Cerpen Rezi Gustiadi (Sumut Pos, Minggu 03 Juni 2012)
ENTAH
ikut merasakan, entah ingin tahu atau sekedar penasaran. Belum pernah
kurasakan sakit yang benar-benar luar biasa seperti dialami olehnya.
bergulinjang, teriak-teriak, memaki-maki, ‘hipersupersensitif’, tidak
mau makan, ingin tidur tapi tidak bisa dan segala ‘tetekbengek’nya.
Dilanda perhatian, kutanya ia baik-baik. Ia bungkam, menyendiri di sudut
ruangan. Tangannya menopang Pipi sebelah kanan dengan sangat kuat,
bahkan jarang ia lepaskan.
Sedikit
tertawa kunikmati caranya ‘menikmati’ sakit. sakit yang menurut
sebagian orang merupakan sebuah sign perlindungan bila tubuh mengalami
kerusakan. Sakit yang menurut sebagian orang merupakan suatu rasa atau
pengalaman emosional yang orang tersebut akan berusaha untuk
menghilangkannya. Sakit yang dirasa semakin parah jika mendapat
rangsangan dari luar, dari lingkungan, akibat kelelahan, kesendirian,
tumpukan masalah dan rasa yang pernah dialami sebelumnya, dan ada yang
mengganggap bahwa sakit adalah kutukan.
Entah
sekedar penasaran, entah ingin tahu, ikut merasakan, atau salah
persepsi. ‘Menurut sebagian orang’ adalah juru kunci yang kadang tidak
berlaku untuknya. Aku belum pernah melihatnya bergulinjang,
teriak-teriak, memaki-maki, ‘hipersupersensitif’, tidak mau makan, dan
segala tetekbengeknya ketika telapak kakinya berdarah dan berlubang
dalam saat ia berkelana ke hutan dan ditusuk tiga buah duri besar.
Padahal salah satu tubuhnya mengalami kerusakan. ia seperti tidak
bereaksi untuk menghilangkannya. untuk pengalaman emosionil sekalian
pun, ia -menurut pandanganku - tidak merasakan. Saat mengetahui
kekasihnya berselingkuh dengan suami orang.
Padahal
saat itu ia sendiri. Padahal saat itu ia kelelahan menerima interfensi
dan gossip panas dari lingkungan sekitarnya. bahkan ada yang mengganggap
itu adalah kutukan untuknya. Padahal ia belum pernah mengalami hal
tersebut sebelumnya.
***
Mengendap-endap,
kubuka pintu ruangan seperti maling yang takut tertangkap basah.
Sedikit tertawaku mengandung keanehan yang dahsyat. Aku melongok.
Kebungkamannya kadang mendadak padam atau kumat. Sesekali berdiri,
melepaskan tangan di pipi kanan namun tetap di sudut ruangan. Matanya
kadang melebar lalu menyempit. Aku berjalan mendekat hingga pandangannya
berubah. Kuraih lengan tangan kanannya yang masih menyiku pipi. Sedikit
tawaku padam. Kunikmati caranya menggambarkan dan bereaksi terhadap
rasa hingga menimbulkan gejala.
Terdengar
dan terasa olehku hembusan dan bau nafasnya. Caranya mendesah seperi
sehabis makan cabe. Cepat, namun lembut terdengar.
“Bang…”,
lembut ia beringsut. Nafasnya menghilang. Tanganku merenggang. Aku
mematung sekian menit di ruangan. Mendadak ia kumat. Desahannya
memanjang. Pipinya tertekan kuat. Matanya menyipit dengan puncak hidung
yang mengkerut. Seperti Merasa tidak tahan, ia menghentakkan kakinya
sesekali. Oh…wajahnya, kuyu dan sangat kentara.
penasaran
menyandarkanku ke dinding ruangan karena aku hampir kehilangan
keseimbangan, seolah-olah aku yang mengalami sakit. seolah-olah tubuhku
yang rusak. Seolah-olah sakitnya membuatku berusaha untuk
menghilangkannya. Seratus persen aku yakin ini bukan kutukan.
Penasaran
lebih menghantuiku dari sekedar ingin tahu atau ikut merasakan.
Kutelusuri kata ‘sakit’ di Google. Kudapati milyaran hasil dalam sekian
milidetik. Tidak mungkin ku ketahui seluruh hasil itu.
Penasaran
menghantarkanku ke sebuah situs tentang sejarah sakit. Defenisi,
macam-macam, batas ambang dan lain sebagainya. Ternyata toleransi
terhadap sakit dan usaha mengatasinya meningkat sesuai dengan
bertambahnya umur dan lebih besar pada pria dibanding wanita.
***
Sarung
hitamku menyambar lantai. Dengan tangan di pinggang aku mematung di
depan sebuah cermin besar. Kuperhatikan wajahku dari leher hingga ujung
kepala. Karena kelimpungan, senyumku melebar. Kudekatkan wajahku ke
depan cermin. Masih tetap seperti biasa, sudut bibirku masih di depan
gigi yang sama dan gusi depan yang tetap muncul ketika aku senyum.
Gumy’s smile. Penasaran, rahang bawah kuturunkan. Terlihat lidah, anak
lidah, langit-langit, jaringan mulut, dan yang teristimewa dan membuatku
penasaran. Gigi!
Sambil beringsut, mulutku katup dan berfikir. Kenapa mesti gigi? Apa istimewanya gigi?
Karena
Gigi yang membuatnya menggulinjang, gigi yang membuatnya tidak mau
makan, gigi yang membuatnya tetap tidak mau bercerita sedikit pun
denganku. Karena dia hipersupersensitif. Gigi yang membuat tangannya
tetap bersandar di pipi kanannya, sambil mendesah pendek-panjang, tidak
tergesa-gesa karena ia tidak makan cabe. Gigi membuatnya merasakan
sakit. Rasa yang seharusnya ada ketika ia ditinggal kawin pacarnya.
Ketika ditusuk tiga duri besar.
Sedikit
tertawaku padam tanpa sisa, caraku menikmatinya menikmati sakit berubah
sesuai dengan frekuensi kumatnya. Di depan cermin aku bergumam sendiri.
apakah kakinya kurang bersaraf untuk merasakan sign kerusakan? Atau
telapak kakinya terlalu tebal? Tidak merasa tersiksa dengan
emosionilnya? Kekasihnya? Interfensi lingkungan ? Kesendirian ?
Abang…,
entah ikut merasakan atau sekedar ingin mencari solusi sakitmu. Aku
tertawa melihatmu diserang sakit, walau sedikit. Karena baru kali ini
aku melihatmu mendapati rasa yang seharusnya muncul ketika dirimu butuh
perlindungan. Tapi dirimu menetap untuk bungkam. Bagiku kamu tidak
pernah merasakannya, atau bersembunyi dariku? Atau sakit memberengus
mulutmu sehingga kamu tidak mau bicara denganku? Aku ingin bilang, aku
sakit melihat kamu sakit. Aku tidak tahan melihatmu merangkul badanmu
sendiri, mengatupkan mulut sesekali dengan kuat dan saling mengadu gigi
dengan kekuatan rahang. Tapi apa daya.
***
Dokter
gigi itu sedikit prihatin ketika aku dan abang yang terkesan berwibawa
dan menarik masuk ke ruang prakteknya. Setelah ia periksa giginya, aku
dipersilahkan menunggu di luar. Tidak berapa lama, ia mengajakku bicara.
Baru
sadar betapa pentingnya gigi sebagai aset dalam jajaran elemen tubuh.
Kali ini memang tidak mengganggu penampilan karena hanya gigi
belakangnya yang terlibat, tapi berpengaruh besar pada kualitas
hidupnya. Rutinitas ke dokter gigi tidak hanya sekedar melakukan
pembersihan, tapi juga memberikan gambaran menyeluruh tentang gigi.
kunikmati cara dokter itu memberikan nasehat pada abang di depanku.
Keanggunannya, ketenangannya menghadapi abang, dan caranya berkonsultasi
dengannya.
***
Di pinggir tempat tidur, aku merayap hati-hati. Sebisa mungkin tidak menimbulkan suara. Senyap
***
Tentang
sakit. Tentang aku. Abang. Bingung. Tidak jelas. Perjodohan.
Ketidakpedulian. Bertepuk sebelah tangan. Disangka cinta. Kelimpungan.
