Translate

cerpen lukisan pertama

Written By iqbal_editing on Senin, 17 April 2017 | 04.28

Kuhempaskan tubuh lelah ini setelah seharian membanting tulang hanya untuk mendapat imbalan uang setiap bulannya yang disebut gaji. Kulepaskan blazer polybistretch hitam yang kukenakan dan meletakkanya diatas meja. Kuambil koran pagi yang tadi tak sempat kubaca. Lebar-lebar kubuka halaman per halaman, tak ada berita lain selain politik yang kian memanas dibumi pertiwi yang seakan ikut memanas dengan perubahan cuaca akibat pemanasan global.
Tanganku terhenti pada iklan yang hampir menghabiskan satu halaman koran. Mataku tak berkedip melihat judul iklan itu “Pameran Lukisan Pelukis Muda Pendar Damar”. Kuedarkan pandanganku pada seisi ruangan. Terdapat puluhan lukisan kuno sampai modern bertengger santai dengan figura-figura kayu yang nampak mengkilat bila terkena sinar apapun yang mengenainya. Aku memang termasuk pengagum karya tangan indah yang tertuang diatas kanvas dengan bentuk-bentuk dan wajah-wajah yang ditempeli dengan cat beraneka warna itu. Tapi bukan karena pameran lukisan itu mataku tak berkedip, juga bukan karena kagum seorang pelukis muda telah menggelar pameran, sungguh bukan itu. Mata ini tak berkedip seakan memastikan bahwa aku memang berada pada dunia nyata yang selama seperempat abad kujalani. Kupastikan kembali pengelihatanku untuk membaca nama seseorang yang menggelar pameran itu, Pendar Damar.
Secepat yang aku bisa, kuremukkan koran itu dan membuangnya jauh-jauh dari ranah hidupku. Aku berpaling dan kembali melihat remukan koran yang kubuang itu. Dengan mata yang terasa panas, kupungut kembali remukan koran itu dan membetulkannya kembali agar menjadi seperti sediakala.
“Selamat, kamu berhasil mewujudkan mimpimu” Isakku memeluk koran kusut itu erat seperti memeluk seseorang yang amat kurindukan.

***
“Minggu ini anda akan menggelar pameran untuk pertama kalinya, bagaimana perasaan Anda?” Tanya seorang wanita yang hanya terlihat punggungnya sambil menyodorkan microphone pada sosok dihadapannya.
“Pameran ini merupakan impian Saya sejak kuliah, jadi bila ditanya perasaannya. Rasanya seperti mimpi” Jawab lelaki itu tersenyum lembut bagai cotton candy yang siap untuk dilelehkan.
Aku melihat siaran televisi itu dengan acuh. Kuperhatikan sosok yang tengah diwawancara itu. Dengan wajah yang tidak begitu tampan tapi nampak bersih dengan kemeja hitam kebesaran dipadankan dengan celana jeans usang dan rambutnya yang sedikit gondrong, membuat helaian rambutnya bergoyang mengikuti ritme-nya bersuara.
Kuraih bantal dan mengigitnya sekuat tenaga sehingga membuat kepalaku berkunang karena hentakan gemas yang kukeluarkan tiba-tiba.
“Ada yang spesial dari pameran Anda sekarang?” Tanya wanita itu kembali
“Tentu, selain karena ini pameran pertama, Saya juga akan memajang karya pertama Saya” Jawab lelaki itu
“Maksud Anda dengan karya pertama?” Pertanyaan kembali bergulir
“Lukisan pertama” Sahutnya dengan senyum tulus
Apa-apaan orang itu. Bisa-bisanya dia tersenyum tanpa beban seperti itu, dilain sisi aku menangis dengan beban berat yang kupikul. Haruskah aku yang menanggung semua rasa ini seorang diri? Egoisnya orang itu.
***
Diatas meja kerja, kubuka sebuah album besar dengan cover berwarna hitam dan bertuliskan ‘PD’. Kubuka lembar pertama dan tersenyum melihat foto dengan gambar seseorang lelaki dengan kaku menenteng beberapa kanvas dan sekantong besar kuas serta cat lukis. Membuka album foto usang dan berdebu yang hampir dua tahun tak kusentuh membuat otak kananku bekerja untuk mengingat masa-masa itu, masa saat aku selalu mendambanya diujung hati yang mempersilahkan dia masuk dengan pintu yang telah terbuka lebar untuknya, hanya untuknya.
