Translate

cerpen peluru dan cinta

Written By iqbal_editing on Sabtu, 01 April 2017 | 16.28

-PELURU DAN CINTA-

Aku tak pernah menginginkan semuanya berakhir dengan cara sinetron seperti ini. Tidak pernah. Bahkan untuk membayangkannya sedikitpun. Tapi nyatanya, semua itu sedang terjadi saat ini. Gila!! bagaimana bisa, setelah bertahun bergelut di pekerjaan ini, untuk pertama kalinya perasaanku mengalahkan keprofesionalanku? ini benar-benar gila!! aku gila…perasaanku gila!! bahkan, tugasku sudah sangat jelas dan mudah. Menjaga wanita ini agar tidak kabur dan menunggu perintah selanjutnya dari bos. Kalau bos bilang transaksinya berhasil, berarti aku harus membawa wanita ini kepada bos untuk selanjutnya dilepaskan. Tapi jika sebaliknya, berarti aku harus menghabisi nyawa gadis yang kini terikat erat di kursi, yang saat ini ada di hadapanku.

Sudah dua minggu lebih, sejak kami menculik gadis ini, yang  bahkan sampai saat ini tak kuketahui namanya, aku menghabiskan waktu untuk menunggu nasibnya. Memastikan dia tidak merusak rencana besar bernilai miliaran rupiah, seperti yang dikatakan Jonet, pemimpin gerombolanku. Aku kenal bos Jonet dengan baik, lima tahun aku bekerja untuknya. Dia mungkin adalah kriminal paling perfeksionis di negara ini. Bagaimana tidak? dalam membagi tugas diantara anak-anak buahnya saja, termasuk aku, dia sangat teliti dan mendetail. Kali ini aku kebagian tugas untuk menjaga tawanan dengan baik. Itu saja. Tugasku hanya memberinya makan secara teratur tiga kali sehari, mengantarkannya ke kamar mandi dan sampai akhirnya nanti aku yang akan menjadi penentu nasibnya. Ya…benar-benar hanya itu. Soal siapa nama, apalagi terpikir latar belakang gadis ini -seperti siapa orangtuanya atau berapa umurnya- aku tak perlu tahu dan tak perlu menanyakannya.

Aku ingat betul, sudah dua minggu berlalu menghabiskan waktuku bersama gadis ini. Dua minggu di mana bos Jonet terus bernegosiasi dengan orang tua si gadis tentang uang tebusan. Dua minggu di mana kami harus terus berpindah-pindah tempat menghindari kejaran polisi. Dan dua minggu dimana perasaan ini mulai tumbuh dan mengakar kuat di hatiku…hati seorang manusia pada umumnya. Yah kau benar!! Mungkin aku adalah seorang anggota sindikat penculik yang jatuh cinta pada korbannya sendiri.

Namun kau tak bisa sepenuhnya memojokkanku. Bukankah perasaan cinta itu bisa datang kapan dan kepada siapapun tanpa bisa kita kontrol? kau tak bisa menyalahkan perasaanku pada gadis ini. Toh, wajar saja jika melihat umurku yang baru 24 tahun, sedang dia, gadis itu, berwajah manis dan lumayan cantik, mungkin usianya tak berbeda jauh denganku. Aku adalah orang yang menculik gadis itu dan akan menjadi eksekutor baginya. Namun, sekarang semuanya menjadi sangat tidak mudah. Aku tak bisa mengingkari, waktu-waktu yang kami lewatkan berdua, perlahan-lahan menumbuhkan perasaan yang lebih di dalam hatiku. Tugasku menuntutku untuk memberikan perhatian pada gadis itu. Jangan lampai lecet sedikitpun, seperti kata bos Jonet. Awalnya hanya sebatas tuntutan tugas, namun lama-kelamaan memberinya perhatian menjadi sebuah kebutuhan. Lama-kelamaan, aku merasa punya kewajiban untuk menjaga gadis itu dan memastikannya baik-baik saja. Bahkan seringkali, dadaku tiba-tiba terasa sesak, jika memergoki gadis itu tertidur di kursi dengan tangan terikat dan mulut tersumpal. Seharusnya aku membopong tubuhnya ke ranjang hotel, tentu saja, tanpa melepaskan ikatan dan sumpalan di mulutnya. Namun terkadang, aku mengabaikannya karena sedang keluar membeli bir.

Tapi tungggu…aku tidak sekejam itu, terkadang aku harus melepaskannya juga dalam beberapa kondisi. Ketika makan dan saat ia mandi. Tidak lupa dengan acungan pistol ke arahnya.

