-PELURU DAN CINTA-
Aku tak pernah menginginkan semuanya berakhir dengan cara sinetron
seperti ini. Tidak pernah. Bahkan untuk membayangkannya sedikitpun. Tapi
nyatanya, semua itu sedang terjadi saat ini. Gila!! bagaimana bisa, setelah
bertahun bergelut di pekerjaan ini, untuk pertama kalinya perasaanku
mengalahkan keprofesionalanku? ini benar-benar gila!! aku gila…perasaanku
gila!! bahkan, tugasku sudah sangat jelas dan mudah. Menjaga wanita ini agar
tidak kabur dan menunggu perintah selanjutnya dari bos. Kalau bos bilang
transaksinya berhasil, berarti aku harus membawa wanita ini kepada bos untuk
selanjutnya dilepaskan. Tapi jika sebaliknya, berarti aku harus menghabisi
nyawa gadis yang kini terikat erat di kursi, yang saat ini ada di hadapanku.
Sudah dua minggu lebih, sejak kami menculik gadis ini, yang bahkan sampai saat ini tak kuketahui namanya,
aku menghabiskan waktu untuk menunggu nasibnya. Memastikan dia tidak merusak
rencana besar bernilai miliaran rupiah, seperti yang dikatakan Jonet, pemimpin
gerombolanku. Aku kenal bos Jonet dengan baik, lima tahun aku bekerja untuknya.
Dia mungkin adalah kriminal paling perfeksionis di negara ini. Bagaimana tidak?
dalam membagi tugas diantara anak-anak buahnya saja, termasuk aku, dia sangat
teliti dan mendetail. Kali ini aku kebagian tugas untuk menjaga tawanan dengan
baik. Itu saja. Tugasku hanya memberinya makan secara teratur tiga kali sehari,
mengantarkannya ke kamar mandi dan sampai akhirnya nanti aku yang akan menjadi
penentu nasibnya. Ya…benar-benar hanya itu. Soal siapa nama, apalagi terpikir latar
belakang gadis ini -seperti siapa orangtuanya atau berapa umurnya- aku tak perlu
tahu dan tak perlu menanyakannya.
Aku ingat betul, sudah dua minggu berlalu menghabiskan waktuku
bersama gadis ini. Dua minggu di mana bos Jonet terus bernegosiasi dengan orang
tua si gadis tentang uang tebusan. Dua minggu di mana kami harus terus
berpindah-pindah tempat menghindari kejaran polisi. Dan dua minggu dimana
perasaan ini mulai tumbuh dan mengakar kuat di hatiku…hati seorang manusia pada
umumnya. Yah kau benar!! Mungkin aku adalah seorang anggota sindikat penculik
yang jatuh cinta pada korbannya sendiri.
Namun kau tak bisa sepenuhnya memojokkanku. Bukankah perasaan
cinta itu bisa datang kapan dan kepada siapapun tanpa bisa kita kontrol? kau
tak bisa menyalahkan perasaanku pada gadis ini. Toh, wajar saja jika melihat
umurku yang baru 24 tahun, sedang dia, gadis itu, berwajah manis dan lumayan
cantik, mungkin usianya tak berbeda jauh denganku. Aku adalah orang yang
menculik gadis itu dan akan menjadi eksekutor baginya. Namun, sekarang semuanya
menjadi sangat tidak mudah. Aku tak bisa mengingkari, waktu-waktu yang kami
lewatkan berdua, perlahan-lahan menumbuhkan perasaan yang lebih di dalam
hatiku. Tugasku menuntutku untuk memberikan perhatian pada gadis itu. Jangan
lampai lecet sedikitpun, seperti kata bos Jonet. Awalnya hanya sebatas tuntutan
tugas, namun lama-kelamaan memberinya perhatian menjadi sebuah kebutuhan.
Lama-kelamaan, aku merasa punya kewajiban untuk menjaga gadis itu dan
memastikannya baik-baik saja. Bahkan seringkali, dadaku tiba-tiba terasa sesak,
jika memergoki gadis itu tertidur di kursi dengan tangan terikat dan mulut
tersumpal. Seharusnya aku membopong tubuhnya ke ranjang hotel, tentu saja,
tanpa melepaskan ikatan dan sumpalan di mulutnya. Namun terkadang, aku mengabaikannya
karena sedang keluar membeli bir.
Tapi tungggu…aku tidak sekejam itu, terkadang aku harus
melepaskannya juga dalam beberapa kondisi. Ketika makan dan saat ia mandi.
Tidak lupa dengan acungan pistol ke arahnya.