“Apa aku bisa ya, Nay” Ujar seseorang
“Ya pasti bisalah Mar, kamukan berbakat” Aku menyemangati
“Dengan tangan kanan rusak seperti ini?” Dia menunjukan tangannya yang gemetar
Aku tersentak “Damar akan terus berpendar sampai minyak tanah yang membuatnya hidup habis. Sebelum minyak tanah itu habis dia tidak akan mati dan terus menerangi semampu yang dia bisa.”
“Sejak kapan seorang Nayyara, cewek manja bisa menasehati” Tawanya terdengar merdu mengalun menembus gendang telingaku
Aku tersenyum melihatnya yang masih tertawa.
“Sejak hati ini hanya tertambat pada sosok minder dengan segala kelebihan yang dia punya” batinku mewakili apa yang aku pikirkan
Wajah itu, senyum itu, mata itu, cara tawa itu aku sungguh mengaguminya. Sosok yang kukagumi sejak awal perkuliahan. Lelaki yang menghabiskan seharian dalam lima hari bersamaku. Lelaki yang bahkan tak mampu untuk bermimpi, ya aku mengagumi lelaki itu. Mengagumi dari jauh, menyukai dari jauh tapi kenyataanya dia tak lebih berjarak satu meter disebelahku.
“Akhirnya ada sukarelawan yang mau jadi objek lukisanku” Damar memberikan susu coklat kotak kesukaanku
Aku menerimanya dengan tersenyum “Benarkan? Siapa?”
“Donna” Ucapan Damar seakan meruntuhkan dinding hati yang kubangun dengan bata cinta yang belum disemen dengan timbal balik perasaannya
“Kira-kira dia akan sabar berapa lama ya jadi objek tangan rusak ini” Damar memperhatikan tangannya
“Kenapa harus Donna?” Tanyaku tanpa mengubris perkataan Damar sebelumnya
“Kenapa tidak aku saja? Aku dengan senang hati akan menjadi objek tangan elokmu.” Batinku
“Kurasa Donna objek yang tepat. Kakakmu itu cantik dan memiliki senyum yang indah. Ya, semoga saja dia akan tahan pada kecepatan lukisanku” Damar tersenyum
“Donna…” Kuhentikan ucapanku dan melihatnya nanar
“Iya, dia objek yang tepat” Sambungku tersenyum
Tak bisakah kau melihatku hanya untuk satu menit saja? Tak bisakah kau merasakan apa yang hati ini harapkan? Tak bisakah kau mendengarkan detak jantung ini saat kau menyebutkan nama wanita lain selain aku?.
Donna, kenapa harus dengan wanita itu? Bukankah kau tahu aku tak pernah akur dengannya. Dia sosok yang terlalu arogan untuk kusebut sebagai kakak. Dan kenyataan lainnya, dia sepertiku. Dia mengagumimu, mengagumi dengan cara yang berbeda.
“Sampah” Damar membuang kanvas lukisannya
Aku memungutnya dan membersihkan debu yang berhasil menempel pada permukaan lukisan dari seseorang yang kuharap bisa melukis wajahku juga diatas kanvas ini.
“Ini bagus, kok dibilang sampah?” Aku melihatnya bingung
“Lihat garis gak beraturan itu dong Nay, perpektifnya ancur ngegelombang karena tangan rusak ini terus gemetar” Damar kesal
“Hanya karena lukisanmu tidak bagus, kamu mengkambinghitamkan tangan kananmu. Sepertinya Damar ini, minyak tanahnya sudah habis” Ucapku
“Apa maksudmu?” Damar bertambah kesal
“Iya, kalah terhadap keadaan menjadi pengecut kondisi. Kamu trauma dan trauma itu memberikan pikiran-pikiran gak logis ke otakmu dan otakmu memberitahukan bahwa semua salah tangan kananmu lalu kamu mempercayainya. Kalau aku percaya, bahwa tangan itu yang akan membawa kamu membuka pameran lukisan besar suatu hari nanti” Aku menunjuk tangan kanan Damar
Aku tidak tahu apa yang sebenarnya telah terjadi dengan tangan kanan Damar, yang aku tahu hanya dia mengalami kecelakaan. Tangan kanannya terjepit jendela dan membuat jemarinya harus di gips selama berbulan-bulan karena patah.
Sudah seminggu sejak Damar mencampakkan lukisan Donna yang menurutnya tak layak untuk dipublikasikan. Donna seakan menggantikan posisiku, menjadi temannya berbicara, temannya bersenda gurau, menghabiskan seharian dalam lima hari. Sedang aku hanya bisa melihat keakraban mereka dengan hati yang tak kunjung kering luka hati yang terus menganga ini.
Hari berganti minggu, minggu berganti bulan. Aku bagai tanaman layu yang terlupakan oleh sang mentari. Tak disinari dan dibiarkan mengering kemudian mati sendiri. Damar dan Donna semakin akrab, bahkan terdengar kabar bahwa mereka tengah menjalin hubungan istimewa. Bukankah aku harusnya senang mendengar kakakku menjalin hubungan dengan lelaki yang dikaguminya? Tapi rasanya sesak dada ini tak bisa menyembunyikan rasa cemburu yang membabi buta saat mereka bersama.
“Ini’ Damar menyerahkan susu coklat kotak
Aku mengambilnya “Masih ingat denganku?”
“Nayyara-kan? Mana ada yang lupa sama cewek manja kayak kamu” Tawanya yang kali ini tak mengalun merdu digendang telingaku
“Aku tidak yakin bisa menggelar pameran” Damar berubah serius
Kenapa? Kenapa dia selalu datang dengan kegoyahannya?
“Kenapa tidak yakin?” Tanyaku sekenanya
“Karyaku belum cukup bagus” Jawab Damar
“Sudah aku bilang, aku percaya pada tangan itu. Pasti tangan itu bisa” Aku melirik tangan kanan Damar
“Kakak dan adik ternyata sama. Kamu memang mirip dengan Donna” Damar mengacak-acak rambutku yang dulu tak pernah dilakukannya padaku
Ingin aku berteriak dihadapannya, jangan samakan aku dengan dia. Apa kamu tidak pernah tahu kalau wanita sama sekali tidak suka dibandingkan dan disamakan dengan orang lain?!. Aku sungguh tak menyukaimu, tapi semakin kukuatkan pikiran tentang rasa tidak sukaku padamu semakin kuat hatiku mempertahanmu untuk tetap singgah, bahkan sampai sekarang.
“Aku akan berusaha sekuat tenaga agar bisa menggelar pameran lukisan suatu hari nanti dan kuberikan tempat paling spesial untuk lukisan pertamaku” Ujar Damar
“Lukisan pertama? Lukisan yang aku sebagai objeknya” Sahut Donna
Damar tersenyum ditengah kecutnya hatiku mendengar percakapan mereka. Mereka seakan-akan tak pernah tahu aku nyata, perasaan ini nyata tapi dengan seenaknya membuburkannya seketika dengan rasa tak bersalah. Segitu tidak nyatakah perasaan ini Damar?, Aku membencimu, sungguh aku membencimu.
Tahunpun silih berganti dan tak terasa kami memasuki semester akhir. Aku telah memantapkan hatiku untuk tidak membuat perasaan ini muncul kembali. Kujauhi dia karena alasan ingin fokus terhadap skripsiku, tapi nyatanya aku berbohong. Aku rindu cara tersenyumnya, rindu gelak tawanya, rindu suaranya, aku rindu semua yang ada dalam dirinya. Tapi yang bisa kulakukan hanya menjauhkannya dari hatiku yang seakan mati rasa akibat ulah tak langsungnya.
Selamat tinggal Damar, terima kasih telah membuatku menjadi seorang wanita yang tahu arti cinta tak harus memiliki. Terima kasih telah membuatku menjadi seorang wanita yang tahu arti takdir cinta tak harus selalu apa yang diharapkan. Dengan wisuda yang dilakukan beberapa hari lalu, aku mundur perlahan dan melenyapkan diri dari sosok lelaki yang menjadi langganan doa tak terkabulku. Lelaki yang tak begitu tampan tapi dengan tampannya mampu membuat mataku selalu melihat cahaya yang berpendar dari dalam dirinya. Pendar Damar.
***
Kubuka mata dan melihat pendar malu-malu dari sang surya. Tanpa sadar ternyata aku tertidur diatas meja kerja dan tidur berbantalkan album foto usang yang debunya telah kubersihkan. Kuusap setiap gambar seseorang yang berada didalam foto. Kemudian menyelipkan iklan dari koran yang bertuliskan “Pameran Lukisan Pelukis Muda Pendar Damar” pada halaman terakhir.
“Selamat pagi, Damar”
Aku kira dengan melenyapkan diri dari sosoknya, aku akan mampu melenyapkan perasaan ini. Tapi ternyata aku salah, rasa ini tak pernah lenyap. Dia hanya bersembunyi, menunggu waktu yang tepat untuk menampakkan dirinya kembali. Dan mungkin kini, saat yang tepat untuk memunculkan kenangan-kenangan yang tak ingin kukenang.
***
“Kamu sudah tahu kalau Damar menggelar pameran lukisan, Nay?” Donna duduk dihadapanku
Aku mengangguk
“Mau datang?” Tanyanya
Aku menggeleng
“Kenapa?” Tanyanya kembali
Aku mengangkat bahu “Kalau kamu mau datang, datanglah. Pasti banyak lukisanmu disana”
“Apa yang harus kukatakan pada tunanganku bila kami datang. Tidak mungkin kuberitahu bahwa Damar adalah mantan kekasihku saat dikampus. Kau ingin dia meminta cincin ini kembali” Donna memegang cincin yang melingkar di jari manis tangan kirinya.
Donna sudah tenggelam dengan kehidupan barunya bersama sosok lain yang dianggap pendarnya lebih menyilaukan dibandingkan dengan pendar milik Damar. Tapi bagiku hanya pendar yang terpancar remang milik Damar yang membuat hidupku akan lebih bercahaya.
***
Aku duduk diruang kerja dengan tumpukan berkas yang menanti untuk dikerjakan. Dengan perlahan kutekan tombol power on pada komputer dan disaat komputer itu memunculkan wallpaper biru dengan lambang jendela, segera kuklik media player. Mungkin dengan musik bisa menenangkan hatiku yang tengah bergolak saat ini.
.....Bokura ga daetta hi wa futari ni
Totte ichibanme no kinen subeki hi da ne
Kokoro kara aiseru hito
Kokoro kara itoshii hito
Kono boku no ai no mannaka ni wa
Itsuo kimi ga itu kara…..
Terdengar suara jernih Taka mengalun lembut penuh arti ditelingaku. Kurenungi setiap arti dari lirik lagu milik band asal Jepang ini.
…..Hari dimana kita bertemu, bagi
Kita berdua akan menjadi kenangan terpenting, kan?
Orang yang aku cintai setulus hati
Orang yang paling aku sayangi setulus hati
Di lubuk terdalam cintaku, dimana kau akan selalu ada…..
Entah kenapa mata ini panas dan ingin menumpahkan yang selama ini kutahan. Aku terisak dan sesak akan isakanku sendiri. Dan kini apa yang harus kulakukan? Disaat aku tak mampu melupakan sosok itu. Apa aku harus mengatakan hal mengganjal ini? Tapi apa semuanya masih sama? Apakah dia sekarang tengah menjalin sebuah hubungan sakral yang disebut keluarga? Apa aku tega menghancurkannya? Tapi apa aku tega juga menghancurkan hatiku untuk kedua kalinya? Hati dengan bata cinta yang entah akan disemen dengan perasaannya atau bahkan harus kuhancurkan karena tak adanya perekat yang membuatnya menjadi kokoh.
…..Wherever you are, I always make you smile
Wherever you are, I’m always by your side
Whatever you say, kimi wo omou kimochi
I promise you forever right now…..
Dengan ditemani bait lagu Wherever You Are milik One Ok Rock, aku berdiri dan berjalan kearah pintu keluar menuju tujuan yang masih terlihat buram. Dimanapun kamu berada, kupastikan rasa ini sampai untukmu walau hanya sekali dalam seumur hidup.
***
Dengan floral dress berwarna pastel dipadu dengan blazer warna senada, diiringi derak langkah kaki, kumasuki gallery penuh lukisan ini. Kutarik nafas dalam-dalam, entah kenapa debaran jantung ini tak dapat diajak kompromi untuk bisa tenang, walau hanya untuk semenit.
Perlahan kutelusuri lorong remang tetapi padat manusia yang tengah melihat setiap inci dari lukisan yang terpampang dikoridor. Kutelan air liurku mencoba untuk mendapat kekuatan yang kupikir sudah mencapai warna merah dan harus diisi ulang. Aku terpaku beberapa meter setelah melangkah memasuki gallery yang berkonsep remang-remang seperti cahaya yang dipancarkan oleh Damar, tapi sungguh aku menyukai konsep ini. Bukan karena aku menyukai Damar tapi suasana ini membuatku nyaman karena tak perlu menyembunyikan wajahku yang mudah merona karena remang takkan pernah memperlihatkan itu.
Kuperhatikan satu-satu lukisan didinding. Lukisan yang penuh dengan cinta sepenuh hati yang Damar tuangkan dalam bentuk dan warna yang atraktif. Lukisan ini dibuat oleh tangan kanan Damar, tangan kanan yang kupercaya bisa menghantarkannya pada mimpinya. Perhatianku tertuju pada sebuah lukisan didalam box kaca, yang menarikku untuk menujunya. Seperti magnet kutub + bertemu dengan kutub -. Lukisan yang belum kulihat itu memancarkan aura tenang yang hatiku bahkan merasa sangat nyaman bergerak menujunya.
Mataku terbelalak dengan tangan yang menutup mulut. Tubuhku bergetar dan air dipelupuk mata menyusup tak tahu diri melintasi pipi yang tak lagi merona. Dihadapanku terpampang lukisan dengan tulisan tebal diatasnya “Lukisan Pertama”. Lukisan perempuan yang lebih tepatnya sketsa seorang perempuan berdiri didepan jendela dengan rambut tergerai yang diterbangkan angin tengah menghisap susu coklat kotak.
“Hari itu, aku melihat seorang wanita yang terlihat sangat anggun dengan susu coklat kotak yang bahkan diusianya yang tak lagi muda. Sosok wanita itu begitu memikat, dengan manis mengisi setiap buku-buku gambarku dengan sketsa wajahnya. Aku ingin dekat dengannya tapi aku takut. Aku takut dia akan mengacuhkanku karena aku bukan salah satu bagian dari cowok populer. Aku takut dia menganggapku aneh.”
Aku menghapus air mata yang terus merembes dikedua mataku.
“Sampai suatu hari. Entah hari itu terkutuk atau hari penuh anugerah seumur hidupku. Aku dengan tekad bulat ingin mengajaknya berkenalan. Aku berjalan menuju ruang kelasnya. Dia masih berdiri pada posisi kesukaannya didepan jendela. Tapi tiba-tiba dia terhuyung kedepan dan membuatnya ingin jatuh kebawah. Secepat yang aku bisa, kutangkap tubuhnya. Kupeluk tubuhnya dengan tangan kiriku dan bertumpu pada tangan kananku yang berpegangan pada jendela tapi sialnya jendela itu tertutup kebawah dan membuat jemariku patah.”
Aku tak bisa membendung tangisku. Sungguh.
“Tapi dari hari itu. Aku bisa berkenalan bahkan bersahabat dengannya. Aku benci bersahabat dengannya, karena yang aku ingin lebih dari sekedar bersahabat dengannya. Aku lebih menyukainya saat aku mengenalnya. Jadi kusimpulkan hari itu, adalah anugerah untukku. Walau sialnya tanganku takkan bisa melukis lagi. Disaat aku melupakan mimpiku karena tangan sialan itu, dia mengingatkanku kembali akan mimpiku. Menjadi seorang pelukis. Aku mencoba sekuat tenagaku melukis hanya untuknya. Tapi aku gagal, aku gagal membuat tangan kananku berfungsi dengan baik. Tapi dia percaya padaku, percaya pada tangan gagal itu. Aku mengaguminya sepanjang hidup yang aku punya”
Aku terus terisak mendengar kata demi kata yang keluar dari seseorang dibelakangku.
“Tiba-tiba dia menjauh, aku kacau. Dan dia akhirnya menghilang, aku hancur. Yang aku lakukan setiap hari hanya melukis. Melukis sampai gila, berharap aku bisa melupakan dia dengan mengejar mimpi yang kutunda. Tapi nyatanya dia benar-benar telah lekat baik dipikiran maupun dihati. Dengan bersungguh-sungguh aku bertekad akan menemukannya dengan cara yang dia ajarkan padaku, percaya pada tangan kananku. Dan kinilah aku dengan mimpi yang pendarnya mungkin terlihat remang seperti ruangan ini”
Aku menoleh dengan isakan yang masih belum bisa kubendung. Pendar yang selama ini kuinginkan lebih dari apapun. Berburuk sangka terhadap cahaya hidup yang amat kuperlukan saat dia memilih orang lain yang bahkan itu adalah jalan dia lebih dengan orang yang dia suka. Objek lukisan pertama-nya yang kukira akan terpampang wajah Donna, wajah kakakku yang bahkan aku irikan seumur hidupku karena bisa menjadi bagian dari pendar remang hati seseorang yang kurindukan selama ini. Tapi tidak, lukisan itu adalah aku. Aku yang menginginkan pendaran remang itu.
Senyum terkembang dari wajah tak terlalu tampan itu. Rambutnya yang sedikit panjang dikuncir kebelakang. Dengan baju abu-abu dan celana hitam yang terlihat kebesaran itu, dia nampak bersinar ditengah remang konsep dari gallery ini. Dia melirik kearah Lukisan Pertama-nya sehingga membuatku mengikuti arah pandanganya.
Isakku bertambah, saat lampu dibawah kertas itu menyala. Tersembul tulisan yang membuatku tak bisa bernafas. ‘Gadis susu kotakku.. Marry me?’


***************************************
"Belakangan ini buat cerpen berdasarkan pengalaman pribadi trus baca cerpen ini yang pyurr banget fiktif. Kenapa rasanya hambar ya? hehehe...."

0 komentar:

Posting Komentar

 
berita unik