Dengan keadaan tertekan seperti itu, dia sering juga berbicara kepadaku. aku pura-pura dingin, tapi aku mendengarkannya. Ketika dia mulai menyebutkan nama, aku menahannya. Aku jelaskan padanya bahwa aku tak boleh tahu siapa nama dan latar belakang gadis ini.

Awalnya, wajar saja jika dia memang membenciku dan  menganggapku sama dengan kawan-kawanku yang lain, ketika ia harus diseret paksa ke dalam mobil tepat ketika dia pulang dari kampusnya. Waktupun berlalu, dia mulai mengatakan bahwa anggapannya dulu salah.

“Mereka menarikku ke mobil dengan kasar dan meneriakiku untuk diam. Tapi kau tidak. Kau merawatku dengan baik. Kau memberiku cukup makanan, mengijinkanku untuk membersihkan diri…” tuturnya sambil melahab makanan pada sore hari di motel kecil pinggiran kota. Entah itu motel keberapa yang sudah kami singgahi.

“Tapi aku selalu menodongkan pistol ke kepalamu. Dan jangan kira, aku tak akan meledakkannya jika kau berani macam-macam.”

“Itu kan memang tugasmu. Bukannya memang sudah seharusnya kau memastikanku tidak kabur? aku tidak menyalahkanmu soal itu.”

“Sudah. Lebih baik kau diam dan habiskan makananmu!”

“Kau keterlaluan. Kau menyumpal mulutku sepanjang hari dan hanya membukanya ketika waktu makan dan mandi saja. Dan sekarang kau menyuruhku diam lagi? eh, ngomong-ngomong siapa namamu?”

Sebenarnya ingin sekali aku menyebutkan nama agar dia bisa memanggilku dengan sebuah sebutan. Tapi aku masih sadar akan tugasku. “Kau tak perlu tahu…”

“Oke, kalau begitu aku akan memperkenalkan diriku terlebih dulu. Namaku….”

“Stop!! sudah kubilang berkali-kali padamu jangan menyebutkan nama!! sudah…habiskan minummu setelah itu mandilah!!”

“Baiklah tuan penculik yang baik dan perhatian. Karena kamu tak mau menyebutkan nama, jadi aku akan memberimu nama saja…”

“Ngomong apa kamu?”

“Ya, aku merasa aneh saja jika bersama seorang pria selama sebulan dan tak mengetahui namanya sama sekali. Mulai sekarang kupanggil kau Bram…oke?”

“Terserah kaulah…”

Perbincangan-perbincangan seperti itu mulai semakin intens terjadi. Akupun perlahan mulai membuka diri padanya. Namun tetap menjaga diri untuk tidak melakukan apa yang harusnya tidak kulakukan.

“Kau suka nonton film, Her?”

“Lumayan. Dulu sering, sekarang jarang. Tak ada waktu untuk hal-hal seperti itu lagi.”

“Kau harus sering nonton film. Terutama film aksi. Mungkin itu bisa membantumu dalam pekerjaanmu sebagai penculik.”

“Semua yang di film itu omong kosong. Realitanya tak semudah itu. Dan satu lagi, jangan panggil aku Hercules. Aku risih mendengarnya.”

“Ya ampuuunn, seminggu ini saja kau sudah memintaku mengganti namamu tiga kali. Kau tak mau kupanggil Bram, terdengar seperti om-om katamu. Lalu kuganti Patrick, kau menolaknya karena terdengar bodoh. Sekarang Hercules…”

“Aku cuma merasa Hercules itu homo.”

“Hahahaha…ada-ada saja kau. Baiklah, kuganti lagi jadi Justin. Bagaimana?”

“Hmm…terdengar lebih baik.”

Banyak hal telah kami lalui berdua. Bos Jonet selalu datang seminggu dua kali untuk mengecek keadaanku dan gadis itu. Muncul suatu keinginan untuk menghajar wajah bosku itu setiap kali dia memeriksa keadaan gadis itu, seperti dia memeriksa kambing yang hendak dia beli. Jujur saja, hatiku terbakar. Aku ingin melindunginya, tapi aku sadar akan posisiku. Itu tidak mungkin kulakukan.

Pernah suatu hari, ketika bos Jonet berkunjung, aku membuka sumpal di mulutnya setelah yakin ia telah benar-benar meninggalkan villa yang tempatnya agak terpencil di daerah Puncak Bogor. Kata bos, villa ini milik kenalannya, seorang pemimpin sindikat perdagangan narkotika Internasional.