Dengan keadaan tertekan seperti itu, dia sering juga berbicara
kepadaku. aku pura-pura dingin, tapi aku mendengarkannya. Ketika dia mulai
menyebutkan nama, aku menahannya. Aku jelaskan padanya bahwa aku tak boleh tahu
siapa nama dan latar belakang gadis ini.
Awalnya, wajar saja jika dia memang membenciku dan menganggapku sama dengan kawan-kawanku yang
lain, ketika ia harus diseret paksa ke dalam mobil tepat ketika dia pulang dari
kampusnya. Waktupun berlalu, dia mulai mengatakan bahwa anggapannya dulu salah.
“Mereka menarikku ke mobil dengan kasar dan meneriakiku untuk
diam. Tapi kau tidak. Kau merawatku dengan baik. Kau memberiku cukup makanan,
mengijinkanku untuk membersihkan diri…” tuturnya sambil melahab makanan pada
sore hari di motel kecil pinggiran kota. Entah itu motel keberapa yang sudah
kami singgahi.
“Tapi aku selalu menodongkan pistol ke kepalamu. Dan jangan kira,
aku tak akan meledakkannya jika kau berani macam-macam.”
“Itu kan memang tugasmu. Bukannya
memang sudah seharusnya kau memastikanku tidak kabur? aku tidak menyalahkanmu
soal itu.”
“Sudah. Lebih baik kau diam dan habiskan makananmu!”
“Kau keterlaluan. Kau menyumpal
mulutku sepanjang hari dan hanya membukanya ketika waktu makan dan mandi saja.
Dan sekarang kau menyuruhku diam lagi? eh, ngomong-ngomong siapa namamu?”
Sebenarnya ingin sekali aku menyebutkan nama agar dia bisa
memanggilku dengan sebuah sebutan. Tapi aku masih sadar akan tugasku. “Kau tak
perlu tahu…”
“Oke, kalau begitu aku akan
memperkenalkan diriku terlebih dulu. Namaku….”
“Stop!! sudah kubilang berkali-kali padamu jangan menyebutkan nama!!
sudah…habiskan minummu setelah itu mandilah!!”
“Baiklah tuan penculik yang baik dan perhatian.
Karena kamu tak mau menyebutkan nama, jadi aku akan memberimu nama saja…”
“Ngomong apa kamu?”
“Ya, aku merasa aneh saja jika bersama
seorang pria selama sebulan dan tak mengetahui namanya sama sekali. Mulai
sekarang kupanggil kau Bram…oke?”
“Terserah kaulah…”
Perbincangan-perbincangan seperti itu mulai semakin intens
terjadi. Akupun perlahan mulai membuka diri padanya. Namun tetap menjaga diri
untuk tidak melakukan apa yang harusnya tidak kulakukan.
“Kau suka nonton film, Her?”
“Lumayan. Dulu sering, sekarang jarang. Tak ada waktu untuk
hal-hal seperti itu lagi.”
“Kau harus sering nonton film.
Terutama film aksi. Mungkin itu bisa membantumu dalam pekerjaanmu sebagai
penculik.”
“Semua yang di film itu omong kosong. Realitanya tak semudah itu.
Dan satu lagi, jangan panggil aku Hercules. Aku risih mendengarnya.”
“Ya ampuuunn, seminggu ini saja kau
sudah memintaku mengganti namamu tiga kali. Kau tak mau kupanggil Bram,
terdengar seperti om-om katamu. Lalu kuganti Patrick, kau menolaknya karena
terdengar bodoh. Sekarang Hercules…”
“Aku cuma merasa Hercules itu homo.”
“Hahahaha…ada-ada saja kau. Baiklah,
kuganti lagi jadi Justin. Bagaimana?”
“Hmm…terdengar lebih baik.”
Banyak hal telah kami lalui berdua. Bos Jonet selalu datang
seminggu dua kali untuk mengecek keadaanku dan gadis itu. Muncul suatu
keinginan untuk menghajar wajah bosku itu setiap kali dia memeriksa keadaan
gadis itu, seperti dia memeriksa kambing yang hendak dia beli. Jujur saja,
hatiku terbakar. Aku ingin melindunginya, tapi aku sadar akan posisiku. Itu
tidak mungkin kulakukan.
Pernah suatu hari, ketika bos Jonet berkunjung, aku membuka sumpal
di mulutnya setelah yakin ia telah benar-benar meninggalkan villa yang
tempatnya agak terpencil di daerah Puncak Bogor. Kata bos, villa ini milik
kenalannya, seorang pemimpin sindikat perdagangan narkotika Internasional.
“Trims, Justin…”
“Maaf, ya? aku terpaksa menyumpal mulutmu ketika bosku datang. Aku
cuma tak ingin mencelakaimu dan diriku sendiri.”
“Aku ngerti kok. Aku ngerti kamu beda
dengan mereka.”
“Kamu salah. Kamu salah besar jika berfikir seperti itu. Aku tak
ada bedanya dengan mereka. Aku adalah salah satu dari mereka.”
“Tapi kamu perhatian sama aku. Aku bisa
bedain kok mana perhatian yang datang cuma gara-gara tugas dan mana perhatian
yang tulus dari hati. Kamu sebenarnya…”
“Cukup!! kamu sadar gak sih jika negosiasi uang tebusan antara bos
dengan orang tuamu gagal, akulah yang akan menghabisi nyawa kamu!!!” perih
sekali rasanya mengatakan itu padanya. Namun aku hanya ingin dia sadar. Aku hanya
ingin dia tahu kenyataannya. Walaupun aku sendiri selalu menutup mata atas
realita yang ada.
Gadis itu terdiam drngan mata yang mulai berkaca-kaca. Bibir
indahnya yang bergetar mengucap sesuatu, “Aku
kan sudah katakan, kau hanya menjalankan tugas. Aku tidak bisa menyalahkanmu
jika kau harus…”
Dadaku semakin sesak. Aku tidak tahan. “CUKUP!!!!”
Seketika gadis itu mendekatkan tubuhnya padaku dan mengecup bibirku
dengan lembut. Aku membatu. Otakku tak siap menerima apa yang sedang terjadi.
Namun hanya sesaat. Harmoni otak-bibir kembali selaras. Kubalas kecupannya
dengan pagutan yang dalam. Hingga aku tersadar.
“Maaf…ini seharusnya gak boleh kejadian.” aku mundur. Dia mundur.
Mukanya memerah. Aku semakin salah tingkah. Aku memilih pergi dari situ menuju
teras depan. Namun belum ada lima langkah, aku membalikkan tubuhku. Aku tak
bisa menahan ini lebih lama lagi.
“Dengar…aku cuma ingin kau tahu bahwa akurasa ini tumbuh makin
lama makin besar. Itu saja. Semuanya tak mudah bagiku. Aku sadar peranku, dan
perasaan itu hanya akan menyiksaku terus-menerus…maafkan aku, tapi tugas
tetaplah tugas.”
Gadis itu diam tertunduk. Aku tak tahan berlama-lama dalam situasi
serba membingungkan dan sakit seperti ini. “Aku
juga mencintaimu, siapapun namamu…” ucapnya lemah, namun masih terdengar
jelas di telingaku. Aku tetap berlalu dan tanpa sadar, pipiku pun berlinang.
Itu terjadi sehari sebelum telepon dari bos Jonet itu datang.
“Negosiasi kita gagal. Kau habisi saja gadis itu. Kubur di
belakang villa. Dan oh ya…sisakan kepalanya untuk aku kirimkan ke orangtuanya
yang bangsat itu. Lakukan secepat dan sebersih mungkin. Nanti jam delapan malam
aku akan menjemputmu ke situ.”
Badanku lemas. Seluruh tenaga yang kumiliki hilang begitu saja.
Begitu besar harapanku agar negosiasi itu berhasil. Namun semua sirna. Menguap
begitu saja. Kututupi wajahku dengan kedua tanganku di beranda samping villa.
Udara dingin tak mampu meredakan perih yang menusuk ulu hatiku dengan sangat
menyakitkan. Memori itu berputar kembali. Percakapan yang menyenangkan dengan
gadis itu. Kekonyolannya dengan memberiku nama-nama panggilan yang sama sekali
aneh. Hingga kecupan-kecupan cinta antara kami, yang terjadi sehari lalu.
Semuanya merajai otakku. Aku mencintainya…sangat mencintai gadis itu. Senyumnya
yang manis, wajahnya yang masih memancarkan kecantikan yang membuat hatiku
terus berdegup kencang, walau lusuh dan tanpa make-up, rambut panjangnya yang
indah, dan sikap tulusnya padaku.
Aku berteriak sekencangnya…membuang semua angan itu dari benakku.
Kembali berpijak pada kenyataan bahwa aku adalah penculik. Pembunuh. Dan
dia…gadis yang ada di dalam sana, yang tanpa sadar telah kucintai, dia adalah
gadis yang harus kuhabisi malam ini. Lakukan ini dengan cepat, agar semuanya
segera berlalu, batinku keras dalam hati.
