitungan hari. Raga dan kebebasan sudah dibalik jeruji, termasuk harta sudah berpindah tangan, hilang semua. “Anakku, maafkan aku dan ibumu ini, maafkan kami sebagai orang tua yang tidak mampu memberi bimbingan kepadamu, sehingga engkau seperti ini.” Panjang lebar Pak Tua dan Istrinya berkeluh kesah dengan anaknya. “Terakhir anakku, maafkan kami yang memutuskan untuk kembali ke kampung, bukan kami tidak mau menemanimu disini, bukan juga karena kami malu untuk terus menjengukmu disini, tapi lebih karena kami tidak punya apa-apa disini. Kami tidak mau terus membebani pikiranmu akan kelangsungan hidup kami. Percayalah ini demi kebaikan kita semua, dikampung mungkin pembantu kita yang dulu masih mau menerima kami untuk sekedar tinggal.” Begitulah dengan pelukan dan diiringin isak tangis berpisahlah mereka, dinding penjara yang dingin seolah menjadi saksi bisu akan penyesalan yang terlambat datang. ---------------- Akhirnya sang waktu jualah yang membawa kembali Pak Tua dan Istrinya untuk menginjakan kaki didepan rumah itu. Didalam keremangan petang dia masih dapat melihat jelas bahwa tidak banyak yang berubah dari rumah ini, hanya warna cat yang sedikit berubah, selebihnya masih seperti yang lama. Pintu akhirnya terbuka.... Tanpa kata, tanpa suara, tangan pembantu dan istrinya merentang dan memeluk erat kedua orang tua itu. Bagai pelukan anak yang merindukan orang tua yang telah lama tak kembali. Lama mereka berpelukan satu sama lain, sampai mereka sadar bahwa pundak mereka sudah bahas oleh air mata. “Sahabatku, maafkan aku.” Kalimat pertama yang keluar dari Pak Tua tersebut. “Kami kembali untuk sekedar menumpang hidup, menghabiskan masa tua kami disini, Kami memang tidak kuat seperti dulu lagi, tetapi untuk sekedar bekerja didapur kami masih sanggup”. Serak suara Pak tua. Sang Pembantu yang kini sudah menjadi peternak terkaya di daerah tersebut, tersenyum, tersenyum bahagia karena panutannya telah kembali. Baginya orang tua ini adalah tetap pemilik semua yang ada disini. Dia hanyalah orang yang dipercaya untuk menjalakan semua ini selama majikan itu pergi. Saat sekarang dimana majikannya sudah kembali dengan segala kerelaan hati dia serahkan semua kembali kepada sang majikan. Kebahagiaan dan keberhasilan yang dia rasakan selama ini terasa lebih lengkap dengan kedatangan orang tua ini Maka diantarkannya kedua orang tua tersebut ke kamar mereka yang dulu. Kamar yang masih sama dengan saat mereka tinggalkan, masih tertata dengan baik, bersih dan rapi. Mereka semua ke kamar sambil diiringi celotehan dua anak kecil yang terus memanggil mereka dengan sebutan Kakek dan Nenek Sekian.