“Trims, Justin…”

“Maaf, ya? aku terpaksa menyumpal mulutmu ketika bosku datang. Aku cuma tak ingin mencelakaimu dan diriku sendiri.”

“Aku ngerti kok. Aku ngerti kamu beda dengan mereka.”

“Kamu salah. Kamu salah besar jika berfikir seperti itu. Aku tak ada bedanya dengan mereka. Aku adalah salah satu dari mereka.”

“Tapi kamu perhatian sama aku. Aku bisa bedain kok mana perhatian yang datang cuma gara-gara tugas dan mana perhatian yang tulus dari hati. Kamu sebenarnya…”

“Cukup!! kamu sadar gak sih jika negosiasi uang tebusan antara bos dengan orang tuamu gagal, akulah yang akan menghabisi nyawa kamu!!!” perih sekali rasanya mengatakan itu padanya. Namun aku hanya ingin dia sadar. Aku hanya ingin dia tahu kenyataannya. Walaupun aku sendiri selalu menutup mata atas realita yang ada.

Gadis itu terdiam drngan mata yang mulai berkaca-kaca. Bibir indahnya yang bergetar mengucap sesuatu, “Aku kan sudah katakan, kau hanya menjalankan tugas. Aku tidak bisa menyalahkanmu jika kau harus…”

Dadaku semakin sesak. Aku tidak tahan. “CUKUP!!!!”

Seketika gadis itu mendekatkan tubuhnya padaku dan mengecup bibirku dengan lembut. Aku membatu. Otakku tak siap menerima apa yang sedang terjadi. Namun hanya sesaat. Harmoni otak-bibir kembali selaras. Kubalas kecupannya dengan pagutan yang dalam. Hingga aku tersadar.

“Maaf…ini seharusnya gak boleh kejadian.” aku mundur. Dia mundur. Mukanya memerah. Aku semakin salah tingkah. Aku memilih pergi dari situ menuju teras depan. Namun belum ada lima langkah, aku membalikkan tubuhku. Aku tak bisa menahan ini lebih lama lagi.

“Dengar…aku cuma ingin kau tahu bahwa akurasa ini tumbuh makin lama makin besar. Itu saja. Semuanya tak mudah bagiku. Aku sadar peranku, dan perasaan itu hanya akan menyiksaku terus-menerus…maafkan aku, tapi tugas tetaplah tugas.”

Gadis itu diam tertunduk. Aku tak tahan berlama-lama dalam situasi serba membingungkan dan sakit seperti ini. “Aku juga mencintaimu, siapapun namamu…” ucapnya lemah, namun masih terdengar jelas di telingaku. Aku tetap berlalu dan tanpa sadar, pipiku pun berlinang.

Itu terjadi sehari sebelum telepon dari bos Jonet itu datang.

“Negosiasi kita gagal. Kau habisi saja gadis itu. Kubur di belakang villa. Dan oh ya…sisakan kepalanya untuk aku kirimkan ke orangtuanya yang bangsat itu. Lakukan secepat dan sebersih mungkin. Nanti jam delapan malam aku akan menjemputmu ke situ.”

Badanku lemas. Seluruh tenaga yang kumiliki hilang begitu saja. Begitu besar harapanku agar negosiasi itu berhasil. Namun semua sirna. Menguap begitu saja. Kututupi wajahku dengan kedua tanganku di beranda samping villa. Udara dingin tak mampu meredakan perih yang menusuk ulu hatiku dengan sangat menyakitkan. Memori itu berputar kembali. Percakapan yang menyenangkan dengan gadis itu. Kekonyolannya dengan memberiku nama-nama panggilan yang sama sekali aneh. Hingga kecupan-kecupan cinta antara kami, yang terjadi sehari lalu. Semuanya merajai otakku. Aku mencintainya…sangat mencintai gadis itu. Senyumnya yang manis, wajahnya yang masih memancarkan kecantikan yang membuat hatiku terus berdegup kencang, walau lusuh dan tanpa make-up, rambut panjangnya yang indah, dan sikap tulusnya padaku.

Aku berteriak sekencangnya…membuang semua angan itu dari benakku. Kembali berpijak pada kenyataan bahwa aku adalah penculik. Pembunuh. Dan dia…gadis yang ada di dalam sana, yang tanpa sadar telah kucintai, dia adalah gadis yang harus kuhabisi malam ini. Lakukan ini dengan cepat, agar semuanya segera berlalu, batinku keras dalam hati.

Dengan langkah mantab, aku memasuki rumah dengan pistol, yang kali ini penuh terisi peluru, di genggaman tangan kananku. Dengan kondisi terikat di kursi tanpa sumpal mulut. Dia menatapku dengan wajah damai. Seluas senyum, senyum yang memancarkan kepasrahan, terpancar di bibir indahnya. Hatiku merasakan perih yang melebihi dari apa yang kurasakan tadi.

“Sudah saatnya kan?” ucapnya dengan sebuah senyum, tapi tak bisa menutupi kesedihan yang tersirat dari auranya.

“Kau diam saja. Sudah kukatakan aku tak berbeda dengan mereka.”

“Kau tetap berbeda di mataku, sampai kapanpun…kau adalah lelaki yang kucintai. Aku mencintai lelaki yang akan membunuhmu”

“DIAAAAMMMM!!!” aku berteriak. Pistolku kuacungkan ke arah gadis itu.

“Lakukanlah apa yang seharusnya kau lakukan, tapi aku ingin kau mengabulkan dulu permintaan terakhirku. Aku hanya ingin kau menjawab pertanyaanku…”

Perasaanku campur aduk. Ingin sekali rasanya lari dari sini. Sejauh mungkin.

“…siapa namamu?”

“Reno.”

“Namaku Resha jika kau ingin mengetahuinya. Sekarang lakukanlah apa yang sudah menjadi tugasmu…”

Kutarik kokang pistol. Aku tak bisa…ini semua terlalu jauh.

“Aku mencintaimu, Reno…” ucapnya sambil menutup matanya yang berlinangan air mata. Namun di bibir itu masih terlukis senyuman. Senyuman yang mematahkan hatiku bertubi-tubi. Oh Tuhan…aku tak pernah merasakan sakit seperti ini. Kupejamkan mata sejenak. Yah…aku telah memutuskannya. Aku tak bisa lagi berpaling.

Kutatap jam dinding. 19.15. Tak lama lagi Jenot datang. Aku harus cepat. Kuletakkan pistolku di lantai dan menghampiri gadis yang akhirnya kuketahui bernama Resha. Kubuka jeratan tali yang mengekang kedua tangannya.

“Heh…apa yang kau lakukan Reno?” mata Resha terbuka. Dengan ekspresi kaget dia menatapku yang sedang sibuk membuka simpul jeratan tali.

“Diamlah. Kita harus cepat. Sehabis ini kita harus lari sebelum bos Jonet datang. Kita lewat belakang villa. Aku tahu jalannya.”

“Kau tahu ini berbahaya bagimu Reno. Kau bisa dibunuh bosmu itu…” ucapnya setelah ikatan talinya lepas.

Aku berdiri dihadapannya. Memegang erat kedua pundaknya. “Aku tak peduli. Aku mencintaimu dan aku tak bisa melakukannya. Aku rela harus terus diburu Jonet seumur hidup asalkan bisa terus bersamamu, Resha…”

Dia mengecup bibirku sekejab. “Aku juga mencintaimu…”

“Aku tahu Resha. Sekarang ayo kita keluar dari villa ini. Kita tak punya cukup waktu.”

Aku mendahuluinya melangkah tergesa menuju pintu belakang villa. Hingga aku tersadar.

“Tunggu…”

“Apalagi, Reno?”

“Pistolku ketinggalan di dalam…”

“Tak usah kau cari.” Kutatap tangan kanan Resha memegang pistolku. Aku bernafas lega, tak boleh aku meninggalkannya di villa ini. “Oh,terimakasih sayang…mana?”

“Apa kau bilang? sayang?” Resha masih menenteng pistol itu. Nada bicara dan sorot matanya kini berubah. “Jadi kau benar-benar percaya bahwa aku mencintaimu bodoh??”

Secepat kilat, sebuah peluru terbang menghujam dadaku. Aku tak tahu apa yang sedang terjadi. Aku hanya merasakan dingin yang perlahan menjadi perih di dadaku. Pandanganku mulai kabur.

“Beberapa orang diciptakan untuk menjadi orang jahat. Namun, ada banyak yang ditakdirkan untuk menjadi lebih licik. Kau mengerti?”

Pistol meletus untuk kedua kali. Menghunjam dadaku kembali. Aku roboh. Pandanganku gelap seketika. Masih kudengar suara Resha, yang perlahan memudar.

“Kau tahu kenapa kau berbeda dengan mereka? Kau berbeda karena kau lebih bodoh!!”

0 komentar:

Posting Komentar

 
berita unik