Sabar. Kasihan. Serta segala tetek bengeknya yang ber ‘kongkalingkong’
dengan mesra. Tentang aku, abang dan beberapa orang lain, termasuk
mantan pacarnya pergi berkelana ke hutan. Mencari sesuatu di balik
ketenangan. Mengharapkan suatu rasa meledak ketika ia benar-benar harus
ada. ketika tiga duri besar yang menerjam sepatu tipisnya hingga
menancap telapak kaki yang keratinnya tidak terlalu tebal. Darah tak
menjadi sign baginya. Tidak melakukan perlindungan. Tertutup dengan
sensasi alam bebas. Tidak berasa sampai kaus kakinya membusuk luar biasa
ketika sampai di rumah. Sebatang rokok habis dilumatnya. Kopi. Coklat.
Tidur. Tidak gosok gigi!
Tentang
sakit. Tentang abang. Kadang bingung. Kadang tidak jelas. Tidak
dianggap. Sering membungkam. Terpaksa menerima. Tentang aku. Tinggal
bersama. Yang belum mengikat resmi dengannya. Terpasung dengan seluruh
rasa dan tetekbengeknya yang berkongkalingkong mesra. Tentang aku.
Abang. Yang mendapatinya pulang dengan muka datar. Tenang. Tanpa rasa.
Tiga batang rokok habis dilumatnya. Whiskey. Kopi. Coklat. Tidur. Tidak
gosok gigi!
Esok.
Aku. abang. Yang mendapatinya pulang dengan muka datar. Tetap tenang.
Tanpa rasa. Menambah satu batang rokok dilumatnya. Whiskey. Kopi.
Coklat. Sensasi. Tidur. Tidak gosok gigi!
Esoknya
lagi. Aku. Abang. Yang mendapatinya pulang dengan muka datar. Tetap
tenang. Tidak terasa sakit. Menambah satu batang rokok dilumatnya.
Whiskey. Kopi. Coklat. Sensasi. Tanpa ecstasy. Tidur. Tidak gosok gigi!
Esok
dan esoknya lagi. Hingga beberapa hari. Aku. Abang. Yang mendapatinya
pulang dengan muka penuh ekspresi yang saling berkongkalingkong. Tenang.
Tanpa terlihat sakit. Menambah satu batang rokok dilumatnya. Whiskey.
Tanpa kopi. Coklat. Sensasi. Tanpa ecstasy. Tidur. Tidak gosok gigi!
Tetangga
seolah-olah bersilaturahmi. Membawa bingkisan khas Jambi. Yang notabene
ingin mendapatkan informasi. Justru sebaliknya. Aku yang mendapat
informasi. Karena selama ini abang membungkam. Membuatku bingung. Tidak
jelas. Disangka cinta. Kelimpungan. Eh ternyata bertepuk sebelah tangan.
Tidak dianggap. Sabar. Dan tetangga merasa kasihan.
Tetangga
yang memergokinya sekali bergumul dengan mantan kekasihnya di dalam
mobil sebelum ia masuk ke rumah. Tetangga yang mendapat gossip dari
tetangga tentang mereka yang bertengkar hebat karena mendapati
kekasihnya yang berselingkuh dengan suami orang. Tetangga yang merasa
kehadiranku yang membuat mereka bergumul. Merayap mobil masuk pagar yang
sebisa mungkin tidak menimbulkan suara, seperti maling yang takut
tertangkap basah.
Aku
yang baru mengetahi semua. Tentang suatu rasa atau pengalaman emosionil
yang orang tersebut akan berusaha untuk menghilangkannya. Namun tidak
baginya. Karena ‘menurut sebagian orang’ sama sekali tidak berlaku
baginya.
Entah
sekedar penasaran, entah ingin tahu, ikut merasakan, atau salah
persepsi. Aku yang menemaninya menunggu suatu rasa yang seharusnya
meledak saat kakinya ditusuk tiga duri besar. Aku -yang belum tahu-
menemaninya menghabiskan sebatang rokok. Menambah sebatang tiap hari.
Kopi. Coklat. Beranjak ke whiskey. Seolah-olah mendapat sensasi. Tanpa
pernah menyinggung ecstacy. Aku yang mendapatinya pulang dengan wajah
datar. Sesekali dengan macam ekspresi yang berkonkalingkong.
Entah
aku yang salah persepsi. Seolah-olah ia tidak merasakan sakit. sakit
yang seharusnya ada dan dirasa semakin parah karena rangsangan
lingkungan. Karena tetangga yang sering datang seolah-olah
bersilaturahmi -dengan atau tanpa bingkisan khas Jambi- berkerumun
satu-satu dengan sengaja mendatangkan tukang sayur keliling di depan
pagar rumah. Rasa yang seharusnya semakin parah karena ia sendiri.
Tidak pernah berbagi cerita denganku. Karena aku dianggap tiada. Karena
semua perjodohan. Karena aku semua. Orang tuanya. Kekasihnya.
Selingkuhannya. Rokok. Kopi. coklat. Whiskey. Ecstacy. Semua. Semua.
Semuaaa.
***
Entah
ikut merasakan, entah ingin tahu atau sekedar penasaran. Sering
kudapati abang sedang menggulung diri. Sesekali ia bergulinjang,
teriak-teriak, memaki-maki, hipersupersensitif, tidak mau makan, ingin
tidur tapi tidak bisa dan segala tetekbengeknya. Dilanda perhatian,
kutanya ia baik-baik. Ia tetap membungkam, menyendiri di sudut ruangan.
Tangannya menopang Pipi sebelah kanan dengan sangat kuat, bahkan jarang
ia lepaskan.
Walau
tersiksa, sedikit tertawa kunikmati caranya menikmati rasa yang
seharusnya ada ketika kakinya ditusuk tiga duri besar walau tertutup
dengan sensasi alam bebas. Rasa yang entah ada atau tidak ketika
memergoki kekasihnya berselingkuh dengan suami orang. yang seharusnya
diperparah dengan kesendiriannya dan Terjaman gossip tetangga, melalui
silaturahmi basi dan tukang sayur keliling.
Dimulai
dari penasaran, yang menyandarkanku ke dinding ruangan karena aku
hampir kehilangan keseimbangan, seolah-olah aku yang mengalami sakit
hingga menghantarkanku ke sebuah cermin besar, memperhatikan gumy’s
smile. Sudut mulut. Lidah dan anaknya. langit-langit. Jaringan mulut.
Gusi. Dan Gigi. yang membuatnya menggulinjang. yang membuatnya tidak mau
makan. Tetap tidak mau bercerita sedikit pun. Membuatnya
hipersupersensitif. Tangannya tetap bersandar di pipi kanannya, sambil
mendesah pendek-panjang.
***
Sedikit
tawaku padam tanpa sisa ketika kami datang ke dokter gigi atas perintah
orang tuanya. Kunikmati cara dokter itu memberikan nasehat pada abang
di depanku. Keanggunannya, ketenangannya menghadapi abang, dan caranya
berkonsultasi dengannya.
Penasaran
yang menghantarkanku ke sebuah situs tentang sejarah sakit. defenisi,
macam-macam, batas ambang dan lain sebagainya yang ternyata berkorelasi
dengan konsultasiku dengan dokter gigi.
Bahwa
persepsi sakit bersifat individual. Toleransi terhadap sakit dan usaha
mengatasinya meningkat sesuai dengan bertambahnya umur dan lebih besar
pada pria dibanding wanita.
Aku
yakin didalam hati pasti ia menjerit ketika ditusuk kakinya oleh tiga
duri besar. Hanya karena malu merintih kesakitan di depan pacar dan
kerabatnya seolah-olah sakitnya tertutupi oleh sensasi alam bebas. Di
dalam hati ia pasti merintih karena kekasihnya, karena ia selalu
membungkam. Selalu melampiaskan dengan sebatang rokok. Kopi. Coklat.
Whiskey. Tanpa ecstasy. Sampai akhirnya, semua dialami gigi.
Percaya
atau tidak, sensasi sakit gigi luar biasa dashyatnya daripada sakit
hati. Dan abang, dapat menunggingkan lagu dangdut yang cukup fenomenal
itu. Biar tak mengapa.
***
Di
pinggir tempat tidurnya, aku merayap hati-hati. Sebisa mungkin tidak
menimbulkan suara. Membawa segelas air, analgesic, antibiotik dan
vitamin.
Medan, 23-03-2012
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar