Translate

cerpen meraih medali

Written By iqbal_editing on Senin, 20 Maret 2017 | 06.55

Spanduk besar bertuliskan “Kasih Sayang Tanpa Kekuatan adalah Kelemahan, Kekuatan Tanpa Kasih Sayang adalah Kezaliman” dengan logo Sawstika khas Kempo, terpampang besar dan dominan di ruangan sport hall Kridosono, Yogayakarta. Beberapa spanduk sponsor bertuliskan “Selamat Bertanding” bertebaran di beberapa sudut dinding. Hari itu, saya berdiri di tengah-tengah barisan kontingen mewakili Kabupaten Sleman, berjajar dengan barisan lain dari Kabupaten lain dan Kodya Yogyakarta dalam event Pekan Olah Raga Daerah (Porda) cabang beladiri Kempo.
Saat itu, di Kabupaten Sleman baru ada 3 buah Dojo (tempat berlatih) Kempo, yaitu Cabang Sleman, UGM dan UPN. Ya, bersama dengan mas Aries, saya yang saat itu pemegang sabuk biru (Kyu II) beruntung menjadi salah satu dari 8 atlet Kempo mewakili Kabupaten Sleman. Terus terang, saya tidak tahu kenapa saya terpilih mewakili Sleman. Hanya saja sepertinya ada kebijakan yang diambil, masing-masing Dojo diberikan jatah 2 atlet pria ditambah 2 atlet wanita. Mungkin karena waktu itu saya aktif berlatih dan sering mengikuti rapat, maka saya terpilih menjadi atlet Kempo mewakili Sleman.
###
Ingatan saya melayang sekitar 3 tahun sebelumnya. Hari itu, Jum’at sore, saya berdiri di antara ratusan kenshi (atlet Kempo) dalam rangka Gashuku (latihan bersama) seluruh kenshi DIY, sekaligus ujian kenaikan tingkat di lapangan Trimulyo, Sleman. Saat itu saya ikut ujian paling dasar agar bisa berhak memasang manji (logo kempo warna hijau) di dada kiri atau Kyu IV. Ada yang khas setiap Gashuku, para peserta diwajibkan menggunakan theklek (sandal dari kayu) sebagai alas kali. Bunyi-bunyian “thek, thok” yang khas setiap dipakai, menjadi nostalgia tersendiri.
Tidak banyak hal spesial hari itu. Setelah berlatih latihan dasar, acara dilanjutkan dengan ujian tertulis. Tidak terlalu sulit. Isi ujian tertulis, para peserta diminta menceritakan sejarah Kempo di Jepang hingga sampai di Indonesia dan falsafah dasar Kempo. Saya yakin lulus ujian tertulis itu. Malamnya diisi dengan acara perkenalan dan penjelasan tata tertib serta apa saja acara hari berikutnya oleh para Sempai (pelatih, guru).
Pagi harinya, hari Sabtu setelah shubuh, semua peserta berbaris rapi menggunakan seragam baju kempo untuk kemudian lari pagi keluar dari lapangan tanpa alas kaki. Peserta dengan tingkat terrendah seperti saya, berada di paling depan, sedangkan peserta tingkat yang lebih tinggi (sabuk berwarna) ada di posisi belakang. Rutenya cukup jauh, sekitar 10 km. Selain untuk kesehatan, lari pagi itu dapat dikatakan sebagai show of force dan iklan Kempo.
Sesampai kembali di lapangan, ada gelagat yang kurang baik. Saya melihat para Sempai bermuka masam menahan marah. Sempai sabuk hitam, mengumpulkan para pemegang sabuk coklat. Dan tiba-tiba,
“Buk … buk … buk”, perut para pemegang sabuk coklat dipukuli sempai sabuk hitam. Ada yang masih kuat menahan pukulan namun kebanyakan tersungkur ke tanah, sambil meringis menahan sakit.