Dengan langkah mantab, aku memasuki rumah dengan pistol, yang kali
ini penuh terisi peluru, di genggaman tangan kananku. Dengan kondisi terikat di
kursi tanpa sumpal mulut. Dia menatapku dengan wajah damai. Seluas senyum,
senyum yang memancarkan kepasrahan, terpancar di bibir indahnya. Hatiku
merasakan perih yang melebihi dari apa yang kurasakan tadi.
“Sudah saatnya kan?” ucapnya dengan sebuah senyum, tapi
tak bisa menutupi kesedihan yang tersirat dari auranya.
“Kau diam saja. Sudah kukatakan aku tak berbeda dengan mereka.”
“Kau tetap berbeda di mataku, sampai
kapanpun…kau adalah lelaki yang kucintai. Aku mencintai lelaki yang akan
membunuhmu”
“DIAAAAMMMM!!!” aku berteriak. Pistolku kuacungkan ke arah gadis
itu.
“Lakukanlah apa yang seharusnya kau lakukan,
tapi aku ingin kau mengabulkan dulu permintaan terakhirku. Aku hanya ingin kau
menjawab pertanyaanku…”
Perasaanku campur aduk. Ingin sekali rasanya lari dari sini.
Sejauh mungkin.
“…siapa namamu?”
“Reno.”
“Namaku Resha jika kau ingin
mengetahuinya. Sekarang lakukanlah apa yang sudah menjadi tugasmu…”
Kutarik kokang pistol. Aku tak bisa…ini semua terlalu jauh.
“Aku mencintaimu, Reno…” ucapnya sambil menutup matanya yang
berlinangan air mata. Namun di bibir itu masih terlukis senyuman. Senyuman yang
mematahkan hatiku bertubi-tubi. Oh Tuhan…aku tak pernah merasakan sakit seperti
ini. Kupejamkan mata sejenak. Yah…aku telah memutuskannya. Aku tak bisa lagi
berpaling.
Kutatap jam dinding. 19.15. Tak lama lagi Jenot datang. Aku harus
cepat. Kuletakkan pistolku di lantai dan menghampiri gadis yang akhirnya
kuketahui bernama Resha. Kubuka jeratan tali yang mengekang kedua tangannya.
“Heh…apa yang kau lakukan Reno?” mata Resha terbuka. Dengan ekspresi
kaget dia menatapku yang sedang sibuk membuka simpul jeratan tali.
“Diamlah. Kita harus cepat. Sehabis ini kita harus lari sebelum
bos Jonet datang. Kita lewat belakang villa. Aku tahu jalannya.”
“Kau tahu ini berbahaya bagimu Reno.
Kau bisa dibunuh bosmu itu…” ucapnya setelah ikatan talinya lepas.
Aku berdiri dihadapannya. Memegang erat kedua pundaknya. “Aku tak
peduli. Aku mencintaimu dan aku tak bisa melakukannya. Aku rela harus terus
diburu Jonet seumur hidup asalkan bisa terus bersamamu, Resha…”
Dia mengecup bibirku sekejab. “Aku
juga mencintaimu…”
“Aku tahu Resha. Sekarang ayo kita keluar dari villa ini. Kita tak
punya cukup waktu.”
Aku mendahuluinya melangkah tergesa menuju pintu belakang villa.
Hingga aku tersadar.
“Tunggu…”
“Apalagi, Reno?”
“Pistolku ketinggalan di dalam…”
“Tak usah kau cari.” Kutatap tangan kanan Resha memegang
pistolku. Aku bernafas lega, tak boleh aku meninggalkannya di villa ini.
“Oh,terimakasih sayang…mana?”
“Apa kau bilang? sayang?” Resha masih menenteng pistol itu. Nada
bicara dan sorot matanya kini berubah. “Jadi kau benar-benar percaya bahwa aku
mencintaimu bodoh??”
Secepat kilat, sebuah peluru terbang menghujam dadaku. Aku tak
tahu apa yang sedang terjadi. Aku hanya merasakan dingin yang perlahan menjadi
perih di dadaku. Pandanganku mulai kabur.
“Beberapa orang diciptakan untuk menjadi orang jahat. Namun, ada
banyak yang ditakdirkan untuk menjadi lebih licik. Kau mengerti?”
Pistol meletus untuk kedua kali. Menghunjam dadaku kembali. Aku
roboh. Pandanganku gelap seketika. Masih kudengar suara Resha, yang perlahan
memudar.
“Kau tahu kenapa kau berbeda dengan
mereka? Kau berbeda karena kau lebih bodoh!!”
0 komentar:
Posting Komentar