Translate

cerpen dokter yang datang terlambat

Written By iqbal_editing on Senin, 17 April 2017 | 04.11

Ruang tunggu kecil yang terletak di bagian dalam sebuah apotik itu dipenuhi pasien. Mereka duduk di kursi-kursi dan memegang selembar kecil kertas yang bertuliskan nomor antrian dengan wajah gusar. Seorang lelaki tua yang ditemani anak lelakinya duduk dengan mata terpejam dan kepala menyandar ke dinding. Dadanya naik turun dengan tempo cepat. Sementara di sisi lain, seorang wanita paruh baya mengobrol dengan pasien lain sambil sesekali melirik jam tangannya. Seorang pemuda berusia dua puluhan berjalan mondar mandir. Kelihatannya setiap orang dibuat kesal dan marah. Asisten dokter, seorang lelaki berbadan gendut dibungkus kemeja hijau terus menerus mengucapkan lelucon bersama seorang pasien bertubuh kurus. Mereka tampak akrab. Tawa mereka memenuhi ruangan yang pengap itu.
Dua jam berlalu, sang dokter belum juga menunjukan batang hidungnya. Pemuda itu tak mampu lagi menahan gejolak emosinya.
“Sudah hampir dua jam aku di tempat ini, kemana dokter itu belum juga datang?” Serunya. Suaranya menyita perhatian orang-orang yang berada di situ.
“Aku juga.” Sahut seseorang. “Aku datang kemari ketika belum ada seorang pun. Seharusnya dokter itu tiba satu setengah jam yang lalu.”
“Mungkin ia tengah terjebak macet.” Sahut seorang ibu-ibu yang duduk di pojok ruangan.
Asisten dokter itu bangkit dari duduknya. Ia meninggalkan meja kecil yang dipenuhi daftar nama pengunjung hari itu. Tanpa mengacuhkan komentar para pasien, ia berjalan keluar lalu menyalakan rok*k. Ia tampak tak peduli dengan sebagian pasien yang menatap marah. Ia hanya tak peduli. Pemuda tadi mengekor, ia butuh udara segar karena terlalu lama dalam ruangan itu membuat dadanya sesak dan pikirannya panas.
Si asisten merok*k sambil memandangi jalan raya yang penuh oleh kendaraan yang melintas. Malam cerah seperti ini biasanya banyak anak-anak muda tanggung melakukan balapan liar. Terkadang timbul korban jiwa. Dasar bodoh, gumam si asisten.
Pria kurus tadi menyusul. Ia mengencangkan jaket tebalnya dan melihat sekeliling. Matanya yang sayu tampak buram di bawah sinar lampu penerangan jalan yang redup. Kedua tangannya dilipat di dada.
“Apa dokter itu baik-baik saja?” kata pria kurus itu.
“Tentu saja.” sahut si asisten dengan pasti.
“Ku dengar ia tengah terlibat masalah. Benar begitu?”
Si asisten terlihat tidak enak dengan perkataan itu. Ia berusaha menutupi. Si pemuda mendengarkan saja tanpa memberikan komentar.
“Aku tak tahu. Ia tak berbicara hal semacam itu selain pekerjaan”
“Memangnya masalah apa?” ujar si pemuda penasaran.
“Sudahlah, jangan menyebar gosip.” Sahut si asisten pada pria kurus.
“Tidak. Aku tak bermaksud begitu. Hanya saja perkara itu mulai merebak dan meresahkan sebagian besar pekerja di rumah sakit.”
“Memangnya masalah apa?” kata si pemuda sekali lagi.
Si asisten mendesah. Ia terbatuk-batuk. Namun seperti dibuat-buat. Ia tak ingin membicarakan hal seperti itu lagi. Baginya bekerja di situ saja sudah cukup membahagiakan. Ia tak ingin menjadi penganggur yang menjadi cemoohan para tetangga. Sudah cukup baginya melewatkan hari-hari yang membosankan dan membuat pikirannya tertekan. Tapi ia harus menjaga profesionalismenya sebagai asisten dokter. Max tersenyum seperti mengejek. Ia memang sudah berteman lama dengan si asisten yang hanya mampu bekerja sampai disitu saja. Sedangkan Max bekerja di sebuah bank di pusat kota. Ia menjadi bujangan tua meski masih mampu menikmati hidupnya dengan mengunjungi bar-bar yang dipenuhi wanita cantik dan orang-orang yang putus asa; menghamburkan uang demi sebuah kebahagiaan yang tak kan pernah bisa ia pahami.. Dengan begitu, ia menghibur dirinya. Wajahnya yang tirus tampak lelah dan pucat.
“Gadis itu sepantasnya jadi anaknya.” Kata Max.
“Ya, tapi ku akui, dokter itu punya pesona yang tak biasa. Tampan dan kaya, dan belum menikah.”
“Ya, dan kini semua orang membicarakan mereka dan moralitas dan kau mulai membela dokter malang ini.”
“Persetan. Orang-orang munafik yang senang mencari kesalahan orang lain. Aku benci orang-orang seperti itu. Sebenarnya tak ada yang salah. Tapi pendapat orang bisa berbeda-beda.” Ujar si asisten.
“Ya, persetan.” Sambar si pemuda sambil tertawa.
Pria kurus dan asisten itu menatap tajam si pemuda. Mereka tampak tidak senang sehingga pemuda itu menyesali perkataannya.
“Maaf.” Katanya kemudian. “Mungkin sebaiknya aku masuk ke dalam dan menunggu.”
“Sebaiknya begitu, anak muda.” Kata si asisten.
Pemuda itu berbalik dan berjalan dengan wajah tertunduk menuju deretan kursi di ruang tunggu. Sebelum duduk, ia memandang sekali lagi ke arah pria kurus dan si asisten, lalu menjatuhkan pandangannya ke lantai berubin putih.
“Sudahlah, Max. Tak ada gunanya membicarakan urusan pribadi orang lain.”
“Aku tahu. Masalahnya, gadis ini keluarga dekatku, Jon. Aku tak tahu bagaimana harus menanggapinya.”
“Gadis itu sendiri bagaimana? Maksudku, apakah ia terlihat seperti tertekan dengan pemberitaan mengenai hal itu?”
“Tentu saja. Kedua orang tuanya bahkan marah besar. Mereka memintaku untuk menasihatinya.”
Si asisten membisu sesaat. Ia menyalakan lagi rok*knya.
“Harusnya, kalau dia merasa malu, ya jangan dilakukan. Lantas, sudah kau temui gadis itu?”
“Belum. Aku tak tahu apakah harus menemuinya atau tidak.”
“Kenapa memangnya?”
“Menurutku, sia-sia saja. Dia ‘kan sudah dewasa.”
“Ah, keluarga macam apa kau ini.”
“Bukankah kalau kedua orang tuanya peduli, mereka yang mesti datang kemari dan mengatakannya secara langsung?”
“Kau benar. Tapi setidaknya kau menunjukan tanggung jawabmu sebagai paman yang baik.”
“Ah, sudahlah Jon. Menurutmu, dokter itu bisa dipercaya? Ataukah sama halnya dengan playb*y murahan yang bersembunyi dibalik kekayaan yang mereka miliki?”
“Aku tak tahu pasti, Max. Aku tak terlalu mengenal orang itu. Ia tak banyak bicara. Bahkan aku tak tahu dimana ia tinggal.”
“Ya, ampun. Memangnya sudah berapa lama kau bekerja dengannya?”
“Hampir setahun.”
“Aneh juga kau tidak mengenalnya.”
“Ya, separuh koleganya mengakui tabir misterius yang menyelimuti pribadi dokter ini.”
“Bagaimana kau tahu?”
“Aku mendengar mereka membicarakannya.”
Si asisten hendak mengatakan sesuatu namun urung dilakukan ketika sebuah mobil Avanza G warna hitam berhenti tepat di depan apotik. Sesosok pria berusia sekitar 50-an muncul dari dalam mobil yang mengkilap dan mulus. Pakaian putih dan stetoskop yang melingkar di lehernya dan tas jinjing berbentuk persegi di tangan kanannya menandakan bahwa ia seorang dokter. Badannya tegap tinggi dengan langkah besar meski rambutnya mulai memutih. Matanya redup dan ia tampak ragu-ragu. Ia melewati si asisten dan pria kurus tanpa berkata.
Si asisten segera kembali ke meja tulisnya meninggalkan pria kurus. Dokter itu membisikan sesuatu padanya. Si asisten mengangguk-angguk sambil melirik ke arah pria kurus. Kemudian, sang dokter masuk ke dalam ruangan pemeriksaan. Si pemuda pun bergegas menyusul ke dalam. Tampaknya, malam ini akan sangat sibuk.
Cerpen Karangan: Patrick Andromeda

0 komentar:

Posting Komentar

 
berita unik