Logika dan rasaku sudah lama bersepakat untuk itu. Hanya saja, nasib masih terlalu sering mangkir dari janji-janjinya sehingga niatku masih belum dapat terlaksana. Apalagi kesempatan … huh, boro-boro dia mau datang. Hanya cibiran dan umpatan yang seringkali aku mendengarnya dengan jelas. Dan kalian yang sedang menyimak setiap kata dan rangkaian dari kalimatku, tak perlu kalian tahu siapa namaku. Tidak perlu! Jika kalian ingin, lanjutkan membaca apa yang kutulis ini. Jika kalian enggan, silakan mencari bacaan lain yang membuat kalian senang, sedih terbawa arus cerita fiksi cinta romantis atau bacaan lain yang kalian suka. Silakan, silakan.
Kalian yang masih terus menyimak tulisanku ini mungkin sebagian ada yang bertanya-tanya, “Apa pekerjaan kamu sih?” Apa pekerjaanku? Sebenarnya, aku malu, sangat-sangat malu untuk menceritakannya kepada kalian apa pekerjaanku. Kalian bisa menyimpulkan sendiri –di akhir tulisanku– pekerjaanku itu apa. Dengan begitu, setidaknya aku merasa dihargai kalian dan masih memiliki harga diri -dalam tulisan ini, meskipun dalam keseharianku, harga diri adalah sebuah barang mahal yang aku sendiri tidak bakal mampu untuk membelinya.
Meskipun lahir dari keluarga miskin, sebagai perempuan, aku diberi anugerah berupa tubuh yang bagus, molek, wajah yang menggoda. Tidak sedikit -banyak sekali- laki-laki yang “klepek-klepek” terpesona kepadaku. Hahaha, dasar lelaki! Menilai wanita hanya sebatas hal itu saja. Huh! Dengan anugerah itu, aku mengorbankan diriku sendiri demi keluargaku dengan memilih pekerjaan ini. Eeits, eeitss, kalian jangan pernah sekalipun menyalahkan aku atas pilihan pekerjaanku ini atau menyalahkan mengapa orangtuaku -terutama ayahku- membiarkan saja aku bekerja seperti ini. Mereka berdua tidak bersalah! Dan, kalian jangan sekali-sekali berani mem-vonis aku bersalah, jalan hidupku salah, atau apalah. Uruslah hidup kalian sendiri! Toh di hadapan-Nya nanti, vonis kalian semua terhadapku nggak bakal masuk hitungan.
Kalian tahu, orangtuaku sama sekali tidak mengetahui selama ini aku bekerja apa. Dan dosaku -yang aku kadang sedih -karena membohongi mereka- semoga dapat aku lebur dengan kebulatan tekadku untuk berhenti dari pekerjaan ini. Cukup yang mereka tahu selama ini kebutuhan mereka, kedua adik perempuanku, dapat terpenuhi semuanya dari penghasilan pekerjaanku ini. Biar bagaimanapun, pengorbananku ini adalah sebuah pengorbanan yang dapat mencoreng nama baik mereka jika mereka mengetahuinya.
Bagaimana, sampai kalimat ini, kalian sudah bisa mengira-ngira apa pekerjaanku? Jangan kalian mengasihani aku, kasihanilah diri kalian sendiri. Aku menulis ini bukan bermaksud aku sombong dan tidak mau menerima belas kasihan orang lain. Kalian belum pernah berada di posisiku dan bisa menerjemahkan makna kata: kasihan -tanpa embel-embel pamrih di belakangnya. Dalam dunia pekerjaanku, kata ‘kasihan’ itu bullsh*ts! Bullsh*ts! Bullsh*ts! Aku harus mandiri dan selalu harus berpijak di atas kakiku sendiri. Jika tidak? Jatuh-bangun jatuh-bangun (hehe, seperti judul lagu dangdut favoritku).
Aku menulis ini sebab aku akhirnya berhasil membungkam cibiran dan umpatan. Dia –kesempatan– bersedia datang. Dan, kabar baiknya, malam ini adalah “pelayanan” terakhirku untuk pelanggan-pelangganku. Mmm, sudah ada dua jadwal booking hingga pagi nanti. Satu lagi kabar baiknya adalah besok lusa aku di wisuda. Satu kabar baik lagi (terakhir) yang akhirnya semoga merubah nasibku, setelah wisuda, perusahaan di mana aku melamar pekerjaan, menerima aku sebagai karyawan di perusahaan itu. Duuuh. Senangnya aku. O … iya, kalian sudah bisa menebak, apa pekerjaanku?
Cerpen Karangan: Andriyana
0 komentar:
Posting Komentar