Pak Tua itu pun akhirnya menyadari bahwa hari perpisahan akan segera tiba. Malam itu, setelah meja makan dibersihkan dia meminta pembantu dan istrinya untuk duduk bersama, saling berhadapan satu sama lain. “Saudaraku, engkau tentunya sudah mendengar desas – desus yang menyebar diseluruh kampung kita semenjak kepulangan anak kami dari kota.” Suaranya lirih membuka pembicaraan. “Sedikit banyak keputusan ini kami ambil, setelah mendengar, melihat serta mencari tahu tentang, semua yang terjadi sejak anak kami datang, semua berubah sangat cepat sejak kedatangannya.” Ucapnya. “Mungkin keputusan yang kami ambil sekarang akan kami sesali sendiri nantinya, tetapi biarlah apabila saat – saat itu datang menghampir, kami berdua siap untuk menanggungnya.” Suaranya bergetar. “Percayalah, hal ini semata - mata untuk kebaikan kita bersama termasuk juga kebahagiaan anak kami, tidak lebih tidak kurang, mungkin adakalanya kita harus harus mau berkorban demi orang yang kita cintai”. Ucapnya. Di depannya, pembantu dan istrinya itu hanya bisa terdiam, tanpa bisa berkata – kata saling menatap sebentar, kemudian kembali bersiap mendengar kata yang terucap dari bibir Pak Tua itu. “Kami berdua telah memutuskan untuk pindah ke kota, hidup bersama anak kami satu – satunya itu .” Kata pak tua. “Jagalah rumah ini baik – baik, aku percayakan rumah ini kepadamu dan istrimu serta anak – anakmu kelak, anggaplah kami mungkin tidak akan pernah kembali lagi.” Memerah matanya saat mengucapkan hal tersebut. ---------- Dua mobil terparkir dihalaman depan, satu mobil penumpang dan satu mobil barang, sang anak karena kesibukannya hanya bisa menjemput ayah dan ibunya dengan mengantarkan sopir dan kendaran sewa. Pembantunya sudah menawarkan diri untuk ikut serta menemani perjalanannya, tetapi karena perjalanan darat itu jauh dan akan dilanjutkan dengan perjalanan laut maka Pak Tua tersebut melarangnya. “Tidak usah saudaraku, terima kasih.” Ucapnya. “Bukan maksudku untuk menolak kebaikan hatimu, tetapi istrimu dan calon anakmu yang ada didalam rahim itulah yang lebih membutuhkan kehadiranmu saat ini.” Sambil matanya melihat kearah istri pembantunya yang berdiri didekat pintu. “Ini aku serahkan kepadamu, pegang dan simpan baik – baik sebagai bukti kalau sewaktu – waktu kalau ada yang bertanya siapakah pemilik ini semua, kamu bisa menunjukkan surat ini kepadanya, semuanya ada disitu. ” Sebelum naik kedalam mobil diberikannya surat kuasa tersebut. “Aku pamit saudaraku, maafkan segala kesalahanku, kesalahan istriku dan terutama kesalahan anakku.” Sambil berpelukan kalimat itu diucapkan. “Sering – seringlah berkabar kalau kalian ada waktu.” Pintanya sewaktu melambaikan tangan dari dalam jendela. Sang pembantu dan istrinya dengan setia mengiringing kedua mobil tersebut sampai akhirnya hilang di ujung jalan belokan. ------------- Hari berganti hari, bulan berganti bulan, sekarang telah genap 7 tahun Pak tua dan Istrinya meninggalkan kampung mereka. Jauh jarak membuat kabar dari kampung seakan tidak pernah sampai ke mereka berdua. Setelah pada awalnya kehidupan bersama di tempat anak dan menantu seakan inilah hidup yang mereka diimpikan, tetapi lambat laun semua mulai terkikis demi yang bernama kesibukan dan pencarian akan kehormatan. Seorang pejabat pemerintah, lelaki paruh baya yang sangat dihormat, sedang meniti karier di dunia perpolitikan, mempunyai istri yang cantik dari golongan terpandang, selalu menjadi macan panggung setiap berpidato, sempurna, begitulah gambaran anak sang Bapak Tua. Antara kebanggaan dan kegetiran seakan setipis kertas perbedaaannya. Di satu sisi Pak Tua tersebut amat bangga dengan segala pencapaian yang dilakukan oleh anak dan menantunya, disisi lain dia dan istrinya merasa kesepian teramat sangat. Kesibukan anaknya seakan menjadi tembok yang teramat tinggi yang tidak dapat dia lompati. Bertemu atau sekadar menanyakan kabar adalah sesuatu yang sangat langka, meskipun mereka tinggal dalam satu rumah. Pak Tua dan istrinya hanya bisa berdoa akan kesehatan yang kebahagiaan anak mereka, serta penerus generasi yang sampai sekarang belum ada. Tidak lebih tidak kurang, walaupun jiwa mereka menderita, terkungkung dan terpasung dalam rumah mewah ini. -------------- Sampai suatu hari…. “Istriku, setelah semua yang kita lalui disini, mungkin ini saat terbaik untuk kembali ke kampung kita.” Suara Pak Tua. “Kasus yang mendera anak kita, lebih berat dari dugaaan kita sebelumnya, Apa yang selama ini kita takutkan, kuatirkan, ternyata benar adanya.” Tertunduk dalam – dalam Pak Tua dihadapan istrinya. Tidak ada yang perlu dipertahankan lagi, tidak kekayaan, tidak juga rumah mewah yang mereka tumpangi, kehormatan, ketampanan, kecantikan, ketika semua itu sebenarnya adalah semu. Ketika ketamakan sudah merasuk maka semua telah digadaikan. Hanya tinggalan isak tangis dan penyesalan. Semua yang nampak adalah milik kita, semua diambil dalam hitungan hari. Raga dan kebebasan sudah dibalik jeruji, termasuk harta sudah berpindah tangan, hilang semua. “Anakku, maafkan aku dan ibumu ini, maafkan kami sebagai orang tua yang tidak mampu memberi bimbingan kepadamu, sehingga engkau seperti ini.” Panjang lebar Pak Tua dan Istrinya berkeluh kesah dengan anaknya. “Terakhir anakku, maafkan kami yang memutuskan untuk kembali ke kampung, bukan kami tidak mau menemanimu disini, bukan juga karena kami malu untuk terus menjengukmu disini, tapi lebih karena kami tidak punya apa-apa disini. Kami tidak mau terus membebani pikiranmu akan kelangsungan hidup kami. Percayalah ini demi kebaikan kita semua, dikampung mungkin pembantu kita yang dulu masih mau menerima kami untuk sekedar tinggal.” Begitulah dengan pelukan dan diiringin isak tangis berpisahlah mereka, dinding penjara yang dingin seolah menjadi saksi bisu akan penyesalan yang terlambat datang. ---------------- Akhirnya sang waktu jualah yang membawa kembali Pak Tua dan Istrinya untuk menginjakan kaki didepan rumah itu. Didalam keremangan petang dia masih dapat melihat jelas bahwa tidak banyak yang berubah dari rumah ini, hanya warna cat yang sedikit berubah, selebihnya masih seperti yang lama. Pintu akhirnya terbuka.... Tanpa kata, tanpa suara, tangan pembantu dan istrinya merentang dan memeluk erat kedua orang tua itu. Bagai pelukan anak yang merindukan orang tua yang telah lama tak kembali. Lama mereka berpelukan satu sama lain, sampai mereka sadar bahwa pundak mereka sudah bahas oleh air mata. “Sahabatku, maafkan aku.” Kalimat pertama yang keluar dari Pak Tua tersebut. “Kami kembali untuk sekedar menumpang hidup, menghabiskan masa tua kami disini, Kami memang tidak kuat seperti dulu lagi, tetapi untuk sekedar bekerja didapur kami masih sanggup”. Serak suara Pak tua. Sang Pembantu yang kini sudah menjadi peternak terkaya di daerah tersebut, tersenyum, tersenyum bahagia karena panutannya telah kembali. Baginya orang tua ini adalah tetap pemilik semua yang ada disini. Dia hanyalah orang yang dipercaya untuk menjalakan semua ini selama majikan itu pergi. Saat sekarang dimana majikannya sudah kembali dengan segala kerelaan hati dia serahkan semua kembali kepada sang majikan. Kebahagiaan dan keberhasilan yang dia rasakan selama ini terasa lebih lengkap dengan kedatangan orang tua ini Maka diantarkannya kedua orang tua tersebut ke kamar mereka yang dulu. Kamar yang masih sama dengan saat mereka tinggalkan, masih tertata dengan baik, bersih dan rapi. Mereka semua ke kamar sambil diiringi celotehan dua anak kecil yang terus memanggil mereka dengan sebutan Kakek dan Nenek Sekian.

Selengkapnya : http://fiksiana.kompasiana.com/ha-eun/cerpen-pak-tua-dan-pembantunya_563c73e20523bd8a09864bc1

0 komentar:

Posting Komentar

 
berita unik