Gigiku kian hari kian sakit saja. Membuatku kesal dan mempengaruhi pekerjaanku. Namaku Ronald, aku tinggal di sebuah rumah minimalis yang cukup sederhana bersama istriku, Maddeline. Kami telah menikah selama 2 tahunan lebih. Saat ini aku sedang menempuh pekerjaanku di salah satu perkantoran yang jaraknya tak terlalu jauh dari rumahku. Aku cuma pegawai kantoran biasa. Bekerja di depan komputer dan ditemani setumpuk map sudah biasa ku jalani setiap hari.
Sore itu aku pulang ke rumah lebih awal. Karena kondisi gigiku yang kian parah. Aku telah pergi ke dokter bersama istriku. Dokter bilang gigiku hanya terkena radang ringan. Maka dari itu dokter telah memberiku obat khusus yang berbentuk cair. Rasanya sejuk dan mint. Sangat terasa di mulut berbagai rempah dan tercium bau khas obat. Ya, memang seharusnya begitu yang dinamakan obat. “Sayang! Sudah diminum belum obatnya?” teriak istriku Maddeline dari dalam dapur. “Sudah,” jawabku dengan suara sedikit bergema.
“Sudah. Oh iya, tadi Gill teman sekantorku bilang akan ke sini sekarang. Dia ingin berkunjung,” ujarku.
“Baguslah! Kita akan makan malam bersama,” seru Maddeline kemudian ia mencuci tangannya di wastafel.
Beberapa menit kemudian temanku pun datang dengan menaiki mobil barunya.
“Selamat datang di rumahku Gill! Ayo masuk!” ujarku menyambut kedatangannya. Gill lalu masuk ke dalam rumahku dengan masih mengenakan jas hitamnya yang kelihatan mengkilap. Saat makan malam, kami berbagi cerita diselingi canda dan guyonan. “Waah… Hebat! Kau naik pangkat?” tanyaku kepada Gill.
“Ya. aku juga terkejut. Tapi inilah kenyataannya. Aku naik pangkat jadi bagian manager,” ucap Gill dengan bahagia. Kami pun bersulang atas kenaikan pangkat Gill di kantor. Dengan memegang segelas sampanye kami saling meminumnya.
Tak terasa, waktu berjalan dengan cepat. Gill pun pamit karena malam sudah semakin larut.
“Hei… Gigiku sedikit bermasalah. Kau punya obatnya?” tanya Gill sambil berteriak sebelum pulang karena aku sedang berada di kamar mandi.
“Ada! Ambil saja di dalam laci kecil di dekat tangga menuju kamarku!” jawabku yang juga sambil berteriak. Tak lama kemudian, terdengar langkah kaki Gill.
“Terima kasih Ron! aku pulang dulu,” ucapnya lalu perlahan meninggalkan kediamanku.
“Kapan kapan mampir lagi ya!” terdengar suara istriku di depan rumah.
“Ron! Ron! Bangun sayang…” teriak Maddeline di pagi buta.
“Ada apa?” tanyaku dengan nada payau.
“Sekertaris di kantormu meneleponku. Dia memberitahuku kalau Gill ditemukan tewas bunuh diri,” ucap istriku membuatku terbangun dari tidurku.
“Apa kau serius?” tanyaku penasaran.
“Ya. Dia bilang, polisi menemukan Gill sudah terkapar tak bernyawa di atas ranjangnya dengan mulut berbusa dan di tangannya itu Dia memegang sejenis obat yang sudah terkontaminasi racun,” tutur istriku menjelaskan yang sebenarnya.
Aku sangat terkejut. Pasalnya, baru semalam Gill berkumpul bersama keluarga kecilku. Tapi hari ini dan seterusnya dia telah tiada, tewas karena bunuh diri. Aku tak mengerti kenapa dia melakukannya. Aku lalu bangkit dari ranjang dan mencuci mukaku. “Sayang! Kau tahu di mana obat sakit gigiku?” teriakku menanyakan obat sakit gigi milikku.
“Di atas meja rias sayang!” jawab istriku dengan berteriak. Segera ku ambil obat itu dan ku teguk sebanyak dua sendok takar yang sudah tersedia di dalamnya.
“Aahh… Rasanya gigiku mulai membaik!” gumamku dalam hati lalu menaruh kembali obat itu di tempat semula. Segera ku bergegas menuju pemakaman Gill, temanku yang malang itu.
Cerpen Karangan: Fauzi Maulana
0 komentar:
Posting Komentar