Ayah kandungku meninggalkan ibuku karena dia harus ada dalam penjara. Dengan alasan ia telah membunuh orang. Aku mendapat ayah baru, saat usiaku 10 tahun. Ibu berjuang untuk menghidupiku sendiri. Aku bersyukur di usiaku ini aku memiliki ayah yang bisa membantu dan menemani ibu. Aku bersama ibu dan ayah tiriku, kami tinggal bersama. Walau dengan rumah yang kecil, atap yang sering bocor saat hujan tak membuat kami ramai dan berselisih. Karena beliau sangat menyayangi ibu dan diriku. setiap hari beliau bekerja untuk mencukupi uang makan. Menjadi kuli pengangkut barang, membuat kami cukup untuk makan sehari.
Aku tak sekolah di usiaku yang masih muda. Namun aku pernah mengenyam pendidikan walau hanya sampai SD. Aku bangga pada diriku, aku bisa membaca dan menulis.
Aku punya cita-cita menjadi seorang guru. Aku meninggalkan orang tuaku untuk mencari nafkah, karena ayahku saat ini sakit-sakitan karena tulang punggungnya patah akibat kecelakan di terminal. Dari salah satu teman SD aku diajak ke kota kecil untuk bekerja. Aku mulai membantu orang tuaku dengan bekerja sebagai petani garam. Aku bekerja bertani garam di kota kecil daerah surabaya. Selama bulan kemarau, pergi ke surabaya bertani garam, dengan majikan yang cukup baik. Aku bersama salah satu teman yang bertani sementara hasilnya kami dapat 1/3 dari keuntungannya. Uang banyak aku dapatkan sepulang dari kota kecil itu.
Bertani garam memang kelihatan gampang saja didengar tapi kalau dipikir dan dirasakan sendiri berat sekali. Apalagi kalau aku harus memikul garam yang harus dibawa karena tak ada pekerjaan lain lagi. Berat rasannya bahu ku memangku garam yang sudah berkarung karung. Sampai aku mencukupi kebutuhan rumah dengan 3 orang.
Tuhan berkehendak lain untuk kehidupan ku kini…
Tuhan memberikan berkah seorang istri dan anak yaitu bayi kembar, bayi yang tak diinginkan. Karena rasanya sudah cukup hidup susah dan membesarkan anak kembar. Istriku bernama Wati. Dia baik dan jujur. Istriku ingin anak laki-laki sebelum bayi kembar ini lahir, nyatanya bukan anak laki-laki tapi 2 bayi perempuan yang kembar. Memang dulu tak ada obat atau pun penyuluhan untuk keluarga berencana. Makanya kami punya anak banyak tapi meninggal karena keguguran. Bayi kembar yang lahir di hari selasa ini membawa berkah. Kini aku tak lagi bekerja sebagai kuli garam atau petani di sawah. Tapi aku dan istriku menjadi penjual kue di sekolah yang ada di pinggir kota. Sekolah menengah pertama, yang menjadi tumpuan hdup kami, sampai saat ini.
Jari-jari tanganku mulai kasar dan kaku, tulang-tulang ini serasa sakitnya bergantian. Tangan kaki leher semuanya menjadi kaku. Teggorokan dan leher menjadi sakit, terasa berat. Kami mengelola toko kecil dekat sekolah, dengan jujur adil kami hidup makmur dan berkecukupan. Sekarang aku dapat menuai hasil yang melimpah dengan kerja kerasku bersama istriku, kami bisa menyekolahkan anak kembar kami menjadi seorang sarjana.
Cerpen Karangan: Rini Febriyani
0 komentar:
Posting Komentar