Translate

puisi esai bagian 1

Written By iqbal_editing on Rabu, 21 Desember 2016 | 07.14

Apa Itu Puisi Esai

Puisi esai adalah puisi yang ditulis berdasarkan fakta peristiwa tertentu dan dituangkan dalam bahasa komunikasi yang mudah dipahami.[i]) Puisi esai membedakan dirinya dengan puisi lirik yang memang lebih sering ditulis berdasarkan imajinasi, dan kerap menggunakan bahasa simbolik atau metafor-metafor yang sulit dipahami. Walaupun diangkat dari peristiwa faktual, puisi esai tetaplah fiksi. Fakta peristiwa hanya merupakan latar belakang dari cerita yang ingin dibangun oleh penulis puisi esai.
Jika dalam puisi lirik peristiwa seperti tenggelamnya matahari atau jatuhnya hujan digambarkan sebagai semata-mata peristiwa puitik, maka dalam puisi esai peristiwa yang diangkat adalah peristiwa yang memiliki dimensi sosial dalam ruang dan waktu tertentu. Untuk memahami dengan benar dimensi sosial dari suatu peristiwa seorang penulis puisi esai melakukan riset yang mendalam. Ia membutuhkan referensi untuk memperkuat fakta, menyajikan data, atau memperjelas duduk persoalan. Karena itu puisi esai dilengkapi catatan kaki untuk menegaskan bahwa cerita yang diangkatnya adalah cerita manusia kongkret yang terlibat dalam suatu realitas sosial atau peristiwa sejarah, bukan sesuatu yang tak ada, asing, dan abstrak—sebagaimana penggambaran yang sering muncul dalam puisi lirik.

Cara Baru Penulisan Puisi
Sejauh ini publik sastra mengenal puisi lirik sebagai puisi arus utama, bahkan menjadi paradigma dalam penulisan puisi.[ii]) Lirisisme dalam sejarah perkembangan puisi Indonesia selalu mendominasi semua ruang kreativitas, bahkan menjadi sebuah hegemoni bagi para penyair. Namun demikian, banyak penyair yang mencoba keluar dari jalur utama itu dan membentuk tata bahasa sendiri di luar lirisisme.[iii])
Puisi esai merupakan salah satu jalan lain yang berada di luar jalur utama lirisisme. Puisi esai mengambil bentuk penulisan yang berbeda karena lebih menyerupai cerita pendek (cerpen) yang dituangkan dalam bentuk puisi. Pesan yang disampaikan sangat jelas dengan latar seting dan konteks yang juga tidak dirahasiakan. Bahasa yang dipilih ialah bahasa yang mudah dipahami. Inilah yang membedakannya dengan puisi lirik.
Para penyair puisi lirik melukiskan keindahan alam dengan bahasa yang indah, mengungkapkan perasaan melalui simbol dan metafor, yang untuk itu tak jarang mereka harus menciptakan idiom-idiom sendiri di luar bahasa konvensional. Membaca puisi hampir selalu berarti membaca pesan yang tersirat, karena penulis merahasiakannya melalui bahasa simbol dan pengungkapan yang sublim. Walhasil, hanya orang tertentu saja yang dapat memahami dan bisa menulisnya—yang bukan penyair tidak ambil bagian.
Hal sebaliknya terjadi pada puisi lama. Bentuk-bentuk puisi lama seperti pantun, syair, gurindam, dan sebagainya, merupakan puisi rakyat dimana semua orang bisa terlibat aktif baik dalam menikmati, memahami, maupun mencipta. Masyarakat awam sangat dekat dengan bentuk-bentuk puisi lama dan, pada masanya, ikut bertanggung jawab memelihara dan menghidupkannya. Sayangnya masa itu sudah lewat. Saat ini puisi nyaris tidak lagi memiliki “kaki” di tengah-tengah masyarakat.
Gejala elitisme dalam puisi liris telah menjauhkan masyarakat dari bentuk kesusastraan yang dulu sangat populer ini. Dan itu bukan hanya gejala Indonesia melainkan juga terjadi di mana-mana, sehingga melahirkan kerisauan tersendiri di kalangan penikmat sastra.  John Barr, misalnya,  pemimpin Foundation of Poetry, dalam tulisannya berjudul American Poetry in New Century yang dipublikasikan dalam Poetry, A Magazine of Verse tahun 2006, mengatakan bahwa puisi semakin sulit dipahami publik. Penulisan puisi juga mengalami stagnasi, tak ada perubahan berarti selama puluhan tahun. Publik luas merasa semakin berjarak dengan dunia puisi.
Menurut John Barr, para penyair asik masyuk dengan imajinasinya sendiri, atau hanya merespon penyair lain. Mereka semakin terpisah dan tidak merespon persoalan yang dirasakan khalayak luas. Barr merindukan puisi dan sastra seperti di era Shakespeare. Saat itu, puisi menjadi magnet yang dibicarakan, diapresiasi publik, dan bersinergi dengan perkembangan masyarakat yang lebih luas. Saat itu puisi juga memotret aura dan persoalan zamannya.
Puisi esai berada di dalam aras itu. Ia hadir dengan bahasa yang lugas dan mudah dipahami publik pembaca sehingga keberadaannya tidak dipandang sebagai makhluk asing. Puisi esai menghindari paham “yang bukan penyair tidak ambil bagian”. Dalam paham ini, puisi punya logika bahasanya sendiri dalam beropini. Pesan tersirat dalam bahasa yang abstrak telah menjadi tradisi dalam berpuisi selama ini. Karena itu puisi esai dengan bahasanya  yang mudah dipahami hadir sebagai “movement” cara baru beropini dan cara baru penulisan puisi, sekaligus mengembalikan puisi ke pangkuan masyarakat sebagai pemilik bahasa.

Pelopor Kelahiran Puisi Esai
Pada bulan Maret 2012, terbit sebuah buku puisi berjudul Atas Nama Cinta karya Denny JA, seorang ilmuwan sosial dan kolumnis yang telah menerbitkan puluhan buku, serta dikenal luas sebagai konsultan politik. Buku ini mencantumkan judul tambahan: Sebuah Puisi Esai, dan keterangan pada cover: Isu Diskriminasi dalam Untaian Kisah Cinta yang Menggetarkan Hati. Penerbitan buku puisi esai ini diiringi oleh dua orang penyair papan atas yaitu Sapardi Djoko Damono dan Sutardji Calzoum Bachri, serta seorang budayawan senior Ignas Kleden, yang semuanya memberi apresiasi pada epilog buku. Ketiganya dapat dikatakan menyambut baik corak baru penulisan puisi—atau eksperimen—yang dilakukan oleh Denny JA, yang keluar dari pakem penulisan puisi lirik.
Buku ini memuat lima buah puisi esai dan semuanya bertemakan cinta. Hanya saja, kisah cinta yang dituturkan dalam lima puisi esai ini bukan cinta yang berdiri sendiri melainkan bertali-temali dengan kompleksitas persoalan sosial yang kritis. Di sana ada isu perbedaan agama (Bunga Kering Perpisahan), isu rasial (Sapu Tangan Fang Yin), orientasi seksual (Cinta Terlarang Bantam dan Robin), kekerasan gender (Minah Tetap Dipancung), dan pertentangan sekte agama (Romi dan Yuli dari Cikeusik). Disajikan sedemikian rupa dengan pesan-pesan moral yang dikemas apik dengan bahasa puisi, kelima isu tersebut dibingkai dalam tema besar: masalah diskriminasi.
Buku Atas Nama Cinta buah tangan Denny JA menjadi karya pertama puisi esai yang mencoba keluar dari paradigma lirisisme dan sekaligus menandai tradisi baru dalam penulisan puisi di Tanah Air. Salah satu puisi dalam buku itu yang berjudul Sapu Tangan Fang Yin untuk pertamakalinya dibacakan dalam Kongres Sastra Komunitas Sastra Indonesia (KSI) yang berlangsung di kawasan Puncak, Jawa Barat, pada bulan Maret 2012. Dalam acara yang dihadiri sekitar 150-an sastrawan dari seluruh Tanah Air itu juga untuk pertamakalinya dilakukan sosialisasi puisi esai dalam bentuk undangan untuk membuat review, kritik, dan lomba penulisan puisi esai.

Transformasi Puisi Esai
Di samping versi cetak, buku karya Denny JA ini juga dibuatkan versi mobile web, sehingga dapat diakses dari telpon genggam dan akun twitter sekalipun. Oleh sebagian orang, buku itu dianggap sebagai tonggak yang membawa sastra ke era sosial media. Hanya dalam waktu sebulan, HITS di web buku puisi itu melampaui satu juta. Ini tak pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah buku puisi, buku sastra bahkan buku umum sekalipun. Tak hanya membaca, sebagian mereka juga menyampaikan kesan dan komentar, seperti yang bisa dilihat di www.puisi-esai.com.
Sampai tanggal 7 Januari 2013, belum genap 10 bulan sejak diluncurkannya, web www.puisi-esai.com telah diklik lebih dari 7 juta kali (persisnya 7.502.891). Ini menunjukkan betapa puisi kembali dekat dengan khalayak. Publik luas membaca dan merespon puisi dalam waktu cepat dan massif. Dapat diduga bahwa mereka pun sebenarnya akan memberikan respon yang sama kepada puisi lain, asalkan mereka dihidangkan puisi dengan bahasa yang mudah; asalkan mereka disajikan tema yang juga menjadi kegelisahan mereka sendiri; asalkan mereka diberikan pula kemudahan akses untuk membaca puisi itu melalui jaringan yang kini hot, media sosial: twitter, smartphone, internet.
Bukan hanya disajikan dalam web dan mobile web, puisi-puisi esai karya Denny JA ini juga ditransformasikan ke dalam film dimana penulisnya, Denny JA, menggaet sineas kenamaan Hanung Bramantyo sebagai co-produser. Beberapa nama terlibat sebagai sutradara dan artis dalam film-film tersebut:
  •  Sapu Tangan Fang Yin disutradarai oleh Karin Bintaro. Para aktor/aktris: Leoni Vitria, Hartanti Reza Nangin, dan Verdi Solaiman.
    • Romi dan Yuli dari Cikeusik disutradarai oleh Indra Kobutz. Para aktris/aktor: Zascia Adya Mecca, Ben Kasyafani, dan Agus Kuncoro.
    •  Minah Tetap Dipancung disutradarai oleh Indra Kobutz. Para aktris/aktor: Vitta Mariana, Saleh Ali, dan Peggy Melati Sukma.
    •  Cinta Terlarang Batman dan Robin difilmkan dengan judul Cinta Yang Dirahasiakan disutradarai oleh Rahabi MA. Para aktor: Rizal Syahdan, Zack Nasution, dan Tio Pakusadewo.
    •  Bunga Kering Perpisahan disutradarai oleh Emil Heradi. Para aktris/aktor: Rawa Nawangsih, Arthur Brotolaras, dan Teuku Rifku Wikana.
Selain dibuat dalam bentuk film, puisi-puisi esai karya Denny JA dalam buku Atas Nama Cinta juga dibuatkan versi poetry reading-nya dalam bentuk video klip yang melibatkan para sastrawan dan budayawan Putu Wijaya, Sutardji Calzoum Bachri, Niniek L Karim, Sudjiwo Tedjo, dan Fatin Hamama.
Tema-tema puisi esai Denny JA yang sudah difilmkan dan dibuatkan video klipnya, dijadikan simulasi dalam pertemuan korban tragedi kekerasan bulan Mei 1998, peringatan hari lahir Pancasila di Taman Ismail Marzuki, dan momen hari buruh memperingati kematian Ruyati, TKW Indonedia yang dipancung di Arab Saudi. Lebih lengkapnya lihat di web resmi www.puisi-esai.com.
Sebagaimana diungkapkan oleh Denny JA dalam pengantar bukunya, sebagai penulis ia mencari bentuk lain agar kegelisahan dan komitmen sosialnya sampai ke publik dalam bentuk yang pas. Ia mencari medium baru, medium tulisan yang bisa menyentuh batin manusia, namun pada saat yang sama membuat pembaca mendapatkan pemahaman tentang sebuah isu sosial, walau secuplik. Esai atau makalah atau kolom jelas tidak mengeksplor sisi batin manusia. Sementara puisi yang ada sering tidak dipahami, apatah lagi menyentuh batin. Maka ia mengembangkan medium sendiri yang kemudian disebutnya puisi esai—puisi bercita rasa esai, atau esai yang dituliskan dalam bentuk puisi.
Dalam perkembangannya puisi esai karya Denny JA kemudian ditransformasikan ke dalam banyak bentuk. Selain film pendek dan video klip pembacaannya seperti disebutkan di atas, juga diekspresikan dalam medium teater, lukisan, foto, lagu, dan social movement.[iv]) Ini sekaligus menjadi kekuatan puisi esai yang sejak awal menegaskan diri untuk menjadi bagian dari denyut nadi masyarakat. Karena karakternya yang sangat dekat dengan social movement itulah maka sejak diterbitkan buku karya Denny JA ini memperoleh perhatian yang luas dari publik dan media.[v])

0 komentar:

Posting Komentar

 
berita unik