“Lukisan tentang apakah itu?”
Aku menatap bingung pada lukisan didepanku.Lukisan ini terdiri dari
warna hitam dan putih saja,dengan pemandangan seekor burung pelikan yang
bertengger pada dahan tak keliatan dan dibawahnya tampak padang
rumput.Burung itu seolah menatapku,tatapannya angkuh,matanya seolah
tersenyum penuh kebahagiaan yang tak manusiawi.Dibawah kakinya terinjak
satu botol.Ketika mengamatinya dari dekat,aku sadar isi botol itu adalah
sebuah timbangan terbalik.
Kakek itu tersenyum.Beliau menatapku geli dan berkata,’’Menurutmu,lukisan apakah ini?’’
Aku tak menjawab.Kuamati lukisan tersebut baik-baik,tapi tak dapat
menemukan apapun.Aku menjawab dengan enggan,”Aku tak tahu,aku tak
mendapatkan apapun dari lukisan ini,”
“Yahh..lukisan ini tentang tak mendapatkan apapun.’’
Semenjak saat itu,aku sering mengunjungi taman depan kompleks
rumahku.Aku menjadi tertarik dengan lukisan Sang kakek yang menurutku
indah tapi aneh.Sang Kakek untungnya selalu berada disana pada akhir
pekan,selalu melukis,,selalu menggunakan jas hujan hitam serta topi
flatcap hitam,dan selalu dengan tatapan yang nampak kosong.
Seperti hari ini,aku kembali dibuat bingung dengan lukisannya yang
baru.Lukisan kedua ini menggambarkan tentang seekor burung pelikan yang
seperti sedang bersembunyi dibawah sebatang pohon cemara.Burung itu
menggigit sebuah timbangan yang terbalik.Lagi-lagi,hanya ada warna hitam
dan putih dalam lukisan itu.
Beliau tersenyum padaku dan mengangguk pelan.Aku kembali mengamati
lukisan tersebut.Akhirnya,setelah keheningan yang cukup lama,aku pun
bertanya mengapa beliau hanya menggunakan cat berwarna hitam dan putih
dalam lukisannya.Bukankah lukisan tampak lebih menarik dengan banyak
kombinasi warna?
“Hitam dan putih adalah warna abadi,hitam dianggap sebagai
ketidakhadiran dari seluruh jenis gelombang spektrum warna.Sementara
putih dianggap sebagai representasi,kehadiran seluruh gelombang warna
dengan proporsi seimbang.Pada akhirnya,warna hitam dan putih adalah
warna keseimbangan.’’
Aku terpana menatapnya.Mendebarkan!Laki-laki uzur ini memiliki indra
keenam untuk memaknai warna.Pemahamannya tentang lukisan amat
luas.Menggunakan teknik stippling(salah satu teknik melukis pointilisme
menggunakan warna hitam putih)dengan konsep naturalisme,lukisan tersebut
memukauku.Mataku bergerak seiring gerakan jari-jemarinya yang menyapu
kanvas.Jemari ajaib itulah yang sudah menciptakan lukisan didepanku ini.
“Tahukah kau apa judul lukisan ini?”tanyanya sambil membersihkan kuasnya.
Aku terdiam.Apa yang ada pada seekor burung pelikan dalam lukisan
ini?Aku hanya dapat menangkap satu hal,bahwa gambar timbangan terbalik
selalu dimunculkan dalam lukisannya.
“Lukisan ini adalah lukisan tentang tak mendapatkan apapun,”kata beliau sambil tersenyum tipis.
Aku terdiam.Lama kupandangi lukisan burung pelikan tersebut.Tetap saja,bagiku itu lukisan yang aneh.
Lukisan yang ketiga selesai pada minggu terakhir bulan Agustus.Beliau
menunjukkan padaku dan aku tercengang.Lukisan ketiga menggambarkan tiga
burung pelikan yang tampak kesakitan.Burung pelikan yang paling besar
tampak patah sayapnya,sedangkan burung pelikan yang kedua dan ketiga
tampak seperti digantung oleh tali tak keliatan.Mata ketiga burung itu
membelalak ketakutan.Namun anehnya,timbangan tersebut kembali pada
posisi semula,terletak pada sudut kanan lukisan.
