Pekerjaan… Itulah yang aku lakukan setiap hari. Semenjak suami tercintaku menghembus napas terakhirnya aku harus bekerja lebih banyak untuk menghidupi anak-anakku yang tercinta. Itulah tugas seorang ibu, terutama bila kedua anak kembar ini hanyalah keluarga yang aku miliki. Berangkat kerja sebelum anak-anak bangun dan pulang malam hanya untuk meilihat kedua anak sudah tertidur. Hal ini sudah menjadi rutin bagiku. Bahkan liburan sudah menjadi hal yang asing dan masa yang lampau.
Sebenarnya aku menyukai bekerja di belakang meja seharian. Apakah ini karena aku tahu aku melakukan ini untuk anak-anakku? Atau karena pekerjaan sudah menjadi rutin? Aku sudah tidak tahu lagi.
Tetapi… Hari ini adalah hari yang berbeda. Bangun pagi untuk melihat anak-anak masih tertidur. Aku siap-siap untuk kerja dan berangkat ke kantor sebelum matahari terbit. Sesampai di kantor, seperti biasa aku yang pertama dan kantor masih kosong. Aku jalan ke meja kerjaku, di sana ada foto keluarga dengan aku di tengah dan kedua anakku di sebelahku, foto yang sangat kucintai dengan kedua anakku dengan senyum yang indah, foto tersebut adalah foto terakhir sebelum aku dipromosi ke perkerjaan ini. Di sebelah foto keluarga tersebut ada sebuah komputer dimana semua pekerjaanku berada. Di ujung meja terdapat telepon berwarna hitam. Di bawah telepon terdapat laci-laci berisi kertas. Di belakang meja terdapat kursi yang sudah rusak, tapi masih bisa digunakan jadi aku tidak terlalu peduli.
Aku duduk di kursi dengan nyaman dan berbaring di kursi. Aku melihat lampu di atasku yang terang dan berpikir-pikir. Apakah hari ini akan menjadi hari yang sama? Aku berhenti memikirkan hal-hal yang aneh dan menyalakan komputer. Setelah komputer dinyalakan aku mulai melakukan tugas yang diberikan oleh atasanku. Atasanku akan senang bila melihatku tidak berhenti bekerja dari pagi sampai malam.
Waktu berlalu dengan cepat dan kantor sudah penuh tanpa aku menyadarinya. Dengan tiba-tiba di tengah kesibukanku suara telepon berdering secara mendadak. Aku lihat handphoneku dan mengangkatnya.
“Halo ini dengan siapa?”
“BUNDA! Masa nggak tau ini siapa” suara anak kecil menjawab
“Oh anakku tersayang, tidak sekolah?”
“Kan hari ini nggak masuk, hehehehe bunda pura-pura lupa ya”
“Oh iya, bunda lupa.” Sambil aku memikirkan kembali kenapa hari ini tidak masuk
“Bunda! Bolehkan aku buat kue”
“Boleh, kalau mau beli barangnya bisa kan?”
“Bisa kok kan aku udah besar, love you”
“Love you too”
Aku pun tutup telepon dan kembali bekerja sambil tersenyum mengetahui anaknya masih meminta izin kepadanya.
Jam berjalan sangat cepat dan pada akhirnya waktu menunjukan pukul 13.50. Sedikit lelah tetapi masih puas dengan pekerjaan yang aku lakukan. Tanpa aku menyadari, atasanku berdiri di belakangku. Aku langsung berdiri dan senyum di depannya.
“Siang Boss” aku memulai dengan senyuman yang terpaksa
“Siang…” dia menjawab dan mulai tersenyum
“Butuh bantuan apa boss?” dia bertanya
“Oh, aku hanya ingin kamu di kantorku jam 17.00” dia menjawab dan pergi dengan santainya.
Aku duduk lagi dan menyalakan membuat peringatan untuk jam 16.55. Aku kembali bekerja dengan tugas baru yang didapat. Waktu berjalan cepat dan tanpa aku menyadarinya peringatan yang aku buat tiga jam yang lalu mengingatkanku.
