Jangan Kau Tunda-tunda!!!

Setelah lelah berdesak-desakan di bus, belum lagi  perjalanan yang harus kutempuh dengan berjalan kaki saat matahari sedang panas-panasnya, yaitu sekitar pukul 13.00. Siang itu, aku meletakkan tas sekolah di lantai kamarku dengan kasar dan perasaan sebal. Perjalanan pulang pergi ke sekolah bagaikan rutinitas biasa yang membosankan. Tanpa basa-basi, aku pun langsung masuk kamar, lalu membenamkan diri di kasur. Tak lupa kusahut handphone (hp) yang tergeletak di samping bantal, penasaran jika ada ada sms masuk. Pulang sekolah adalah waktu tersibukku dengan hp, karena peraturan baru sekolah, yakni hp dilarang dibawa ke sekolah. Dan ternyata benar adanya, 5 sms masuk, dari beberapa teman sekolah dan 2 sms pemberitahuan dari organisasi yang kuikuti. Segera ku menekan tombol-tombol di hp, membalas sms satu-persatu.
Saat sedang asyik-asyiknya mengetikkan sms, tiba-tiba terdengar suara ibu dari ruang tengah. ”Nabila, cepet ganti baju terus shalat, shalat itu nggak boleh ditunda-tunda, dahulukan Allah daripada hp nak.” Nasehat ibu seperti biasanya.  Ibu adalah seorang muslimah yang taat, sehingga ia tak pernah menunda-nunda waktu shalat jikalau tak ada halangan yang berarti. Beliau memang paling tidak senang jika melihat anaknya menunda-nunda waktu shalat.
“Iya, iya,” kujawab sekenanya dengan perasaan sebal karena merasa terganggu. Dengan terpaksa, aku pun berjalan lemah gemulai tak bersemangat, memang sengaja kulambatkan langkahku ke kamar mandi untuk mengambil air wudhu.
“Ting-ting-ting-ting,” hp ku berbunyi, tanda ada sms masuk. Pandanganku kembali terpaut pada satu benda yang berkedib, yaitu hp dengan tulisan 1 sms baru. Tak sabar, kembali kuambil hp dan membacanya.
“Nak, shalat itu tiang agama, amalan yang pertama kali diperiksa adalah shalatmu!” Lagi-lagi ibu menyeru untuk kedua kalinya.
“Iya bu, sebentar. Ini lho baru balesin sms, kasihan temenku kalau nunggu lama-lama,” tak kuhiraukan seruan ibu, kulanjutkan percakapan asyik melalui sms dengan temanku.
“Udah-udah, ditaruh dulu hp-nya, sms kan bisa dibalas nanti, yang penting kamu shalat dulu, ibu mau pergi, ada acara di balai desa. Jangan lupa shalat ya.”
“Iya bu, beres deh,” diam-diam, dalam hatiku sangatlah senang jika ditinggal ibu pergi, tak ada suara-suara pengganggu, tak ada ceramah-ceramah dadakan, tak ada perintah-perintah yang super menyebalkan.
Tak lama kemudian, sms masuk bersahut-sahutan. Rupanya, semua temanku telah membaca sms dariku dan kemudian membalasnya. Sembari merebahkan tubuh di kasur, kulanjutkan jawab-jinawab dengan beberapa temanku. Semakin siang, semakin seru. Seperti, tak ada habis-habisnya materi pembicaraan kita.
Jarum jam telah menunjukkan pukul 14.00 atau jam 2 siang. Aku masih sibuk dengan hp, hp dan hp. Aku seperti terhipnotis oleh hp dan segala aplikasinya. Bahkan, hp bisa mengalahkan hak Allah sebagai Tuhan yang wajib disembah. Lebih sering menunda-nunda waktu shalat demi membalas sms ataupun kegiatan lainnya. Kulakukan semua itu dengan santainya, tanpa perasaan takut, tanpa perasaan bersalah. Nasehat ibu yang telah berulang kali disampaikan, hanya masuk telinga kanan dan keluar dari telinga kiri. Layaknya angin yang berhembus tanpa meninggalkan bekas sama sekali.