Aku bingung menatap lukisan ini,ketika kulihat sebelahku,tampak Sang
Kakek menatap lukisannya dengan ekspresi yang aneh.Matanya tampak lebih
kelam,tatapannya seperti menahan kesakitan yang amat sangat.Bibirnya
bergetar,lalu sejurus kemudian beliau menatapku nanar dan berkata dengan
suara tertahan,”Ini adalah lukisan tentang tak mendapatkan apapun.’’
Lalu,ketika tiba saatnya untukku pulang,sang kakek mengucapkan satu hal yang tak pernah diucapkannya sebelumnya.
“Aku akan berikan lukisan terakhirnya padamu,tunggulah…”
∞∞∞∞∞∞∞∞∞∞∞∞∞∞∞∞
Dua minggu kemudian,aku kembali ke taman tersebut.Aku heran melihat Sang
Kakek tak ada lagi ditaman.Sang kakek menghilang begitu saja.Aku
kebingungan mencarinya.Sungguh,aku penasaran pada janjinya tentang
lukisan terakhir tersebut.
Aku pun bertanya perihal Sang Kakek pada bapak penjual bubur ayam yang selalu berjualan ditaman.
“Maaf,Pak,apakah Bapak tau dimana rumah kakek yang sering melukis disini?”
“Maksudmu Pak Harianto?”
Harianto?Itukah nama Sang Kakek?Bodohnya aku selama ini tak pernah
sekalipun menanyakan tentang pribadi kakek.Aku pun mengangguk.
“Pak Harianto meninggal seminggu yang lalu,”kata penjual bubur ayam itu
sambil memberikan sebuah koran padaku.Aku membaca berita utama koran
tersebut dan tak bisa mempercayai apa yang tertulis didalamnya.
Berita itu memuat tentang kasus bunuh diri seminggu yang lalu oleh
seorang mantan narapidana kasus korupsi.Korban diduga bunuh diri akibat
frustasi karena istri dan anaknya meninggal bunuh diri akibat tak tahan
menanggung malu karena kasus korupsi tersebut.Nama narapidana berusia 65
tahun itu adalah Harianto Sujaya!
Aku tertegun lama.Flashback kenanganku bersama lukisan Sang kakek
terputar ulang dalam memoriku.Sekarang aku paham dengan lukisan Sang
kakek.Lukisan itu sesungguhnya adalah potret kehidupannya sendiri.Burung
pelikan pada lukisan pertama dan kedua adalah dirinya sendiri.Timbangan
yang terbalik menandakan kasus korupsi yang menyiksa
keadilan.Ketakutannya akan kejahatan yang diperbuat pada lukisan
kedua,hukuman yang juga berdampak pada keluarganya,semua itu dijejalkan
pada tiga lukisan tersebut.
“Beliau menitipkan sesuatu untukmu sebelum dia meninggal.Ini..”kata
penjual bubur ayam tersebut sambil menyerahkan sebuah benda besar
berbentuk persegi.
Lukisan keempat.Aku membukanya dengan hati-hati,dan menatap pemberian
terakhir dari pelukis hitam putih itu.Hanya sebuah angka.0,001%.Hanya
itu.
Judul lukisan itu adalah ‘’Lukisan Tentang Tak Mendapatkan Apapun.”
Sepanjang hari itu,aku menangis dan merasa sangat sakit.
∞∞∞∞∞∞∞∞∞∞∞∞∞∞∞∞
“Bu,file kasus 2105 sudah saya periksa.Tersangka sudah ditahan di kantor Polres Cikini.Arsipnya saya simpan dimeja,yah,Bu,’’
Aku mengangguk padanya kemudian kembali menatap luisan diruang kerjaku.Satrio ikut menatap lukisan tersebut.
“Aneh..kenapa lukisan itu hanya berisi satu angka?Apakah angka tersebut punya arti tersendiri,Bu?”
“0,001%,”
“Ya?”
“Adalah kemungkinan kejahatan korupsi tak terlacak.Itu pun berarti bahwa
sebenarnya memang tak ada harapan.Tak ada manusia yang mampu hidup
dengan ketakutan akan kejahatannya sendiri,”
Satrio terdiam lalu mengangguk.
“Mari kita lanjutkan sidang umum di ruang rapat,”
Aku beranjak dari kursiku kemudian melangkah keluar.Pintu dibelakangku
tertutup dan terdapat papan tanda dengan huruf capital cukup besar,Ketua
Komisi Pemberantas Korupsi.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar