Kuhempaskan tubuh
lelah ini setelah seharian membanting tulang hanya untuk mendapat imbalan uang
setiap bulannya yang disebut gaji. Kulepaskan blazer polybistretch hitam yang kukenakan dan meletakkanya diatas
meja. Kuambil koran pagi yang tadi tak sempat kubaca. Lebar-lebar kubuka
halaman per halaman, tak ada berita lain selain politik yang kian memanas
dibumi pertiwi yang seakan ikut memanas dengan perubahan cuaca akibat pemanasan
global.
Tanganku terhenti
pada iklan yang hampir menghabiskan satu halaman koran. Mataku tak berkedip
melihat judul iklan itu “Pameran Lukisan
Pelukis Muda Pendar Damar”. Kuedarkan pandanganku pada seisi ruangan.
Terdapat puluhan lukisan kuno sampai modern
bertengger santai dengan figura-figura kayu yang nampak mengkilat bila terkena
sinar apapun yang mengenainya. Aku memang termasuk pengagum karya tangan indah
yang tertuang diatas kanvas dengan bentuk-bentuk dan wajah-wajah yang ditempeli
dengan cat beraneka warna itu. Tapi bukan karena pameran lukisan itu mataku tak
berkedip, juga bukan karena kagum seorang pelukis muda telah menggelar pameran,
sungguh bukan itu. Mata ini tak berkedip seakan memastikan bahwa aku memang
berada pada dunia nyata yang selama seperempat abad kujalani. Kupastikan
kembali pengelihatanku untuk membaca nama seseorang yang menggelar pameran itu,
Pendar Damar.
Secepat yang aku
bisa, kuremukkan koran itu dan membuangnya jauh-jauh dari ranah hidupku. Aku
berpaling dan kembali melihat remukan koran yang kubuang itu. Dengan mata yang
terasa panas, kupungut kembali remukan koran itu dan membetulkannya kembali
agar menjadi seperti sediakala.
“Selamat, kamu
berhasil mewujudkan mimpimu” Isakku memeluk koran kusut itu erat seperti
memeluk seseorang yang amat kurindukan.
***
“Minggu ini anda
akan menggelar pameran untuk pertama kalinya, bagaimana perasaan Anda?” Tanya
seorang wanita yang hanya terlihat punggungnya sambil menyodorkan microphone pada sosok dihadapannya.
“Pameran ini merupakan
impian Saya sejak kuliah, jadi bila ditanya perasaannya. Rasanya seperti mimpi”
Jawab lelaki itu tersenyum lembut bagai cotton
candy yang siap untuk dilelehkan.
Aku melihat siaran
televisi itu dengan acuh. Kuperhatikan sosok yang tengah diwawancara itu.
Dengan wajah yang tidak begitu tampan tapi nampak bersih dengan kemeja hitam
kebesaran dipadankan dengan celana jeans usang dan rambutnya yang sedikit
gondrong, membuat helaian rambutnya bergoyang mengikuti ritme-nya bersuara.
Kuraih bantal dan
mengigitnya sekuat tenaga sehingga membuat kepalaku berkunang karena hentakan
gemas yang kukeluarkan tiba-tiba.
“Ada yang spesial
dari pameran Anda sekarang?” Tanya wanita itu kembali
“Tentu, selain
karena ini pameran pertama, Saya juga akan memajang karya pertama Saya” Jawab
lelaki itu
“Maksud Anda
dengan karya pertama?” Pertanyaan kembali bergulir
“Lukisan pertama”
Sahutnya dengan senyum tulus
Apa-apaan orang
itu. Bisa-bisanya dia tersenyum tanpa beban seperti itu, dilain sisi aku menangis
dengan beban berat yang kupikul. Haruskah aku yang menanggung semua rasa ini
seorang diri? Egoisnya orang itu.
***
Diatas meja kerja,
kubuka sebuah album besar dengan cover
berwarna hitam dan bertuliskan ‘PD’. Kubuka lembar pertama dan tersenyum melihat
foto dengan gambar seseorang lelaki dengan kaku menenteng beberapa kanvas dan
sekantong besar kuas serta cat lukis. Membuka album foto usang dan berdebu yang
hampir dua tahun tak kusentuh membuat otak kananku bekerja untuk mengingat
masa-masa itu, masa saat aku selalu mendambanya diujung hati yang mempersilahkan
dia masuk dengan pintu yang telah terbuka lebar untuknya, hanya untuknya.
“Apa aku bisa ya,
Nay” Ujar seseorang
“Ya pasti bisalah
Mar, kamukan berbakat” Aku menyemangati
“Dengan tangan
kanan rusak seperti ini?” Dia menunjukan tangannya yang gemetar
Aku tersentak
“Damar akan terus berpendar sampai minyak tanah yang membuatnya hidup habis.
Sebelum minyak tanah itu habis dia tidak akan mati dan terus menerangi semampu
yang dia bisa.”
“Sejak kapan
seorang Nayyara, cewek manja bisa menasehati” Tawanya terdengar merdu mengalun
menembus gendang telingaku
Aku tersenyum
melihatnya yang masih tertawa.
“Sejak hati ini
hanya tertambat pada sosok minder dengan segala kelebihan yang dia punya”
batinku mewakili apa yang aku pikirkan
Wajah itu, senyum
itu, mata itu, cara tawa itu aku sungguh mengaguminya. Sosok yang kukagumi
sejak awal perkuliahan. Lelaki yang menghabiskan seharian dalam lima hari
bersamaku. Lelaki yang bahkan tak mampu untuk bermimpi, ya aku mengagumi lelaki
itu. Mengagumi dari jauh, menyukai dari jauh tapi kenyataanya dia tak lebih
berjarak satu meter disebelahku.
“Akhirnya ada
sukarelawan yang mau jadi objek lukisanku” Damar memberikan susu coklat kotak
kesukaanku
Aku menerimanya
dengan tersenyum “Benarkan? Siapa?”
“Donna” Ucapan
Damar seakan meruntuhkan dinding hati yang kubangun dengan bata cinta yang
belum disemen dengan timbal balik perasaannya
“Kira-kira dia
akan sabar berapa lama ya jadi objek tangan rusak ini” Damar memperhatikan tangannya
“Kenapa harus
Donna?” Tanyaku tanpa mengubris perkataan Damar sebelumnya
“Kenapa tidak aku
saja? Aku dengan senang hati akan menjadi objek tangan elokmu.” Batinku
“Kurasa Donna
objek yang tepat. Kakakmu itu cantik dan memiliki senyum yang indah. Ya, semoga
saja dia akan tahan pada kecepatan lukisanku” Damar tersenyum
“Donna…”
Kuhentikan ucapanku dan melihatnya nanar
“Iya, dia objek
yang tepat” Sambungku tersenyum
Tak bisakah kau
melihatku hanya untuk satu menit saja? Tak bisakah kau merasakan apa yang hati
ini harapkan? Tak bisakah kau mendengarkan detak jantung ini saat kau
menyebutkan nama wanita lain selain aku?.
Donna, kenapa
harus dengan wanita itu? Bukankah kau tahu aku tak pernah akur dengannya. Dia
sosok yang terlalu arogan untuk kusebut sebagai kakak. Dan kenyataan lainnya,
dia sepertiku. Dia mengagumimu, mengagumi dengan cara yang berbeda.
“Sampah” Damar
membuang kanvas lukisannya
Aku memungutnya
dan membersihkan debu yang berhasil menempel pada permukaan lukisan dari
seseorang yang kuharap bisa melukis wajahku juga diatas kanvas ini.
“Ini bagus, kok
dibilang sampah?” Aku melihatnya bingung
“Lihat garis gak
beraturan itu dong Nay, perpektifnya ancur ngegelombang karena tangan rusak ini
terus gemetar” Damar kesal
“Hanya karena
lukisanmu tidak bagus, kamu mengkambinghitamkan tangan kananmu. Sepertinya
Damar ini, minyak tanahnya sudah habis” Ucapku
“Apa maksudmu?”
Damar bertambah kesal
“Iya, kalah
terhadap keadaan menjadi pengecut kondisi. Kamu trauma dan trauma itu
memberikan pikiran-pikiran gak logis ke otakmu dan otakmu memberitahukan bahwa
semua salah tangan kananmu lalu kamu mempercayainya. Kalau aku percaya, bahwa
tangan itu yang akan membawa kamu membuka pameran lukisan besar suatu hari
nanti” Aku menunjuk tangan kanan Damar
Aku tidak tahu apa
yang sebenarnya telah terjadi dengan tangan kanan Damar, yang aku tahu hanya
dia mengalami kecelakaan. Tangan kanannya terjepit jendela dan membuat
jemarinya harus di gips selama berbulan-bulan karena patah.
Sudah seminggu
sejak Damar mencampakkan lukisan Donna yang menurutnya tak layak untuk dipublikasikan.
Donna seakan menggantikan posisiku, menjadi temannya berbicara, temannya
bersenda gurau, menghabiskan seharian dalam lima hari. Sedang aku hanya bisa
melihat keakraban mereka dengan hati yang tak kunjung kering luka hati yang
terus menganga ini.
Hari berganti
minggu, minggu berganti bulan. Aku bagai tanaman layu yang terlupakan oleh sang
mentari. Tak disinari dan dibiarkan mengering kemudian mati sendiri. Damar dan
Donna semakin akrab, bahkan terdengar kabar bahwa mereka tengah menjalin
hubungan istimewa. Bukankah aku harusnya senang mendengar kakakku menjalin
hubungan dengan lelaki yang dikaguminya? Tapi rasanya sesak dada ini tak bisa
menyembunyikan rasa cemburu yang membabi buta saat mereka bersama.
“Ini’ Damar
menyerahkan susu coklat kotak
Aku mengambilnya
“Masih ingat denganku?”
“Nayyara-kan? Mana
ada yang lupa sama cewek manja kayak kamu” Tawanya yang kali ini tak mengalun
merdu digendang telingaku
“Aku tidak yakin
bisa menggelar pameran” Damar berubah serius
Kenapa? Kenapa dia
selalu datang dengan kegoyahannya?
“Kenapa tidak
yakin?” Tanyaku sekenanya
“Karyaku belum
cukup bagus” Jawab Damar
“Sudah aku bilang,
aku percaya pada tangan itu. Pasti tangan itu bisa” Aku melirik tangan kanan
Damar
“Kakak dan adik
ternyata sama. Kamu memang mirip dengan Donna” Damar mengacak-acak rambutku
yang dulu tak pernah dilakukannya padaku
Ingin aku berteriak
dihadapannya, jangan samakan aku dengan dia. Apa kamu tidak pernah tahu kalau
wanita sama sekali tidak suka dibandingkan dan disamakan dengan orang lain?!.
Aku sungguh tak menyukaimu, tapi semakin kukuatkan pikiran tentang rasa tidak
sukaku padamu semakin kuat hatiku mempertahanmu untuk tetap singgah, bahkan
sampai sekarang.
“Aku akan berusaha
sekuat tenaga agar bisa menggelar pameran lukisan suatu hari nanti dan
kuberikan tempat paling spesial untuk lukisan pertamaku” Ujar Damar
“Lukisan pertama?
Lukisan yang aku sebagai objeknya” Sahut Donna
Damar tersenyum
ditengah kecutnya hatiku mendengar percakapan mereka. Mereka seakan-akan tak
pernah tahu aku nyata, perasaan ini nyata tapi dengan seenaknya membuburkannya
seketika dengan rasa tak bersalah. Segitu tidak nyatakah perasaan ini Damar?,
Aku membencimu, sungguh aku membencimu.
Tahunpun silih
berganti dan tak terasa kami memasuki semester akhir. Aku telah memantapkan
hatiku untuk tidak membuat perasaan ini muncul kembali. Kujauhi dia karena
alasan ingin fokus terhadap skripsiku, tapi nyatanya aku berbohong. Aku rindu
cara tersenyumnya, rindu gelak tawanya, rindu suaranya, aku rindu semua yang
ada dalam dirinya. Tapi yang bisa kulakukan hanya menjauhkannya dari hatiku
yang seakan mati rasa akibat ulah tak langsungnya.
Selamat tinggal
Damar, terima kasih telah membuatku menjadi seorang wanita yang tahu arti cinta
tak harus memiliki. Terima kasih telah membuatku menjadi seorang wanita yang
tahu arti takdir cinta tak harus selalu apa yang diharapkan. Dengan wisuda yang
dilakukan beberapa hari lalu, aku mundur perlahan dan melenyapkan diri dari
sosok lelaki yang menjadi langganan doa tak terkabulku. Lelaki yang tak begitu
tampan tapi dengan tampannya mampu membuat mataku selalu melihat cahaya yang
berpendar dari dalam dirinya. Pendar Damar.
***
Kubuka mata dan
melihat pendar malu-malu dari sang surya. Tanpa sadar ternyata aku tertidur
diatas meja kerja dan tidur berbantalkan album foto usang yang debunya telah
kubersihkan. Kuusap setiap gambar seseorang yang berada didalam foto. Kemudian
menyelipkan iklan dari koran yang bertuliskan “Pameran Lukisan Pelukis Muda Pendar Damar” pada halaman terakhir.
“Selamat pagi,
Damar”
Aku kira dengan
melenyapkan diri dari sosoknya, aku akan mampu melenyapkan perasaan ini. Tapi ternyata
aku salah, rasa ini tak pernah lenyap. Dia hanya bersembunyi, menunggu waktu
yang tepat untuk menampakkan dirinya kembali. Dan mungkin kini, saat yang tepat
untuk memunculkan kenangan-kenangan yang tak ingin kukenang.
***
“Kamu sudah tahu
kalau Damar menggelar pameran lukisan, Nay?” Donna duduk dihadapanku
Aku mengangguk
“Mau datang?”
Tanyanya
Aku menggeleng
“Kenapa?” Tanyanya
kembali
Aku mengangkat
bahu “Kalau kamu mau datang, datanglah. Pasti banyak lukisanmu disana”
“Apa yang harus
kukatakan pada tunanganku bila kami datang. Tidak mungkin kuberitahu bahwa
Damar adalah mantan kekasihku saat dikampus. Kau ingin dia meminta cincin ini
kembali” Donna memegang cincin yang melingkar di jari manis tangan kirinya.
Donna sudah tenggelam
dengan kehidupan barunya bersama sosok lain yang dianggap pendarnya lebih
menyilaukan dibandingkan dengan pendar milik Damar. Tapi bagiku hanya pendar
yang terpancar remang milik Damar yang membuat hidupku akan lebih bercahaya.
***
Aku duduk diruang
kerja dengan tumpukan berkas yang menanti untuk dikerjakan. Dengan perlahan
kutekan tombol power on pada komputer
dan disaat komputer itu memunculkan wallpaper
biru dengan lambang jendela, segera kuklik media
player. Mungkin dengan musik bisa menenangkan hatiku yang tengah bergolak
saat ini.
.....Bokura ga daetta hi wa futari ni
Totte ichibanme no kinen subeki hi da ne
Kokoro kara aiseru hito
Kokoro kara itoshii hito
Kono boku no ai no mannaka ni wa
Itsuo kimi ga itu kara…..
Terdengar suara
jernih Taka mengalun lembut penuh arti ditelingaku. Kurenungi setiap arti dari
lirik lagu milik band asal Jepang ini.
…..Hari dimana kita bertemu, bagi
Kita berdua akan menjadi kenangan terpenting, kan?
Orang yang aku cintai setulus hati
Orang yang paling aku sayangi setulus hati
Di lubuk terdalam cintaku, dimana kau akan selalu
ada…..
Entah kenapa mata
ini panas dan ingin menumpahkan yang selama ini kutahan. Aku terisak dan sesak
akan isakanku sendiri. Dan kini apa yang harus kulakukan? Disaat aku tak mampu
melupakan sosok itu. Apa aku harus mengatakan hal mengganjal ini? Tapi apa
semuanya masih sama? Apakah dia sekarang tengah menjalin sebuah hubungan sakral
yang disebut keluarga? Apa aku tega menghancurkannya? Tapi apa aku tega juga
menghancurkan hatiku untuk kedua kalinya? Hati dengan bata cinta yang entah
akan disemen dengan perasaannya atau bahkan harus kuhancurkan karena tak adanya
perekat yang membuatnya menjadi kokoh.
…..Wherever you are, I always make you smile
Wherever you are, I’m always by your side
Whatever you say, kimi wo omou kimochi
I promise you forever right now…..
Dengan ditemani
bait lagu Wherever You Are milik One Ok Rock, aku berdiri dan berjalan kearah pintu
keluar menuju tujuan yang masih terlihat buram. Dimanapun kamu berada,
kupastikan rasa ini sampai untukmu walau hanya sekali dalam seumur hidup.
***
Dengan floral dress berwarna pastel dipadu
dengan blazer warna senada, diiringi
derak langkah kaki, kumasuki gallery
penuh lukisan ini. Kutarik nafas dalam-dalam, entah kenapa debaran jantung ini
tak dapat diajak kompromi untuk bisa tenang, walau hanya untuk semenit.
Perlahan kutelusuri
lorong remang tetapi padat manusia yang tengah melihat setiap inci dari lukisan
yang terpampang dikoridor. Kutelan air liurku mencoba untuk mendapat kekuatan
yang kupikir sudah mencapai warna merah dan harus diisi ulang. Aku terpaku
beberapa meter setelah melangkah memasuki gallery
yang berkonsep remang-remang seperti cahaya yang dipancarkan oleh Damar, tapi
sungguh aku menyukai konsep ini. Bukan karena aku menyukai Damar tapi suasana
ini membuatku nyaman karena tak perlu menyembunyikan wajahku yang mudah merona
karena remang takkan pernah memperlihatkan itu.
Kuperhatikan
satu-satu lukisan didinding. Lukisan yang penuh dengan cinta sepenuh hati yang
Damar tuangkan dalam bentuk dan warna yang atraktif. Lukisan ini dibuat oleh
tangan kanan Damar, tangan kanan yang kupercaya bisa menghantarkannya pada
mimpinya. Perhatianku tertuju pada sebuah lukisan didalam box kaca, yang
menarikku untuk menujunya. Seperti magnet kutub + bertemu dengan kutub -.
Lukisan yang belum kulihat itu memancarkan aura tenang yang hatiku bahkan
merasa sangat nyaman bergerak menujunya.
Mataku terbelalak
dengan tangan yang menutup mulut. Tubuhku bergetar dan air dipelupuk mata
menyusup tak tahu diri melintasi pipi yang tak lagi merona. Dihadapanku
terpampang lukisan dengan tulisan tebal diatasnya “Lukisan Pertama”. Lukisan
perempuan yang lebih tepatnya sketsa seorang perempuan berdiri didepan jendela
dengan rambut tergerai yang diterbangkan angin tengah menghisap susu coklat
kotak.
“Hari itu, aku
melihat seorang wanita yang terlihat sangat anggun dengan susu coklat kotak
yang bahkan diusianya yang tak lagi muda. Sosok wanita itu begitu memikat,
dengan manis mengisi setiap buku-buku gambarku dengan sketsa wajahnya. Aku
ingin dekat dengannya tapi aku takut. Aku takut dia akan mengacuhkanku karena
aku bukan salah satu bagian dari cowok populer. Aku takut dia menganggapku
aneh.”
Aku menghapus air
mata yang terus merembes dikedua mataku.
“Sampai suatu
hari. Entah hari itu terkutuk atau hari penuh anugerah seumur hidupku. Aku
dengan tekad bulat ingin mengajaknya berkenalan. Aku berjalan menuju ruang
kelasnya. Dia masih berdiri pada posisi kesukaannya didepan jendela. Tapi
tiba-tiba dia terhuyung kedepan dan membuatnya ingin jatuh kebawah. Secepat
yang aku bisa, kutangkap tubuhnya. Kupeluk tubuhnya dengan tangan kiriku dan
bertumpu pada tangan kananku yang berpegangan pada jendela tapi sialnya jendela
itu tertutup kebawah dan membuat jemariku patah.”
Aku tak bisa
membendung tangisku. Sungguh.
“Tapi dari hari
itu. Aku bisa berkenalan bahkan bersahabat dengannya. Aku benci bersahabat
dengannya, karena yang aku ingin lebih dari sekedar bersahabat dengannya. Aku
lebih menyukainya saat aku mengenalnya. Jadi kusimpulkan hari itu, adalah
anugerah untukku. Walau sialnya tanganku takkan bisa melukis lagi. Disaat aku
melupakan mimpiku karena tangan sialan itu, dia mengingatkanku kembali akan
mimpiku. Menjadi seorang pelukis. Aku mencoba sekuat tenagaku melukis hanya
untuknya. Tapi aku gagal, aku gagal membuat tangan kananku berfungsi dengan
baik. Tapi dia percaya padaku, percaya pada tangan gagal itu. Aku mengaguminya
sepanjang hidup yang aku punya”
Aku terus terisak
mendengar kata demi kata yang keluar dari seseorang dibelakangku.
“Tiba-tiba dia
menjauh, aku kacau. Dan dia akhirnya menghilang, aku hancur. Yang aku lakukan
setiap hari hanya melukis. Melukis sampai gila, berharap aku bisa melupakan dia
dengan mengejar mimpi yang kutunda. Tapi nyatanya dia benar-benar telah lekat
baik dipikiran maupun dihati. Dengan bersungguh-sungguh aku bertekad akan
menemukannya dengan cara yang dia ajarkan padaku, percaya pada tangan kananku.
Dan kinilah aku dengan mimpi yang pendarnya mungkin terlihat remang seperti
ruangan ini”
Aku menoleh dengan
isakan yang masih belum bisa kubendung. Pendar yang selama ini kuinginkan lebih
dari apapun. Berburuk sangka terhadap cahaya hidup yang amat kuperlukan saat
dia memilih orang lain yang bahkan itu adalah jalan dia lebih dengan orang yang
dia suka. Objek lukisan pertama-nya yang kukira akan terpampang wajah Donna,
wajah kakakku yang bahkan aku irikan seumur hidupku karena bisa menjadi bagian
dari pendar remang hati seseorang yang kurindukan selama ini. Tapi tidak,
lukisan itu adalah aku. Aku yang menginginkan pendaran remang itu.
Senyum terkembang
dari wajah tak terlalu tampan itu. Rambutnya yang sedikit panjang dikuncir
kebelakang. Dengan baju abu-abu dan celana hitam yang terlihat kebesaran itu,
dia nampak bersinar ditengah remang konsep dari gallery ini. Dia melirik kearah Lukisan Pertama-nya sehingga
membuatku mengikuti arah pandanganya.
Isakku bertambah,
saat lampu dibawah kertas itu menyala. Tersembul tulisan yang membuatku tak
bisa bernafas. ‘Gadis susu kotakku..
Marry me?’
***************************************
"Belakangan ini buat cerpen berdasarkan pengalaman pribadi trus baca cerpen ini yang pyurr banget fiktif. Kenapa rasanya hambar ya? hehehe...."
0 komentar:
Posting Komentar