Aku berdiri dan berjalan ke kantor atasanku. Kantor atasanku ditutupi dengan dinding kaca yang membuatnya dengan mudah melihat situasi kantor. Aku ketok pintu kaca dan masuk.
“Sore boss, bapak tadi meminta aku untuk datang kemari”
“Iya, silahkan duduk” Dia menjawab dengan menunjukan kursi kosong di depannya
Aku duduk di kursi yang ditunjuknya dan siap mendengarkan hal yang ingin dia katakan.
“Jadi.. saya punya berita bagus untukmu.. bagaimana dengan promosi? Bapak melihat bahwa kamu selalu datang paling pagi dan pulang paling malam, itu yang bapak sebut dedikasi, jadi bagaimana?”
“I-i-i ini beneran pak?” aku menjawab terkejut
“Ya iyalah! Jadi.. apakah kamu akan bilang ke anak-anakmu?” dia jawab dengan senyuman
“Iya pak makasih! Aku izin pulang cepat boleh pak?” aku bertanya dengan harapan yang tinggi
“Silahkan” dia jawab dengan senyuman yang sama
“Makasih pak makasih banyak” aku tersenyum dan menjabat tangannya
Aku berdiri dari kursi dan lari ke meja untuk mengambil barang-barangku dan buru-buru pulang ke rumah. Sampai ke rumah aku membuka pintu dan melihat anak tersayangku yang sibuk membuat kue.
“Bunda pulang dan mempunyai berita bahagia!” aku berteriak dengan senang
“BUNDA!” mereka berdua berteriak dan lari ke aku dan memelukku
“Bunda bawa berita bahagia, coba kalian tebak deh” sambil memeluk kembali dan rasanya seperti di surga saat melihat senyuman anak-anakku
“Pasti bunda pulang cepat pasti karena untuk membantu buat kue!”
“Kue?” aku bertanya dengan bingung
“Iya! Kan besok ulang tahun kami!”
“Ulang tahun..” aku berpikir
“Kita tahu bunda sibuk dan tidak bisa bantu merayakan ulang tahun kami selama empat tahun, makasih ya bunda udah mencoba untuk datang kali ini” mereka mengatakannya dengan senyuman yang paling indah dan memeluk aku lebih erat
Pada saat ini juga, aku terkejut. Dan mulai bertanya-tanya dengan diriku sendiri.
“Bagaimana aku melupakan ulang tahun anakku sendiri? Apakah aku terlalu sibuk bekerja dan melupakan tentang mereka?” sambil menurunkan kepalaku.
Aku peluk mereka lebih erat dan menyesal aku kerja terlalu banyak. Aku berjanji pada diriku sendiri aku akan keluar dari pekerjaan itu. Aku tidak mau kehilangan saat-saat yang penting. Tanpa aku menyadari air sudah keluar dari mataku.
“Maafkan bunda anak-anak, maafkan bunda sudah jarang di rumah, maafkan bunda tidak bisa merayakan ulang tahun kalian.. Maafkan bunda ya.. izinkan bunda menebus kejauhan kita ya anak kesayangan bunda” aku bergumam sambil memeluk mereka
“Nggak apa-apa kan bunda sibuk bekerja untuk kita, bunda masih ingin merayakan ulang tahun kami kan?” mereka tersenyum
“Iya” Aku senyum dan mengusapkan air mataku. Aku akan berjanji untuk menjadi ibu yang lebih baik.
Sejak hari itu aku mengutamakan anak-anakku, aku keluar dari pekerjaan itu dan mulai bekerja di rumah. Penghasilannya mungkin tidak sama tapi setiap hari aku bisa bertemu dan berbicara dengan anak-anakku, dan hal tersebut lebih berharga dibandingkan penghasilan.
Cerpen Karangan: Kevin Mahendra
0 komentar:
Posting Komentar