Beberapa menit kemudian, sambil menunggu balasan sms, aku pun terserang kantuk dan menguap berulang kali. Saking lelahnya, tiba-tiba aku telah tergeletak di atas bantal empuk kesayanganku yang berbentuk kura-kura. Tak sadar, aku terlelap selama 2 jam, hingga aku terbangun ketika jarum pendek telah menunjukan pukul 16.00 sore. Perasaan bersalah pun menyeruak, biasanya aku hanyalah menunda-nunda waktu sholat, namun tak pernah sampai terlewat waktu sholat seperti saat ini. Ya, aku hanya berkata “Astaghfirullahal’adzim” . Aku tak tau dampak dari perbuatanku. Aku tak tau apa yang akan terjadi jika aku meninggalkan sholat fardhu. Maklum, aku bersekolah di sekolah negeri dan hanya sesekali memperhatikan pelajaran agama yang hanya ada satu pertemuan di setiap minggunya.
****
Beberapa hari kemudian, aku telah melupakan kejadian itu. Aku sudah lupa perihal terlambatnya sholatku, sudah seperti tak mempunyai kesalahan apapun. Lebih tepatnya, merasa tak berdosa. Pagi itu, aku tengah menjalani tes mid semester 1 untuk pertama kalinya di SMA. Disampingku, duduk seorang muslimah berjilbab, yang tak lain adalah kakak kelasku. Sudah peraturan sekolah bahwa, setiap murid akan dipasangkan dengan kakak kelasnya atau adik kelasnya saat tes berlangsung.
“Assalamualaikum dek,” sapa kakak kelasku ini dengan ramahnya, membuat semua hati orang yang berbincang dengannya akan merasa sejuk dan tenang.
“Waalaikumussalam mbak, namanya siapa?” Jawabku seraya membuka perkenalan dengannya.
“Namaku Nurul, adik siapa?”
“Aku Nabila mbak”
“Oh, dek Nabila ya. Ngomong-ngomong, dek Nabila ikut rohis atau kerohanian islam di sekolah kita nggak?”
“Wah, ada ya mbak, saya malah belum tau. Ibu juga pernah menyuruhku untuk bergabung dengan rohis. Emang caranya masuk rohis gimana ya mbak?”
“Gampang kok, adik tinggal dateng aja ke mushola setiap hari Jum’at sepulang sekolah, pasti deh banyak kakak-kakak rohis yang bakalan menyambut adik nantinya,” rupanya mbak Nurul ini termasuk salah satu anggota rohis di sekolahku.
“Yaudah mbak, Insyaallah aku mau bergabung dengan rohis,” akhirnya aku pun tertarik untuk mengetahui lebih dekat perihal rohis.
Setelah percakapan itu, hari Jum’at sepulang sekolah, aku benar-benar mendatangi musola. Di sana telah banyak teman-teman rohis yang berkumpul. Rupanya mereka sedang bersiap-siap untuk mengikuti kegiatan mingguan rohis, yaitu mentoring. Mentoring adalah kegiatan rohis yang dimaksudkan untuk men-charger iman kita setiap minggunya, tidak hanya itu, kita juga bisa  sharing tentang berbagai hal dengan sesama anggota mentoring.
Organisasi rohis yang awalnya tidak terlalu menarik buatku, namun ternyata rohis adalah organisasi yang benar-benar bermanfaat, tidak hanya bermanfaat di dunia, namun juga di akhirat kelak. Rohis adalah wadah atau organisasi yang pas bagi para pemuda-pemudi Islam. Tempat berdakwah demi kemajuan agama Allah, tempat saling berbagi ilmu agama ataupun ilmu kehidupan, tempat mencari jati diri pemuda Islam yang sesungguhnya.
***
Hari demi hari, minggu demi minggu, kulalui semua kegiatan rohis. Terutama kegiatan mentoring mingguan yang asyik, bersama dengan mbak-mbak mentor yang senantiasa istiqomah memberikan dorongan dan motivasi kepadaku. Dan hari ini, sampailah pada suatu materi penting, yaitu tentang dosa-dosa besar. Mbak mentor dengan semangat empat limanya menerangkan dengan serius tentang materi yang tidak bisa dianggap sepele ini. Kami semua mendengarkan dengan serius.
“Tahukah kalian, dosa apa yang paling besar dihadapan Allah? Dosa itu adalah syirik, yaitu menyekutukan Allah atau menyembah selain Allah. Menganggap ada kekuatan yang lebih besar dan lebih berkuasa dibanding Allah,” kata-katanya begitu menggebu-ngebu, seakan-akan memberi penekanan lebih terhadap nasehat yang satu ini. Dampaknya dapat terasa hingga relung hati kami masing-masing.
“Bagaimana jika seorang muslim meninggalkan shalat karena terlalu sering menunda-nundanya? Apakah perilaku tersebut termasuk syirik?” detik itu juga, ingatanku langsung tertuju pada suatu peristiwa beberapa minggu yang lalu. Peristiwa yang membawaku tertidur pulas hingga melewatkan shalat dhuhur. Semua itu karena satu benda yang benar-benar manjur untuk menghipnotis banyak orang agar meninggalkan kewajibannya sebagai seorang muslim, yakni shalat tepat waktu.
“Ya, itu termasuk perbuatan syirik dalam bentuk yang lain. Seseorang meninggalkan kewajibannya sebagai seorang hamba kepada Tuhannya, yaitu shalat. Pastilah ada suatu hal yang membuatnya lebih mendahulukan hal tersebut dibandingkan kewajibannya pada Allah, yaitu shalat fardhu. Sehingga ia dengan berani dan pede-nya mendahulukan hal-hal tersebut.”
“Rasulullah pernah bersabda: “Tiada pembatas antara seorang hamba (muslim) dengan kafir atau syirik selain meninggalkan shalat.”” (HR.Muslim, Tirmidhi, dan selain keduanya)
Aku sungguh menyesal karena telah mementingkan kebahagiaan duniawi semata dan rela meninggalkan kewajiban yang merupakan bekal untuk kehidupan abadi di akhirat. Rupanya, dulu aku belum begitu paham tentang hakikat shalat yang sebenarnya. Aku mengerjakan shalat hanya karena diperintah orangtua, namun tidak mengetahui makna dari shalat itu sendiri. Akibat yang sungguh fatal jika itu terjadi pada banyak remaja muslim lainnya. Sungguh ironis memang, namun sayangnya itu masih banyak terjadi.
Lamunanku pada peristiwa itu pun terhenti. Tiba-tiba mbak mentor melanjutkan materinya. “Maka dari itu, kita harus berhati-hati dengan sikap kita dan tidak boleh bermain-main dalam melaksanakan ibadah. Nah, sedangkan dosa terbesar kedua adalah durhaka kepada kedua orangtua, terutama terhadap ibu. Kita harus patuh dan taat pada semua perintah orangtua sepanjang itu perintah untuk melaksanakan kebaikan. Nabi Muhammad pun memerintahkan kepada kita agar selalu menghormati ibu kita, meskipun ia seorang kafir sekalipun.”
Mendengar nasehat mbak mentor, aku seperti tertampar untuk kedua kalinya. Serasa disergap perasaan bersalah yang bertumpuk-tumpuk. Tubuhku kaku dan mulutku tak bisa berkata-kata lagi, membayangkan siksa apa yang akan kuterima di alam akherat kelak, karena telah berbuat dosa besar. Dosa yang aku sendiri tak tahu sanggupkah aku memikulnya. Aku telah bersalah pada Allah dan juga telah mengabaikan nasehat-nasehat bahkan perintah-perintah ibu yang semua itu demi kebaikanku juga. Tak kuhiraukan ceramah-ceramah ibu, jika tak kuturuti segera perintah ibu.
Detik itu juga, relung hatiku terdalam telah berjanji pada diriku sendiri, aku akan bertaubat dengan sungguh-sungguh. Taubat yang dilakukan dengan pembuktian konkret kepada Allah, yakni dengan cara berusaha sesegera mungkin untuk segera melaksanakan ibadah shalat sebelum melakukan aktifitas yang lainnya.
“Ya Allah yang maha pengasih lagi maha penyayang. Ampunilah dosa-dosa hamba-Mu ini yang terlalu banyak menabur dosa-dosa di dunia. Ingatkanlah kami apabila kami lalai, terimalah amal ibadah kami, dan ampunilah dosa-dosa kedua orangtua kami. Berilah petunjuk yang lurus bagi kami, yaitu petunjuk di jalan-Mu ya Allah.”
Doa yang senantiasa kupanjatkan selepas shalat, semoga keistiqomahanku dalam beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah dapat terjaga hingga ajal menjemput kelak. Karena dunia adalah kehidupan fana, kehidupan yang akan segera berakhir, kehidupan untuk mencari bekal dalam menyongsong kehidupan abadi, yakni kehidupan akherat.
‎October ‎12, ‎2012, ‏‎11:04:05 PM