Setelah itu, bergantian memukul perut, sabuk coklat ke sabuk biru, sabuk biru ke sabuk hijau, dan terakhir sabuk hijau mengumpulkan seluruh pemegang sabuk putih dan melakukan “acara” yang sama. Jadi, pagi itu ada acara pemukulan massal. Rupa-rupanya pada saat lari pagi, para peserta di depan banyak yang meludah selama berlari. Akibatnya para peserta di belakang yang tingkatannya lebih tinggi, sering sekali menginjak ludah itu. Mungkin, sebagian ada yang tidak sempat gosok gigi sehingga terpaksa meludah karena banyak air liur di mulut.
Mendapat jatah pukulan di perut, saya merasakan betapa sakitnya. Saya sempat berpikir dan bertanya pada diri sendiri, ini baru awal pagi hari, bagaimana dengan nanti siang dan sore nanti ? Mengapa saya bisa berada di tempat yang menyesakkan ini ? Siapa yang menyuruh ? Huh …
Setelah acara pemukulan massal selesai, para peserta beristirahat sejenak untuk mandi dan makan pagi, acara dilajutkan dengan ujian praktek selama seharian penuh. Malamnya ada acara her bagi yang gagal ujian tulis.
Minggu pagi, sebelum pengumuman kelulusan, ada acara eksebishi embu yudansha (kerapihan teknik) berpasangan pemegang sabuk hitam. Ini yang sangat menarik dan membuat saya kagum. Penguasaan teknik pukulan dan kuncian dipadu menjadi seperti seperti orang yang benar-benar berkelahi seperti di film, namun lebih hebat. Ada pukulan, tangkisan, bantingan dan kuncian yang dirangkai dengan mimik serius dan rapih. Wow !
Tibalah saatnya pengumuman kelulusan. Satu persatu nama peserta disebut dan nama saya termasuk yang disebut sebagai peserta yang lulus. Peserta yang lulus kemudian dipanggil satu persatu ke depan berbaris memanjang dalam satu baris. Ada perwakilan yang ditunjuk untuk pelantikan dan diwajibkan mengikuti membaca kalimat dengan keras. :
“Hari ini saya menjadi Kyu IV. Demi Persaudaraan, Demi Tanah Air, Demi Kemanusiaan”
Acara terakhir adalah ucapan selamat dari para penguji sabuk hitam. Inilah acara tradisi Kempo yang tidak akan pernah terlupakan. Kalau saat itu ada 5 orang sabuk hitam, maka semua peserta akan menerima pukulan ke perut sebanyak 5 kali. Benar-benar dipukul. Hanya saja kalau yang dipukul teriak dan mengeraskan perut, efek pukulan tidak terlalu menyakitkan. Masalahnya, terkadang ada sabuk hitam yang “nakal”, mencuri pukulan saat yang dipukul belum siap. Biasanya yang seperti ini diberikan kepada peserta yang terkenal : terlalu besar, terlalu ngeyel atau terlalu yang lainnya.
Apakah hanya itu, acara selamatan kelulusan ? Tidak. Masih banyak. Setelah semua peserta dipukul perutnya, baju disuruh dilepaskan dan disuruh telentang berjajar. Acara selanjutnya adalah Sempai menginjak perut. Uff … Pas dapat Sempai yang gendut, alangkah beratnya seakan isi perut mau keluar semua.
Ucapan selamat lulus selanjutnya tidak kalah “mengerikan”. Para peserta disuruh bergulingan ke arah ujung lapangan yang lain. Peserta yang tercecer di belakang, disabet dengan ujung sabuk. Akibatnya, semua peserta berebutan bergulingan sampai ada yang muntah-muntah.
Itu adalah sedikit cerita ritual pelantikan kelulusan kenaikan tingkat di Kempo. Memang bagi orang yang menyaksikan secara langsung, hal itu seperti ajang penyiksaan. Tetapi meskipun memang sakit, saya dan peserta yang lain, tidak merasakan yang terlalu berat. Saya juga tidak pernah mendengar ada peserta yang cidera berlanjut akibat pelantikan itu.
Saya merasakan pernak-pernik ujian dan pelantikan kelulusan seperti itu untuk kenaikan tingkat ke sabuk hijau (Kyu III) dan sabuk biru (Kyu II) selanjutnya. Bahkan pada saat kelulusan ke sabuk hijau, saya pernah mendapatkan pengalaman yang benar-benar menyesakkan nafas. Saat itu, teman di sebelah saya yang sedang menerima ucapan selamat, sehingga saya tidak siap untuk menerima pukulan. Ternyata, Sempai bukan memukul ke teman saya itu, tetapi melakukan mawashi geri (tendangan melingkar) ke perut saya.
“Buuuk … “
Tendangan keras itu tepat mengenai ulu hati saya. Karuan saja, saya jatuh terjerembab ke belakang. Selama 5 detik saya tidak bisa bernafas dan tidak bisa bergerak sama sekali. Dari ujung mata, saya melihat ada sedikit kepanikan yang nampak pada Sempai itu. Mungkin tidak mengira tendangannya telak menghajar perut saya dan itu sangat bisa berakibat fatal. Untunglah, beberapa saat kemudian saya bisa bernafas, meskipun dengan tersengal-sengal.
###
“Pertandingan pertama adalah Embu beregu. Sesuai dengan nomor undian, Kontingen Kodya Yogyakarta yang pertama, dilanjutkan Sleman, Kulon Progo dan Bantul. Para peserta harap mempersiapkan diri.”, pengumuman MC itu membuyarkan lamunan. Kamipun bersiap-siap untuk memperagakan hasil latihan intensif selama 3 bulan sebelumnya di UGM dan UPN Veteran.
Dengan gaya dan rangkaian teknik keras dan lunak, kami memperagakan dengan rapih dan berharap besar dapat masuk final. Sepertinya harapan tersebut sangat mudah untuk didapatkan, karena saya melihat regu Kabupaten Bantul masih pemula, terlihat kebanyakan anggota masih sabuk hijau (Kyu III) dan hanya satu orang pemegang sabuk biru. Sementara kontingen saya, saya sebagai pemegang sabuk biru adalah yang paling rendah.
Selain embu, ada pertandingan bebas (kumite) beregu dan perorangan. Saya adalah pemilik badan terkecil dan termuda di kontingen, sehingga tidak dipersiapkan untuk mengikuti kumite, baik beregu maupun perorangan. Meskipun masuk dalam kontingen, saya cukup menjadi penonton saja. Pada pertandingan penyisihan, kontingen kumite beregu Sleman ternyata mendapatkan lawan Bantul, dan dapat menang dengan cukup mudah, langsung masuk final. Pada partai final kontingen Sleman menantang kontingen Kodya Yogyakarta.
Final kumite beregu berlangsung siang hari setelah makan siang. Saya masih bersantai, ketika teman satu kontingen saya, mas Aries, datang tergopoh-gopoh dengan wajah serius,
“Har, gantikan saya di kumite beregu. Saya tidak bisa melanjutkan pertandingan. Lihatlah tangan kiri saya.” sahutnya setengah merengek.
Otomatis, saya melihat tangan kirinya. Ya ampun. Pergelangan tangan kirinya bengkak. Besar sekali dan berwarna biru kehitaman. Bahkan lingkaran bengkaknya lebih besar dari pada tangannya sendiri. Rupa-rupanya, selama pertandingan kumite tadi, tangan kirinya banyak dipergunakan untuk menangkis tendangan keras lawannya.
“Baiklah, mas. Tetapi kalau saya kalah, nggak apa-apa ya ?” sahut saya.
“Nggak apa-apa, selamat bertanding.” sahutnya.
Wah, saya belum pernah bertanding di event seperti ini. Kemampuan saya juga belum terasah untuk perkelahian bebas. Tapi saya tidak punya pilihan lain. Akhirnya 5 orang anggota kontingen termasuk saya, didaftarkan untuk pertandingan kumite beregu. Saya didaftarkan bertanding pada urutan ke 3 dan memang tidak diskenariokan untuk menang. Saya mulai memasang penutup kepala, hand gloves (sarung tinju) dan penutup dada.
Tibalah saatnya pertandingan. Ternyata lawan saya adalah pemegang sabuk coklat, Kyu 1. Rambutnya keriting. Tatapan matanya tajam sekali. Kulitnya kehitaman, semakin menunjukkan kekuatannya. Orangnya kurus, tetapi kira-kira 10 cm lebih tinggi dari pada saya, sehingga jangkauan kakinya juga lebih panjang. Dari gerak-geriknya saya melihat dia sudah berpengalaman sekali. Hmmm … mulai timbul keminderan saya.
“Hajime …”, tiba-tiba wasit memberi tanda bahwa pertandingan dimulai.
Lawan mulai melakukan serangan-serangan dengan kaki mengarah ke dada dan sesekali mengunakan pukulan yang mengarah ke wajah. Untuk beberapa saat saya bisa bertahan. Pada suatu saat, dia melakukan serangan menggunakan kaki mengerah ke dada, yang sudah saya perhitungkan, maka saya tangkis menggunakan tangan kiri. Rupa-rupanya bukan bagian tangan saya yang kena, tetapi siku saya tepat mengenai punggung kakinya. Dia nampak kesakitan dan saya dalam hati sedikit tersenyum.
Hanya saja, senyuman saya hanya sebentar. Tiba-tiba tanpa saya perhitungkan, pukulan tangannya datang dan tepat mengenai hidung dan mulut saya dengan telak.
“Bless …”
Wazaree …” Wasit berteriak yang artinya pukulan itu bersih masuk dan lawan saya mendapatkan nilai.
Saya hanya merasakan bau karet dari sarung tinju. Bibir saya pecah. Mata berkunang-kunang dan tidak tahu lawan saya ada dimana. Saya jatuh tersungkur dan sangat sulit untuk berdiri, jika dipaksa berdiri maka akan terhuyung-huyung dan jatuh lagi. Untuk beberapa saat saya mendapatkan perawatan medis. Petugas medis menyampaikan bahwa saya baik-baik saja dan bisa melanjutkan pertandingan. Pertandingan kemudian dilanjutkan. Namun dengan kondisi yang sudah tidak fit, akhirnya beberapa saat kemudian, satu tendangan lawan berhasil mulus masuk ke dada. Pertandingan antara kontingen Kodya dan Sleman berakhir dengan skor 3-1 untuk kemenangan Kodya Yogyakarta. Meskipun saya kalah, namun karena kontingen Sleman bisa masuk final, maka saya tetap dapat kebagian medali perak. Lumayan.
Tibalah saatnya ke pertandingan terakhir, yaitu kerapihan teknik (embu) beregu. Dengan sisa-sisa tenaga yang ada, kami menunjukkan kemampuan kerapihan teknik beregu kami di hadapan juri. Rupa-rupanya, yang cidera bukan hanya anggota kontingen kami. Anggota kontingen lain yang masuk final yaitu Kodya Yogyakarta dan Kulon Progo, juga banyak yang cidera. Secara langsung atau tidak langsung hal itu berpengaruh pada penampilan mereka.
Dari informasi yang saya dapatkan, sistem penilaian embu ada yang khas. Juri ada 5 orang dan untuk menjaga obyektifitas, nilai tertinggi dan terendah dari seluruh juri, dibuang. Setelah istirahat dan para juri mengumpulkan nilai masing-masing, MC mengumumkan hasilnya,
“Dengan nilai 1.284 maka kontingen Kabupaten Sleman mendapatkan medali emas.”
Horee … Lenyap sudah lelah fisik, mental dan rasa sakit pada bibir yang membengkak, berganti menjadi rasa gembira yang meluap-luap. Tidak sia-sia saya mengorbankan waktu, tenaga dan pikiran untuk meraih medali emas.
Kini medali emas dan perak itu terpampang manis di dinding kamar saya.

0 komentar:

Posting Komentar

 
berita unik