Nama lengkap : Jubal Anak Perang Imanuel Panda
Abdiel
Tambayong
Nama singkatan : Japi Tambayong
Nama panggilan : Remy Sylado alias 23761
Nama samaran : Dova Zila, Alif Danya Munsyi,
Juliana C.
Panda, Jubal Anak Perang Imanuel
Tempat. Tgl. Lahir : Makasar, Sulawesi Selatan, 22 juli 1945
Umur : 67 tahun
Agama : kristen katolik
Pendidikan : SD Karangasem Semarang, SMP Katolik
Semarang,
SMAN Solo Akademi Surakarta,
Akademi
Teater Nasional Indonesia Solo,
Akademi
Seni Rupa Solo, Akademi bahasa
asing
Jakarta
Pekerjaan : wartawan, sastrawan,
dramawan, penulis
Masa kecil : masa kecil dan remaja di Semarang & Solo
Ia
dikenal sebagai Remy Sylado alias 23761. Konon, nama ini dibuat berdasarkan
pengalamannya pada tanggal 23 bulan 7 tahun 1961, yakni pertama kali ia mencium
seorang wanita. Nama ini kemudian dipakai pula untuk kelompok teater yang ia
bentuk di Bandung, Dapur Teater 23761. Sejak usia 18 tahun dia sudah menulis
kritik, puisi, cerpen, novel, drama, kolom, esai, sajak, roman popular, juga
buku-buku musikologi, dramaturgi, bahasa, dan teologi. Dibalik kegiatannya
dibidang musik, seni rupa, teater, dan film, dia juga menguasai sejumlah bahasa.
Remy Sylado
adalah seorang seniman dan sastrawan Indonesia yang serba bisa (Multi
Talent),dan beliau dapat menghasilkan berbagai karya seni dalam bebagai
bidang,seperti seni drama, lewat pertunjukan teaternya, seni sastra lewat
novel, cerpen, puisi, dan karya skenarionya, selain itu beliau adalah seorang
pelukis, dan kritikus musik, sehingga beliau terpilih sebagai satu-satunya
kritikus musik yang mendapatkan penghargaan dari istana wakil presiden dan
beliau juga mendapatkan penghargaan Anugerah Satya lencana kebudayaan dari
negara. Salah satu kehebatan Remy Sylado dibanding dengan para penyair
/sastrawan lainnya, yakni dalam karya sastranya beliau dapat menghidupakn
kata-kata Arkai, dengan menciptan kata-kata baru, atau memberdayakan kata-kata
lama yang selama ini tidak perna dipakai. Resikonya bagi para pembaca
kadang-kadang tidak segera menangkap maksud dari pemakaian istilah kata yang
digunakan beliau, bahkan pengunaan kata istilah yang ada dalam karya tulis
beliau belum tentu ada di kamus bahasa Indonesia, sebab beiau menggunakan
istilah kata dari beragam bahasa, seperti Bahasa Sasekerta, Jawa, sunda,
Manado, Betawi, Ambon, dan beberapa bahasa asing lainnya. Selami ini
novel-novel panjang, buku-buku, dan artikel-artikel, karya beliau yang unik
ternyata hanya ditulis dengan menggunakan mesin ketik lama, sementara kita yang
menggunakan computer bertahun-tahun, dan melihat internet setiap hari belum
dapat menulis buku dalam bentuk apapun. Karya terbaru Rem slylado saat ini
adalah beliau menciptakan sebuah buku yang diberi judul Kamus Bahasa dan Budaya
Manado, dan buku ini terdapat 390 halaman yang diterbitkan oleh PT Gramedia.
Dalam buku ini Remy Sylado mengankat arti dari ribuan fam yang digunakan oleh
orang-orang Manado dan ragam budaya bahasa pengantar sehari-hari di lingkup
orang-orang Manado, terutama bagi mereka yang berada di kalangan etnis
Minahasa.
Remy Sylado
merupakan seorang seniman dan sastrawan yang andal. Semua itu dapat diketahui
lewat riwayat hidupnya. Selain sebagai penulis drama, pria yang dilahirkan di
Makasar, 12 Juni 1945 merupakan seniman yang serba bisa. Bakat seninya berasal
dari kakek dan ibunya. Kakeknya merupakan seorang tentara yang menyukai seni,
terutama seni musik. Kesukaan itu menurun kepada ibunya yang bernama Caterina.
Walaupun sebagai seorang ibu rumah tangga yang hanya mengenyam sekolah desa
selama tiga tahun, ia yakin bahwa ibunya mempunyai jiwa seni. Buktinya, istri
Johannes Hendrikus Tambajong dapat menyanyikan lagu-lagu klasik, seperti The
Messiah karya Handel, Ave Maria, dan masih banyak lagi. Remy sejak duduk di
bangku sekolah dasar sudah berprestasi di bidang seni. Waktu duduk di sekolah
dasar (SD), juara lomba seni lukis tingkat SD se-Semarang pernah disandangnya.
Kecintaannya kepada seni lukis berlanjut hingga perguruan tinggi. Selepas
menamatkan pendidikan di sekolah menengah atas (SMA), pria yang bernama asli
Japi Panda Abdiel Tambayong ini kemudian mendaftar di Akademi Kesenian
Surakarta Jurusan Seni Rupa untuk memperdalam bakatnya di seni lukis. Di dunia
sastra dan pertunjukan, pendiri kelompok teater 23761 ini sangat terampil, baik
sebagai pemain drama maupun sebagai penulis cerita. Ia sudah bermain drama
sejak berusia empat tahun. Perannya menjadi domba di kandang natal sangat
berkesan hingga sekarang. Saat tubuhnya bertambah besar, peran yang
dimainkannya pun berubah, yaitu menjadi anak sapi. Ketertarikannya pada dunia
seni peran menuntunnya untuk melanjutkan sekolah di Akademi Teater Nasional
Indonesia. Bakat kepengarangan Remy sudah terlihat sejak duduk di bangku SMP.
Yang kala itu ikut andil mengasah kemampuannya mengarang adalah guru bahasanya.
Ketika sang guru menugaskan murid-muridnya mengarang sepanjang satu halaman,
penulis novel Ca-bau-kan ini mampu mengarang hingga empat halaman. Bahkan,
hasil karangannya dibacakan di kelas-kelas lain. Kepenulisan mantan Ketua Pusat
Kebudayaan Bandung ini semakin terasah ketika dia berkarier sebagai wartawan.
Pada 1965, Remy pernah menjadi wartawan di majalah Tempo di Semarang. Setelah
itu, ia kemudian menjadi redaktur di majalah Aktuil Bandung dari 1972 sampai
1975. Di sana, dia sekaligus menjadi redaktur pertama rubrik “Puisi Mbeling”.
Baginya, sastra harus bisa memberikan penghiburan dan pengharapan kepada
pembacanya. Karya sastra tersebut dapat dibuang ke tempat sampah apabila tidak
memuat keduanya.
Tugas
seorang penulis sastra bukanlah sekadar membuat cerita, melainkan membuat dan
menghadirkan gagasan pemikirannya. Baginya, pengarang tidak dapat menghadirkan
gagasan pemikiran secara asal-asalan kepada pembaca. Untuk menghasilkan sebuah
karya sastra, perlu dilakukan riset terlebih dahulu. Alasannya, jika ditulis
tanpa riset, novel tersebut cenderung akan kering. Salah satu novelnya yang
terkenal dan sempat difilmkan adalah Ca-baukan (Hanya Sebuah Dosa). Remy
telah menghasilkan beberapa novel yang lain, seperti Kembang Jepun, Parijs
van Java: Darah, Keringat, Airmata, Kerudung Merah Kirmizi, Menunggu Matahari
Melbourne, dan Sam Po Kong. Selain itu, Remy menulis drama, seperti Siau
Ling dan 9 Oktober 1740. Keduanya memiliki latar belakang sejarah
yang kuat. Teks drama 9 Oktober 1740
bercerita tentang kisah percintaan antara Hein de Wit dan Hien Nio yang di
dalamnya terdapat intrik politik, pengkhianatan, dan sentimen kebangsaan.
Keistimewaan
drama ini terletak pada penjelasan yang detail tentang tokoh dan tempat melalui
catatan kaki, misalnya karakter Adriaan Valckenier dan tempat Zeedijk. Selain
itu, Remy Sylado juga menggunakan banyak bahasa dalam teks drama ini. Bahasa
yang digunakan antara lain, bahasa Indonesia, Cina, Belanda, dan Jawa. Tanggapan
terhadap drama ini beragam. Di Fakultas Ilmu Budaya UGM, terdapat sebuah tesis
yang membahas tentang teks drama 9 Oktober 1740 yang ditulis oleh Else Liliani.
Ia menyimpulkan bahwa naskah drama ini berusaha menyajikan wacana antikolonial.
Akan tetapi, wacana tersebut masih terhegemoni oleh wacana kolonial yang
menekankan pada pejabat kolonial yang koruplah yang harus dipersalahkan, bukan
setiap orang Belanda yang identik dengan penjajah. Selain itu, teks ini juga
dianggap merefleksikan proses hibridisasi yang tidak mungkin ditolak. Remy
memang sering menulis cerita dengan menggunakan latar belakang sejarah. Kritik
terhadap kebenaran sejarah dalam karyanya sering muncul. Akan tetapi, ia
mempunyai jawaban sendiri tentang hal tersebut.
0 komentar:
Posting Komentar