SENYUM PEMILU
Cerpen Usman Hasan
Aku melongok keluar dari
jendela sebab terdengar ada bunyi sepeda motor . Ternyata Sudun temanku,
dia sementara berbicara dengan pengendara mobil Inova. Sudun tetap
diatas motor, sementara pengemudi Inova pun tetap berada didalam mobil.
Untung saja jalanan depan rumahku termasuk jalanan sepi, tidak ramai
kendaraan bermotor sehingga tidak mengganggu pengguna jalan lainnya.
“Pasti Sudun hendak mampir dirumahku.” Begitu pikirku.
Sudun berbeda jauh usia denganku. Dia usia 20- tahun, sementara saya
sudah 50-an. Sudun memang temanku ngobrol, hampir setiap hari dia
berkunjung kerumahku. banyak yang kami diskusikan. Mulai dari masalah
daerah sendiri yang kemajuan pembangunan bergerak bagaikan langkah
kura-kura sampai masalah nasional, bahkan kadang sampai pada masalah
internasional.
‘Gimana khabar, serius sekali, siapa itu teman kamu bicara tadi? “
“Oh itu pak Budi . Saya juga baru kenal. Dia diperkenlakan oleh sahabat
saya. Setelah berkenalan,eh tenyata kakeknya masih tetangga kebun
kakek saya. Begitu katanya, saya pun ndak begitu paham,soalnya kakek
saya masih meninggal pada zaman Belanda.”
“Apa profesinya ?”
“Dia mengaku sebagai Ketua Partai Kepiting. Jadi dia sering datang
kerumahku. Ya minta bantu mensukseskan dia pada Pemilu 2014. Pokoknya,
katanya kalau dia jadi wakil rakyat, apalagi bisa menduduki Ketua DPRD,
tidak mungkin orang yang membantu dia kemudian dilupakan begitu saja.
Oh ia orangnya selalu berbicara soal rakyat kecil, pembangunan yang
merata, perobahan, anti korupsi. Orangnya murah senyum, tadi saya masih
jauh dia sudah mengenali. Dia klakson berulang-ulang kemudian
menghentikan mobilnya. Orangnya baik, sungguh-sungguh memperhatikan
rakyat kecil.”
Aku berdiri mengambil rokok diatas meja komputer, menawarkan kepada Sudun.
“ Kamu ini menyimpulkan bahwa pak Budi memperhatikan rakyat kecil
hanya dengan alasan dia itu murah senyum dan dia itu masih tetangga
kebun kakekmu yang kamu sendiri ketika itu belum lahir, bagitu kan ? “
Kata saya dengan suara nyaring dan mata sedikit melotot.
“ Ya begitu, kemudian apa masalahnya.?”
“ Makanya kamu buka itu pikiran, jangan hanya kupon putih di kepala,
akhirnya tertutup otak. Pertama, soal senyum. Aku sedikit hendak
menjelaskan. Jadi ada berbaga-bagai senyum.”
Sudun manggut-manggut kepala
“Oh begitu ya, saya baru tahu kalau senyum ada bermacam-macam.”
“Ada senyum bahagia, misalnya seorang suami mendapat kepastian dari
zuster, bahwa isterinya melahirkan dengan selamat. Itu namnya senyum
bahagia. Ada juga senyum gembira, misalnya seseorang pemasang kupon
putih alias mendengar berita di bahwa nomornya tembus empat angka. Ada
senyum komersil. Itu senyum biasanya dihamburkan oleh penjaga toko,
penjual keliling. Tujuannya untuk menggaet pembeli. Ada lagi yaitu
senyum sinis, yan ndak suka, tidak senang, meremehkan. Senyum pahit, nah
itu yang orangnya tidak terima, tidak ikhlas, tapi tak mampu
memprotes. Misalnya, perlakuan pimpinan yang tidak disukai, namun tidak
berani menolak. . Atau seseorang yang kalah telak dalam perjudian,
terpaksa senyum pahit.
“Waduh abang ini, menjelaskan soal senyum sampai panjang lebar begitu, terus apa hubungannya dengan pak Budi.”
“Kamu ini gimana, saya kan belum selesai bicara sudah dipotong.
Senyumnya pak Budi, itu namanya yang disebut senyum Pemilu.
Kemana-mana pasang senyum. Tak pilih tua muda, kaya miskin, selalu
dihamburkan senyum. Ndak ada kerugian sebab senyum tidak dibeli. Kalau
seorang yang bermimpi jadi anggota Dewan kemudian kemana-mana –pasang
wajah cemberut, pasti orang menjauhi dia. Kalau sudah berhasil duduk
jadi anggota Dewan,apalagi menjadi Ketua, tunggu saja senyumnya, pasti
sudah hilang senyumnya. yang ada adalah pasang wibawa, Jaimnya satu
badan , dari kepala sampai kaki. Kalau ketemu , mengeluh, “ waduh ndak
enak badan bos, gigiku sakit, nanti ya kita ketemu lagi, saya mau
istirahat dulu.
“Oh baru saya paham bang. Terima kasih. Dulu saya
ndak ngerti. Nanti saya hati-hati terhadap senyum, bukan saja pak Budi,
pokoknya senyum Pemilu dari siapa saja. ***
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar